Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Wibawa Orang Tua". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada banyak keluhan dari orang tua khususnya pada akhir-akhir ini mereka merasa anak-anak mereka itu sudah tidak menghormati mereka lagi. Tidak sopan dan sebagainya karena terlalu berani dalam berkata, bersikap, dibandingkan dengan keadaan orang tua pada waktu mereka itu masih anak-anak. Lalu mereka mengatakan apa kami ini memang sudah tidak berwibawa lagi dihadapan mata mereka itu, nah sebenarnya apa Pak Paul wibawa itu?
PG : Saya ingin menanggapi yang tadi Pak Gunawan singgung memang saya kira ada pengaruh dari luar Pak Gunawan, pengaruh dalam pengertian kita sekarang hidup di alam demokratis. Nah, alam demokrtis tidak bisa tidak akan mempengaruhi cara kita hidup atau cara kita melihat hidup.
Salah satu hal yang menjadi unsur penting dalam konsep demokrasi adalah bahwa kita ini sama rata, kita ini mempunyai hak yang sama, kita ini mempunyai kewajiban yang sama, jadi keistimewaan itu tidak diberikan secara otomatis karena faktor kelahiran, atau faktor hal-hal yang bersifat jabatan. Sesuatu itu menjadi istimewa kalau memang ada keistimewaan dalam sumbangsihnya, dalam perbuatannya, nah alam pikir anak-anak sekarang tidak bisa tidak dipengaruhi oleh alam demokrasi atau budaya demokrasi yang makin hari memang makin meluas di dalam hidup kita ini. Oleh sebab itulah anak-anak sekarang memang tidaklah setakut pada orang tua seperti anak-anak dulu, ini juga adalah keluhan yang sering kali saya dengar, sebab memang kita sadari pada waktu dulu anak-anak takut sekali untuk misalnya membangkang orang tua, melawan atau kurang ajar dan sebagainya. Nah, saya kira ada pengaruh faktor budaya juga Pak Gunawan.
GS : Tapi apakah itu membuat orang tua harus mengorbankan wibawanya terhadap anak-anak Pak Paul?
PG : Nah, oleh karena adanya alam dari luar, alam demokrasi yang memang melanda masuk ke dalam rumah tangga kita oleh karena itulah orang tua sekarang mempunyai tuntutan tugas yang lebih berat,untuk membuktikan dirinya sebagai orang-orang yang layak untuk dihormati oleh anak-anak mereka.
Kalau dulu pokoknya begitu menjadi seorang tua, begitu mempunyai anak sudah mendapatkan suatu wibawa tertentu, namun sekarang, orang tua seolah-olah harus membuktikan dirinya layak mendapatkan wibawa itu, barulah anak-anak akhirnya lebih bisa hormat kepada mereka.
(2) GS : Nah, kalau memang begitu Pak Paul tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan oleh orang tua, tentu sedini mungkin sejak anak itu masih kecil. Supaya dia mempunyai wibawa yang tepat Pak Paul, jadi bukan ditakuti oleh anak-anak mereka tetapi memang anak-anak ini hormat kepada kedua orang tuanya ini.
PG : Pertama-tama Pak Gunawan, saya akan paparkan yang bukan wibawa tapi sering kali dianggap wibawa. Pertama adalah saya kira faktor uang Pak Gunawan, sering kali orang tua beranggapan kalau sya mampu mencukupi kebutuhan fisik, finansial anak-anak atau istri atau suami saya, maka otomatis saya layak untuk dihormati oleh anak-anak.
Nah point pertama adalah sebetulnya keuangan bukanlah ukuran, yang paling penting bukanlah soal berapa besarnya, tapi dalam soal uang berapa bertanggungjawabnya. Jadi adakalanya konsep kita ini keliru dalam hal wibawa. Adakalanya orang tua beranggapan selama saya masih bisa menyediakan uang kepada anak-anak, anak-anak seharusnyalah hormat kepada saya. Jadi bukan soal berapa besar jumlahnya namun berapa bertanggungjawabnya si orang tua, berapa rajinnya dia, itu yang akan membuahkan wibawa pada dirinya, itu yang pertama.
IR : Kemudian sikap yang lain, Pak Paul?
PG : Nah yang kedua ini Bu Ida, adakalanya orang tua beranggapan dengan semakin keras perlakuannya kepada anak, semakin berwibawalah dia. Tadi sebenarnya Pak Gunawan sudah singgung anak-anak taut pada orang tua atau istilahnya ketakutan kepada orang tua.
Anak-anak menjadi ketakutan kepada orang tua karena perlakuan orang tua yang sangat keras sekali, nah ini juga anggapan yang keliru Bu Ida, sebab membuat anak-anak ketakutan sebetulnya tidaklah melahirkan wibawa. Justru sebetulnya reaksi yang tersembunyi pada diri anak sewaktu anak menjadi ketakutan terhadap orang tua ialah rasa tidak suka, rasa tidak hormat, bahkan rasa benci kepada orang tua. Nah ini adalah faktor kedua yang acapkali kita kaitkan dengan wibawa, maka orang tua merasa anak-anak tidak menghormatinya; biasanya ya langkah pertama adalah memarahi, berteriak-teriak, memukul anak tambah hari tambah keras, nah dengan harapan wibawa itu akan dibangkitkan kembali, terbalik justru tidak ada wibawa.
GS : Tapi yang selalu menjadi alasan adalah mau menegakkan disiplin, orang tua itu mau menegakkan disiplin terhadap anak, Pak Paul?
PG : Memang secara lahiriah yang diharapkan akan tercapai, karena ketakutan anak-anak akan taat melakukan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Tapi saya kira ini akan berpengaruh pada usia tertetu atau sampai usia tertentu misalkan sewaktu anak-anak ini remaja dan sudah mampu melawan, dia melawan atau karena tidak mampu melawan di depan orang tua dia akan mengulang perbuatannya di belakang orang tua.
IR : Kadang-kadang sikap disiplin ini ditunjukkan dengan sikap yang keras Pak Paul, pada usia-usia tertentu untuk membiasakan supaya anak ini disiplin, tapi apakah itu bisa terpengaruh atau terbawa terus sampai usia dewasa?
PG : Disiplin itu sendiri memang mutlak diperlukan, jadi orang tua mesti mendisiplin anak tapi berapa kerasnya dia mendisiplin dan berapa adilnya dia mendisiplin, itu 2 hal yang sangat penting ang harus dilihat oleh anak.
Dan kita tidak boleh sedikitpun melupakan bahwa disiplin hanya efektif kalau sebelum disiplin diberikan, anak merasa dicintai dan setelah disiplin diberikan anak juga merasa dicintai. Jadi disiplin itu tidak berdiri sendiri, disiplin harus didampingi oleh kedua belah pihak oleh cinta kasih sebab waktu anak-anak dikasihi dan dia tahu dikasihi kemudian didisiplin, disiplin itu efektif. Tapi setelah anak didisiplin anak-anak ini akan merasa terbuang, tersingkirkan, tidak diinginkan, karena dimarahi dengan begitu keras oleh orang tua, perlu cinta kasih diungkapkan lagi kepada si anak, perlu diberikan lagi suatu kesan bahwa aku mencintaimu, apa yang aku perbuat tadi tidak mengubah cintaku kepadamu. Jadi pasca disiplin atau setelah disiplin, cinta kasih juga harus diberikan, dengan cara inilah wibawa orang tua akan bisa ditegakkan. Jadi sekali lagi yang kedua ini yang sering kali disalahfahami oleh orang tua adalah soal disiplin yang keras barulah wibawa saya ini akan ada, kalau tidak ada ini tidak bisa. Jadi 2 hal ini memang sering kali menjadi anggapan yang keliru.
GS : Ada pendapat Pak Paul, kalau kita ini bergurau berlebihan kita itu bisa kehilangan wibawa, bagaimana pendapat Pak Paul?
IR : Kadang-kadang bisa dikatakan orang bisa kurang ajar Pak Paul.
GS : Jadi dia bersikap diam, kalau ngomong seperlunya, dengan tujuan supaya lebih berwibawa katanya.
PG : Adakalanya memang bercanda yang terlalu bebas bisa mengurangi wibawa orang tua itu betul, jadi saya kira dalam bercanda dengan anak mesti ada batasnya. Contoh misalkan si orang tua (maaf mnggunakan istilah ini) suka kentut di muka si anak, lama-lama si anak sengaja kentut di muka si orang tua, bapaknya atau mamanya, nah saya kira bercanda seperti ini tidak cocok untuk bercanda dikalangan orang tua-anak.
Jadi memang ada bercanda-canda yang jangan lagi digunakan tapi bercanda dalam hal humor yang masih segar dan memang tidak menyinggung seseorang, harga diri seseorang silakan. Nah, adakalanya yang sering kali orang tua perbuat dan keliru adalah misalnya menggoda anak, tapi menggodanya benar-benar keterlaluan, begitu keterlaluannya sehingga anak marah dan marahnya itu tidak menghormati lagi orang tua. Jadi memang dalam bercanda kita mesti menjaga diri juga, jangan sampai keterlaluan.
GS : Adat orang Timur biasanya akan marah kalau misalnya kepala kita dipegang-pegang oleh anak, Pak Paul; tapi sekarang ini biasanya sering kali terjadi seperti itu, apakah itu harus dihindari atau bagaimana, Pak Paul?
PG : Ya saya kira kalau memang sekali-sekali anak memegang kepala kita, tidak apa-apa, tapi misalnya anak memegang-megang terus kemudian mendorong-dorong kepala si ayah, si ibu, saya kira itu sdah tidak sopan lagi.
(3) GS : Jadi bagaimana Pak Paul di dalam membangun wibawa itu apa atau langkah-langkah apa yang orang tua harus lakukan?
PG : Saya akan bacakan dari kitab Kolose 3:18 "Hai istri-istri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan." Nah, yang ingin saya tekankan yang pertamaadalah bahwa wibawa orang tua muncul kalau orang tua hidup sesuai dengan peranan dan tugasnya sebagai orang tua.
Waktu orang tua mempunyai hubungan yang kuat, yang baik dan yang harmonis, anak-anak tidak bisa tidak akan memandang orang tua dengan penuh hormat, jadi wibawa yang pertama muncul dari kualitas hubungan suami istri, ini tidak bisa ditawar-tawar. Yang pertama adalah istri memang atau mama diharapkan untuk menjadi mama yang tidak kurang ajar, menjadi mama yang bisa menghormati suaminya. Waktu anak-anak melihat mama adalah mama yang tidak kurang ajar, menghormati dan taat kepada suami, pada papa mereka, otomatis ini akan melahirkan respek terhadap mama. Waktu anak-anak melihat mama adalah mama yang berani memaki papa, menunjuk-nunjuk hidung papa, menjelek-jelekkan papa, meskipun papa punya kelemahan, kecenderungannya adalah anak-anak bukannya turut menghina papa saja tapi akan turut menghina mama pula. Saya gunakan kata saja karena memang kalau papanya itu mempunyai banyak masalah, kelemahanlah misalnya main judi dan sebagainya tapi misalnya mamanya terlalu menghina di depan anak-anak memang anak-anak akan menghina si papa karena melihat papanya tidak bertanggung jawab, hidupnya tidak benar. Tapi yang aneh adalah reaksi berikutnya anak-anak acapkali tidak menghormati mama, jadi tetap sejelek apapun, suami istri jangan sampai terlalu menjelek-jelekkan si suami di depan anak-anak, sebab sering kali anak-anak bukan saja menghina papanya tapi juga tidak hormat terhadap mamanya.
GS : Langkah yang lain Pak Paul, setelah istri itu menghormati suaminya?
PG : Kalau tadi Tuhan memberi satu perintah kepada istri, di ayat berikutnya Tuhan memberikan 2 perintah kepada suaminya. Saya bacakan dari pasal 3, Kolose 3:19 "Hai suami-sumi kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia."
Jadi memang ada 2 unsur Pak Gunawan, yang pertama adalah perintah yakni kasihilah istrimu dan yang kedua adalah larangan jadi larangan jangan berlaku kasar terhadap istri. Nah sekali lagi anak-anak akan menghormati ayah dan ayah menjadi ayah yang berwibawa waktu anak-anak melihat ayah mengasihi mama, ini adalah hal yang penting sekali untuk dilihat si anak dan waktu ayah dilihat mengasihi mama, anak-anak cenderung akan menghormati papa. Dan yang kedua, yang Tuhan juga tegaskan adalah yang berupa larangan jangan memperlakukan istrimu dengan kasar. Kita tahu kecenderungan pria adalah untuk agresif bisa berlaku kasar secara kata-kata, ucapan dan juga secara tindakan yaitu secara fisik misalnya memukul istri dan sebagainya. Nah, otomatis kalau anak melihat papa memukuli mama, anak-anak akan takut untuk waktu tertentu, setelah itu anak-anak akan berani membangkang, berani melawan, dan yang terutama adalah tidak akan hormat kepada papanya. Jadi sekali lagi kualitas hubungan suami istri adalah faktor pertama yang menentukan apakah mereka orang tua yang berwibawa atau tidak.
GS : Ya mungkin memang perlu ada 2 hal yang disampaikan kepada para suami atau ayah karena perannya sebagai kepala keluarga itu Pak Paul?
PG : Betul, dan perintah Tuhan mengasihi istri sebetulnya dalam wujud nyata atau konkretnya ialah mendahulukan istri di atas yang lain-lainnya. Jadi sewaktu ayah itu mengutamakan kerja di atas stri, nah dia tidak memberi cinta kepada istri, waktu si ayah mendahulukan kakek dan neneknya atau bibi dan pamannya di atas istri, anak-anak melihat ayah tidak begitu mengasihi istri.
Bahkan waktu ayah terlalu mengasihi anak-anak di atas istri, anak-anak pun melihat ayah tidak mengasihi mama, nah ini adalah wujud-wujud konkret dari cinta sebab cinta pada dasarnya adalah mengutamakan di atas yang lain-lainnya. Jadi sebagai ayah, kita diingatkan untuk mengutamakan istri kita, dan waktu anak-anak melihat bahwa ayah mengutamakan istri, wibawa ayah akan muncul. Dan waktu ayah memperlakukan istri dengan penuh hormat, penuh kasih sayang, tidak menghina, tidak memaki-maki, anak-anak itu juga akan lebih menghormati ayah.
GS : Ada satu ayat yang mengingatkan saya yang mengatakan "Hai bapa-bapa jangan sakiti hati anakmu."
PG : Betul, nah ini adalah ayat yang selanjutnya ayat 21 "Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi terhadap istri, Tuhan memberikan dua perintah emudian untuk anak, ada lagi yang Tuhan berikan kepada ayah.
Jadi benar-benar wanita hanya dapat satu perintah, ayah malah tiga, memang pria itu perlu banyak dilarang.
GS : Yang dimaksud di sana menyakiti hati itu bagaimana Pak?
PG : Begini, sebetulnya menyakiti hati mempunyai arti jangan membuat hati anak itu menjadi pahit.
IR : Tersinggung itu Pak Paul ya?
PG : Betul, pahit itu mencakup unsur tersinggung, mencakup unsur benci, mencakup tidak ada lagi gairah untuk dekat dengannya, mencakup unsur tidak mempedulikan orang ini, masa bodoh dengan oran ini, nah jangan sampai anak mempunyai perasaan tersebut kepada kita sebagai ayah.
Nah, janganlah membuat tawar hatinya, sama kata-katanya jadi jangan membuat hati anak kita itu pahit. Pahit berarti begini sebetulnya kita memasukkan yang pahit ke dalam hatinya itu kira-kira intinya. Apa yang kita masukkan ke dalam hati anak kita, ini yang perlu kita lihat kepahitan atau yang manis, yang baik atau justru yang pahit, yang negatif. Nah adakalanya orang tua atau termasuk dalam hal ini ayah bisa membuat hati anak pahit biasanya melalui tadi yang sudah kita bahas, disiplin yang berlebihan. Dan yang kedua adalah ayah kalau marah cenderung melihat anak itu sebagai "sparring partnernya" kecenderungan pria memang berkelahi sejak kecil, makanya yang sering berkelahi secara fisik adalah anak pria. Waktu orang tua atau waktu ayah sudah mulai agak tua anak-anak sudah mulai besar, ayah itu mulai melihat anak sepertinya melawan, menantang, dia merasa ditantang. Nah, ibu tidak melihat anak itu menantang, mengajak duel, tidak, tapi ayah cenderung menyoroti kelakuan anak yang nakal sebagai tantangan untuk seolah-olah diajak berduel. Jadi akhirnya si ayah bukan mendidik, tapi justru mengeluarkan kata-kata yang memancing amarah si anak, seolah-olah ayah itu ingin mengajak anaknya berduel, kalau engkau berani silakan lawan saya, soalnya menunggu kesempatan kapan anak ini bisa dihajar lebih keras lagi. Seperti dalam perkelahian, nah inilah yang akan menjadikan anak pahit yaitu penghinaan-penghinaan untuk membuat anak itu mengaum dan melawan si ayah, nah itulah kesempatan yang ditunggu oleh si ayah. Si anak seolah-olah menanggapi tantangannya untuk supaya bisa dihajar lebih keras lagi, nah hinaan-hinaan inilah yang memahitkan hati anak.
IR : Tadi Pak Paul katakan bahwa seorang suami yang keras terhadap istrinya membuat orang tua ini tidak juga berwibawa. Tapi juga ada kasus yang lain yaitu sering kali menghakimi, memarahi istrinya di hadapan anak-anak, tapi anak-anak itu akhirnya menganggap mamanya itu tidak berwibawa lagi, bahkan anaknya ini berani menghakimi ibunya, kalau ibunya salah. Nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Itu juga akan terjadi, itu betul sekali Bu Ida, jadi kalau ayah menghina ibu terlalu sering, meremehkan ibu terlalu sering, anak-anak juga akan menghina ibu. Misalkan ayah selalu berkata kpada ibu, goblok kamu, goblok kamu, jangan kaget kalau anak-anak itu sudah dewasa atau sudah besar tiba-tiba akan berkata hal yang sama kepada ibunya.
Goblok kamu mama, kenapa.... sebab, perkataan goblok itu sudah terlalu terekam dalam pikiran si anak, sehingga yang terekam mudah muncul di mulut kita secara natural.
IR : Yang heran si anak ini sebetulnya justru menyalahkan si ayah, si ayah itu sebenarnya tidak berwibawa, tapi yang menjadi korban itu ibunya Pak Paul?
PG : Sebetulnya dua-duanya, dia benci kepada si ayah tapi juga pada akhirnya tidak hormat pada si mama, meskipun dengan mama terjadilah konflik perasaan. Di satu pihak tidak hormat, di pihak yag lain sangat kasihan dengan mama karena mama itu korban perlakuan ayahnya.
Nah, kenapa si anak itu kok bisa turut tidak menghormati mamanya, karena memang si mama punya kelemahan juga yang seharusnya tidak diperlakukan kasar oleh si ayah. Misalkan mamanya agak lamban, nah dalam kelambanan itulah si ayah memaki-makinya luar biasa. Nah, anak memang akan tetap melihat mamanya lamban dan tanpa disadari dia akan juga bereaksi seperti papanya bereaksi. Atau misalnya mamanya suka tanya papanya, ke mana kamu, pulang jam berapa kamu, nah waktu si anak mendengar mama bertanya hal yang sama kepadanya, reaksinya sama terhadap mamanya, mama terlalu cerewet, mengurus saya dan dia memaki mamanya juga.
GS : Pak Paul, dalam kasusnya Daud di mana Absalom itu memberontak kepada dia, itu sebenarnya apa kesalahan Daud, Pak Paul?
PG : Bagus sekali pertanyaan itu Pak Gunawan, sebab itu adalah contoh wibawa yang hilang atas perbuatan Daud sendiri. Yaitu apa Daud memang memberikan contoh hidup yang tidak berintegritas dan ni adalah hal ketiga yang harus ditegakkan di rumah.
Yaitu orang tua harus memiliki kehidupan yang benar bukan saja kualitas hubungan suami istri harus baik, bukan saja perlakuan terhadap anak tidak memahitkan perasaan anak, tapi yang ketiga adalah kehidupan orang tua harus berintegritas. Kalau orang tua baik kepada anak, baik kepada suami istri tapi tukang tipu uang orang, menggencet, membohongi orang dan sebagainya, anak-anak tidak akan menghormati. Daud melakukan kesalahan yang sangat fatal waktu menikahi Batsyeba atau meniduri Batsyeba secara ilegal kemudian membunuh Uria; nah itu sudah diketahui oleh khalayak ramai dan bahkan yang pasti oleh anak-anaknya sendiri. Dan Absalom adalah anak yang salah satu atau mungkin yang tertua dari anaknya Daud itu, jadi dia melihat perbuatan papanya yang seperti itu maka tidak ada lagi rasa hormat.
IR : Jadi yang terutama adalah orang tua harus hidup takut akan Tuhan ya Pak Paul?
PG : Betul sekali, takut akan Tuhan, dia lebih takut untuk tidak memperlakukan istri atau suami dengan baik dan anak-anak yang lebih baik dan hidupnya pun akan lebih benar. Jadi tiga hal itu saa kira adalah hal-hak yang membangun wibawa orang tua.
GS : Tadinya saya pikir begini Pak Paul, orang lain saja yang bukan anaknya Daud hormat kepada Daud, karena Daud seorang raja, tapi kenapa anaknya justru tidak menghormati dia?
PG : Betul, itu yang terjadi juga dengan anak-anak Imam Eli dia dihormati oleh rakyat Israel tapi....
GS : Anaknya tidak menghormati dia.
PG : Tidak menghormati dia, dan yang menarik anak-anak Samuel pun tidak menghormati Samuel, sehingga hidup mereka tidak benar. Pada awalnya Samuel melihat contoh Eli, dia tinggal di rumah Eli tpi dia mengulang kesalahan yang sama, kita manusia memang penuh dengan kelemahan Pak Gunawan.
IR : Tapi juga pengaruh lingkungan Pak Paul, sering kali membuat anak-anak itu kadang berontak terhadap orang tua, kadang melawan orang tua, apakah itu juga karena pengaruh orang tua itu?
PG : Ada, pasti ada tapi meskipun kalau terjadi seperti itu ada pengaruh dari luar, namun kalau ketiga faktor wibawa itu ada di rumah, anak tidak bisa bergerak terlalu jauh juga, tidak bisa bererak terlalu jauh.
Sering kali anak itu hanya bisa menjajah orang tua kalau memang sistem rumah tangganya sudah runtuh.
GS : Jadi memang pada akhirnya kita bisa menyadari bahwa kewibawaan itu datang dari pihak Tuhan yang harus kita kelola dengan baik supaya untuk membina hubungan baik suami istri maupun terhadap anak, tetap dibutuhkan wibawa.
PG : Betul, dan ini yang harus kita camkan Pak Gunawan, wibawa tidak datang dengan sendirinya, wibawa itu bergantung pada perbuatan kita sebagai ayah dan ibu.
GS : Mungkin kali ini kita akhiri pembicaraan kita dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang "Wibawa Orang Tua", bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 46 A
- Apakah sebenarnya wibawa itu…?
- Apa yang harus dilakukan orang tua supaya memiliki wibawa yang tepat bagi anak-anaknya..?
- Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk membangun wibawa sesuai dengan firman Tuhan…?