Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mendisiplin anak remaja kita. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kedua anak kami juga sudah remaja, kami juga marasakan perlunya kami mendisiplin mereka. Tetapi ada satu kesulitan, karena mereka sudah lebih besar, kalau dahulu kami sering melakukan disiplin dengan memukul mereka, sekarang rasanya itu tidak pantas. Selain badannya sudah besar, saya sendiri kadang-kadang khawatir kalau mereka melawan. Nah, sebenarnya sampai di usia berapa seorang anak itu baik pria maupun wanita, bisa kita disiplin dengan pukulan Pak Paul?
PG : Secara garis besar anak-anak itu masih bisa kita disiplin dengan pukulan dalam batas yang wajar Pak Gunawan, sampai kira-kira usia 10, 11 tahun. Melewati usia itu anak-anak sebetulnya tdak lagi tepat untuk didisiplin dengan pukulan, sebab pukulan tidak akan menimbulkan reaksi yang diinginkan yaitu kepatuhan dan perubahan perilaku, justru sering kali menimbulkan perasaan benci pada si anak terhadap kita orang tuanya.
GS : Itu dikarenakan faktor pertumbuhan tubuhnya atau pertumbuhan kejiwaannya?
PG : Pertumbuhan kejiwaannya, jadi begini Pak Gunawan, kita ini sebetulnya mempunyai (saya gunakan istilah) daerah jadi kita ini mempunyai rasa kepemilikan atas daerah hidup kita. Misalkan kta berbicara dengan seseorang, biasanya dibatasi atau dalam jarak sekitar 1 meter.
Kalau kita bicara dengan seseorang dalam jarak 30 cm kita akan merasa terlalu dekat/tidak nyaman. Dengan kata lain memang kita mempunyai teritori atau rasa akan daerah yang kita miliki itu, termasuk juga dengan tubuh kita Pak Gun, jadi kita tidak akan terlalu suka misalkan orang memukul atau menepuk pundak kita dan kita menganggap orang itu tidak terlalu akrab dengan kita. Jadi tubuh kita pun tidak untuk disentuh oleh orang dengan sembarangan. Nah, anak-anak kecil belum memiliki rasa teritori ini secara jelas, namun makin dewasa anak makin menyadari dan mempunyai perasaan memiliki akan teritori tubuhnya ini. Dan biasanya pada waktu anak usia pra remaja dan remaja 11, 12 tahun mulailah dia merasakan teritori tubuhnya ini, oleh sebab itulah sewaktu orang tua memukul dia (dan sudah tentu memukul itu 'kan tanpa seizin si anak) dia akan merasa adanya suatu insansi, adanya suatu penyerangan terhadap tubuhnya atau teritorinya. Itu sebabnya anak-anak yang sudah usia remaja kalau dipukul bereaksi, meskipun tidak langsung misalnya dengan mengeluarkan kemarahan di hadapan si orang tua tapi dalam hati dia biasanya menyimpan rasa sakit hati yang berat, karena rasa teritorinya sudah dilanggar oleh si orang tua, di mana tanpa seizinnya orang tua menggunakan pukulan yang keras untuk mendisiplin dia.
(1) GS : Kalau begitu pola kita mendisiplin anak remaja ini harus berubah Pak Paul?
PG : Pada masa kecil kalau diperlukan memang kita menggunakan disiplin dengan pukulan, tapi setelah anak mulai remaja tidak lagi. Nah, saya akan menjelaskan kategorinya atau penjabarannya. Tdi saya berkata, waktu anak kecil boleh dipukul itu juga dalam pengertian kita menyadari atau memahami tindakan apa yang boleh menerima disiplin dengan pemukulan, sebab tidak semua tindakan anak boleh didisiplin dengan pemukulan.
Contohnya, anak menumpahkan segelas air sewaktu dia sedang makan, misalkan anak itu berusia sekitar 8 tahun. Nah, saya tidak menganjurkan orang tua memarahinya dengan keras atau memukulnya, karena menumpahkan segelas air. Karena apa? Karena memang itulah anak-anak, jadi menumpahkan segelas air adalah hal yang memang dikaitkan dengan sifat kekanak-kanakan. Ya kita saja yang usianya sudah puluhan tahun ini kadang kala menyenggol gelas dan menumpahkan air, apalagi anak kecil yang rasa koordinasinya belum begitu bertumbuh dengan matang, adakalanya anak-anak itu memang sukar mengendalikan perasaannya sewaktu dia sedang senang, dia sedang bercerita tangannya bergerak akhirnya gelas tumpah. Ada orang tua yang tidak menyadari hal ini, dia melihat anaknya menumpahkan gelas langsung dia marah dan memukulnya, jadi itu tidak tepat. Memang pemukulan boleh dilakukan untuk hal yang tepat, nah yang tepat itu seperti apa, saya di sini mengutib perkataan Dr. James Dobson seorang psikologi Kristen yang memang dikenal luas di Amerika Serikat. Dr. James Dobson menekankan bahwa disiplin dengan pemukulan hanya dilakukan untuk tindakan yang memberontak atau membangkang. Jadi misalkan anak itu meski umur 4 tahun pun kalau dengan jelas-jelas membangkang kita misalnya matanya menyoroti kita dan mukanya marah terhadap kita dan langsung melakukan lagi dengan sengaja hal yang kita larang, meski dia usianya hanya 4 tahun kita boleh pukul, misalnya kita pukul pantatnya atau kita pukul tangannya supaya dia sadar bahwa kita tidak menyetujui tindakannya itu. Jadi saya setuju sekali dengan Dr. Dobson yaitu anak yang membangkang boleh diberikan pukulan, kalau tidak membangkang sebetulnya tidak usah, teguran pun sudah cukup, nah itu untuk kasus anak-anak. Untuk menjawab yang tadi Pak Gunawan tanyakan, kalau sudah remaja bagaimana? Nah, saya menawarkan 2 istilah untuk anak-anak remaja, yang pertama adalah dialog dan yang kedua adalah sanksi. Yang pertama dialog, dialog berarti kita mesti sering berbicara dengan anak-anak sebelum ada pendisiplinan. Jadi kita mesti membuka ruang komunikasi yang luas dengan anak-anak, sehingga dia bisa bebas mengutarakan dirinya kepada kita. Sampai titik di mana kita harus mendisiplin dia nah kita juga menggunakan dialog yaitu berbicara untuk membujuk dia supaya dia jangan melakukan hal yang dia lakukan atau dia akan lakukan. Nah, anak-anak remaja cenderung responship terhadap upaya untuk menjangkaunya melalui dialog, sebab apa? Sebab dia merasa adanya penghargaan. Kita saja yang sudah dewasa misalkan atasan kita di tempat pekerjaan langsung memarahi kita, kita akan merasa tidak suka, namun kalau dia itu mencoba berdialog dengan kita dan menjelaskan apa yang dia inginkan dan di mana letak kesalahan kita, kita cenderung lebih bisa menerimanya. Nah, salah satu faktor kenapa kita bisa menerimanya adalah faktor penghargaan dan anak remaja sudah mempunyai kebutuhan untuk penghargaan seperti itu.
IR : Jadi komunikasi orang tua dan anak itu harus sesering mungkin Pak Paul. Tapi bagaimana sekarang kalau salah satu orang tua ini pendiam misalnya si ayah itu pendiam sedangkan ibu banyak bicara sehingga hubungannya anak dengan si ayah ini pun berbeda dengan si ibu, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Itu bisa menjadi masalah, meskipun tidak harus selalu akhirnya menjadi masalah. Yang saya maksud adalah tidak semua orang berkepribadian sama yaitu komunikatif, suka berbicara. Ada memag di antara kita yang lebih pendiam daripada yang lainnya, yang penting adalah bukannya berapa banyak tetapi berapa terbukanya.
Jadi komunikasi antara orang tua-anak sangat dipengaruhi oleh keterbukaan si orang tua terhadap si anak. Semakin orang tua nyaman membuka diri kepada anak, semakin anak akan merasa dekat dengan orang tua. Saya berikan contoh misalkan si anak sedang mulai bertumbuh dewasa dan kita mulai meraba-raba bahwa dia mungkin mengalami tekanan-tekanan dari teman atau yang biasa disebut peer pressure. Nah, ada baiknya kita memanggil si anak meskipun kita pendiam, kita memanggil si anak dan berkata: "Ayah ingin bicara dengan engkau," "Apa Pa?" Terus kita beritahu: "Saya menyadari engkau sekarang mulai menginjak usia remaja dan ayah menyadari adakalanya sebagai remaja kita terpaksa melakukan hal-hal yang kita sebetulnya tidak ingin lakukan, tapi tetap kita lakukan karena kita tidak mau dianggap seperti banci atau penakut oleh teman-teman kita, apakah kamu juga merasakan hal yang sama?" Nah, misalkan si anak berkata: "Tidak, saya tidak merasa begitu." Ayah bisa berkata: "Baik, bagus kalau misalnya engkau tidak merasakan hal itu." Tapi terus si ayah menyambung dengan berkata: "Ayah pernah mengalami hal-hal itu sewaktu ayah seusia engkau, ayah pun adakalanya melakukan hal yang sebetulnya tidak ayah sukai tapi terpaksa ayah lakukan. Misalkan sebetulnya ayah tidak mau merokok karena ayah tahu itu tidak baik tapi terpaksa ikut merokok, awal-awalnya karena apa? Karena semua teman-teman merokok. Jadi daripada ayah dikatakan penakut atau banci ayah ikut merokok, nah akhirnya setelah ayah lebih dewasa ayah sadari kenapa ayah harus ikut-ikutan mereka, jadi akhirnya ayah stop merokok. Nah, mungkin engkau juga akan melalui masa seperti itu dan ayah hanya ingin memberitahu engkau. Kalau sampai engkau mengalami hal seperti itu ayah ingin engkau merasa bebas bicara dengan ayah, sebab mungkin ayah bisa memberikan masukan-masukan karena ayah pun mengalami hal-hal yang seperti itu dulu." Nah, saya kira keterbukaan seperti ini merupakan tanda, merupakan suatu sinyal yang menyambut si anak atau membuka pintu kepada si anak untuk masuk ke dalam hidup si ayah. Sehingga lain kali si anak merasa lebih bebas sebab sudah diundang untuk masuk ke dalam kehidupan si ayah.
GS : Tapi saya itu kadang-kadang khawatir Pak Paul, kalau cuma diberitahu dengan kata-kata atau diajak dialog kita itu tidak dianggap oleh anak-anak remaja kita. Karena saya melihat orang tuanya masih memukul, apakah kekhawatiran itu beralasan sebenarnya?
PG : Untuk anak-anak tertentu itu betul, jadi akan ada anak-anak yang bisa tanggap dan tunduk kepada kita melalui dialog tapi ada juga anak-anak remaja yang keras kepala, jadi setelah kita brdialog dengan dia pun tidak ada hasilnya, dia tetap melakukan hal yang kita larang.
Nah untuk anak seperti itu saya kira ada cara yang lain yaitu cara sanksi, sanksi adalah memberikan konsekuensi atas perbuatannya tatkala dia melanggar larangan kita. Sanksinya seperti apa, saya bisa berikan contoh misalkan kita tidak memberikan dia uang jajan selama dua hari, nah untuk memberikan sanksi dengan efektif atau menjalankan metode sanksi dengan efektif ini kita perlu memberitahu dia terlebih dahulu sebelum sanksi itu diberikan. Jadi misalnya kita meminta anak kita pulang sebelum jam 11.00 atau paling lama jam 11.00 malam pada hari Sabtu misalnya. Kemudian dia tetap pulang jam 12.00, jam 12.30 pagi nah kita beritahu dia tetap dia melakukan hal yang sama, nah kita berikan dia sanksi. Kita beritahu dia hari Sabtu ini jikalau engkau tetap pulang di atas jam 11.00, selama 3 hari setelah hari Sabtu engkau tidak akan mendapatkan uang jajan sama sekali. Nah, sanksi seperti itu memang bertujuan untuk membuat anak dirugikan, nah ini lain lagi dengan anak-anak kecil. Anak kecil memang perlu sedikit banyak merasakan sakit, sakit secara fisik misalnya pada waktu dia nakal dipukul pantatnya. Tapi setelah anak-anak remaja, yang lebih efektif adalah waktu anak merasa dirugikan, dibatasi, sehingga yang dia bisa nikmati tidak bisa lagi dia nikmati karena telah diambil. Jadi 3 hari tidak dapat uang jajan itu sudah lumayan menyakiti dia atau merugikan dia. Misalkan dia melakukannya lagi setelah itu, nah kita bisa beritahu kalau engkau melakukannya lagi selama seminggu engkau tidak dapat uang jajan. Jadi kita berikan dia waktu yang lebih lama agar dia merasakan sulitnya seminggu sekolah tanpa uang jajan sama sekali. Nah, selain dari sanksi ini waktu kita memarahi dia kita memang tidak usah lagi memukul dia tapi kita perlu memarahi dia dengan nada yang tegas, nah di sinilah ayah berperan besar. Waktu anak remaja terutama pada masa remaja yang lebih harus terlibat dalam mendisiplin anak adalah si ayah jadi firman Tuhan yang kita ketahui di Efesus 6:4 itu memang menugaskan ayah untuk mendisiplin anak, terutama anak remaja. Sebab anak remaja pada umumnya lebih takut kepada ayah daripada ibu.
IR : Nah, ini dibutuhkan waktu Pak Paul, kalau si ayah itu pulang sudah sore habis bekerja rata-rata itu tidak ada waktu lagi untuk mendisiplinkan anak, jadi seolah-olah tanggung jawab disiplin itu terletak pada si ibu ini kesulitan sekali Pak Paul.
GS : Waktu kita bekerja si anak ini melakukan indisipliner, apakah pada waktu itu tadi yang ibu Ida katakan ibu harus bertindak atau tunggu ayah atau bagaimana Pak Paul?
PG : Ibu harus bertindak, jadi saya tidak setuju dengan metode yang mendelegesikan kepada ayah, maksud saya begini ada ibu yang misalnya berkata kepada anaknya: "Nanti setelah ayah pulang kau akan dimarahi," nah bagi saya kalimat itu justru melemahkan posisi si ibu di hadapan si anak.
Sebab seolah-olah si ibu itu tahu bahwa dia lemah dan tidak lagi berpengaruh untuk menegur atau menangani si anak. Jadi saran saya kalau misalkan anak itu berbuat kesalahan di depan mata si ibu tetap si ibu memarahi, harus bertindak dan tidak usah berkata: "Nanti ayahmu pulang kamu akan kena," tidak usah tapi setelah ayah pulang malam nanti memang ibu harus berbicara dengan ayah tentang tindakan itu kalau misalnya memang perlu diketahui oleh si ayah. Dan si ayah langsung bebicara dengan si anak juga dan memberikan teguran yang keras kepada si anak. Jadi dengan kata lain si anak akhirnya tahu bahwa waktu dia salah mama atau ibu akan menegur dan nanti setelah ayah pulang dia juga akan kena teguran. Nah, di situ dia akan melihat kekompakan ayah dan ibu dan ini penting sekali, sebab disiplin kalau memang disetujui atau disepakati oleh kedua orang tua menjadi disiplin yang sangat solid, sangat kuat. Sedangkan disiplin yang hanya diberikan oleh satu oknum saja tidak akan menjadi disiplin yang kuat atau yang solid, jadi sebaiknya memang dua-dua menyepakati dan si anak akan merasa tidak berkutik lagi.
GS : Tapi akibatnya memang mungkin tadi ibu Ida benar, ibu itu yang lebih banyak bicara Pak dengan anaknya?
PG : Ya bicara dalam pengertian memang lebih banyak waktu daripada si ayah yang pulang sore atau malam kita tidak bisa berkompetisi maksudnya ayah-ayah ini dengan para ibu karena cukup banya di antara ibu yang menjadi ibu rumah tangga secara penuh waktu.
Jadi saran saya adalah meskipun tidak banyak waktu tapi si ayah menyempatkan diri secara berkala untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dengan si anak, mencari tahu tentang si anak, tentang minatnya, hobynya dan sekali-sekali mengajak si anak pergi berdua. Waktu saya remaja, ayah saya hampir setiap minggu suka mengajak saya nonton film, mungkin 2 minggu sekali atau kadang-kadang seminggu sekali dan berdua saja dengan saya nonton terus pulang lagi. Dan saya menyadari bahwa itu adalah caranya dia untuk mendekatkan diri dengan saya, sudah tentu itu tidak saya sadari waktu saya remaja, saya hanya menikmati saja diajak nonton. Tapi akhirnya baru saya sadari itulah upayanya dia untuk dekat dengan saya.
IR : Sehingga si anak pun juga terbuka dengan si ayah Pak Paul?
PG : Nah, terbuka atau tidaknya anak tergantung pada terbuka atau tidaknya kita terhadap anak, jadi sering kali anak itu tidak mendahului kita pada masa remaja. Pada masa kecil anak-anak ituterbuka cerita apa saja tapi setelah remaja anak-anak memang cenderung menyembunyikan informasi-informasi tertentu tentang kehidupannya dan itu adalah hal yang wajar, tidak apa-apa.
Namun kalau kitanya terbuka dengan mereka, mereka pun akan lebih merasa nyaman terbuka dengan kita, semakin kitanya enggan membicarakan topik-topik tertentu, mereka juga akan enggan.
(2) GS : Ada suatu pola yang saya lihat Pak Paul, kalau ibu itu memarahi anaknya dengan kata-kata, itu cenderung diulang-ulang nanti suami atau ayah datang ibu akan cerita Pak Paul, anak itu dimarahi lagi. Besok paginya ketika ayahnya sudah pergi anak itu masih dimarahi lagi. Nah, anak ini menjadi jenuh Pak Paul kalau ayah itu sekali berbicara tapi jarang-jarang nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Yang efektif adalah kemarahan itu tidak diulang-ulang jadi memang kebetulan ada firman Tuhan yang saya kutib dari kitab Amsal 17:10, "Suatu hardikan lebih masuk pada orang erpengertian daripada 100 pukulan pada orang bebal."
Di sini ditekankan bahwa orang yang berpengertian atau di Amsal ditekankan orang yang bijaksana atau berhikmat akan bisa menghargai satu hardikan, tapi orang yang bebal atau orang yang tidak bijaksana bahkan 100 pukulan pun tidak bisa membuat dia itu berubah. Nah, kalau kita terapkan ini dalam konteks rumah tangga antara orang tua dan remaja yang tugas utama kita adalah kita harus menjadikan anak-anak kita orang yang berhikmat, yang berpengertian. Sehingga lain kali kita hanya cukup memberikan dia hardikan dan dia sudah langsung tanggap, nah salah satu cara membuat anak itu berhikmat adalah dengan kitanya sendiri memulai menjadi orang tua yang berhikmat. Karena anak itu akan mencontoh, meniru semua perilaku orang tuanya baik yang positif maupun yang negatif. Kalau mereka melihat atau anak itu melihat bahwa orang tuanya adalah orang tua yang bijaksana mereka juga akan belajar untuk hidup bijaksana. Nah, salah satu hal yang penting dalam mendisiplin anak adalah kita tidak mengulang-ulang kemarahan kita atau hati kita yang sedang kesal itu kita terus tumpahkan pada si anak. Sebab memang akan kehilangan dampaknya dan akhirnya apa kita ngomel-ngomel selama 2, 3 jam tidak ada hasilnya.
GS : Tapi kalau kita harus menghardik anak mestinya pada saat dia salah Pak Paul, pada saat dia salah kita hardik dia. Tapi pada waktu dia salah ayah tidak ada di rumah, jadi kesulitan Pak Paul untuk mengambil saat yang tepat, yang mestinya dihardik tapi kita tidak di rumah kemudian si ibu yang menghardik tapi kalau cara menghardiknya diulang-ulang, anak merasa bosan atau bahkan tidak menganggap itu kata-kata ibunya.
PG : Sering kali begitu, jadi ibu perlu menghardik langsung, menegur langsung tapi sekali saja, jangan diulang-ulang. Dan setelah pulang, ayah bisa memanggil si anak dan menegurnya kembali aas kesalahan yang tadi itu.
Jadi misalkan ayah berkata: "Tadi ibu sudah menceritakan kepada saya apa yang engkau lakukan, ayah ingin tahu kenapa engkau berbuat itu?" Jadi tanya lagi, sebaiknya memang ayah sebelum memarahi atau menegur memberikan kesempatan kepada si anak untuk menjelaskan, jadi jangan sampai belum apa-apa langsung memarahi dia. Ada kalanya kita lupa kita langsung memarahi, sebaiknya tidak, memang sebaiknya kita memberikan dia kesempatan, dengan cara itu si anak juga merasa diperlakukan adil. Bahwa dia diberi kesempatan untuk menyajikan sisinya, sisi ceritanya itu sebelum akhirnya kita memarahi dia. Dan yang kedua kenapa penting kita meminta dia menyajikan ceritanya kepada kita, supaya kita pun sebagai ayah tidak dilihat anak sebagai aparat ibu atau antek ibu yang menurut saja, ibu bilang apa ikut terus. Sebab kalau kita dilihat anak (kita maksudnya ayah) dilihat anak sebagai ayah yang menurut saja apa yang ibu mau kita sebetulnya akan dianggap remeh olehnya, kita akan dilecehkan. Dan itu justru akan merugikan kita tatkala kita harus mendisiplin dia.
GS : Tapi itu berarti membuka peluang untuk anak itu berargumentasi Pak Paul, 'kan pasti dia membela dirinya, dia akan mengadukan kepada kita. Kalau tadi Pak Paul tanyakan sebenarnya apa masalahnya dan sebagainya dia tentu akan membela diri.
PG : Kalau masalahnya jelas dia salah meskipun dia telah menyajikan ceritanya kita tetap tekankan tanggung jawabnya itu. Namun kenapa saya toh lebih menyetujui adanya dialog atau argumentasidibandingkan tidak ada sama sekali.
Sebab memang pada usia remaja anak-anak itu ingin sekali diberikan kesempatan untuk menyajikan argumennya, dia ingin sekali dimengerti dan dia akan merasa lebih dihargai kalau kesempatan itu diberikan kepadanya, jadi itu adalah hal yang sehat saya kira.
GS : Jadi memang si ayah tidak perlu khawatir kehilangan wibawa Pak Paul dan dengan mendengarkan alasan-alasan anak atau bahkan mungkin bisa saja dalam pandangan si ibu memang anak itu salah sehingga dimarahi, tapi ketika anak itu menguraikan alasan-alasannya si ayah ini berpendapat sebenarnya kamu tidak salah, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Bisa terjadi, kalau memang si ibu misalnya overact, bereaksi berlebihan. Nah, dalam hal itu kita sebaiknya tetap berdiri di atas kebenaran, sebab istri kita bukanlah manusia yang sempura dan bisa salah.
Untuk kesalahan yang sangat kecil istri kita bisa sangat marah karena lagi tertekan dan sebagainya, dan kita bisa berkata kepada si anak "OK! Ayah sudah mendengar dan ayah memang melihat mama bereaksi berlebihan terhadap kamu, saya tadi kebetulan tahu kenapa mama begitu. Mama lagi ada sedikit masalah dengan ini, ini, dan adakalanya kita berbuat hal yang sama kalau kita lagi tertekan akhirnya menumpahkan kemarahan kita pada orang lain. Jadi dalam hal ini saya kira memang keliru dan mungkin saya akan berbicara dengan mama supaya mama mungkin bisa berbicara dengan kamu dan kalau perlu meminta maaf kepada kamu. Nah, tapi selain dari pihak mama yang memang salah, dari pihak kamu sendiri apa tanggung jawabmu," misalkan dia memang juga berbuat kesalahan meskipun kecil, nah kita bisa tekankan: "meskipun sebetulnya kesalahanmu sangat kecil tapi tetap itu adalah suatu pelanggaran, nah bagaimana kalau engkau juga meminta maaf." Jadi saya kira jangan sampai kita membabi buta membela pasangan kita jadi kalau memang kita sadari yang benar adalah anak kita, kita harus berkata hal yang benar juga. Dari situlah respek anak terhadap orang tua bertumbuh begitu.
GS : Ya, saya percaya sekali bahwa ada banyak anak remaja yang mendambakan orang tua yang mau bicara dengan mereka Pak Paul, khususnya pada saat-saat ini yang bukan cuma dimarahi tetapi juga mau didengar. Demikianlah tadi para pendengar telah kami persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.