oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.
Kata kunci: Menumbuhkan ketangguhan dalam diri anak, kurangi kadar kecemasan anak sampai level minimum, izinkan anak untuk gagal, biarkan anak belajar bahwa dia tidak dapat menyenangkan semua orang, sejak kecil arahkan anak menjadikan Tuhan sumber kekuatannya sebagai dasar kepercayaan dirinya.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Terpenting Bukan Membesarkan, Melainkan Menguatkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, saya mengamati beberapa anak yang secara sepintas kelihatan sehat; tubuhnya atletis, sehat pokoknya. Tetapi rupanya tidak demikian dengan mentalnya ternyata gampang tersinggung, gampang marah terhadap teman. Ini yang saya tidak mengerti, mengapa bisa begitu? Mungkin saya terobsesi dengan ungkapan yang mengatakan ‘di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat’ pula. Ternyata kenyataannya tidak seperti itu, Pak Paul ? Apakah memang benar begitu ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi apa yang tampak di luar belum tentu adalah sesuai dengan yang di dalam, Pak Gunawan. Jadi betul yang Pak Gunawan katakan, ada anak-anak yang tampaknya oke-oke saja dari luar tapi ternyata di dalamnya rapuh sekali, mudah sekali tersinggung, atau memang tidak kuat dalam menghadapi badai kehidupan ini. Jadi kita mau mengangkat sebuah topik yang mau memfokuskan pada pembangunan mental anak sehingga tangguh, sebab kenyataannya hampir semua orang bisa membesarkan anak yaitu kita berikan makanan yang cukup, bergizi, kita memelihara kesehatannya, menjaga keselamatannya. Ya sudah kita membesarkan anak. Tapi tidak semua orang dapat menguatkan anak dalam pengertian menumbuhkan ketangguhan pada diri anak sehingga sanggup menghadapi tantangan atau badai hidup. Jadi kita mau membahas beberapa masukan untuk mengembangkan ketangguhan dalam diri anak supaya bukan saja anak bertumbuh besar, tapi dia pun dapat bertumbuh kuat.
GS : Tapi itu bukan hanya menyangkut anak, Pak Paul. Ada orang dewasa pun juga seperti itu. Malah yang saya lihat juga ada orang yang tubuhnya sehat, rohaninya cukup baik kelihatannya tetapi secara mental ini yang seperti Pak Paul katakan tadi seperti gampang tersinggung, jika terkena persoalan sedikit lalu ‘down’ padahal orang-orang mengatakan, "Dia ini aktifis di gereja, cukup rajin di gereja" jadi menyangkut kerohanian juga, Pak Paul.
PG : Betul, betul. Jadi kita memang tidak bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang dikaitkan dengan kerohanian. Belum tentu perbuatan itu sepadan dengan atau sama dengan kondisi rohani kita, jadi yang Pak Gunawan katakan betul. Kita tidak bisa meyimpulkan gara-gara dia bisa mengutip Alkitab, bisa pimpin PA berarti dia adalah seorang anak Tuhan yang tangguh, belum tentu. Ternyata ketangguhan itu memerlukan satu proses yang agak panjang dan dimulainya dari anak-anak.
GS : Dari sejak kecil, ya Pak Paul ?
PG : Iya.
GS : Sehingga apa yang sebenarnya kita tentu sebagai orangtua menghendaki anak kita itu tumbuh dengan sehat, secara utuh, Pak Paul. Apa yang bisa dilakukan ?
PG : Pertama, kita mesti mengurangi kadar kecemasan dalam diri anak ke level yang minimum. Seringkali tanpa disengaja kita menjadi penyuplai kecemasan terbesar dalam diri anak. Maksud saya, karena takut hal buruk menimpa anak, kita menjaganya dengan ketat. Belum sempat anak berbuat apa-apa kita sudah memberikannya peringatan atau malah menariknya keluar. Nah, masalahnya adalah bila kita terus memerlakukan anak seperti ini sesungguhnya kita tengah menanamkan kecemasan dalam dirinya. Dia akan takut mengambil resiko. Sedangkan kecemasan adalah rayap yang memakan balok ketangguhan, makin tinggi tingkat kecemasan makin besar keinginan untuk menjauh dari resiko bahaya. Untuk menekan kecemasan ke level yang minimum akhirnya kita terus menghindar dari situasi yang kita anggap berbahaya. Tidak bisa tidak kita akan berangsur-angsur menjadi lemah, kemampuan kita menghadapi situasi baru apalagi tantangan, bukannya menghadapi tantangan kita cenderung lari atau berlindung di belakang orang lain.
GS : Memang orangtua itu punya alasan kenapa mereka sangat memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anaknya. Mungkin ini adalah anak yang sudah lama didambakan lalu lahirlah anak itu. Ini orangtua otomatis akan memberikan proteksi yang berlebihan atau anaknya memang sakit-sakitan. Ada Pak Paul, keluarga kami, sejak kecil kejang-kejang atau ‘stuip’ sehingga orang tuanya sangat protektif sekali. Bahkan di sekolah pun orangtua ikut campur tangan supaya anaknya ini jangan ada yang mengganggu, jangan sampai dihukum fisik dan sebagainya. Jadi memang ada alasan tertentu, Pak Paul ?
PG : Masalahnya adalah anak itu akhirnya bukan saja tubuhnya lemah tapi karena orang tua terlalu menjaganya, melindunginya akhirnya mentalnya pun lemah. Ini sering terjadi, Pak Gunawan, kepada anak-anak yang memang sakit-sakitan masa kecilnya. Serba susah memang. Kalau orangtuanya tidak menjaga nanti anak itu sakit, dan kalau sakit tambah lemah tubuhnya dan orangtua juga tambah repot. Jadi akhirnya dijaga ‘ini tidak boleh, itu tidak boleh’, dilindungi ‘ada apa, ada apa’ orangtua yang maju. Akhirnya setelah besar badannya masih lemah karena tidak begitu kuat sakit-sakitan dan yang lebih parah lagi mentalnya juga lemah. Jadi memang tidak gampang. Kalau kita menyadari anak kita ini memang memunyai kelemahan tertentu kita perlu melindungi dia dan itu perlu, tapi jangan sampai keterlaluan. Jadi intinya sebagai orangtua penting bagi kita menjaga reaksi supaya tidak cepat panik dan tidak tergesa-gesa menarik anak keluar dari situasi yang mengandung resiko. Sebaliknya dampingi anak tatkala menghadapi kesulitan, beri dia dorongan dan kekuatan, ajak dia bertukar pikiran dan berilah dia waktu untuk mengambil keputusan. Nah, ketenangan kita mengkomunikasikan kepadanya bahwa kita akan sanggup menghadapi tantangan itu dan ini akan membuat dia lebih tenang. Dia tahu bahwa kita bersamanya dan akan menolongnya. Terpenting adalah pada saat seperti ini kita mendorong untuk mengaplikasikan iman. Jadi bukalah firman Tuhan dan pelajari serta camkan kembali janji Tuhan untuk menyertai kita. Ingatkan anak tentang Daud, Daniel dan tokoh Alkitab lainnya yang bersandar penuh pada Tuhan dan akhirnya melihat penyelamatan-Nya. Mazmur 121:1-2 mengingatkan, "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; darimanakah akan datang pertolonganku ? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi." Jadi situasi yang dihadapinya ada dalam tangan Tuhan, Ia sanggup menolong, namun sebagaimana kita pun alami tidak selalu Tuhan bertindak secara langsung dan segera. Pada umumnya Tuhan bertindak lewat cara yang tak terbayangkan dan dalam waktu-Nya. Menantikan Tuhan adalah keharusan, namun dalam penantian inilah kita bertumbuh lewat pergumulan iman seperti ini anak akan mengalami pertumbuhan rohani dan dia akan mengembangkan ketangguhan; baik mental maupun rohani.
GS : Pak Paul, tentang kepanikan yang dialami oleh seseorang. Ada anak yang tadinya tidak apa-apa, katakan normal saja, tapi kemudian ayahnya meninggal. Setelah ayahnya meninggal anak ini seringkali panik, di dalam mobil pun dia sering panik lalu dia berkonsultasi pada orang psikiater. Dokternya mengatakan dia terkena serangan kecemasan; sampai muntah-muntah dan sebagainya. Ini sebenarnya apa ?
PG : Jadi dalam kasus tadi itu besar kemungkinan figur ayahnya adalah figur yang sangat melindungi dia, sangat menyejukkan dia, sangat memberikan rasa aman. Nah, kepergian ayahnya seolah-olah membawa rasa aman itu. Sehingga tiba-tiba dia merasa mudah sekali untuk bisa mendapatkan halangan, kecelakaan atau hal-hal bahaya yang bisa menimpanya. Hidup tiba-tiba tidak aman. Jadi yang terjadi adalah, karena dia tidak bisa menahan kecemasan dan kecemasannya begitu kuat akhirnya dia terkena yang kita sebut serangan kecemasan atau anxiety attack. Harusnya kalau sebelumnya dia lumayan baik atau sehat dan sebagainya, seharusnya ini sebagai masa transisi jadi tidak selama-lamanya dia akan seperti itu; mudah-mudahan setelah melewati satu masa dia bisa menyesuaikan diri, dia akan bisa menangani kecemasannya sehingga tidak lagi menguasai dia seperti dulu.
GS : Memang sayangnya seperti tadi yang Pak Paul kutip, kalau dia bisa berpegang pada firman Tuhan dan mengingat akan janji Tuhan itu mungkin akan sangat menolong dia, tapi ini masalahnya tidak. Jadi dia sendiri bukan seorang yang beriman pada Tuhan Yesus sehingga kalau dia mengalami masalah dia selalu datang pada foto ayahnya itu dan seolah-olah mengadu. Tetapi itu tidak menyelesaikan kepanikannya.
PG : Iya. Jadi jelas memang hubungannya dengan ayahnya itu memang dekat sekali dan ayahnya menjadi tempat dia berlindung. Jadi waktu ayahnya tidak ada, hilanglah tempatnya berlindung dan tiba-tiba dia merasa hidup ini adalah hidup yang penuh dengan bahaya jadi bawaannya adalah ketakutan saja. Kasihan sebenarnya.
GS : Ini anak adalah anak tunggal. Dan dari pihak ibunya dia mendapat tekanan "Sekarang papamu sudah tidak ada, tugas-tugasnya harus kamu ambil alih", itu memperberat lagi.
PG : Betul, betul. Karena rupanya dia juga tidak siap untuk menanggung beban-beban itu. Dia rasa dia belum waktunya, tiba-tiba saja ayahnya meninggal. Jadi dia tambah panik lagi dan ibunya yang tidak memberikan dukungan tapi justru memberikan tuntutan yang dia rasa dia tidak mungkin penuhi dengan baik. Jadi itu menambah ketakutannya, sehingga muncul serangan kecemasan itu.
GS : Selama kalau kita katakan masa transisi, itu bagaimana bisa mengurangi kepanikan dia yang munculnya tiba-tiba yang bahkan kita sendiri tidak mengerti "Mengapa tiba-tiba lari ke kamar mandi lalu muntah-muntah dan sebagainya, lalu berpeluh ?"
PG : Memang serangan itu datangnya mendadak, Pak Gunawan. Biasanya pagi-pagi, umumnya pagi-pagi, tapi bisa datang kapan saja. Dan itu yang membuat orang itu tambah ketakutan. Yang membuatnya tambah panik adalah reaksinya itu seperti terkena serangan jantung. Jadi benar-benar berdebar-debar tidak terkendali; jadi tambah dia takut lagi, tambah dia takut terhadap serangan itu tambah mudah kena. Akan jadi seperti lingkaran berputar. Apa yang mesti dilakukan ? Sebaiknya memang dia ke psikiater dan meminta obat untuk mengurangi kecemasannya. Ibunya juga mesti diberitahukan jangan berikan tuntutan itu, biarkan dia perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Yang ketiga yang paling penting, dia memerlukan orang yang bisa mendampinginya yaitu orang yang bisa diajak untuk berbicara, memberikan kepada dia ketenangan, memberikan dia mungkin jalan keluar, yang bertukar pikiran dengan dia sehingga dia itu tidak merasa sendirian. Dia memang sangat tidak siap untuk ditinggal sendirian.
GS : Iya. Kalau kita mau mengurangi tingkat kecemasan atau beban kecemasan dalam diri anak kita, kadar kecemasannya itu sampai seminimal mungkin apa yang bisa dilakukan oleh orangtua itu ?
PG : Jadi orangtua harus menahan diri. Terkadang orangtua itu yang terlalu cepat untuk memberikan pertolongan, untuk turun tangan, itu apalagi kalau orangtua sering-sering berkata, "Hati-hati kamu nanti ada apa-apa" "Ini orang seperti ini" nah ini menambah kecemasan. Jadi kita mau anak kita itu perlu cemas untuk hal-hal yang memang nyata dan perlu dicemaskan, kalau tidak jangan. Karena pada akhirnya kecemasan itu akan merontokkan ketangguhan. Orang yang tangguh itu tidak bisa dikuasai kecemasan. Orang yang dikuasai kecemasan akhirnya akan menjadi orang yang lemah. Jadi sebagai orangtua, kita mesti menjaga reaksi kita ada apa-ada apa jangan langsung ketakutan atau panik, jangan langsung menarik anak keluar dari situasi itu lalu kita yang ambil alih dan sebagainya. Biarkan, biarkan dia lalui, biarkan dia hadapi sehingga lewat cara-cara seperti itu dia mulai membangun ketangguhan.
GS : Selain untuk mengurangi kadar kecemasan itu, Pak Paul, hal lain apa yang bisa dilakukan oleh orangtua ?
PG : Kedua, ijinkanlah anak untuk gagal. Keberhasilan tanpa kegagalan adalah racun yang dapat membuat jiwa sakit. Keberhasilan tanpa kegagalan membuat kita bukan bertambah kuat tapi malah bertambah lemah. Keberhasilan tanpa kegagalan membuat kita beranggapan bahwa kita hebat dan sempurna. Nah, ini berbahaya. Sebab suatu saat kita akan mengalami kegagalan dan pada saat itulah kita disadarkan bahwa kita tidak sehebat dan tidak sesempurna yang kita pikir. Jika kita terus berhasil dan tidak pernah gagal maka kegagalan akan dapat menghancurkan kita. Kegagalan, saya umpamakan seperti semen dan pasir yang diperlukan untuk membangun jiwa yang tangguh. Itu sebab kita mesti rela dan tega untuk membiarkan anak mengalami kegagalan. Itu tidak berarti bahwa kita harus menciptakan skenario dalam hidupnya supaya dia gagal. Tidak. Sebaliknya seyogyanya kita memberikan dia masukan untuk menghindar dari kegagalan. Yang terpenting adalah sewaktu rencananya tidak terwujud, sewaktu apa yang dirintisnya tidak membuahkan hasil ijinkan dia kecewa dan frustrasi. Jangan justru marah seakan-akan kegagalan adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi dalam hidupnya. Jadi salah satu hal yang perlu kita tanamkan pada diri anak adalah apa yang seharusnya diperbuat sewaktu usaha gagal, kita dapat mengajarkan bahwa yang terpenting adalah kita belajar dari kegagalan, kita bangkit kembali dan kita berusaha kembali. Seringkali kegagalan memaksa kita untuk kreatif, untuk tidak menggunakan cara yang sama. Mungkin ada jalan lain yang belum pernah terpikirkan dan kita perlu mencobanya. Atau mungkin itu saatnya kita mengakui bahwa memang kita tidak mampu dan bahwa kita memerlukan pertolongan. Jadi sekali lagi sebagai orangtua berilah kesempatan, ijinkan anak untuk mencicipi kegagalan. Jangan melindungi anak, mengambil alih supaya anak sampai tidak pernah bersentuhan dengan kegagalan.
GS : Tapi memberikan penghiburan ketika anak mengalami kegagalan itu masih bisa diterima, Pak Paul ?
PG : Itu baik, itu betul. Jadi kita mendampingi, kita hibur dia, kita kuatkan dia, kita ajak dia untuk kembali berusaha, jangan putus asa. Itu penting.
GS : Tapi ada orang yang mengalihkan pandangan atau mengalihkan situasi itu, seolah tidak apa "Sudah tidak apa", tapi ini pengalihan saja, padahal realitanya dia mengalami kegagalan dan realitanya dia itu sedih sekali.
PG : Maka kalau orangtua bisa mengijinkan anak untuk sedih, untuk frustrasi biarkan. Biarkan dia merasakan mencicipi kegagalan itu, karena sekali lagi orang yang mencicipi kegagalan akhirnya akan bisa bangkit dan menjadi orang yang lebih tangguh. Presiden Amerika Serikat yang paling dihormati adalah Abraham Lincoln. Beliau itu mengalami kegagalan berulang kali, Pak Gunawan. Dia itu memang anak yang kasihan karena ayahnya buta huruf, ayahnya pekerja lepas, ibunya sakit-sakitan. Jadi sewaktu dia berumur 9 tahun ibunya sudah meninggal dunia, sewaktu umur 7 tahun dia dan keluarganya diusir tidak bisa bayar lagi tempat tinggal. Kemudian dari umur 20 tahunan dia kerja, bangkrut, kerja, bangkrut. Akhirnya pernah sekali kerja meminjam uang dari orang lalu dia bangkrut maka selama belasan tahun dia mesti membayar utangnya. Lalu dia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD atau apa, tidak ada yang pilih dia, berkali-kali dia mencalonkan diri tidak pernah terpilih-terpilih. Jadi intinya adalah dia itu kenyang dengan kegagalan. Mau menikah tunangannya meninggal dunia, jadi akhirnya dia ‘ambruk’ sampai kira-kira 6 bulan dia terkena depresi berat dan tidak bisa keluar kamar. Akhirnya dia bangkit kembali, dia jalan lagi, dia bangun lagi, dia coba lagi untuk menjadi anggota DPRD, terakhir dia bisa menjadi presiden Amerika Serikat. Itu adalah memang contoh, kita melihat kegagalan itu benar-benar menempa jiwa orang. Kita sebagai orangtua kadang-kadang takut anak mengalami kegagalan, kita melindungi dia dari kegagalan tapi harganya mahal yang harus dibayar oleh si anak, dia menjadi anak yang lemah.
GS : Iya. Hal yang ketiga apa yang bisa dilakukan, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah biarkanlah anak belajar untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat menyenangkan semua orang. Sudah tentu kita harus berusaha berdamai dengan semua orang dan berupaya menjadikan relasi dengan sesama sebagai relasi yang positif dan menyenangkan. Kita tidak mau anak bertumbuh menjadi pribadi yang tidak peduli dengan orang dan tidak menghiraukan perasaan orang sama sekali. Namun kita pun ingin anak menyadari bahwa pada akhirnya ia akan harus memilih apa yang baik dan benar; bukan apa yang sedap dan manis. Pada waktu kita memilih apa yang baik dan benar, kita menyusahkan orang bukan menyenangkan orang. Dan ini biasanya berujung pada penolakan dan kita tahu penolakan menyakitkan, Pak Gunawan. Kecenderungan kita adalah menyenangkan hati orang agar tidak ditolak. Tapi sebagaimana kita ketahui kadang orang menolak kita. Kesanggupan kita menerima penolakan dan tidak membiarkan penolakan menghancurkan diri kita adalah jalan menuju ketangguhan. Contohnya, Tuhan kita Yesus. Berkali-kali Ia mengalami penolakan tapi Ia jalan terus. Ia tidak berhenti, Ia mengerti bahwa akan ada yang menerimanya, tapi ada yang menolaknya. Yohanes 1:11 menegaskan, "Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya" jadi Tuhan pun mengalami itu dan Dia memberikan contoh kepada kita untuk jalan terus. Kita mesti menghadapi penolakan itu. Kita hanya dapat menerima penolakan dari manusia bila kita tahu bahwa kita telah menerima penerimaan dari Tuhan. Jadi inilah yang mesti kita tanamkan pada anak. Terpenting adalah dia tahu bahwa apa yang diperbuatnya benar di hadapan Tuhan dan bahwa Tuhan menerimanya. Lebih baik diterima oleh Tuhan namun ditolak manusia daripada diterima oleh manusia tetapi ditolak Tuhan; dengan kata lain, kita hanya dapat menerima penolakan bila kita memunyai prioritas hidup yang benar. Ini yang mesti kita tanamkan pada anak.
GS : Prioritas hidup yang benar ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Jadi misalkan yang benar adalah kita mau mengutamakan penerimaan Tuhan daripada penerimaan manusia. Jadi kalau kita melakukan sesuatu meskipun akhirnya gara-gara kita melakukan itu ditolak oleh manusia namun kita tahu ini adalah benar di hadapan Tuhan, kita terima. Kita akan tetap prioritaskan pada Tuhan, bukan pada manusia. Prioritas seperti inilah yang akhirnya bisa membuat kita ini tangguh menghadapi penolakan.
GS : Bukankah ada anak yang sejak kecil sering ditolak oleh teman-temannya, tidak dianggap bagian dari grup, selalu disingkirkan. Ini akan membuat anak merasa rendah diri begitu, Pak Paul ?
PG : Iya. Jadi memang kalau anak ditolak terus-menerus oleh teman dari kecil, itu efeknya buruk, Pak Gunawan. Jadi penting anak di rumah menerima penerimaan dari orangtua tapi juga dalam pergaulan mayoritas teman seharusnya menerima dia, kalau begitu banyak anak yang menolak dia dampaknya memang buruk bagi perkembangan jiwanya.
GS : Nah, sebagai orangtua apa yang bisa dilakukan ? Kenyataannya dia ditolak terus.
PG : Sudah tentu kita mau tahu alasan penolakannya apa, sebab bisa jadi anak kita itu sering misalnya menyakiti hati orang, main dengan teman maunya menang saja, atau tidak mau memikirkan menolong temannya. Kalau memang kita ketahui ada hal-hal yang diperbuatnya yang memancing penolakan dari teman-temannya, itu yang coba tolong anak kita untuk berubah, karena penolakan yang terlalu banyak pada masa kecil itu tidak sehat buat dia.
GS : Tapi penolakan yang sebatas apa yang bisa diterima dan membuat anak itu kuat ?
PG : Misalkan, teman-temannya mau melakukan hal yang dia tahu salah tapi dia itu jika menolak tidak mau ikut maka teman-temannya bisa menolak dia, tidak menjadikan dia teman lagi tentu hal ini berat bagi dia, dalam hal seperti itu lebih baik dia tetap tidak ikut teman-temannya meskipun ditolak. Hal seperti inilah yang akan membuat dia kuat.
GS : Atau dia usul sesuatu ditolak, bukan secara fisik tetapi usulnya yang ditolak begitu Pak Paul. Mungkin masih ada lagi, Pak Paul ?
PG : Yang keempat dan yang terakhir, sejak kecil arahkan anak untuk menjadikan Tuhan sumber kekuatannya, sebagai dasar kepercayaan dirinya. Biarlah ia menyadari bahwa sesungguhnya dia tidak memunyai apa-apa dan bahwa kekuatan yang dimilikinya adalah terbatas dan sementara. Amsal 3:5-6 mengingatkan "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, Takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan;" . Kesombongan tidak membuat kita tangguh. Sebaliknya kesombongan membuat kita kecolongan. Bila kita bersandar pada pengertian sendiri dan menganggap diri orang yang paling bijak di dunia maka tinggal tunggu waktu kita akan kecolongan; akan ada sesuatu yang terjadi yang membuat kita terantuk dan jatuh. Sebaliknya jika kita bersandar kepada kekuatan Tuhan kita akan kuat, sebab sumber kekuatan kita bukan kepada diri sendiri melainkan pada Tuhan dan kekuatan Tuhan tidak terbatas. Jadi sekali lagi sebagai penutup saya menyimpulkan sebagai orangtua, tugas kita bukanlah hanya membesarkan anak tapi juga menguatkan anak, memersiapkan mereka menjadi pribadi yang tangguh. Kita lakukan tugas dan bagian kita dan Tuhan akan melakukan tugas dan bagian-Nya dalam hidup anak kita.
GS : Sekarang bagaimana orangtua itu bisa mengarahkan anaknya supaya anaknya bisa menjadikan Tuhan sebagai sumber kekuatannya ?
PG : Sering-sering memang kita mesti mengutarakan diri kita dan pengalaman hidup kita, misalnya bercerita tentang kegagalan kita yang terlalu bersandar pada pengertian sendiri akhirnya kita ‘kejeblos’ dan dari situ kita belajar untuk tidak bisa bergantung kepada pengertian sendiri "Tuhan yang tahu, Tuhan yang lebih menguasai jadi bersandarlah pada Tuhan". Nah, cerita-cerita yang konkret seperti itu menolong anak mengingat, "Iya, tidak bisa bersandar pada diri tapi bersandar pada Tuhan".
GS : Dan keteladanan orangtua yang bisa dilihat langsung oleh anak itu, Pak Paul ya, bagaimana orangtuanya ketika mengalami masalah dia bergantung kepada Tuhan atau bingung sendiri begitu, Pak Paul ?
PG : Betul, betul. Waktu anak melihat orangtua tidak panik tapi malah tenang dan melihat orangtua itu bersujud, berdoa, itu menjadi pelajaran yang berharga bagi anak. Jadi ketika lain kali dia menghadapi masalah dia pun datang kepada Tuhan.
GS : Iya. Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan ini.
PG : Sama-sama.
GS : Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terpenting Bukan Membesarkan, Melainkan Menguatkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.