Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Menyelaraskan Perbedaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Sejak awal memang kita sadari, sewaktu memasuki pernikahan itu kita adalah dua pribadi yang berbeda. Tapi ketika firman Tuhan mengatakan kita dijadikan satu, tentu beserta dengan perbedaan-perbedaan yang kita bawa. Seringkali di awal-awal pernikahan khususnya, sulit sekali untuk menemukan kesamaan. Mungkin sampai mati pun masih ada perbedaan yang tidak bisa terjembatani. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Pada awalnya perbedaan adalah hal yang menarik kita kepada pasangan, Pak Gunawan. Tapi dalam kenyataannya pada akhirnya perbedaan juga yang seringkali menjauhkan kita dari pasangan. Itu sebabnya dalam kesempatan ini kita mau menyoroti ada beberapa hal yang berkaitan dengan perbedaan yang mesti kita jembatani dalam pernikahan. Yang pertama berkaitan dengan bicara. Ada yang bicara seperlunya dan ada yang bicara sebanyak-banyaknya. Ini dua hal yang seringkali menjadi konflik dalam pernikahan. Sudah tentu pada awalnya yang bicara seperlunya akan merasa senang bersama dengan yang bicara sebanyaknya, sebab baginya hidup menjadi lebih semarak. Ada yang berbincang-bincang dan dia tinggal mendengarkan. Dan yang bicara sebanyaknya senang bersama dengan yang bicara seperlunya sebab dia merasa didengarkan. Nah, pada awalnya masalah biasanya timbul setelah pernikahan. Setelah menikah, yang bicara seperlunya mulai merasa pusing mendengarkan celoteh pasangannya yang terus bicara. Dia juga sering merasa dituntut untuk bicara lebih banyak padahal dia tidak begitu menyukai bicara sebanyak itu. Baginya, bicara adalah untuk menyampaikan suatu keperluan. Jadi jika tidak ada keperluan, maka tidak ada yang perlu dibicarakan. Nah, sebaliknya, yang bicara sebanyaknya beranggapan bahwa bicara adalah darah yang menghidupi pernikahan. Tanpa bicara maka matilah pernikahan. Akhirnya dia pun mulai merasa sepi. Sebab yang dia butuhkan bukan saja didengarkan tetapi juga ditanggapi. Dia berharap bahwa pasangannya berinisiatif untuk membagikan pengalamannya sekecil apapun guna mempererat tali keintiman. Tapi pasangannya tidak kunjung melakukan itu, terus saja pasif, terus diam dan hanya bicara seperlunya. Akhirnya tidak bisa tidak dia akan merasa tertekan sebab dia tidak diperbolehkan menjadi dirinya. Karena kalau dia banyak bicara nanti pasangannya tidak suka dan tidak mau mendengarkan dia. Jadi akhirnya dia merasa sengsara karena tidak bisa menjadi apa adanya.
GS : Sebenarnya apa yang menimbulkan perubahan seperti itu, Pak Paul ? Misalnya pada saat pacaran, kita bisa mendengarkan pasangan kita yang cerewet atau banyak bicara. Kita masih bisa menerima. Tapi setelah menikah kenapa kita jadi tidak bisa menerima, mengapa Pak Paul ?
PG : Seperti makanan, Pak Gunawan. Saya suka bakmie. Bisa tidak saya makan mie sehari sekali ? Bisa. Bisa tidak saya makan mie tiga kali sehari ? Sudah mulai susah, Pak Gunawan. Bisa tidak saya makan mie tiga kali sehari selama dua hari berturut-turut ? Sudah hampir tidak bisa. Bisa tidak saya makan mie tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut ? Nah, poin saya adalah kalau kita hanya mendengar celoteh pasangan seminggu dua tiga kali, satu dua jam, masih bisa. Tapi kalau harus bersama dia 24 jam dan mendengarkan dia bicara sebanyak itu belum tentu kita bisa. Sama juga kita senang dengan dia, dia pendiam. Kita berbicara dia mendengarkan. Kita bisa begitu selama satu dua jam atau mungkin dua tiga kali seminggu. Namun bersama dengannya setiap hari kita pulang ke rumah melihat dia diam. Melihat dia pulang kerja langsung duduk, langsung makan, kemudian nonton TV atau membaca koran, tidak bicara sepatah kata pun dengan kita, kita tidak tahan. Kenapa ? Intensitasnya sudah berubah, Pak Gunawan. Yang kedua yang membuat berbeda sebelum dan sesudah pernikahan adalah karena adanya ekspektasi, pengharapan atau tuntutan. Sebelum menikah kita masih berkata, "Ya tidak apa-apa lah. Namanya juga masih berpacaran." Tapi setelah menikah, tuntutan kita juga makin mengental. Kita makin mengharapkan pasangan kita berbuat lebih. Sewaktu dia tidak berbuat lebih meskipun kita sudah memintanya dan memberitahu apa yang kita butuhkan, nah kita tidak terima.
GS : Berarti kita menyadari perbedaan itu sejak kita pacaran. Sebenarnya tidak cukup hanya disadari ya, harus ada perubahan dari kedua belah pihak.
PG : Betul. Jika sejak dari masa berpacaran kita sudah melihat adanya perbedaan ini, kita mesti mulai membayangkan kira-kira bagaimana kalau saya 24 jam bersamanya setiap hari, apakah saya tahan ? Apakah saya bisa terima ? Dan kita juga mesti membayangkan bersediakah kita berubah juga ? Kalau kita mencintainya sudah tentu kita mesti menyesuaikan diri. Nah, bersediakah kita berubah ? Kalau kita berkata, "Saya tidak bersedia berubah. Saya tidak bersedia mendengarkan dia." Ya lebih baik jangan menikah dengan dia.
GS : Iya. Tapi kalau kita juga mau memberitahu dia pada masa berpacaran, "Kamu terlalu banyak bicara. Nanti harus bisa dikurangi. Kamu bisa tidak ?" ‘kan tidak enak, Pak Paul.
PG : Makanya ini yang sering terjadi, pada masa berpacaran kita ingin menyenangkan hati pasangan. Kita ingin menjadi seperti yang diharapkannya. Ada baiknya pada masa berpacaran tolong untuk lebih apa adanya. Meskipun kita ingin menyenangkan hati pasangan, tapi jujur katakan bahwa, "Sepertinya kalau seperti ini saya kurang tahan. Bagaimana kalau yang lainnya ?" Nah, itu hal-hal yang perlu dilakukan pada masa berpacaran.
GS : Tapi memang biasanya begitu, sifat pendiam dan sifat senang berbicara itu sangat sulit untuk diubah. Lalu jalan keluarnya bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang dibutuhkan untuk menyelaraskan hubungan ini adalah penetapan waktu dimana yang bicara sebanyaknya dapat berbicara sebanyaknya dan yang bicara seperlunya dapat mendengarkan dan menanggapinya. Penetapan waktu memberikan ruang kepada yang bicara seperlunya untuk tidak diganggu sehingga dia dapat berkonsentrasi melakukan tugasnya. Dengan kata lain, waktunya harus ditetapkan dimana yang satu bisa berbicara, yang satu bisa mendengarkan. Sedangkan yang bicara seperlunya tahu bahwa inilah waktu yang ditetapkan berarti di luar itu saya bisa konsentrasi melakukan tugas saya. Tapi sudah tentu ini tidak berarti bahwa di luar waktu yang ditetapkan, keduanya tidak boleh bicara. Tidak seperti itu. Di luar waktu yang ditetapkan, keduanya tetap boleh bicara namun itu tidak boleh digunakan sebagai waktu yang ditetapkan untuk bicara. Penetapan waktu yang khusus untuk bicara adalah penting bagi keduanya untuk menjalin keintiman. Jadi kita tidak boleh berkata, "Tadi ‘kan sudah bicara." Ya belum. Yang dibutuhkan adalah benar-benar berbicara. Sediakan waktu khusus. Jadi yang bicara seperlunya tidak boleh langsung memakai alibi, "Bukankah tadi sewaktu makan sudah bicara." Perlu waktu yang khusus. Pernikahan mungkin bertahan dengan pembicaraan basa-basi. Tapi pernikahan tidak dapat bertumbuh tanpa pembicaraan yang hangat dan mendalam. Jadi tetapkanlah waktu, misalkan di waktu malam sebelum tidur dimana masing-masing dapat berbicara apa adanya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
GS : Masalahnya membicarakan atau membangun pembicaraan yang hangat dan mendalam itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalkan mulai dengan apa yang dialami pada hari ini, apa yang dirasakan, apa yang jadi impian dan keinginan, atau apa yang diharapkannya dari pasangan, apa yang sedang dibutuhkan dari pasangan. Jadi bicarakan hal-hal seperti itu bukan hanya hal-hal yang ringan. Tentu boleh bicara hal-hal yang ringan, tapi juga bicarakan hal-hal yang berat.
GS : Terutama yang menyangkut emosi dan perasaan dari pasangan kita, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi kita dengarkan perasaannya, kita lihat apa yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Itu yang kita bicarakan.
GS : Selain menyelaraskan bicara, apalagi yang perlu diselaraskan, Pak Paul ?
PG : Hal kedua berkaitan dengan kualitas. Ada yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya dan ada yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Pada awal perkenalan, yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya merasa senang bersama dengan yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Mungkin dia merasa tenang, santai, bebas dari tekanan dan tuntutan. Jika sebelumnya dia merasa dikejar-kejar tenggat dan harapan, sekarang dia merasa relaks. Itu sebabnya dia menghargai sikap pasangan yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya. Sebaliknya pada awal perkenalan, yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya senang bersama dengan yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya sebab dia merasa terpacu untuk menjadi dan memberikan diri terbaiknya. Mungkin sebelumnya dia tidak pernah mengira bahwa dia sanggup menghasilkan karya sebaik itu. Sekarang bersama pasangan dia dapat melakukan hal-hal yang sebelumnya tak terbayangkan. Masalahnya adalah setelah pernikahan, semua ini mulai berubah, Pak Gunawan. Yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya merasa letih karena harus terus mendorong pasangannya. Dan dia pun kesal melihat mutu pekerjaan yang jauh di bawah standartnya. Apapun yang dimintanya untuk dikerjakan, dikerjakan dengan kualitas yang menjengkelkannya. Sehingga pada akhirnya dia enggan meminta tolong pasangannya, dia lebih suka mengerjakan semuanya sendiri karena hasilnya lebih memuaskan. Masalahnya dia bertambah lelah dan orang yang lelah akan mudah marah. Sebaliknya, yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya setelah menikah mulai frustrasi karena apa pun yang dilakukannya tidak pernah dapat memenuhi harapan pasangan. Akhirnya dia merasa marah karena terus dituntut untuk berbuat lebih, dan sikap pasangan terhadapnya membuat dia merasa tidak direspek. Akhirnya dia lepas tangan, bersikap tidak mau tahu, dia membiarkan pasangan melakukan segalanya. Relasi pernikahan pun mulai retak dan keintiman mulai renggang.
GS : Memang menikah dengan seorang perfeksionis juga sulit karena tuntutannya begitu tinggi, sehingga untuk menyesuaikan diri dengan orang seperti ini agak sulit. Misalnya menempatkan barang harus tepat di tempatnya tidak boleh bergeser sedikit pun. Jam harus tepat. Ini ‘kan bisa membuat kehidupan jadi tegang.
PG : Memang ada orang yang perfeksionis, Pak Gunawan. Sudah tentu akan berat menikah dengan perfeksionis. Semua harus tertata rapi, standard itu harus tanpa cacat cela, ada yang seperti itu. Tapi saya kira kebanyakan orang bermasalah pada perbedaan kualitas. Ada yang lebih sembarangan, cepat puas, tidak apa-apa begini sajalah. Tapi ada yang tidak bisa, kenapa sih tidak kerjakan lebih baik lagi meskipun tidak harus sempurna, tapi memang standartnya lebih tinggi. Nah, soal standart inilah yang seringkali jadi masalah dalam pernikahan. Standart yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya. Sebab kita harus akui jarang orang menikah dengan mempunyai standard kualitas yang sama persis, kebanyakan berbeda.
GS : Biasanya yang tinggi menuntut yang rendah naik ke levelnya. Tapi setelah naik, standartnya ditinggikan lagi, Pak Paul.
PG : Bisa demikian. Memang ada orang yang tidak pernah puas jadi selalu menuntut lebih lagi, lebih lagi, lebih lagi. Misalnya ada yang mengharapkan pasangannya mengembangkan usahanya, "Jangan puas. Kembangkan usaha. Buka ini buka itu." Oke. Setelah berjalan, muncul lagi, "Kenapa tidak mengerjakan ini ? Ada kesempatan ini, kita buka ini, kita kerjakan ini." Nah, ada yang seperti itu yang tidak pernah puas. Ada yang puas tapi ada juga yang tidak pernah puas. Jadi poinnya memang tidak selalu sama dan ada perbedaan. Dalam hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Mengerjakan pekerjaan rumah, ada yang mengharapkan istrinya bisa menjaga rumah benar-benar bersih sekali, mengatur semuanya, tidak boleh ada yang ribut. Kalau ada yang ribut dia marah, artinya anaknya sendiri pun tidak boleh ribut. Sudah tentu hal ini nanti bisa menjadi konflik dalam rumah tangga.
GS : Jadi, apa yang harus dilakukan ?
PG : Yang diperlukan untuk menyelaraskan perbedaan kualitas adalah kesepakatan yang jelas akan apa yang menjadi tuntutan dan pengharapan masing-masing. Maksud saya, keduanya mesti duduk bersama dan mendaftarkan hal-hal apa saja yang mesti dikerjakan dalam menjalankan biduk rumah tangga ini. Kemudian keduanya mesti menyepakati seberapa baik kualitas yang diharapkan dan yang dapat dipenuhi. Penting sekali bagi yang melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya untuk bersikap realistik. Sudah jangan terlalu tinggi menuntut. Sudah terima, berhenti di situ. Dan bagi yang melakukan segala sesuatu ala kadarnya untuk bersikap konsisten. Sikap realistik diperlukan untuk mengerti bahwa orang lain belum tentu dapat menjadi seperti kita. Sedangkan sikap konsisten diperlukan agar komitmen dijaga, sebab ada juga kecenderungan bagi yang melakukan sesuatu ala kadarnya "iya, iya, iya". Dituntut ini, "oke, oke, oke" tapi nantinya hanya berjalan seminggu, setelah itu kembali lagi. Jadi apa yang sudah disepakati hendaklah dijaga dan dipertahankan. Sebab kadang memang tidak adil, yang ala kadarnya berjanji namun tidak menepati. Setelah tidak ditepati sudah tentu pasangannya marah, "Kamu ‘kan sudah berjanji. Kenapa tidak dikerjakan ? Saya ‘kan minta seperti ini dan kamu juga sudah setuju. Tapi kenapa kamu tidak lakukan ?" tapi lalu dia juga marah, "Kamu mengapa terus menuntut ?" padahal dia juga tidak menjaga komitmen itu. Jadi keduanya perlu ada penyesuaian, yang satu realistik dan yang satu konsisten.
GS : Kadang ‘kan saling menuntut. Misalnya si suami menuntut supaya rumahnya bersih dan teratur. Sedangkan istri balik menuntut, "Kalau begitu perlu pembantu rumah tangga. Saya tidak bisa bekerja sendirian." Nah si suami mengatakan, "Kita belum mampu untuk membayar pembantu rumah tangga." Titik temunya sulit dicapai, Pak Paul.
PG : Dalam contoh itu sebaiknya suami istri duduk bersama kemudian membicarakan apa yang suami harapkan untuk bersih. Dia mesti sebut secara spesifik. Misalnya kamar mandi. Misalnya dapur, kamar tidur atau yang lain. Kemudian istrinya melihat dan berkata, "Oke, saya bisa bersihkan kamar mandi, tapi tidak setiap hari. Saya bisa bersihkan dapur setiap hari. Mungkin kamar tidak bisa sebersih itu, tapi saya bisa bersihkan yang penting tidak sampai berantakan." Jadi mesti ada pembicaraan sedetail itu dan komunikasikan yang apa yang diharapkan dan apa yang bisa diberikan. Kalau sudah bisa sesuai, masalah ini nanti bisa diselesaikan.
GS : Yang penting ada kesepakatan di awal berumah tangga ini ya.
PG : Betul.
GS : Apalagi yang perlu diselaraskan, Pak Paul ?
PG : Hal ketiga berkaitan dengan keterbukaan. Sebelum masuk ke pembahasan ini saya perlu menjelaskan bahwa saya membedakan keterbukaan dari kejujuran. Yang saya maksud dengan keterbukaan adalah kesanggupan untuk mengekspresikan diri baik itu pikiran maupun perasaan dengan segera dan lancar. Sedangkan kejujuran adalah keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Jadi ada orang yang terbuka tetapi tidak jujur. Artinya dia bisa mengekspresikan diri, bisa bicara apa-apa, tapi belum tentu dia mengungkapkan kebenaran. Dan ada orang yang tertutup, susah mengeluarkan pikiran dan isi hatinya, tapi jujur! Artinya dia tidak berbohong, dia mengungkapkan kebenaran. Dalam pernikahan, biasanya ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Yang terbuka, siap untuk mengungkapkan isi hatinya secara langsung dan lancar. Sedangkan yang tertutup memerlukan waktu untuk dapat mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Pada awal perkenalan, yang terbuka senang bersama dengan yang tertutup karena dia merasa terimbangi, ayunan emosinya cenderung mereda bersama dengan yang tertutup dan masalah tidak berkembang kemana-mana karena sikap pasangan yang tidak mudah tersulut. Sedangkan yang tertutup pada awalnya merasa senang bersama dengan yang terbuka karena secara emosional dia merasa menjadi hidup. Dia pun menikmati peran sebagai pemadam kebakaran yang siap memadamkan api yang membara. Setelah pernikahan, masalah mulai bertunas. Yang terbuka merasa frustrasi karena banyak hal yang ingin diketahuinya tapi tidak dapat diaksesnya oleh karena ketertutupan pasangan. Dia pun merasa letih karena dia harus senantiasa mengorek, mengais informasi dari pasangan, terutama isi hatinya. Pada akhirnya dia mulai menuduh bahwa pasangan telah bersikap tidak jujur kepadanya karena lalai atau tidak memberitahukan sesuatu. Sebaliknya, yang tertutup akhirnya merasa dibombardir oleh emosi pasangannya yang terbuka. Dia tidak siap untuk terbuka, tapi itu tidak berarti dia berbohong. Pada akhirnya makin banyak yang dia tidak dapat sampaikan kepada pasangan. Dia takut kalau dia sampaikan maka makin banyak muatan emosional yang keluar dari mulut pasangan, dan itu menakutkannya. Masalahnya adalah makin dia menutup diri, makin pasangan akan mengejarnya. Dan makin dikejar, makin dia melarikan diri. Relasi pun terganggu.
GS : Bagaimana menyesuaikan ini, Pak Paul ?
PG : Yang dibutuhkan adalah menyelaraskan perbedaan dengan cara penundaan. Yang terbuka mesti belajar untuk menunda mengekspresikan isi hati dan pikirannya, sehingga pada saat dia mengungkapkannya, emosinya sudah lebih terkendali, pemikirannya pun keluar secara lebih jernih. Sebaliknya yang tertutup harus menunda dorongan untuk melarikan diri atau bersembunyi di dalam gua yang aman itu. Dia mesti belajar untuk menghadapi emosi pasangan dan berupaya mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Walaupun sukar, dia harus belajar mengekspresikan dirinya sedikit demi sedikit.
GS : Bagi orang yang memang terbuka agak sulit untuk menunda sesuatu yang dia inginkan. Biasanya namanya orang terbuka ya dia langsung sampaikan, Pak Paul. Dan ini cukup mengganggu bagi orang yang agak tertutup.
PG : Betul sekali. Maka kita tidak mau mengubahnya tapi kita hanya mau menundanya. Jadi kuncinya adalah menunda. Bolehkah dia terbuka ? Boleh. Silakan. Tapi tundalah, jangan langsung. Ungkapkanlah isi hatimu, pikiranmu, tapi jangan sekarang ini. Tunda sebentar saja. Karena apa ? Karena pada saatnya dia ingin mengeluarkan dia keluarkan kadang-kadang emosinya terlalu kuat. Ada orang-orang yang memang kalau tertawa bisa keras sekali, kalau marah bisa keras sekali, kalau menangis bisa keras sekali. Nah, pasangannya yang tertutup tidak siap. Tapi ‘kan dia mesti mengeluarkan semua itu. Makanya setelah ditunda, pasangan yang tertutup bersedialah untuk mendengarkan dan menerima meskipun tetap kuat, tapi kalau sudah ditunda biasanya sudah lebih reda. Nah yang tertutup, paksa diri untuk menunda melarikan diri. Karena begitu dia tahu ada muatan emosional yang besar, bawaannya mau lari saja, nah dia juga harus tunda lari. Dengarkan, dengarkan dan berbicaralah, katakanlah satu dua kata untuk menandakan bahwa dia mengerti apa yang sedang dikatakan oleh pasangannya itu. Kalau keduanya bisa bertemu disini, keduanya nanti akan bisa sejalan. Lain kali kalau yang terbuka mau mengatakan sesuatu, dia tahan dulu. Sedangkan yang satunya akan bersedia mendengarkan.
GS : Menunda ini juga dalam rangka menunggu pasangannya siap. Siap untuk mendengarkan dan siap untuk berkata-kata ya, Pak Paul ?
PG : Betul. Sebab kalau dia keluarkan saat pasangannya tidak siap, bukankah hasilnya nanti juga buruk ?
GS : Jadi, kalau saya lihat intinya adalah dua orang yang disatukan Tuhan harus bersedia untuk berubah. Masing-masing tidak boleh mempertahankan, "Ya saya sudah dari dulu seperti ini." Kalau dipertahankan ya tidak akan bertemu dengan penyelarasan. Namanya penyelarasan ‘kan harus ada yang mengalah dan harus ada yang mau kalah. Tidak bisa menang-menangan terus.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita mesti bersedia berubah. Kita tidak bisa berkata inilah saya, kamu harus terima saya apa adanya. Tidak bisa. Pernikahan memang menuntut kecocokan dan kecocokan berarti keduanya harus saling mencocokkan.
GS : Kadang kita memaksakan kehendak kita agar pasangan kita yang berubah, kita tidak mau berubah. Ini yang sulit, Pak Paul.
PG : Makanya tidak bisa begitu ya. Kita ingat bahwa Tuhan mempersatukan kita karena Tuhan memunyai rencana untuk kebaikan kita masing-masing. Tuhan akan menggunakan pasangan kita membentuk kita. jadi terimalah pasangan sebagai tangan Tuhan untuk membentuk kita.
GS : Padahal kita sendiri sebenarnya tahu bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin mengubah sesama kita. hanya Tuhan yang mampu mengubahnya.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Dari perbincangan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Yesaya 32:15 berkata, "Sampai dicurahkan kepada kita Roh dari atas, maka padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan dan kebun buah-buahan itu akan dianggap hutan." Tanpa Roh Tuhan, kita tidak bisa menyelesaikan perbedaan. Sebab kecenderungan kita adalah mempertahankan bukan melepaskan perbedaan. Jadi datanglah kepada Tuhan. Mintalah agar dia mencurahkan Roh-Nya atas kita untuk memberi kita kemampuan melepaskan perbedaan. Sehingga, kata firman Tuhan padang gurun, yaitu padang gurun perbedaan, akan berubah menjadi kebun buah. Kebun buah apa ? Keharmonisan. Dan bahkan hutan yang subur, artinya Tuhan akan bisa mengubah segala sesuatu itu menjadi sesuatu yang justru indah dan menjadi berkat.
GS : Memang dasarnya adalah kalau Roh Tuhan sendiri yang mengubah seseorang, maka orang itu akan berubah. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyelaraskan Perbedaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.