[anak_yang_tidak_ingat_budi] =>
"Anak Yang Tidak Ingat Budi" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Yang Tidak Ingat Budi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Menjadi harapan dari semua orang tua ketika memasuki masa lanjut usia adalah anak-anaknya masih mengingat dia, tetapi fakta kehidupan tidak menyatakan bahwa semua anak akan mengingat jasa-jasa orang tuanya. Dan kita sebagai orang yang beriman bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang ini adalah salah satu kepiluan dalam hidup, Pak Gunawan, sebab kita ini bukan hanya berharap-harap atau menuntut anak untuk mengingat budi sebagai orang tua, tapi kita ingin agar ank kita melihat kita secara utuh dan bukan hanya melihat kekurangan kita tapi juga melihat kebaikan dan pengorbanan yang kita berikan kepada mereka.
Tapi kadang-kadang dalam hidup kita harus menerima fakta bahwa adakalanya anak tidak berbuat seperti itu. Saya kira hal itu sangat penting sehingga pada kesempatan kali ini kita melihat dengan lebih mendetail sebetulnya apa yang terjadi sehingga ada anak-anak yang tidak mau lagi mengingat budi orang tuanya.
GS : Apakah bertujuan kalau kita tahu alasannya maka kita bisa mentolerir sikap seperti itu, Pak Paul ?
PG : Dengan kita mengerti alasan kenapa si anak sampai seperti itu, sudah tentu pada akhirnya hal itu akan menolong kita untuk bercermin diri. Dan mulai dari titik itulah kita mencoba untuk memereskan relasi kita dengan anak.
Sebab selama kita masih hidup, kita masih memunyai kesempatan untuk membereskan relasi kita dengan anak.
GS : Penyebab-penyebabnya itu antara lain apa, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama adalah ada anak yang tidak mengingat budi karena merasa budi yang diterima sebanding dengan budi yang telah diberikannya kepada orang tua. Dengan kaa lain, anak merasa bahwa ia pun telah cukup berkorban untuk orang tuanya, sehingga ia tidak lagi merasa berhutang budi kepada orang tua.
Pada umumnya anak sampai merasa seperti itu oleh karena dia merasa pengorbanan orang tua kepadanya tidaklah besar, sebaliknya dia merasa bahwa pengorbanannya sangatlah besar. Saya berikan contoh, misalnya ada anak yang tidak dapat meneruskan sekolah karena harus membantu orang tua dan membiayai kebutuhan adik-adiknya. Mungkin saja merasa bahwa pengorbanan yang telah diberikannya itu terlalu besar, sebab bagi dia yang dikorbankan adalah masa depannya, tidak bisa meneruskan sekolah demi adik-adiknya. Jadi dengan kata lain, anak yang seperti ini setelah dia besar, bisa jadi merasa bahwa pengorbanan dia bagi keluarga sama besar atau bahkan lebih besar dari pada pengorbanan orang tua untuk keluarga.
GS : Tapi pihak orang tua juga punya alasan kalau anak ini tidak dibiayai untuk meneruskan studinya, hal ini membuat pemikiran orang tua terhadap anaknya semakin buruk lagi.
PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang ada anak yang akan berpikir seperti itu. Sudah tentu pikiran seperti ini seharusnya menjadi pikiran yang harus kita kesampingkan dan kita tidak boleh menghtung-hitung seberapa besar pengorbanan kita dan sebagainya.
Tapi ini adalah kenyataan hidup, ada anak-anak yang seperti itu yaitu menghitung-hitung, dia telah kehilangan masa depan, dia telah mengorbankan hidupnya sebesar itu. Jadi bagi dia pengorbanan dia untuk keluarga bisa sama besar atau bahkan lebih besar dari pada orang tuanya sendiri. Sudah tentu dalam kenyataannya kalau saja dia bersedia untuk lebih jeli melihat pengorbanan orang tua maka dia mungkin akan menyadari bahwa orang tuanya telah berkorban sangat besar untuk keluarga. Memang pengorbanan dia besar yaitu berhenti sekolah demi keluarga tapi dalam banyak hal pastilah orang tua juga telah berkorban sangat besar untuk keluarga. Jadi si anak seyogianyalah juga melihat hal ini.
GS : Yang seringkali terjadi adalah anak ini merasa bukan saja mengorbankan atau memberikan budinya kepada orang tua, tetapi merasa sakit hati kenapa dia diberhentikan dari sekolah, kenapa dia harus dikeluarkan dari sekolah, terserabut dari tempat dia bergaul dan berkembang itu. Itu yang membuat dia sakit hati dan tidak terlupakan sampai dia dewasa, Pak Paul.
PG : Ada yang seperti itu juga dan ini yang menjadi salah satu penyebab kenapa ada anak-anak yang setelah besar tidak mau mengingat budi orang tuanya, karena seperti yang tadi Pak Gunawan sudahkatakan yaitu dia melihat kalau dia itu adalah korban, dia telah terluka akibat perbuatan orang tuanya atau keputusan orang tuanya.
Bisa jadi keputusan itu adalah keputusan yang tidak disengaja, tidak direncanakan tapi terpaksa dilakukan oleh karena kondisi dan kehidupan. Atau juga mungkin perlakuan orang tua terlalu sering menyakiti hatinya, sehingga pada akhirnya dia sukar untuk mengingat hal-hal baik yang dilakukan orang tua. Bisa jadi memang tidak banyak yang telah diberikan orang tua kepadanya, selain keperluan jasmaniah tidak banyak yang diberikan orang tua kepadanya, alhasil setelah besar bukan saja si anak tidak mengingat budi orang tua, tapi ia pun cenderung mengingat perbuatan orang tua yang telah menyakiti hatinya. Jadi ada anak-anak yang karena terluka akhirnya berfokus hanya pada perbuatan orang tua yang negatif itu. Bisa jadi sebetulnya dibalik dari perbuatan orang tua itu ada sejumlah perbuatan orang tua yang sangat mengasihinya, yang sangat baik kepadanya, tapi manusia tetaplah manusia sehingga adakalanya tidak melihat yang baik yang orang tua telah lakukan, dan hanya berfokus kepada yang buruknya saja.
GS : Berarti permasalahan itu belum pernah diselesaikan oleh orang tua dengan anaknya, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi besar kemungkinan hal ini tidak pernah muncul ke permukaan, tidak pernah menjadi bahan untuk dibicarakan. Jadi hanya diam-diam saja tapi ternyata si anak menyimpan luka ang dalam di hatinya.
GS : Orang tua juga seringkali beralasan kalau dia mengorbankan anaknya yang satu ini demi menyelamatkan anak-anaknya yang lain, Pak Paul ?
PG : Betul. Saya pernah mendengar kasus-kasus yang bagi kita adalah kasus yang sederhana, mungkin karena kita sudah tua atau dewasa jadi kita bisa mengertinya. Namun kalau kita melihatnya dari udut si anak barulah kita bisa mengerti, kenapa si anak merasa seperti itu, misalnya adakalanya anak menyimpan luka dalam hati karena orang tua terpaksa berpindah-pindah rumah akibat pekerjaannya.
Jadi ada orang tua yang kehidupan ekonominya kurang baik, harus menyewa di sini, nanti habis kontrak menyewa di sana, nanti habis kontrak pindah lagi ke sana, ke sini. Atau pekerjaannya yang juga berubah-ubah karena bukan pekerjaan yang tetap untuk waktu yang lama sehingga si anak seperti yang tadi Pak Gunawan katakan yaitu harus terserabut dari lingkungannya, dia kehilangan kesempatan bertumbuh dengan teman-temannya. Orang tua melakukan hal ini karena keterpaksaan dan sebetulnya bukan pilihannya. Tapi di mata si anak, si anak hanya bisa melihat dari satu sudut yaitu dia telah sangat dirugikan, dia telah sangat dilukai, dia tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman dalam jangka waktu yang panjang, dia kehilangan kesempatan menancapkan akar di suatu tempat dan membangun sebuah kehidupan yang lebih berkesinambungan. Ini mungkin menjadi luka di hatinya sehingga akhirnya setelah dia besar, dia luput melihat kebaikan orang tua yang lain-lain dan dia hanya berfokus kepada pengalaman buruk yang harus dialaminya gara-gara orang tuanya.
GS : Mungkin ada alasan yang lain Pak Paul, selain hal-hal itu ?
PG : Ada anak yang tidak mengingat budi orang tua karena malu terhadap orang tua, misalnya orang tua berasal dari golongan ekonomi rendah dan tidak bertatakrama seperti yang diharapkannya. Olehkarena anak malu dengan kondisi orang tua maka anak pun tidak mau terlalu dekat dengan orang tua, sedapatnya menghindar kontak dengan orang tua dan tidak mau diasosiasikan dengan orang tua.
Sudah tentu dalam kondisi relasi seperti ini, anak tidak mengingat lagi budi orang tua, sebab alih-alih mengingat budi, kontak pun jarang, bicara pun hampir tidak mau karena sedapat-dapatnya dia ingin dipisahkan dari orang tua, supaya tidak ada orang yang tahu kalau dia adalah anak dari orang tua tersebut.
GS : Atau mungkin anak ini adalah anak adopsi dan dia baru tahu setelah dia dewasa sehingga dia tidak lagi respek karena orang tua angkatnya ini tidak pernah memberitahukan siapa dia sebenarnya ?
PG : Bisa jadi seperti itu, dia kecewa, dia merasa seperti ditipu. Meskipun sebenarnya besar kemungkinan kenapa orang tua tidak mau memberikan informasi itu kepada si anak, karena orang tua ingn melindungi si anak dari kekecewaan sehingga tidak mau memberitahukannya.
Tapi bisa jadi setelah anak besar, si anak merasa sangat dirugikan atau ditipu. Ada anak-anak yang diadopsi dan baru mengetahui kalau dirinya diadopsi setelah berusia remaja atau dewasa dan kebanyakan mereka akan merasa seperti itu yaitu tertipu dan kemudian marah dan akhirnya tidak mau berdekatan dengan orang tua.
GS : Jadi di situ kita melihat dari beberapa kasus yang Pak Paul sampaikan tadi, hal ini merupakan karena kekurangan kasih yang seharusnya orang tua berikan kepada anak sehingga anak merasa kurang dikasihi, kurang diperhatikan.
PG : Jadi adakalanya hal itulah yang menjadi penyebab utamanya karena anak merasa kurang dikasihi, sehingga setelah anak itu besar tidak mau untuk mengembalikan kasih itu kepada orang tuanya. Dengan kata lain, akan ada anak-anak yang berkata, "Sudahlah dari kecil sampai sekarang saya tidak menerima banyak, kenapa sekarang saya berkewajiban untuk memberi banyak kepada orang tua ?"
GS : Kalau orang tua itu sudah memberikan banyak, tetapi anak ini tidak menyadari bahwa itu adalah pengorbanan yang besar dari orang tuanya, ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Dan memang ada anak yang seperti itu, yaitu ada anak tidak mengingat budi orang tua karena tidak mau berhutang budi kepada orang tua. Jadi orang tua sebetulnya mengasihi, memberikan perhatan tapi dia tidak mau berhutang budi kepada orang tua.
Kenapa seperti itu ? Sebab ada anak yang menjadi seperti ini oleh karena sejak kecil orang tua kerap menghitung-hitung budi. Jadi orang tuanya mengasihi, memberi perhatian, mencukupi dan sebagainya, tapi hampir setiap hal yang dilakukan orang tua kepada si anak dikaitkan dengan pengorbanan orang tua, "Kami ini mengasihi kamu makanya kami berbuat seperti ini, jangan sampai kamu melupakan perbuatan kami". Sebaliknya hampir setiap tindakan anak yang tidak berkenan di hati orang tua diasosiasikan dengan perbuatan yang tidak mengingat budi. Jadi begitu anak mulai nakal berbuat ini dan itu yang tidak berkenan di hati orang tua, langsung orang tua itu berkata, "Kamu anak yang tidak kenal budi, kamu itu tidak berterima kasih, kami sudah berkorban begitu besar kepada kamu", singkat kata pada akhirnya anak tidak mau lagi berhutang budi kepada orang tua dan berusaha membayarnya sampai lunas supaya orang tua tidak dapat membangkit-bangkitkan perihal budi. Kenapa ? Sebab bagi si anak setiap budi yang diterima lebih merupakan investasi yang kelak harus dibayarnya kembali. Itu sebabnya bagi si anak lebih baik bila ia tidak menerima budi apa pun dari orang tuanya.
GS : Padahal tujuan orang tua untuk mengingatkan anak dan ketika orang tua melakukan perbuatan yang baik kemudian orang tua berkata, "Besok kamu jangan melupakan saya", dalam hal itu ada unsur baiknya yaitu mendidik anak supaya anak ini mengerti, tetapi kalau yang tadi Pak Paul katakan seperti itu, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua ?
PG : Jadi sebaiknya orang tua ini tidak menabuh-nabuh gendang sewaktu melakukan kebaikan kepada anak, sebab Tuhan Yesus pun mengajarkan kepada kita hal yang sama yaitu waktu tangan kanan berbua yang baik, maka biarlah tangan kiri tidak mengetahuinya.
Artinya kita tidak menabuh gendang sewaktu kita berbuat kebaikan supaya orang melihat dan mengakuinya. Kalau hal itu tidak boleh kepada orang lain, maka saya pikir itu juga berlaku kepada keluarga kita sendiri. Jadi sedapat-dapatnyalah kita berbuat yang baik, kita mengasihi anak-anak kita dengan sebaik-baiknya namun kita tidak menabuh-nabuh gendang, supaya anak kita melihat perbuatan kita dan mengakuinya. Tapi biarkan saja dan biarkan nanti dia yang melihat sendiri dan biarkan nanti dia yang memunyai perasaan mau mengasihi kita dan memerhatikan kita.
GS : Pasti ada kekhawatiran di dalam diri orang tua, apakah anak akan mengerti kalau dia tidak diberi tahu. Seperti itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu akan ada perasaan-perasaan seperti itu, akan ada dorongan untuk bisa mengingatkan anak supaya anak jangan sampai lupa. Tapi saya pikir tidak perlu kita melakukan hal itu dan kia membiarkannya saja, yang penting kita tahu kalau Tuhan melihatnya.
GS : Mungkin masih ada alasan yang lain, Pak Paul ?
PG : Alasan lain kenapa ada anak yang tidak mengingat budi orang tua adalah sebab dia adalah anak yang mementingkan diri sendiri atau egois dan memang ada anak yang seperti itu. Sebab seperti kta semua, anak adalah manusia berdosa dan sebagai manusia yang berdosa, kadang dia juga melakukan dosa.
Ada anak yang berjalan dalam dosa sehingga hanya memikirkan dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, anak hanya dapat memerhatikan keinginannya dan dia tidak akan memikirkan orang tuanya, apa yang dibutuhkan oleh orang tuanya. Meskipun kita mencoba untuk mendidiknya atau membinanya tapi karena manusia itu berdosa, maka manusia bisa memilih jalan untuk hidup egois.
GS : Kalau memang itu adalah sifat atau karakternya, maka sebagai orang tua kita tidak bisa berbuat terlalu banyak, Pak Paul. Tapi kita harus selalu berusaha agar anak ini mengerti aturan permainan di dalam kehidupan ini. Hanya saja di dalam kita menyampaikannya, bagaimana agar anak itu bisa menerimanya karena kadang-kadang anak salah mengerti tentang yang terjadi. Namun sebagai orang tua apakah kita bisa melihat tanda-tanda awal, apakah anak kita ini akan menjadi anak yang bisa mengingat budi kita dan membalas budi kita atau tidak setelah dewasa, Pak Paul ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Jadi ada anak-anak yang sejak lahir atau kecil membawa perangai yang egois, susah membagi, susah meminjamkan barang, susah memberikan pertolongan, susah menawarkan diri ntuk berbuat sesuatu bagi orang lain tanpa pamrih, ada anak-anak yang seperti itu.
Dan kalau kita menyadari itulah sifat anak-anak kita, maka jangan langsung kita bereaksi keras dengan memarahinya dan sebagainya, tapi justru kita harus mengajarnya secara positif. Misalnya, kita meminta adiknya meminjamkan mainan kepadanya dan kita berkata, "Sekarang coba kamu pinjamkan mainanmu kepada adikmu". Jadi kita memulai dengan dia menerima sesuatu, maka dia juga perlu memberikan sesuatu kepada orang dan itu tahapan pertama. Tahapan kedua, lama-kelamaan kita meminta dia untuk memberikan sesuatu meskipun dia tidak menerima sesuatu dari adik atau kakaknya, "Coba kamu berikan atau pinjamkan ini dan besok kamu kembalikan" meskipun dia tidak mendapatkan apa-apa dari si kakak atau si adik. Jadi kita melatih dia di tahap kedua itu untuk memberikan tanpa mendapatkan apa-apa sebelumnya. Dan yang ketiga lama-kelamaan kita mulai mengajaknya untuk memerhatikan kebutuhan orang di sekitarnya, "Orang itu sepertinya sedang susah, bagaimana kalau kita menolongnya". Jadi anak ini dilatih untuk memerhatikan dan menyadari kebutuhan orang di sekitarnya dan berbuat sesuatu untuk orang lain. Dengan cara-cara seperti ini, si anak perlahan-lahan baru bisa lepas dari kerangkeng atau kungkungan dirinya sendiri, karena dari awal dia sudah membawa perangai yang egois.
GS : Kalau orang tua baru sadar, bahwa anaknya itu adalah anak yang tidak tahu membalas budi ketika orang tua sudah lansia dan anak juga sudah dewasa, maka apa yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul ?
PG : Pertama, sebagai orang tua kita harus mengintrospeksi diri, Pak Gunawan, bila anak tidak mengingat budi karena tidak banyak yang telah kita berikan atau korbankan untuknya maka akuilah, seab kita tidak selalu sempurna dan kita tidak selalu tahu berbuat hal yang baik, kadang kita melakukan hal yang salah.
Ada di antara kita orang-orang tua yang telah lari dari tanggung jawab kita, terlalu mementingkan diri sehingga tidak memerhatikan kebutuhan anak. Kalau itu adalah duduk masalahnya maka akuilah, apabila kita telah menggoreskan banyak luka di hatinya, maka kita juga harus merendahkan diri dan mengakui perbuatan kita serta meminta pengampunan darinya, jangan merasa gengsi dan merasa, "Saya sebagai orang tua mana mungkin harus meminta ampun kepada anak", jangan seperti itu sebab kita ini adalah orang berdosa dan kita perlu meminta ampun satu sama lain.
GS : Tapi apakah hal itu menunggu ketika anak menyadarkan kita, Pak Paul ? Waktu kita meminta sesuatu dan dia tidak memberikan kemudian kita baru mau mengakui, "Dulu Papa atau Mama ketika kamu masih kecil kurang memberikan....." atau spontan saja kita datang dan mengakuinya seperti itu ?
PG : Sebaiknya spontan, jadi sebelum ada masalah sebab kalau kita baru berkata "Ya, saya mengakui..." setelah kita meminta sesuatu darinya, maka mungkin saja dia akan berkata, "Papa sekarang mita ampun, karena mau minta sesuatu dari saya".
Jadi dia merasa tidak tulus, meskipun mungkin saja kita tulus. Jadi kalau kita memang menyadari bahwa di masa lampau kita kurang memberikan budi atau kasih sayang kepada anak, maka jangan gengsi tapi rendahkan diri dan akui apa adanya di hadapan anak. Kalau kita telah melukainya dan kita ingat kembali perbuatan kita yang salah, maka sekali lagi datang kepadanya dan akuilah setelah itu kita serahkan kepada Tuhan. Kita pasrah, apakah dia nanti akan mengingat budi kita atau tidak, apakah dia nanti akan memberikan kasih sayang kepada kita atau tidak, maka kita serahkan kepada Tuhan. Jadi nanti jangan marah kalau anak tetap berlaku kepada kita sama seperti dulu.
GS : Pada dasarnya setiap orang tua memunyai kesalahan dan kelemahan di dalam keterbatasannya ini, jadi punya kelemahan di dalam kita membimbing anak, membesarkan dan sebagainya, jadi tidak bisa memenuhi semua permintaannya. Jadi kapan saat yang tepat kita mengakui kesalahan ini, Pak Paul ?
PG : Kalau kita menyadarinya di saat itu juga maka ada baiknya kalau kita akui. Jadi sebaiknya kita tidak menunggu sampai kita tua dan baru kita membereskan dan mengakuinya. Sebaiknya jangan seerti itu, di saat kita melakukan sesuatu dan kita tahu kalau ini keliru atau salah, maka kita harus mengakuinya.
Biasakan diri sejak anak-anak kecil untuk berkata, "Maaf, tadi Mama seperti itu. Maaf Papa tadi berbuat atau berkata seperti itu. Maaf, seharusnya tadi kami tidak berbuat seperti ini". Kata seperti itu seharusnya menjadi perbendaharaan kata yang alamiah di dalam keluarga kita.
GS : Seringkali anak juga merasa rikuh, ketika orang tuanya meminta maaf kepadanya tanpa ada alasan yang jelas, Pak Paul. Tetapi pada saat itu justru kita menyadari bahwa kita memunyai kekurangan di dalam memberikan kasih atau hal-hal lain yang sebenarnya menjadi hak anak.
PG : Betul. Dan kalau kita mengingat peristiwa itu maka seyogianyalah kita mengangkat peristiwa tersebut dan mengingatkan, "Apakah kamu masih ingat peristiwa ini, dulu seperti ini dan itu. Kala Mama dan Papa mengingat peristiwa tersebut, Papa menyesal kenapa dulu berbuat seperti itu karena seharusnya tidak".
Hal ini bagus, bukan saja sebagai tanda rekonsiliasi, tetapi ini menjadi pelajaran bagi si anak, lain kali kalau dia menjadi orang tua maka dia akan diingatkan untuk tidak melakukan kesalahan yang kita perbuat itu.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?
PG : Bila kita sering membuatnya mengingat-ingat budi yang telah diberikan kepadanya maka berhentilah untuk membangkit-bangkitkan hal itu dan sebaliknya berbuat baiklah kepadanya tanpa pamrih, erilah pertolongan dan jangan menyebutnya kembali.
Lewat perubahan ini, anak tahu bahwa kita sudah bertobat dan lewat proses waktu, dia akan kembali memercayai kita. Jadi tidak perlu kita berkata, "Mulai sekarang saya tidak akan membangkit-bangkitkan budi yang telah saya berikan kepadamu" tidak perlu seperti itu, tapi kita harus sering menawarkan, "Apa yang bisa kami bantu ?" misalkan dia sudah punya anak, maka kita tawarkan, "Apakah boleh kami menjaga anak-anak karena kamu harus pergi dan sebagainya". Dengan kita melakukan hal-hal yang baik untuknya maka lama-lama dia akan sadar, "Sekarang Papa dan Mama berbeda, kalau dulu berbuat suatu kebaikan maka selalu diingat-ingatkan sampai sepuluh kali tapi kalau sekarang berbuat sepuluh kebaikan, satu pun tidak ada yang diangkat" jadi mereka sendiri yang menilai dan nanti perlahan-lahan mereka kembali bisa memercayai kita.
GS : Justru di situ ada kekhawatiran dari beberapa orang tua. Pada masa sudah lanjut usia dan anak sudah berkeluarga, kemudian kita tetap melakukan kebaikan terhadap anak kita ini maka ada kekhawatiran, "Apakah lain kali anak masih mengingat kita atau tidak, kalau saya sudah lebih tua lagi ?"
PG : Pikiran-pikiran seperti itu saya kira wajar, tapi tanggalkan dan kita tidak mau bergantung pada manusia sebab Tuhanlah yang akan memelihara hidup kita dan bukan manusia.
GS : Hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?
PG : Bila anak malu atau hidupnya hanya mementingkan diri sendiri maka kita hanya dapat mendoakannya supaya dia sadar dan bertobat, janganlah kita mengejar-ngejarnya dan menuntut balasan budi sbab tindakan ini biasanya tidak melahirkan kesadaran yang tulus.
Kita harus mengingat perumpamaan anak yang hilang di Lukas 15:11-32, kita tahu bahwa si bapak tidak mengejar si anak bungsu, tapi dia hanya menunggu dan kemudian dia menyambut si anak dengan sabar ketika dia pulang. Firman Tuhan mencatat seperti ini, ketika si bungsu pulang, ayahnya telah melihatnya lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan dia berlari mendapatkannya, lalu merangkul dan mencium dia. Jadi dengan kata lain, si ayah merelakan dan menunggu dengan berdiam karena anaknya mementingkan dirinya sendiri dan anaknya itu tidak tahu diri, maka ayahnya mendiamkan. Tapi waktu anak itu bertobat, dia menyambut dan memeluknya.
GS : Tapi biasanya dari orang-orang di sekeliling kita, mereka seringkali menegur kita, "Kenapa kamu diam saja kalau anakmu berbuat seperti itu", reaksi kita seharusnya bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita akan berkata kalau kita telah melakukan apa yang dapat kita lakukan sebelumnya tapi tidak membuahkan hasil. Jadi sekarang kita melepaskan anak ini dan biarkanlah dia mengalami hidup dn biarkan nanti Tuhan yang mendidiknya lewat pengalaman hidupnya.
GS : Kesimpulan dari pembicaraan ini apa, Pak Paul ?
PG : Seyogianya orang tua merawat dan membesarkan anak dalam kasih dan sebagai wujud syukur dan tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan anak kepada kita. Jadi lakukanlah tugas ini denan penuh sukacita walau kita tidak tahu apakah anak menghargai kita atau tidak, sebab hal itu adalah tanggungjawabnya sendiri kepada Tuhan dan yang penting adalah kita melakukan tanggungjawab kita kepada Tuhan dengan cara merawat dan mengasihi anak sedapat-dapatnya dan sebaik-baiknya.
GS : Jadi pada masa lanjut usia, sebetulnya orang tua harus lebih banyak bergantung kepada Tuhan dari pada kepada anak, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi jangan sampai kita kehilangan perspektif dan malah ketakutan dengan masa depan kita dan bergantung kepada manusia, tapi tetap percaya bahwa Tuhan memelihara hidup kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Yang Tidak Ingat Budi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.