Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari rangkaian pembicaraan kami terdahulu dengan suatu tema besar yaitu Berawal dari Satu. Kali ini kami akan membicarakan topik "Pasangan yang Tidak Aman Secara Sosial". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita telah membahas beberapa topik berhubungan dengan Berawal dari Satu, dan kali ini kita akan bicarakan tentang pasangan yang tidak aman secara sosial, ini maksudnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Selama ini kita telah membahas topik "Berawal dari Satu" yang sebetulnya adalah topik tentang masalah dalam pernikahan, Pak Gunawan. Biasanya kita beranggapan masalah itu muncul dari kedua belah pihak, suami dan istri, tapi sesungguhnya masalah itu seringkali muncul dari satu pihak. Jadi inilah judulnya Berawal dari Satu. Kali ini kita akan membahas tentang Pasangan yang Tidak Aman secara Sosial dan kita akan melihat bagaimana seseorang yang tidak aman secara sosial memengaruhi relasi pernikahannya dan akhirnya menuai banyak masalah nanti dalam pernikahan itu.
GS : Yang kita selama ini sering kenal orang-orang yang asosial, orang yang sulit sekali bersosialisasi. Itu sama tidak dengan yang Pak Paul maksudkan?
PG : Tidak sama, Pak Gunawan. Kalau orang yang memang asosial tidak suka dia bertemu dengan orang, tidak suka bergaul dengan orang. Orang yang tidak aman secara sosial, orang yang sesungguhnya senang, ingin berteman tapi dia selalu dihantui oleh ketakutan. Jadi selalu kalau di tengah-tengah orang atau di hadapan orang, dia diserang oleh kecemasan.
GS : Kenapa itu, Pak Paul?
PG : Pada dasarnya orang ini takut akan penolakan dari lingkungan. Dia beranggapan bahwa orang tidak menyukainya dan tidak menginginkan kehadirannya karena ia kurang baik atau kurang berharga. Itu sebab ia tidak nyaman berada di tengah orang terutama yang tidak dikenalnya dengan baik. Bahkan di tengah teman yang dikenalnya pun ia merasa gamang karena meragukan penerimaan mereka terhadap dirinya. Ia baru merasa tenang bila ia mendapatkan kepastian orang menerima dan menghargai dirinya. Masalahnya adalah ini ada dalam pikirannya saja, Pak Gunawan. Besar kemungkinan orang tidak memunyai niat menolaknya atau menilainya buruk tapi dia sendiri yang sudah beranggapan seperti itu dan ketakutannya itu yang akhirnya menguasai dirinya sehingga selalu kalau di hadapan orang atau teman-temannya dia minder, dia tidak merasa aman.
GS : Jadi ini orang-orang yang rendah diri, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan. Karena dia melihat dirinya kurang, kurang baiklah, kurang bermutulah, tidak layaklah jadi akhirnya dia selalu beranggapan orang itu tidak menyukainya dan menolaknya.
GS : Padahal sebenarnya banyak temannya tidak begitu, walaupun mungkin ada satu dua orang yang merendahkan dia.
PG : Mungkin di masa lampau dia pernah mengalami itu, tapi mayoritas teman-temannya menyambutnya dan menghargai dia. Tapi dia sudah memunyai ketakutan itu.
GS : Lalu dampaknya ke pernikahan bagaimana, Pak Paul?
PG : Ada beberapa masalah yang kerap timbul dalam pernikahan, pertama karena ketidakamanannya dia pun mengharapkan atau lebih tepat lagi menuntut kita pasangannya untuk memberikannya rasa aman, terutama di hadapan orang lain. Jadi kita senantiasa harus peka dengan ketidak-amanannya dan berusaha melindunginya dari ancaman luar, tidak soal ancaman itu ada atau tidak. Tuntutan ini dapat membebani kita, bukannya kita tidak mau melindunginya, tapi ada kalanya kita tidak melihat bahwa orang mengancamnya atau menyerangnya atau merendahkannya atau menolaknya, tidak. Buat kita apa yang orang perbuat adalah wajar dan tidak ada unsur niat buruk sama sekali, tapi masalahnya adalah dia merasa demikian, tidak bisa tidak akhirnya konflik pun sering terjadi. Usaha kita meyakinkannya bahwa orang tidak bermaksud buruk dan tidak berniat menyudutkan atau merendahkannya ditolaknya mentah-mentah. Malah penjelasan kita ditafsirnya secara negatif bahwa kita lebih mengutamakan dan membela orang lain ketimbang pasangan sendiri. Jika ini terjadi berulang kali kita pun takut menghadirkannya di tengah teman, kita takut ia bereaksi seperti itu lagi dan kita harus bertengkar lagi dengannya, belum lagi kadang kita harus dibuat tidak nyaman di hadapan teman karena sikapnya yang tidak bersahabat. Akhirnya daripada suasana tidak enak, daripada kita pulang bertengkar, kita memilih menghindar dari pergaulan.
GS : Dia mengharapkan kita sebagai pasangannya itu memberikan perlindungan kepadanya tetapi kita tidak tahu kapan atau apa yang menyebabkan dia terpicu kemarahannya. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Jadi memang tuntutannya tidak realistik, Pak Gunawan, karena bagaimana kita selalu tahu bahwa inilah yang dia rasakan, bahwa orang inilah berbuat begini atau begitu dan artinya adalah ini atau itu atau kalau pun kita disana, kita sungguh-sungguh tidak melihatnya karena yang kita lihat adalah teman-teman, bercakap-cakap biasa, bergurau biasa, bertegur biasa, sapa dia tidak ada apa-apa sama sekali. Tiba-tiba pas pulang dia marah pada kita, "Kenapa tadi diam saja, kenapa kamu tidak membela saya?" Saya jadi bingung kenapa, apa yang terjadi? Bela apa, memang orang berbuat apa kepadamu? Nah disebutkan tadi dia bicara begini, ini begini, kita akhirnya garuk garuk kepala, kita juga tidak mengerti harus berbuat apa lagi.
GS : Kalau dia pergi sendirian misalnya.
PG : Dia biasanya memang sebisanya tidak mau, Pak Gunawan, karena dia takut maka ia berharap kita pasangannya pergi bersamanya supaya kita bisa melindunginya tapi kalau kita berkata, "Ya, ini teman-temanmu, kamu pergi sendiri dengan teman-temanmu". Biasanya tidak mau atau kalau pun ia mau dia harus memastikan dia akan pergi dengan atau bertemu dengan orang yang sungguh-sungguh dia kenal. Orang-orang itulah yang nanti dia akan dekati dan diharapkan bisa melindunginya dari orang-orang lain.
GS : Kalau pasangannya saja sudah sulit untuk melindungi dia, apalagi orang lain?
PG : Iya apalagi orang lain yang tidak begitu tahu masalahnya atau apa, biasanya ia pulang dengan keluhan, "Tadi disana orang begini kepada saya, begitu kepada saya, sudah lain kali saya tidak mau lagi datang ke tempat seperti itu. Akhirnya kita juga frustrasi, Pak Gunawan, misalnya kita di gereja ada pelayanan, kita ingin dia juga terlibat dalam pelayanan akhirnya tidak mau. Kita akhirnya tidak bisa paksakan dia, sudahlah diamkan saja.
GS : Hal yang lain yang berdampak pada pernikahan apa, Pak Paul?
PG : Karena ketidakamanannya maka ia pun memaksa kita untuk membatasi pergaulan dan aktifitas yang melibatkan orang lain. Persoalannya adalah hampir semua kegiatan bersifat sosial dalam pengertian melibatkan orang lain, mulai dari sanak saudara, sampai teman kerja dan pelayanan. Jadi tuntutannya agar kita membatasi ruang lingkup sosial tidak beda dengan menghilangkan sebagian besar diri dan kehidupan kita. Akhirnya kita kehilangan diri demi membuatnya merasa aman, ini tidak mudah kita meradang dan akhirnya kita manusia kita marah. Masalahnya adalah kondisi kita terjepit, kalau tidak menuruti kemauannya dia akan memutuskan kontak sama sekali dengan lingkungan dan ini pasti menyusahkan kita. Apa yang harus kita katakan kepada sanak saudara apabila ia tidak hadir dalam pertemuan keluarga. Apa yang mesti kita katakan kepada rekan sepelayanan atau teman di gereja jika ia memilih tidak hadir, namun bila kita menuruti kehendaknya, sudahlah tidak usah pergi dan ketemu orang, kita akan kehilangan sebagian besar diri dan kehidupan kita. Jadi akhirnya memang kita tertekan, Pak Gunawan, sebab memang serba sulit. Dituruti sulit, tidak dituruti juga sulit.
GS : Ini bisa membuat lama-lama pasangannya ikut rendah diri juga, lama-lama pergaulannya ‘kan sangat terbatas.
PG : Bisa.
GS : Dan juga ini, merasa malu punya pasangan mudah tersinggung, mudah salah mengerti. Dan teman-temannya pasti berkata, "Itu bagaimana pasanganmu", itu membuat dia rendah diri.
PG : Betul, betul dan dia jadinya ke mana-mana pergi akhirnya sibuk memberi penjelasan, "Eh maaf ya tadi istri saya begini", atau "Maaf ya suami saya begini". Akhirnya sibuk memberi penjelasan lama kelamaan dia enggan pergi-pergi nanti timbul masalah. Akhirnya kita kehilangan kehidupan kita, pergaulan kita, teman-teman kita, sanak saudara kita. Kalau kita tidak tahan kita marah, kita berontak, kita paksakan pergi juga, dia juga tambah marah. Dia nanti kalau pun ikut dia berikan sikap yang tidak enak, jadi serba sulit.
GS : Jadi secara tidak langsung memang orang-orang yang seperti ini akan memunyai sifat asosial itu tadi, Pak Paul.
PG : Betul, betul walaupun sebetulnya dia itu rindu, sebetulnya dia senang kalau ada teman, namun seolah-olah dia yang membakar jembatan untuk berteman. Tidak ada yang lain, dia sendiri yang membakar jembatan itu. Namun masalahnya dia tetap seolah-olah berdiri dan menantikan kapan ia bisa berada di seberang sana, tapi jembatannya sudah dibakarnya.
GS : Apakah orang seperti ini memang butuh pujian atau sanjungan begitu, Pak Paul?
PG : Pasti, Pak Gunawan, memang ketidakamanannya itu memaksa dia untuk membutuhkan penguatan, konfirmasi, rasa aman bahwa dia berharga, dia dikasihi, bahwa dia memunyai kontribusi, dia memunyai kualitas. Dia membutuhkan semua itu.
GS : Walaupun disampaikan hanya sebagai basa basi saja oleh orang lain.
PG : Dia tidak terima kalau kita katakan ‘basa basi’ sebab dia mungkin tahu, jadi dia memang membutuhkan kejujuran kita untuk menyampaikannya kepada dia. Kadang-kadang susah juga, Pak Gunawan, sebab kita ‘kan tidak melihat kualitas itu, justru kita merasa karena dia hidup kita sangat terbatasi, jadi tidak gampang untuk kita bersikap positif kepada dia.
GS : Memang sulit punya pasangan seperti ini, Pak Paul. Apakah memang ada dampak lain?
PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan, yaitu karena rasa tidak amannya ia pun kerap menuntut kita untuk memberikannya pengakuan dan perhatian yang besar kepadanya. Mana kala kita lupa memberikannya, pengakuan dan perhatian itu, dia marah dan menuduh kita tidak lagi mengasihinya, tidak lagi mementingkannya. Singkat kata kita senantiasa harus peka dengan kebutuhannya. Pada akhirnya kita letih dan frustrasi, pertengkaran pun tak terhindarkan, belum lagi tugas kerja dan pelayanan kita pun terganggu karena energi kita terkuras untuknya. Kita tidak selalu ingat untuk bisa menyampaikan penghargaan kita kepada dia atau melakukan hal-hal yang membuat dia merasa istimewa, tidak selalu ingat tapi dia ingat dan nantinya akan menggunakannya untuk berkeluh kesah kepada kita. "Kamu mengapa tidak begini, kamu mengapa begini", jadi memang capek terus terang, Pak Gunawan.
GS : Pengakuan dan perhatian seperti apa yang sebenarnya diharapkan dari kita, dari pasangannya maksudnya?
PG : Dua hal, ia berharga dan ia dikasihi. Sebetulnya itu yang paling dasar, Pak Gunawan. Kalau kita telusuri hampir semuanya memang berasal dari latar belakang dimana dua hal itu tidak diterimanya. Tidak mendapatkan penghargaan dan kurang mendapatkan kasih sayang. Sebetulnya kalau kita pikirkan ya kasihan sebab tidak ada orang yang mau dibesarkan dengan kekurangan-kekurangan itu, tapi tidak bisa dihindarkan nanti setelah menikah untuk satu masa bila ini tidak berubah akan jadi beban dalam keluarga kita.
GS : Jadi misalnya dia diminta untuk memimpin sesuatu, mengunggulkan rasa percaya dirinya.
PG : Betul, untuk dia diberikan tugas seperti itu biasanya tidak mudah, Pak Gunawan. Biasanya dia menolak karena dia sudah berpikir dia akan gagal, nanti orang akan melecehkannya, meremehkannya, menertawakannya. Orang akan tahu bahwa dia tidak bisa, cenderung dia akan berpikir buruk. Kalau saya begini, akan begini. Sudahlah tidak usah. Masalahnya adalah makin dia tidak berbuat apa-apa, dia makin tenggelam sebetulnya karena dia tidak ada lagi bukti untuk berkata, "O saya bisa dan orang senang dengan apa yang saya lakukan". Itu yang sebetulnya harus dilakukan.
GS : Jadi sebagai pasangan sebenarnya apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?
PG : Oleh karena kita tidak dapat memaksanya untuk merasa aman, kita mesti mengikuti gerak dan iramanya setidaknya selama beberapa tahun. Kita harus membatasi pergaulan dan memberinya perhatian yang khusus baik secara pribadi maupun di muka umum, bila kita memaksanya untuk merasa aman dan membiarkannya sendiri hampir dapat dipastikan relasi pernikahan kita akan retak. Sebaiknya kita berkorban untuk membekalinya dengan rasa aman setidaknya selama beberapa tahun. Saya garis bawahi kata selama beberapa tahun karena memang akan memakan waktu, Pak Gunawan, ini tidak bisa dilakukan dalam semalam. Memang maunya kita, kita sudah beri mengerti kamu itu punya kelebihan ini, kamu sebenarnya orang yang bisa ini bisa itu, kamu orang yang berharga, saya mengasihi kamu. Seharusnya kata-kata itu cukup tapi untuk dia tidak cukup, tidak ada efeknya. Menghadapi peristiwa atau situasi yang sama, anjlok lagi, cemas lagi, panik lagi, minta kita lagi lebih begini, lebih begitu akhirnya memang kita yang frustrasi tapi untuk beberapa tahun, saya sarankan kita mesti mengalah. Ikuti iramanya, dia sudah tidak nyaman sudah tidak usah. Berarti mungkin kita tidak bisa terlalu terlibat di dalam pelayanan atau kegiatan sosial lainnya atau dengan teman-teman atau sanak saudara, iya memang harus membatasi yang penting-penting baru kita pergi dengan dia. Kalau tidak kita korbankan, memang orang akan mengatakan, "Wah si ini sejak menikah tidak bisa ke mana-mana, tidak boleh, nanti istrinya atau suaminya begini begitu". Ya sudah untuk beberapa tahun kita memang harus berkorban.
GS : Karena itu sifatnya sementara, Pak Paul, beberapa tahun yang Pak Paul katakan, apakah kita perlu komunikasikan hal itu kepada pasangan kita?
PG : Perlu ya jadi memang kita mesti bicara dengan apa adanya bahwa iya inilah kondisinya dan kita bersedia. Dia mungkin tidak bicara langsung karena dia malu jadi kita yang munculkan bahwa ini yang kita lihat dan kita katakan bahwa selama beberapa tahun ini memang harus kita kerjakan. Kita ini punya proyek dan saya bersedia membantu kamu, saya tidak mau membuat kamu cemas atau tidak nyaman di tengah-tengah orang. Jadi saya membatasi pergaulan saya, kalau tidak penting saya tidak pergi. Sementara kamu membangun rasa aman itu. Nah setelah kita melakukannya, Pak Gunawan, bertahun-tahun itu perlahan-lahan baru kita mengajaknya bertemu dengan teman dalam lingkup kecil, misalkan kita pergi bersama dengan satu pasangan lain. Jika ia sudah merasa aman, kita bisa mengajak pasangan lain untuk pergi bersama dan bila inipun berjalan baik barulah kita pergi bersama dua pasangan sekaligus dan seterusnya. Jadi benar-benar bertahap, terpenting adalah didalam rumah kita terus memberikannya perhatian khusus dan di depan orang kita pun menunjukkan perhatian kita kepadanya dan memerlakukannya secara khusus. Memang tidak mudah tapi inilah jalannya, rasa aman tidak dapat muncul seketika dan perlu dipupuk.
GS : Itu kalau kita memang berhadapan dengan pasangan yang selalu curiga atau tidak bersahabat, tetapi bagaimana kalau dia membatasi pergaulan kita? Memang sejak awal dia membatasi pergaulannya yang tadi Pak Paul singgung membatasi pergaulan kita, supaya kita lebih banyak ke dia daripada ke orang lain. Bagaimana hal ini?
PG : Memang awal-awal kita harus melakukannya, kita harus berkorban, Kalau kita memaksakan untuk pokoknya ini teman-teman, sahabat-sahabat saya sebelum menikah pun sudah sahabat, masa saya putuskan hubungan karena kamu, ini tidak benar, kita paksakan wah ini membuat relasi kita tambah retak, tambah tidak aman, bertambahnya tidak aman itu membuat dia nanti tambah menuntut kita jadi tidak ada habisnya. Kita harus mengalah, kita harus berkata ya sudahlah untuk sementara kita tidak dulu sehingga rasa amannya perlahan-lahan bisa dipupuk, nanti kalau sudah merasa aman dia mau pergi dengan satu pasang, nanti pergi dengan dua pasang teman, nanti mulai merasa aman dalam kerumunan orang yang lebih banyak, dia akan lebih oke.
GS : Tapi dia perlu bahwa kita berkorban untuk itu.
PG : Betul, kita beritahukan itu supaya dia sadar juga bahwa ini tidak mudah untuk kita tapi kita mau melakukannya demi dia.
GS : Kalau kita mau meluangkan waktu atau mengorbankan diri selama beberapa tahun, ‘kan kita perlu melihat progresnya. Setelah kita melakukan hal itu apakah ada perubahan atau tidak. Kalau tidak ‘kan percuma. Ditunggu berapa tahun pun akan sama atau kalau tidak tambah parah.
PG : Seharusnya kalau kita lakukan seperti itu, di rumah kita memberi perhatian, kita benar-benar mengutamakannya, seharusnya kehilangan yang dia alami sewaktu masa kecilnya kurang mendapatkan kasih sayang dan penghargaan, seharusnya mulai terobati, apalagi kalau dia sendiri juga mulai melakukan sesuatu untuk membangun dirinya sehingga dia lebih percaya diri. Seharusnya beberapa tahun kemudian situasi membaik.
GS : Kalau tidak ya itu tadi harus diambil suatu keputusan, Pak Paul. Karena ini ‘kan hanya untuk beberapa tahun.
PG : Betul, kalau tidak ada perubahan sama sekali kita harus putuskan apa yang harus kita lakukan, karena kita akan kehilangan diri kita kalau begini terus. Kalau kita paksakan, relasi kita dengan dia akan benar-benar patah.
GS : Bagaimana dengan pasangan yang tidak aman, Pak Paul?
PG : Kepada pasangan yang tidak aman saya ingin menitipkan pesan yaitu akuilah rasa tidak aman itu, jangan menyangkal dan malah menuduh bahwa pasanganlah yang tidak peka dan tidak tahu bagaimana memerlakukan Anda. Jika Anda mengakui kelemahan dan meminta pertolongan pasangan, saya yakin pasangan Anda pasti bersedia menolong Anda, jadi akuilah bahwa memang Anda takut penolakan orang dan bahwa Anda merasa diri tidak cukup baik. Satu lagi, setiap kali Anda menerima perhatian pasangan, baik di rumah maupun di luar sampaikan terima kasih dan penghargaan pada pasangan. Ini penting untuk mengobati kelelahannya memberi perhatian khusus kepada Anda.
GS : Kalau saja orang itu bisa seperti yang Pak Paul pesankan, mungkin ia lebih cepat bisa berubah atau bisa memerbaiki dirinya, tapi biasanya orang-orang seperti ini tidak punya niat atau kemampuan untuk merubah diri.
PG : Ini memang kelemahannya, Pak Gunawan, cukup banyak orang yang tidak aman secara sosial, gengsinya tinggi. Bukannya mengaku saya ini takut, saya ini cemas, saya takut ditolak, saya merasa tidak berharga. Bukannya mengakui malah meninggikan diri, menganggap dirinya lebih baik. Orang-oranglah yang memang kurang menghargai dia, orang-oranglah yang keterlaluan, jadi ya susah memang kalau tidak mau mengakui masalahnya. Saya titipkan pesan kepada yang seperti ini, jangan malu akui ini kelemahan, minta tolong pasangan untuk memberi perhatian.
GS : Bagaimana membuat supaya dia sadar bahwa dia ini keliru?
PG : Mungkin sebagai pasangan kita mesti bicara apa adanya, "Ini yang saya lihat, kamu mungkin tidak melihatnya demikian tapi tidak penting kamu bila misalnya tidak mengakui ya tidak apa-apa, sebab saya bersedia menolong kamu. Itu yang kita lebih tekankan.
GS : Pak Paul, kita percaya bahwa yang bisa merubah dia tentunya hanya Tuhan. Dan apa firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Amsal 19:8 mengingatkan "Siapa memperoleh akal budi mengasihi dirinya; siapa berpegang pada pengertian mendapat kebahagiaan". Rasa tidak aman adalah aktifitas perasaan sudah tentu kita boleh dan seharusnya memerhatikan perasaan tetapi kita tidak boleh dikendalikan oleh perasaan, kita harus dikendalikan oleh akal budi dan pengertian. Jadi jangan biarkan perasaan menguasai kita sebaliknya gunakan pikiran dan pengertian untuk menyimpulkan apa yang terjadi. Firman Tuhan berkata orang yang menggunakan akal budi mengasihi dirinya dan orang yang menggunakan pengertian memeroleh kebahagiaan. Sebaliknya kita bisa berkata, orang yang tidak memakai akal budi menyusahkan dirinya dan orang yang tidak menggunakan pengertian menyengsarakan dirinya.
GS : Jadi kedua-duanya ini penting buat kita, akal budi dan pengertian, kedua-duanya perlu seimbang didalam diri seseorang supaya ia bisa bersosialisasi dengan baik dan tidak selalu curiga kepada orang lain. Yang terutama tidak menyusahkan pasangannya, Pak Paul. Sebagai manusia rasanya sulit berubah kalau bukan Tuhan yang mengubah dia.
PG : Betul.
GS : Terima kasih sekali, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan yang Tidak Aman Secara Sosial". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.