Kata kunci: Ketahanan, dapat beradaptasi, dapat menikmati hidup
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan" bagian yang keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, sejauh ini kita sudah membahas tujuh faktor yang jadi penguat dalam pernikahan, bagaimana dengan faktor yang berikutnya ?
PG: Faktor yang kedelapan adalah ketahanan. Hidup kita tahu bukanlah jalan yang rata, kadang kita harus menanjak, kadang menurun. Kadang jalan berlubang dan berbatu, kadang jalan lurus dan mulus. Itu sebab kita harus memunyai ketahanan. Idealnya, baik suami maupun istri memunyai ketahanan, namun ada kalanya itu tidak terjadi. Yang kadang kita jumpai adalah satu memunyai ketahanan dan yang satunya tidak. Sudah tentu yang tidak memunyai ketahanan akan bergantung pada yang memunyai ketahanan dan ini berarti yang memunyai ketahanan akan harus menanggung beban tambahan. Bila dia tidak tahan, pertahanan pernikahan pun runtuh, sebaliknya jika keduanya memunyai ketahanan mereka akan sanggup menghadapi tekanan yang datang dan pernikahan pun berdiri kuat.
ND: Faktor yang ini ada hubungannya, Pak Paul, dengan faktor yang pertama, yaitu komitmen? Ketahanan dan komitmen.
PG: Ada ya, jadi kecenderungannya adalah makin kuat ketahanan kita, makin kuat komitmen kita. Makin lemah ketahanan kita, makin lemah komitmen kita. Jadi memang sangat dipengaruhi sekali komitmen itu dengan ketahanan. Maka penting sekali, tapi ketahanan bukan hanya bermanfaat atau bersumbangsih didalam menjaga komitmen, namun juga didalam menghadapi terpaan badai dalam hidup. Kalau kita memang dua-dua memunyai ketahanan, kita cenderung akan lebih sanggup melewati tantangan hidup ini, tapi jika kita tidak memunyai ketahanan, kita lebih mudah ambruk. Kita panik, kita gugup tidak tahu mesti berbuat apa, kita belum apa-apa sudah tengok kiri, tengok kanan, siapa yang bisa kita mintai tolong akhirnya masalah bertambah rumit, karena kita melibatkan lebih banyak orang yang tidak begitu perlu dan nanti masalah bukan berkurang malah bertambah. Itu sering terjadi dalam pernikahan. Kalau keduanya memunyai ketahanan, pernikahan akan jauh lebih kuat, tapi jikalau keduanya tidak punya lemah sekali, kalaupun hanya satu yang punya, yang satu tidak punya biasanya akan pincang, kecuali perlahan-lahan yang tidak punya ketahanan belajar menghadapinya dengan tabah, belajar menahan sakit, belajar menghadapi ketidakpastian, tidak harus selalu menuntut kepastian, juga belajar menghadapi kegagalan, kesalahan dan tidak menyalahkan kanan kiri dan belajar untuk tidak lari atau bersembunyi dibalik orang lain yang seharusnya kita anggap bisa menyelesaikan semua masalah kita. Kalau kita bisa belajar, kita akan bertumbuh makin hari kita makin kuat dan bisa menahan tantangan hidup.
ND: Ketahanan ini atau saya pernah dengar istilah resiliensi, itu lebih berhubungan dengan kondisi mental seseorang, Pak Paul? Maksudnya bagaimana ia menghadapi hidup ini, bagaimana menghadapi kekurangan yang terjadi atau kemunduran dalam kehidupan pernikahan dia.
PG: Betul sekali, jadi latar belakang kehidupan kita berpengaruh besar didalam pembangunan atau pembentukan ketahanan. Nah, kadang kita beranggapan kalau orang itu terbiasa hidup susah, maka dia akan lebih bisa menahan tantangan hidup, betul dalam pengertian susah secara ekonomi, tapi kalau kita berkata susah karena dibesarkan dalam keluarga bermasalah, justru sebetulnya tidak ya. Justru orang yang dibesarkan dalam keluarga bermasalah, kebanyakan tidak memunyai ketahanan, kalaupun seolah-olah punya, itu penampakan, tidak tebal, tipis. Dari luar tidak terlihat kalau dari dalam baru terlihat. Oh, ternyata rapuh sekali, justru orang yang dibesarkan dalam rumah atau keluarga yang hangat, penuh kasih sayang, tidak terlalu banyak konflik dan membangun. Itu justru menjadi bekal yang luar biasa besarnya untuk si anak, bisa memunyai daya tahan, meskipun anak ini pada masa pertumbuhannya tidak mengalami terlalu banyak masalah atau tantangan karena hidupnya relatif mulus, tapi tidak berarti karena dia tidak dihadapkan dengan tantangan-tantangan, maka ia akan menjadi pribadi yang lemah. Tidak, sebab bekal yang diterimanya dari orangtua ternyata ada pada dirinya dan tinggal tunggu waktu, misalnya waktu dibutuhkan, maka bekal itu akan keluar dan menyatakan ketahanan yang kuat itu.
ND: Jadi dasarnya adalah anak itu mesti tumbuh dalam lingkungan yang sudah baik, meskipun dia belum menghadapi tantangan, dia sudah punya bekalnya, begitu, Pak Paul?
PG: Betul sekali, betul sekali. Jadi tidak mesti anak harus kita tempatkan di situasi yang sulit-sulit untuk bisa menempa ketahanannya. Tidak perlu, biarkan saja, anak itu bertumbuh secara alamiah, terpenting adalah kita memberikan bekal yang cukup di rumah, dengan kasih sayang, dengan bimbingan, dengan penghargaan. Nanti tatkala tantangan datang, dengan sendirinya anak ini akan dapat menggunakan sumber daya yang sudah dimilikinya itu untuk menghadapi tantangan diluar. Sebagai contoh, dia misalnya setelah dewasa kemudian mengalami penolakan karena apapun alasannya, akhirnya lingkungan tidak bisa menerima dia. Nah, anak yang dibesarkan dengan kecukupan, penerimaan, dukungan dari keluarganya ya sudah tentu tetap terluka waktu mengalami penolakan, tapi tidak ambruk karena dia tahu, dia tidak seburuk yang orang itu katakan atau tidak seburuk yang memang dituduhkan kepadanya, jadi dia bisa menarik atau menimba kekuatan dari apa yang telah diterimanya dulu didalam keluarganya, bahwa dia anak yang berharga, anak yang menyenangkan, anak yang punya talenta dan sebagainya. Sekali lagi, bekal-bekal itu ternyata penting sekali didalam membangun ketahanan pada diri seseorang.
ND: Bagaimana dengan kita, pasangan yang tidak seberuntung itu, misalnya waktu kecil kita tidak dapat bekal dari orangtua yang membuat kita lebih kuat dan saat ini kita baru sadar, oh saya kurang bekal. Bagaimana Pak Paul, untuk pasangan yang seperti ini bisa memerkuat daya tahan dia?
PG: Tidak bisa tidak, memang orang ini harus terlibat dalam relasi yang riil dengan orang tertentu, satu orang, dua orang, tiga orang, dimana dia dapat menjalin hubungan yang kuat, hubungan yang juga nanti menjadi penyalur bekal itu kepadanya sehingga perlahan-lahan dia mulai menyerap bekal-bekal atau masukan-masukan itu dari orang-orang ini yang akhirnya nanti dia jadikan bagian hidupnya dan menjadi sumber daya yang dapat membuat dia lebih kuat dalam menghadapi hidup ini. Jadi meyakinkan diri bahwa saya ini kuat dan sebagainya, itu tidak cukup. Dia perlu mengalami, perlu menerima bekal-bekal itu langsung dari orang lain, baru nanti dia dapat memunyainya dan dikemudian hari dapat ditimbanya untuk menghadapi persoalan hidupnya.
ND: Kalau selain ketahanan, faktor berikutnya apa lagi, Pak Paul?
PG: Faktor kesembilan adalah dapat beradaptasi. Sekali lagi saya mengutip dari Norman Wright yang mengatakan bahwa diantara semua karakteriktik pernikahan, terpenting adalah fleksibilitas alias dapat beradaptasi baik dalam menghadapi perubahan dari luar maupun dari dalam pernikahan sendiri. Pekerjaan bisa berubah dan kita mesti bersedia beradaptasi. Lingkungan bisa berubah dan kita harus bisa beradaptasi, teman bisa berubah dan kita harus menerima kenyataan dan beradaptasi. Ini semua perubahan dari luar tapi kadang perubahan datang dari dalam. Suami tidak selalu memunyai pekerjaan yang sama, bahkan kadang malah tidak memunyai pekerjaan, ini mengharuskan kita untuk beradaptasi. Istri tidak selalu bergantung pada suami secara finansial, adakalanya malah berpenghasilan lebih dari suami. Inipun mengharuskan adaptasi, anak tidak selalu berperilaku baik, kadang buruk. Perubahan ini perlu dihadapi dengan bijak dan kitapun mesti beradaptasi. Bila kita sulit beradaptasi dan hanya menuntut pasangan atau orang lain yang beradaptasi, pernikahan pun menuai masalah. Kita akan sering konflik, itu sebab makin kaku seseorang, makin sulit hidup bersamanya, Pak Necholas.
ND: Sebetulnya untuk beradaptasi ini, hal yang perlu kita lakukan apa ya, Pak Paul, karena perubahan dalam hidup itu ‘kan selalu terjadi. Kita bertambah usia dengan lahirnya anak satu, tentu juga akan berbeda, anak kedua lahir tentu akan berbeda pula. Kita terus dituntut untuk beradaptasi. Seharusnya seperti apa, Pak Paul, yang harus kita lakukan?
PG: Ada beberapa, Pak Necholas. Pertama adalah, kita harus bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Kebanyakan orang yang sulit beradaptasi adalah orang yang tidak bisa membedakan, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Orang yang kaku alias tidak bisa beradaptasi, melihat semua penting. Artinya penting untuk dia, jadi akhirnya karena semua penting tidak ada yang bisa dia korbankan atau kompromikan. Jadi pertama adalah kemampuan melihat dan membedakan, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Kita juga untuk bisa beradaptasi harus dapat mengerti, melihat dari sudut pandang orang lain. Selama kita hanya lihat dari kacamata kita, kita akan sulit beradaptasi, karena kita tidak bisa mengerti apa yang orang rasakan atau dampak perbuatan kita pada orang lain, apakah itu yang dia pikirkan oleh karena ini terjadi. Kita kalau tidak tahu semua itu, kita akan sulit beradaptasi, tapi kalau kita bisa mengerti, "Oh, dia merasa begini, oh oleh karena saya berkata begini, dia akhirnya berpikir begitu". Kalau kita bisa begitu mengerti, kita akan lebih mudah beradaptasi, kita akan berkata, "Ya oke, saya mengerti, kalau begitu lain kali saya tidak usah begitu" atau "Saya harus pakai cara yang lain" dan sebagainya. Yang ketiga, makin kreatif kita akan lebih mudah beradaptasi, Pak Necholas. Sebagian kita memang kurang kreatif, kita seperti kereta api, yang jalan di rel sudah saja lurus terus begitu sampai ke tujuan. Kita tidak bisa bermanuver, mencari jalan yang lain, mencari jalan keluar yang tidak sama. Kalau orang tidak kreatif, tidak bisa semuanya itu dan akhirnya lebih sulit untuk beradaptasi. Terakhir adalah ini, Pak Necholas, keangkuhan. Kalau kita angkuh, menganggap diri benar, sampai kapan pun tidak mungkin beradaptasi. Jadi kemampuan beradaptasi sangat ditentukan oleh kerendahan hati, keterbukaan untuk belajar, keterbukaan mengakui bahwa kita ini salah atau mungkin salah. Makin kita tidak mau mengaku kita salah, kita selalu benar, makin sulit kita beradaptasi.
ND: Jadi kerendahan hati, kemauan untuk belajar, kemauan untuk menyadari bahwa kita lemah, kita masih bisa belajar sesuatu dari orang lain atau hal baru, itu memang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan kita dalam beradaptasi.
PG: Betul dan juga tadi satu lagi adalah dapat membedakan mana yang penting dan yang tidak penting sehingga kita lebih bisa kompromi untuk hal-hal yang kita tahu tidak begitu penting.
ND: Baik, selain faktor yang sudah kita bahas ini, faktor apa lagi Pak Paul, yang perlu kita perhatikan supaya pernikahan kita ini bisa kuat?
PG: Faktor kesepuluh dan terakhir adalah dapat menikmati. Yang dimaksud dengan menikmati adalah menikmati hidup dan menikmati satu sama lain. Makin kita dapat menikmati hidup, makin ceria hati kita dan makin positif kita menghadapi hidup dan ini akan berdampak pada pernikahan, sebaliknya jika kita tidak bisa menikmati hidup, kitapun akan membawa kesuraman ini masuk kedalam pernikahan. Jadi penting sekali memang kita bisa menikmati hidup, kita akan sulit membangun pernikahan yang kuat kalau kita adalah orang yang tidak bisa menikmati hidup. Kadang-kadang ada orang yang memang tidak bisa menikmati hidup, mereka itu menggerutu terus. Selalu ada saja yang dikeluhkan, selalu ada saja yang salah tentang hidup ini, tentang orang, tentang siapapun. Kalau ada yang baik pun, selalu dicari apa yang jeleknya. Seolah-olah orang-orang ini bukan melihat roti di donut, tapi melihat lubang di donut, sehingga akhirnya tidak bisa sama sekali menikmati hidup. Tidak bisa tidak, ini akan berdampak pada pernikahan, akhirnya kita yang menikah seperti ini lelah, mula-mula lelah mengoreksinya karena dia tidak berubah terus begitu, tapi lama-lama kita lelah juga mendengarkannya karena tidak enak hidup dengan orang yang tidak bisa menikmati hidup malah mengeluhkan hidup terus-menerus, akhirnya pasangan atau kita yang menikah dengan orang yang seperti ini, menjauh dari dia karena dekat-dekat dengan dia, kita menjadi susah hati. Karena itu penting sekali kita adalah pribadi yang bisa menikmati hidup dan menikah dengan pribadi lain yang juga dapat menikmati hidup.
ND: Kondisinya jika ideal mungkin bagi sebagian orang bisa ya, Pak Paul, bagaimana jika ada salah satu pasangan yang sakit atau dia menderita penyakit yang sulit disembuhkan sehingga membuat situasi rumah menjadi berbeda, Pak Paul?
PG: Memang penyakit itu akan memengaruhi sikap kita, ‘mood’ kita, perasaan kita, itu betul sekali, tapi penyakit tidak harus mendikte hidup kita sebetulnya. Pada akhirnya ini tergantung pada kita, bagaimana kita mau menjalani hidup ini didalam keterbatasan kita akibat penyakit yang kita derita. Selama bertahun-tahun saya dulu biasa mengunjungi seseorang, beberapa tahun yang lalu orang ini sudah meninggal dunia. Orang ini tinggal di rumah jompo sebab di usia belum 50 tahun, dia dirampok dan dalam perampokan itu, dia ditembak. Ini di Amerika, tembakan itu membuat dia lumpuh sekujur badan, akhirnya lewat terapi dia bisa menggerakkan tangannya, tapi terbatas sekali, namun akhirnya ia duduk di kursi roda dan untuk naik ke ranjang, turun dari ranjang, secara harfiah harus diikat kemudian dinaikkan ke atas, kemudian diturunkan, tidak bisa sendiri. Saya sekali bertemu dengan dia, saya memerhatikan dia positif sekali. Nah, kalau misalkan dia sedang kurang enak badan, dia sedang sakit, saya tanya, "Apa kabar kamu hari ini". Jawabannya standard, sama yaitu, "Lebih baik daripada kemarin". Saya pernah tanya dia, namanya Peter dan dia memberikan izin kepada saya untuk menceritakan kisah hidupnya karena dia mau hidupnya menjadi berkat untuk semua orang. Saya bertanya, "Peter, kamu begitu positif, bagaimana caranya?" Dia menjawab, "Sebab saya tidak punya pilihan lain, saya harus positif, karena kalau saya tidak positif, saya bisa depresi dan mau mati". Dia bercerita waktu dia pertama kali lumpuh, ditembak, waktu dia sadari dia tidak akan bisa berjalan, dia tidak akan bisa beraktifitas seperti dulu, dia terpukul dan dia mengaku dia beberapa kali mencoba bunuh diri, tapi karena dia lumpuh dan ditaruh di kursi roda yang memakai baterei, ia ingin menabrakkan kursi rodanya dengan pintu, tapi secepat-cepatnya kursi roda yang dari baterei jadi tidak bisa mencelakakan dia, maka dia berkata, "Saya mesti positif, karena kalau saya tidak positif, saya depresi, saya bisa mau membunuh diri saya kembali". Memang kita tidak seekstrem itu, saya mengerti tapi poinnya adalah kita memang bertanggungjawab untuk memilih menikmati hidup melihat sisi positifnya, melihat kebaikan bukan keburukan dan kita mesti percaya bahwa Tuhan hadir didalam situasi yang kita hadapi. Jadi ini menambah cara pandang kita yang positif dan lebih dapatlah kita nantinya menikmati hidup.
ND: Betul Pak Paul, apalagi kita sebagai umat percaya, kita yakin bahwa Tuhan itu pasti punya maksud yang indah didalam semua yang kita alami dan kita bisa memilih untuk bersikap positif menjalani hidup ini. Berbicara tentang faktor yang menguatkan pernikahan ini, kita sudah membahas 10 faktor. Dari pembicaraan kita apakah boleh Pak Paul menyimpulkan apa yang sudah kita bahas ini.
PG: Pernikahan bukan ciptaan atau gagasan manusia. Pernikahan adalah ciptaan dan gagasan Tuhan, kita telah bahas pada pertemuan pertama bahwa dari awal penciptaan sudah ada pernikahan, sebab kata yang digunakan bukanlah hanya nama Hawa saja, tapi digunakan istilah istri. Jadi Adam diberikan seorang istri sewaktu Tuhan menciptakan Hawa buat dia. Jadi benar-benar pernikahan adalah ciptaan dan gagasan Tuhan. Didalam pernikahan, rencana Tuhan atas hidup kita berdua terjadi dan digenapi. Itu sebab dia terlibat didalamnya, makin kita taat kepada petunjuk-Nya, makin kita dapat hidup rukun. Makin kita takut kepada-Nya dan menghormati-Nya, makin dilindungi pernikahan kita dari dosa dan pencobaan iblis. Singkat kata, tidak ada yang dapat menjaga pernikahan kita lebih baik dan lebih aman daripada Tuhan sendiri. Jadi tidak heran ya, Pak Necholas, mujizat pertama yang dilakukan Yesus Putra Allah, terjadi dalam resepsi nikah. Ini saya percaya, bukan kebetulan. Meskipun sepertinya hal yang relatif sederhana, mengubah air menjadi anggur, tapi ini sebetulnya menandakan Tuhan memerhatikan rumah tangga, karena pada saat itu mereka berdua baru saja memulai rumah tangga, di pesta nikah bisa kehabisan anggur. Ini bisa menjadi hal yang memalukan nama baik mereka, mengecewakan tamu. Nah, untuk hal yang kecil seperti itu, Tuhan terlibat, Tuhan turun tangan, Tuhan melindungi kedua mempelai yang baru menikah ini, apalagi kalau hal itu lebih besar daripada sekadar kehabisan anggur. Rumah tangga kita akan menghadapi terpaan-terpaan yang jauh lebih dahsyat daripada kekurangan atau kehabisan anggur. Nah, pasti Tuhan terlibat, pasti Tuhan memerhatikan, maka selalu datang kepada Dia, selalu minta Dia menolong kita, memberkati pernikahan kita dan sudah tentu kita sendiri mesti taat dan menghormati kehendak-Nya. Jika kita taat dan menghormati kehendak-Nya maka makin Tuhan menjaga dan memberkati pernikahan kita sehingga makin hari bertambah kuatlah pernikahan kita.
ND: Jadi meskipun kita sudah berusaha sekuat tenaga mewujudkan kesepuluh faktor yang menguatkan pernikahan kita, tentu yang paling penting adalah keterlibatkan Tuhan dalam pernikahan kita.
PG: Betul sekali, Pak Necholas, saya sendiri dan istri saya, Santy, tidak bisa menghitung seberapa seringnya kami datang kepada Tuhan sewaktu menemukan jalan buntu, menghadapi jalan buntu, mengalami kebuntuan dalam relasi kami. Setiap kali kami datang, kami turun tangan, Tuhan memerhatikan.
ND: Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan kepada pendengar?
PG: Saya memikirkan ayat yang diserahkan, dititipkan oleh Tuhan Yesus kepada semua kita, ini mesti juga kita jalankan, terapkan dalam pernikahan kita, yaitu dari Matius 22:37-39, yaitu "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu dan akal budimu dan sama dengan itu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Jika kita terapkan ini dalam pernikahan, pernikahan kita akan kuat, Pak Necholas, kita utamakan, kita kasihi Tuhan, kita tunduk kepada-Nya. Dua-dua suami istri benar-benar tunduk mengikuti perintah Tuhan dan kasihilah satu sama lain seperti kita mengasihi diri sendiri. Jadi kalau kita memberikan kasih kepada pasangan sama besarnya dengan kasih yang kita berikan kepada diri sendiri, kita memenangkan dia dan Tuhan akan memberkati pernikahan kita.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan" bagian yang keempat. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.