oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Empat sumber kemarahan yang dibawa kedalam pernikahan, yaitu berasal dari orang tua atau keluarga asal, dari orang-orang penting dalam hidup kita, dari perbuatan orang jahat dalam hidup kita dan dari masalah jiwa yang tidak sehat didalam diri kita sendiri.
TELAGA 2022
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kemarahan Didalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Kalau kita bicara tentang pernikahan, tentunya setiap pasangan mengharapkan pernikahannya "happily ever after" seperti di novel atau film yang berakhir dengan bahagia selama-lamanya, namun dalam kenyataannya kita melihat atau mengalami sendiri bahwa pernikahan itu sesuatu yang perlu dikerjakan dan tidak mudah untuk kita melaluinya. Mengapa, Pak Paul, pernikahan yang kita harapkan bisa bahagia selama-lamanya justru membawa hal yang tidak nyaman didalam diri kita?
PG: Tidak ada pernikahan yang sempurna, sebab tidak ada pribadi yang sempurna, Pak Necholas, itu sebab dalam pernikahan, pertengkaran tetap terjadi dan kekecewaan kadang mesti kita telan. Ini bagian dari kehidupan yang kita mesti terima. Saya juga bersyukur bahwa istri saya tidak selalu berbuat atau melakukan hal-hal yang saya inginkan atau dambakan. Kenapa saya bisa berkata bahwa saya bersyukur, sebab saya bisa bayangkan, kalau istri saya selalu melakukan yang saya harapkan, saya akan menjadi orang yang paling berbahagia, tapi sekaligus orang yang paling tidak dewasa dalam dunia ini, karena semua yang saya inginkan saya dapatkan. Untuk apa lagi saya bertumbuh? Tidak akan bertumbuh, maka dalam pernikahan akan ada hal-hal yang harus kita terima, yang tidak menyenangkan dan kadang karena itu kita harus bertengkar. Masalahnya adalah ini, Pak Necholas, pada sebagian kita yang bila marah kepada pasangan, bukan saja marah biasa tetapi bisa begitu marah, seakan membenci pasangan, padahal perbuatannya atau kesalahannya biasa saja. Sekali lagi saya mau ulang, pertengkaran, kekecewaan itu bagian alamiah manusiawi dalam hidup dan pernikahan, namun dalam kasus-kasus tertentu ada orang bila marah, marahnya begitu intens seakan-akan ia bukan hanya marah saja tapi bisa begitu membenci pasangannya. Bila ini terjadi, besar kemungkinan penyebabnya adalah karena kita menyimpan kemarahan di hati yang belum pernah kita selesaikan. Kita akan melihat ada empat sumber kemarahan yang kerap kita bawa masuk kedalam pernikahan. Pertama, pada umumnya kemarahan di hati yang kita bawa kedalam pernikahan berasal dari orang tua atau keluarga asal. Orang tua adalah manusia biasa jadi mereka tidak lepas dari kesalahan dalam membesarkan kita, namun kita mesti mengakui bahwa sebagian orang tua berbuat banyak kesalahan sehingga meninggalkan luka yang dalam di hati kita. Ada yang mendisiplin anak secara berlebihan, ada yang mencaci maki anak seenaknya, ada yang meremehkan dan menghina anak sepuasnya, ada yang memanfaatkan anak, ada yang mudah dan kerap menyalahkan anak dan ada yang malah menyia-nyiakan anak, tidak peduli dengan anak. Tindakan-tindakan ini meninggalkan luka di hati yang tidak pernah kering. Seakan-akan luka itu masih segar karena baru terjadi kemarin, padahal ini terjadi bertahun-tahun yang lampau. Sewaktu kita masuk kedalam pernikahan, luka itu terkuak kembali, walau luka yang timbul dalam pernikahan sebenarnya bukan luka yang dalam, tapi karena luka lama masih segar, maka sedikit goresan cukup untuk membuat kita marah, sedemikian besarnya.
ND: Pak Paul, melihat begitu menyeramkannya dampak dari pengasuhan orang tua terhadap anak, kita sebagai orang tua yang sangat tidak sempurna seperti yang Pak Paul katakan, tentu kita pernah melukai anak. Dari pengalaman Pak Paul, biasanya di usia berapa yang paling membekas, kemudian jika hal itu terjadi bagaimana orang tua bisa kemudian berusaha untuk memerbaikinya?
PG: Pada umumnya anak akan dapat merasakan sakitnya luka karena perbuatan atau perkataan kita sewaktu anak itu sudah mulai masuk ke usia sekolah, sekitar usia lima, enam tahun, nah sudah tentu makin anak besar, makin besar pengertian mereka akan perbuatan kita sebagai orang tua, maka luka itu akan makin besar juga. Waktu anak-anak masih kecil sekali, mereka belum bisa mengerti dampak atau makna perbuatan atau perkataan kita, tapi waktu anak-anak itu sudah mulai besar, anak lebih dapat mengerti makna perbuatan atau perkataan kita bahkan dampak yang ditimbulkan juga akan lebih besar. Apa yang mesti kita lakukan? Kalau misalkan kita melihat anak itu terluka dan mulai berubah menunjukkan sikap-sikap yang menentang kita, tidak mau lagi dekat dengan kita, besar kemungkinan anak itu memang menyimpan luka. Apa yang mesti kita lakukan? Kita mesti mengajaknya bicara dan ini yang penting, kita mesti berani melihat perbuatan kita dan kalau perlu kita meminta maaf. Saya perhatikan kebanyakan kita orang tua sewaktu mengajak anak bicara soal-soal ini, bukannya untuk melihat diri dan pada akhirnya meminta maaf, tapi untuk sekali lagi menjelaskan mengapa dulu papa atau mama harus berbuat begini atau begitu kepada kamu. Karena kamu begini begitu, jadi seolah-olah ini penghakiman babak kedua. Maka bukannya mau membereskan, anak makin hari makin tidak mau membereskan, karena anak sudah tahu waktu papa mama mengajak bicara, ujung-ujungnya dia akan disalahkan lagi. Maka kalau kita mau ajak anak bicara soal-soal ini kita mesti siap melihat diri kita dan meminta maaf kepada anak.
ND: Sebagai orang tua yang saat ini kita sudah masuk dalam pernikahan, saya rasa ada kemungkinan generasi kita saat ini yang sudah menjadi orang tua, memiliki papa mama, ayah ibu yang dulu bahkan meminta maaf pun sulit kepada anak. Tentunya itu akan menimbulkan luka yang terbawa sampai pernikahan kita, seperti yang Pak Paul katakan. Selain dari orang tua, sumber luka kita ini dari mana lagi, Pak Paul?
PG: Pada umumnya kebencian di hati yang kita bawa kedalam pernikahan berasal dari orang-orang penting dalam hidup kita, ini sumber kedua. Selain orang tua biasanya ada orang penting atau berpengaruh besar dalam hidup kita seperti anggota keluarga yang lain, guru, pembimbing, baik itu rohani atau dalam kapasitas lainnya. Karena penting dan berpengaruh, kita kagum dan menghormati mereka, apa daya mereka mengecewakan kita dan membuat kita marah. Acapkali luka ini kita bawa masuk kedalam pernikahan dan membuat kita peka dengan sikap atau perbuatan pasangan yang mirip dengan atau mengingatkan kita akan sikap atau perbuatan orang penting dalam hidup kita dulu. Sebagai akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara pasangan dan orang penting itu, kita menyamakan keduanya. Kita pun tidak dapat melihat secara jernih bahwa belum tentu pasangan berniat melukai hati kita seperti yang kita tuduhkan kepadanya. Biasanya kemarahan yang meledak begitu besar membuat pasangan terkejut sebab dia tidak menyangka bahwa sikap atau perbuatannya akan memancing reaksi sekeras itu dari kita. Itu adalah akibat dari kita menyamakan dia dengan orang penting atau orang berpengaruh dalam hidup kita dulu yang telah melukai kita.
ND: Dan ini biasanya sosok yang kita hormati, kita kagumi. Mungkin bayangan saya, seperti guru atau pembina rohani atau hamba Tuhan, begitu ya, Pak Paul?
PG: Betul sekali, saya masih ingat dulu waktu saya bekerja, di tempat kami kerja itu ada seseorang yang sama-sama orang Asia dari sebuah negara di Asia, kalau bicara mulutnya jorok luar biasa. Memang orang Amerika cukup sering menyumpah serapah, kalau dilihat dari film-filmnya, tapi sebetulnya dalam kenyataan orang Amerika tidak seperti itu, tidak terlalu sering sumpah serapah, hanya film-film Hollywood yang ingin meyakinkan dunia bahwa orang Amerika sebobrok itu, tidak ! Orang-orang Hollywood memang yang sebobrok itu. Masyarakat pada umumnya tidak begitu, tidak begitu sering sumpah serapah. Rekan saya ini, bukan orang Amerika, tapi mulutnya luar biasa, sumpah serapah, sinis luar biasa, tidak baik dengan orang luar biasa. Saya berbeban untuk mendekatinya, saya ajak dia bicara akhirnya saya ajak dia keluar makan dan dia mau. Kemudian akhirnya dia bilang dia sakit dan saya terka dia sakit apa, penyakitnya memang sangat terminal, saya tidak menyebut apa penyakitnya, akhirnya dia meninggal dunia. Seorang temannya yang cukup dekat dengan dia di tempat pekerjaan, akhirnya bercerita kepada saya, dia waktu masih kecil melayani di gereja dan dia dilecehkan secara seksual oleh imamnya, oleh romonya. Jadi dia memunyai kebencian luar biasa terhadap Tuhan dan gereja. Ini contoh orang penting, orang berpengaruh bisa meninggalkan luka sebegitu dalamnya. Sampai saat ini usianya kira-kira 50 tahun bisa memunyai kepahitan seperti itu, kebencian seperti itu, jadi kalau kita menikah, ini akan kita bawa kedalam pernikahan kita.
ND: Betul, Pak Paul, apalagi orang yang melakukan kejahatan terhadap kita adalah orang yang kita percayai. Dalam hidup kita, Pak Paul, ada juga kemungkinan kita mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang yang asing, orang yang tidak kita kenal juga.
PG: Betul, Pak Necholas, jadi ini adalah sumber ketiga, yaitu kita membawa kemarahan yang berasal dari perbuatan orang jahat di dalam hidup kita. Yang saya maksud dengan orang jahat disini adalah orang yang tidak memunyai relasi pribadi dengan kita, yang telah berbuat jahat terhadap kita, menjadikan kita korbannya. Biasanya perbuatan jahat yang menimpa kita membuat kita merasa tidak berdaya dan selalu waswas. Kita menjadi lebih tegang dan mudah marah. Menjadi korban kejahatan biasanya meninggalkan dua perasaan yang kuat yaitu rasa tidak aman dan tidak mudah percaya orang, karena kejahatan biasanya datang secara tiba-tiba dan tak terduga, pada akhirnya kita menjadi orang yang tegang dan waswas. Kita menjadi pribadi yang butuh kesamaan, keajegan dan ingin dapat mengetahui sesuatu tanpa harus menebak-nebak, itu sebab kita tidak suka perubahan apalagi perubahan mendadak. Tidak heran bila pasangan mengubah atau melakukan sesuatu yang mengagetkan, kita menjadi begitu marah dan kita pun menjadi sulit percaya orang karena pernah menjadi korban kejahatan, sulit percaya bahwa orang bermaksud baik dan sulit percaya bahwa orang tidak berniat buruk terhadap kita. Didalam pernikahan akhirnya kita cepat menuduh pasangan berniat buruk dan semena-mena terhadap kita. Seakan-akan pasangan adalah orang yang ingin menjadikan kita korbannya, padahal sebenarnya tidak demikian. Tidak heran sewaktu marah kita menjadi begitu marah terhadapnya, seakan-akan dia adalah orang yang jahat. Jadi kita yang pernah menjadi korban kejahatan kalau tidak hati-hati kita akan membawa kemarahan dan kebencian ini ke dalam pernikahan dan akhirnya melampiaskannya kepada pasangan kita.
ND: Jadi boleh dikatakan bahwa kemarahan yang kita simpan, yang tidak kita bereskan dari kecil, yang kita bawa dari orang tua atau dari orang yang kita kagumi, yang kita hormati atau baik dari orang asing yang melakukan hal yang jahat terhadap kita, itu akhirnya terus kita bawa sampai pernikahan dan memengaruhi hubungan kita dengan pasangan, baik kita sadari atau tidak.
PG: Betul sekali, Pak Necholas, jadi kita mesti berhati-hati dengan apa-apa yang telah kita terima dari orang-orang, namun yang terakhir yang saya juga mesti angkat adalah selain dari orang luar, dari perbuatan orang terhadap kita, kita juga kadang membawa kemarahan ke dalam pernikahan kita, kemarahan yang berasal dari problem jiwa kita sendiri, Pak Necholas. Andaikan kita semua sehat, maka berbahagialah hidup kita dan relasi nikah kita. Masalahnya adalah tidak semua masuk kedalam pernikahan membawa jiwa yang sehat, sebagian justru menderita sakit. Bila kita menderita gangguan kecemasan, maka kita mudah cemas dan seringkali sepaket dengan kecemasan adalah emosi yang labil serta tidak terkendali. Alhasil sewaktu marah, tidak hanya kita mengungkapkan kemarahan tapi juga memuaskan emosi yang labil itu. Kita baru berhenti sewaktu melihat pasangan tersakiti. Bila kita menderita gangguan kepribadian "border-line", kita menjadi diri yang mudah tersinggung dan bila tersinggung kita marah sekali dan akan menyakiti pasangan. Jadi kalau kita sendiri juga membawa masalah dalam jiwa kita, tidak bisa tidak, ini nanti akan tertumpah dalam relasi kita dengan pasangan, maka akhirnya pasangan terkejut. Saya hanya bicara begini saja, "Okelah saya menyinggung perasaan kamu, tapi kamu bisa membalas saya seperti itu?" Mengapa kebencian kamu bisa begitu besar terhadap saya? Karena ini mungkin sekali terakhir ini karena kita sendiri membawa jiwa yang tidak sehat ini, Pak Necholas.
ND: Jadi ternyata sumber kemarahan yang kita rasakan didalam pernikahan, baik kita yang membawa kemarahan maupun pasangan itu, ternyata juga berasal dari banyak sekali sumber, dari orang tua, dari orang lain, dari orang asing, bahkan bawaan kepribadian kita. Begitu banyaknya sumber kemarahan yang bisa muncul didalam diri kita, Pak Paul?
PG: Ini akan membuat pasangan kita luar biasa frustrasinya dan putus asa pada akhirnya karena mereka akan mencoba segala cara untuk berbicara kepada kita, meyakinkan kita, mengubah kita, tapi biasanya tidak membuahkan hasil sebab kita ini yang masuk ke dalam pernikahan sudah membawa kemarahan-kemarahan ini, sulit sekali untuk bisa mendengar masukan. Kita cepat sekali tersinggung, cepat sekali defensif dan malah agresif nanti menyerang pasangan. Tapi ada yang masih bisa kita lakukan, Pak Necholas. Kunci untuk menemukan akar kemarahan dan membereskannya adalah mengakui bahwa kita bermasalah dengan kemarahan. Ini sukar sebab kita yang bermasalah dengan kemarahan tidak mau mengakuinya, kita malah melemparkan kesalahan kepada pasangan yang membuat kita marah, kita lupa bahwa benar semua bisa marah, dan semua punya alasan untuk marah tapi tidak semua orang akan marah seperti itu. Jadi bila kita menikah dengan pasangan seperti ini, kita mesti berdoa agar Tuhan membukakan matanya untuk melihat dirinya secara jelas dan tepat. Kita sendiri tidak bisa membukakan matanya, makin kita berusaha membukakan matanya, makin ia akan lebih marah kepada kita dan menyalahkan kita. Hanya Tuhan yang bisa membukakan mata mereka, juga kita mesti hidup dekat dengan Tuhan sebab kita memerlukan kekuatan Tuhan untuk dapat hidup bersamanya. Kita perlu berhikmat sehingga tidak melakukan perbuatan yang memancing kemarahannya tetapi di pihak lain, kita mesti hidup biasa. Mustahil kita dapat hidup sempurna, artinya selalu menyenangkannya. Tanggungjawab untuk berubah ada di tangannya, bukan di tangan kita. Tugas kita bukanlah menyenangkannya dan membuatnya tidak dapat menemukan alasan untuk marah, bukan. Jadi ini tanggungjawab dia, dia mesti mengingat firman Tuhan di Efesus 4:26, "Apabila kamu marah, janganlah kamu berbuat dosa". Jadi kita mesti kembalikan tanggungjawab ini kepada dia, supaya akhirnya dia yang akan harus bergumul dengan kemarahan itu, bukannya kita yang harus pontang panting, hidup menyenangkan hati dia, berhati-hati jangan sampai menginjak kaki dia supaya dia tidak akan harus marah kepada kita.
ND: Jadi yang saya tangkap dari Pak Paul, kunci untuk menemukan akar kemarahan itu adalah mengakui terlebih dahulu bahwa kita memang bermasalah dengan kemarahan ini.
PG: Ini langkah pertama yang sangat-sangat penting tapi juga saya sadari sangat-sangat sulit untuk dilakukan, karena tadi yang saya sudah singgung, seringkali orang-orang ini akan berkata, "Sebab kamu membuat saya marah". Saya marah bukan tanpa alasan, tapi kita mesti memang menyadarkannya, "Betul kamu marah karena ada alasan dan karena saya tadi berkata atau berbuat begini, tapi apakah kamu harus marah seperti itu?" Ini yang kita mau sadarkan, mau kita komunikasikan supaya dia bisa perlahan-lahan melihatnya.
ND: Betul, Pak Paul, dan dengan komunikasi yang baik, saya rasa kita juga bisa menemukan apakah kemarahan itu bersumber dari hal-hal yang tadi Pak Paul katakan yang sudah terpendam lama ataukah kemarahan itu hanyalah sesaat karena manusia bisa mengalami masa-masa yang berlainan didalam hidupnya, mungkin ada periode dia sedang stres dalam sesuatu, dalam pekerjaankah, ataukah dari pengalaman saya mungkin dia kurang tidur atau bermasalah dengan kesehatan dan itu bisa memicu juga kemarahan.
PG: Betul, jadi kita mau membuka kenyataan hidup ini, kita tidak sempurna, tidak selalu kita bisa mengendalikan emosi kita dengan baik karena pelbagai situasi atau penyebab, itu semuanya betul. Jadi yang kita mau soroti adalah bukannya tidak boleh marah, bukan. Yang kita mau soroti adalah tidak harus semarah itu, tadi saya gunakan prinsip firman Tuhan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa". Jadi artinya takarannya mesti tepat. Kalau sampai berlebihan takarannya, berarti kita memang masuk kedalam ranah dosa karena kita bukan saja marah biasa, tapi marah dengan begitu jahatnya atau dengan begitu kerasnya sehingga tidak puas hanya mengatakan saya marah, tapi harus seolah-olah melumatkan pasangan kita baru kita berhenti dan puas.
ND: Dari ayat Efesus 4:26 ini kelihatannya dibuka kemungkinan untuk kita marah asalkan takarannya cukup dan tidak sampai melukai orang lain.
PG: Betul, mungkin kita akan melukai tetap karena marah kita orang jadi terluka, bisa tapi kita tidak dengan sengaja melumat-lumat orang, menginjak-injak atau menusuk-nusuk orang, kita hanya meluapkan kemarahan kita, itu saja.
ND: Namun biasanya kalau kita sudah marah, saya rasa kebanyakan orang akan menjadi meluap-luap kalau tidak segera dihentikan.
PG: Nah, ternyata ini ya, Pak Necholas, yang akan meluap-luap dan tidak puas dengan cepat adalah orang yang tadi kita sudah singgung itu, yang membawa bahan kemarahan kedalam pernikahan ini. Jadi seharusnya kita adalah dalam dunia yang ideal, kita tidak membawa kemarahan-kemarahan dari masa lalu kita itu, kita sebetulnya menjadi orang yang tidak suka marah, seharusnya. Kalau marah pun kita mau cepat selesai, marah seharusnya dalam dunia yang ideal adalah langkah terakhir, bukan langkah pertama. Tidak ada jalan lain lagi, terakhir, tidak bisa lagi diajak bicara atau apa, kita baru marah. Tapi untuk orang-orang tertentu, marah itu adalah langkah pertama dan ini yang celakanya, satu-satunya langkah. Dia tidak tahu cara lain, dia hanya tahu cara yang ini, marah, itu saja. Ini karena memang dia sudah membawa tumpukan kemarahan itu didalam hidupnya.
ND: Tentunya kita bisa mewaspadai diri kita, juga pasangan kita, apakah kemarahan itu menjadi satu-satunya cara atau cara paling cepat yang kita ambil ketika kita ingin mengomunikasikan sesuatu kepada pasangan maupun anak.
PG: Betul, betul. Jadi benar-benar seharusnya kita dalam dunia yang ideal ini menjadi orang yang tidak suka marah sebetulnya, karena marah itu tidak enak, tapi sebagian orang suka marah karena memang tidak ada jalan lain dan ini langkah pertamanya selalu untuk menyelesaikan masalah.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul, atas paparannya yang mengingatkan kita bagaimana kita bersikap didalam pernikahan dan jika kemarahan itu terus menjadi bagian dari komunikasi kita, hubungan kita dengan pasangan, kita harus segera membereskannya dan kita melihat apa akar dari masalah kemarahan kita ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kemarahan Didalam Pernikahan". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.