Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, sejauh yang bisa saya ingat waktu saya masih kecil atau remaja orang tua saya tidak pernah memberikan pengajaran tentang seks. Nah sekarang akhir-akhir ini sering kali dimunculkan bahwa pendidikan seks itu perlu dalam keluarga. Sebenarnya seberapa penting pendidikan seks itu, karena kita sebagai orang tua kadang-kadang juga merasa enggan untuk membicarakan itu dengan anak-anak.
PG : Saya melihat seks itu adalah bagian dari ilmu kehidupan atau bagian dari keterampilan hidup yang perlu dipelajari oleh anak. Dan menurut saya sumber yang paling kompeten untuk menyampaikanya adalah keluarga atau orang tua sendiri.
Jadi saya kira keliru kalau kita ini beranggapan bahwa sekolahlah yang bertugas untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seks. Saya tidak menentang sekolah memberikan materi atau mencantumkannya sebagai bagian dari kurikulum tapi tetap yang paling cocok adalah orang tua sendiri. Sebab seks itu bukan saja suatu pelajaran, seks itu adalah suatu pesan moral, suatu bagian dari ibadah kita kepada Tuhan bagaimanakah kita memperlakukan seks itu akan sangat menentukan juga bagaimanakah kita itu memperlakukan kehendak atau perintah Tuhan dalam hidup kita.
GS : Tapi sering kali ada keluarga-keluarga itu yang merasa tabu untuk membicarakan itu kepada anak-anaknya, Pak Paul?
PG : Saya kira secara alamiah saya ini harus mengakui bahwa hampir semua orang tua merasa tidak begitu nyaman membicarakan seks kepada anak-anaknya. Saya kira ini sesuatu yang mungkin sekali baian dari budaya kita bahwa seks adalah topik yang tidak dibicarakan secara terbuka, tapi kalau anak-anak itu tidak mendapatkan informasi dari orang tua ya saya kira mereka akan mendapatkannya dari sumber-sumber lain.
Nah biasanya sumber-sumber lain itu akan memberikan informasi seks tanpa pagar-pagar moral, nah ini yang perlu kita cermati.
WL : Pak Paul, selain rasa enggan mungkin juga adalah karena mereka tidak pernah diperlengkapi sebelumnya oleh orang tuanya tidak pernah diajarkan, di sekolah dulu mungkin tidak mempunyai kesempatan sedalam ini, jadi waktu mau mengajarkan, mau belajar tidak enggan memang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengajarkannya. Mereka sendiri pun waktu berkeluarga ya menjalani by nature saja Pak Paul, mungkin Pak Paul bisa memberikan penjelasan atau bimbingan buat keluarga-keluarga seperti ini.
PG : Saya kira ada dua hal yang penting yang perlu kita kemukakan kepada anak-anak kita tentang seks ini. Yang pertama berkaitan dengan seks sebagai aktifitas fisik, jadi itu sesuatu yang perlukita jelaskan sehingga anak-anak mempunyai pemahaman yang tepat.
Yang kedua adalah moralitas yang terkandung di dalam seks atau justru moralitas yang mengayomi seks itu, nah ini juga bagian yang harus dijelaskan oleh orang tua. Saya kira keseimbangan keduanya ini penting. Ada kecenderungan orang tua tidak nyaman membicarakan bagian yang pertama yaitu tentang seks itu sendiri dan lebih nyaman membicarakan pesan-pesan moral tentang seks, jadi yang acapkali orang tua sampaikan adalah misalnya pesan-pesan jangan, jangan, tidak boleh, kamu salah begini, Tuhan marah, Tuhan hukum dan sebagainya, tapi tidaklah membahas tentang seks itu sendiri. Marilah sekarang kita melihat satu persatu, bagian yang pertama adalah tentang seks itu sendiri. Kita harus memberikan informasi sebetulnya seks itu apa, nah pertanyaan yang biasanya muncul adalah kapankah kita mulai membicarakan hal ini. Nah saya ingin menjelaskan satu prinsip di sini bahwa kapannya itu sebetulnya memang relatif dalam setiap keluarga dan justru relatif juga pada anak-anak. Anak-anak kita yang tertua dan yang bungsu mungkin sekali akan memiliki jadwal yang berbeda. Saya ingat sekali waktu anak kami berusia sekitar 8 tahun, anak kami mulai menanyakan dari manakah munculnya adik nah itu pertanyaan klasik yang sering kali anak-anak tanyakan. Nah awalnya kami memang mencoba menjelaskannya dengan cara-cara yang lebih supernatural, kami berkata Tuhan memberikan anak itu. Nah anak kami itu menerima penjelasan kami kemudian tidak lama dia menanyakan lagi terus kami memberikan penjelasan yang sama tapi dia tidak bisa menerimanya, dia berkata apakah itu berarti Tuhan menaruh adik di dalam perut mama, kami katakan ya. "Tapi itu rasanya tidak masuk akal" dia katakan, akhirnya kami katakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, tetapi dia tidak terima. Nah setelah itu seorang kawan saya mengingatkan bahwa kemungkinan anakmu itu sudah mulai membicarakan tentang seks dengan teman-temannya, nah daripada dia terus membicarakan dengan teman-temannya dan mencari informasi dari teman-temannya lebih baik kamu jujur menceritakan apa yang terjadi. Akhirnya saya dan istri saya menjelaskan tentang hubungan seks nah otomatis kami tidak menggunakan istilah-istilah rumit, kami hanya menggunakan istilah-istilah awam bahwa inilah yang kami lakukan yaitu persatuan antara wanita dan pria dan akhirnya lahirlah adik. Nah ternyata anak kami bisa menerima hal itu meskipun kemungkinan besar dia tidak memiliki gambaran tapi yang paling penting adalah konsep atau penjelasan ini masuk akal makanya dia terima. Nah waktu anak-anak menginjak usia pra-remaja, saya dan istri saya memang dengan sengaja dan terencana memanggil mereka untuk berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks itu sendiri. Saya memanggil anak laki saya dan mulai membicarakan mengenai mimpi basah, masturbasi dan istri saya memanggil anak-anak saya perempuan untuk berbicara tentang menstruasi dan sebagainya. Dan itu kira-kira anak kami berusia sekitar 10, 11 tahun. Nah waktu anak kami sudah lebih dewasa dan sudah menginjak masa remaja 15, 16 tahun saya panggil lagi yang laki-laki dan saya mengajak ngomong berdua dan saya membicarakan lagi hal-hal yang pernah kami bicarakan dulu yaitu tentang misalnya masturbasi dan mimpi basah, nah hal-hal itu kami bicarakan dengan terbuka. Jadi saya yang memulai tentang percakapan itu. Jadi sekali lagi pada masda kecil biasanya anak-anak yang berinisiatif menanyakan hal-hal yang tidak dimengertinya tentang dari manakah adik muncul dan sebagainya, tapi pada masa anak-anak mulai usia remaja, saya kira inisiatif harus diambil oleh orang tua. Orang tua tidak bisa lagi duduk dengan pasif menantikan anak yang datang kepadanya. Pada usia 15, 16, anak-anak tidak akan lagi bertanya karena mereka sudah memiliki rasa sungkan dan enggan, akhirnya mereka akan mencari tahu dari pihak-pihak luar. Nah itulah yang kami lakukan Ibu Wulan.
GS : Ada kekhawatiran di pihak orang tua tentunya, kalau dia mulai menceritakan atau menyinggung tentang seks, anak itu akan bertanya hal-hal yang sebenarnya belum patut mereka ketahui, nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Sebetulnya ini Pak Gunawan, waktu anak-anak mempunyai keingintahuan pada usia kecil itu, anak-anak masih mempunyai keterbatasan hormonal untuk dapat mengalami dan merasakan rangsangan-rangangan seksual.
Misalkan pada waktu anak-anak bertanya di usia sekitar 8 tahun, anak-anak itu hanya mencetuskan pertanyaan yang lahir dari keingintahuannya, jadi ini benar-benar suatu aktifitas mental dan relatif bebas dari desakan-desakan hormonal. Tapi waktu si anak tidak mendapatkan jawaban dan dia ingin mempunyai jawaban dan dia mulai mencarinya, nah misalkan dia mulai mendapatkan jawaban itu sekitar usia 14 tahun. Pada saat itu waktu si anak menanyakan atau mencari informasi tentang seks, informasi itu bukan saja lahir dari keingintahuannya secara mental, tapi merupakan gejolak hormonal dalam dirinya. Dengan kata lain pertanyaan itu sudah dimotivasi, dimotori oleh energi seksual, oleh keinginan untuk mempunyai kontak seksual dengan orang. Nah itulah yang mulai bergejolak di dalam dirinya. Itu sebabnya penting orang tua menyadari bahwa tatkala anak-anak mulai menanyakan sekitar usia 8, 9 tahun, berilah jawaban yang lebih terbuka. Pada usia 4, 5 tahun sudah tentu kita tidak perlu memberikan jawaban yang gamblang karena terlalu kecil, mereka pun belum mengerti, tapi usia 8, 9 tahun, anak-anak sudah mulai memiliki konsep ini masuk akal atau tidak. Nah ternyata kalau tidak masuk akal lagi buat si anak kita harus lebih terbuka langsung menceritakan sebetulnya apa itu yang terjadi antara suami dan istri yang akhirnya melahirkan seorang anak. Nah waktu mendapatkan jawaban itu, si anak mendapatkan kepuasan secara intelektual bahwa OK! Sekarang saya memahami, dan ini suatu keuntungan karena jawaban itu bisa menolongnya melewati masa remaja. Sehingga pada waktu masa remaja, sewaktu dorongan-dorongan hormonal itu mulai bergejolak dan memotivasi dia untuk mengetahui, dia sebetulnya tidak perlu tahu lagi karena sebetulnya dia sudah tahu. Berbeda dengan anak-anak yang tidak pernah tahu kemudian pada usia 14, 15 tahun, mengalami gejolak hormonal seksual dan ingin tahu. Nah rasa ingin tahunya itu sudah tercemar oleh dorongan-dorongan seksual tersebut, sehingga proses pencarian tahu itu menjadi proses yang lebih membingungkan, lebih bersifat erotis dan sebagainya.
WL : Dan lebih berbahaya Pak Paul, kalau justru mereka mendapatkan informasinya dari lingkungan teman-temannya, yang sebenarnya informasinya juga tanggung-tanggung, tapi suka sok tahu dan bahkan terus mencoba bereksperimen.
PG : Betul sekali, kebanyakan anak-anak itu sewaktu mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka memberikan reaksi atau respons yang berbeda, dibandingkan kalau pada awalnya usia yang lebihmuda mereka mendapatkan informasi dari orang tuanya.
Bedanya apa, waktu usia remaja mereka mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka akan lebih terdorong menggali informasi, karena merasa ini tidak cukup dan harus lebih grafik lagi. Nah disini lah pencobaan muncul yaitu masuknya peranan-peranan seperti internet atau VCD porno dan sebagainya. Nah inilah zaman sekarang dan zaman sewaktu kita masih lebih muda dulu. Pada zaman ini benar-benar tidak ada batas pemisah, dalam pengertian ini tembok rumah itu sesungguhnya tidak ada, anak-anak itu bisa menjangkau dan dijangkau materi-materi pornografi dengan sangat mudahnya. Nah orang tua akhirnya harus lebih terlibat mengawasi, memantau perkembangan anaknya di rumah, apa yang dia lakukan dengan komputernya, sehingga anak-anak itu tahu bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan perilaku dan waktunya di hadapan orang tua. Jangan sampai anak-anak remaja mempunyai privasi yang begitu kuat, sehingga orang tua sama sekali tidak bisa memasuki dunianya, itu adalah awal dari bencana.
GS : Pak Paul, karena ini suatu pendidikan yaitu pendidikan seks, materi-materi apa yang mesti diberikan dan apa yang tidak mesti diberikan?
PG : Yang pertama yang harus diberikan adalah tentang hubungan seksual itu sendiri yaitu tentang apa yang dilakukan oleh seorang pria kepada seorang wanita. Seksual secara grafik sebetulnya apayang terjadi, nah itu yang perlu disampaikan oleh orang tua kepada anaknya.
Nah sekali lagi ini contoh yang terjadi pada rumah tangga kami, waktu saya menceritakan itu kepada anak kami, reaksi pertama anak kami adalah dia langsung berteriak jijik dan itu adalah reaksi anak-anak. Namun sekali lagi setelah dia mengerti, itu memuaskannya sehingga dia tidak lagi dibayang-bayangi keingintahuannya, karena dia sudah mengerti. Dan reaksi anak-anaknya adalah jijik, nah sudah tentu setelah dia menginjak usia dewasa reaksi jijik itu tidak akan ada lagi, namun yang penting adalah dia mengetahuinya apa yang sungguh-sungguh terjadi sewaktu pria dan wanita berhubungan seksual. Yang kedua, yang perlu diberitahukan juga adalah kepada anak-anak laki yaitu masturbasi, anak-anak perempuan juga perlu diberitahukan. Nah bagi saya pribadi hal-hal seperti ini adalah bagian dari perkembangan seorang anak memasuki masa pubertas dan akhirnya meninginjak usia dewasa. Nah yang akan saya tekankan kepada anak-anak adalah nomor satu, ini bagian dari perkembangan jadi kalau ini sampai dilakukannya ini adalah sesuatu yang dapat saya toleransi. Namun harus juga ada pesan-pesan moralnya, misalkan apakah boleh melakukannya (dalam hal ini masturbasi) tanpa batas dan sekehendak hatinya? Sudah tentu akan ada panduannya, akan ada pagarnya, sebab firman Tuhan juga berkata bahwa kalau kita dikuasai oleh apapun kita menjadi hamba dari apapun yang menguasai kita itu dan kita tahu kita tidak boleh menjadi hamba oleh apapun atau siapapun. Kita hanya boleh menjadi hambat Tuhan yaitu hamba dari Tuhan sendiri. Maka sesuatu yang boleh pun harus dalam kendali kita, harus dalam kuasa kita, kita tidak boleh dikuasai olehnya dan sekehendak hati kita melakukannya. Dan yang kedua yang kita juga mesti jelaskan adalah tentang relasi seksual itu sendiri. Bahwa itu adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang baik yang Tuhan ciptakan kepada manusia sebagai hadiah, sebagai alat juga untuk menenangkan diri, merelasikan diri dan untuk sarana berkembang biak, namun Tuhan hanya mengijinkan itu dalam konteks pernikahan, jadi pesan-pesan moral ini harus terus-menerus kita sampaikan kepada anak-anak kita. Yang berikutnya adalah kita juga mau menyampaikan kepada anak-anak kita bahaya-bahayanya kalau anak-anak terlalu terfokus dan banyak melihat atau mulai melihat-lihat hal-hal yang bersifat pornografi. Yaitu semua ini tidak membuat kita puas, semua ini membuat kita tambah haus, dan akhirnya kita tidak pernah puas diri. Pornografi memang bersifat mencandu dan bersifat terus-menerus menambah tidak cukup dengan dosis yang sama. Nah anak-anak perlu diberitahukan, "Kalau kamu mulai melihatnya berarti kamu memasuki suatu siklus yang nanti kamu terus dibawa berputar di situ makin hari makin dalam dan tidak bisa keluar. Jadi kamu harus membatasi diri tidak melihatnya. Hal-hal lain lagi apa yang bisa kita lakukan? Misalkan dalam menonton televisi sesuatu yang sangat alamiah. Dalam rumah tangga kami kalau kami melihat ada adegan-adegan ciuman atau adegan yang mulai mengarah ke sana kami langsung ganti channelnya. Lama-kelamaan anak-anak tidak ada kami pun mereka langsung menggantinya sendiri, nah itu bagian-bagian yang kami tekankan bahwa itu sesuatu yang akan mencandu kalau terus kita lihat, kalau kita membiarkan diri kita menyantapnya, kita tidak bisa dengan mudah menghentikannya. Nah hal seperti inilah yang kita komunikasikan kepada anak-anak. Kita juga boleh berkata bahwa gejolak seksual itu keinginan melakukan persetubuhan dalam diri kita, itu keinginan yang wajar sebab gejolak seksual adalam keinginan melakukan persetubuhan. Tapi melakukannya dalam usia dini dan di luar konteks pernikahan ini sesuatu yang Tuhan tidak ijinkan. Nah semua ini yang harus kita bicarakan dan sebaiknya tidak hanya kita bicarakan dalam waktu atau situasi tertentu yang formal, tapi kita juga ungkapkan dalam situasi-situasi yang lebih informal. Menontot televisi, ada orang yang berpacaran dengan orang yang sudah menikah, nah kita bisa berikan reaksi kita dan berkata: "Saya tidak suka dengan film ini, karena dalam film ini orang ini berpacaran dengan orang yang sudah menikah." Nah anak-anak akhirnya terus menangkap pesan-pesan moral kita.
WL : Pak Paul, ada pertanyaan praktis berkaitan dengan memperlengkapi orang tua tentang panduan seksual ini. Saya pernah mendengar pendapat yang berbeda dari dua tokoh yang berbeda tentang keingintahuan dari anak-anak, jadi supaya tidak terlalu ingin tahu dan akhirnya nanti mengacau misalnya mengenai anatomi tubuh dari jenis kelamin yang berbeda, si ayah bisa mandi bersama-sama dengan anak perempuannya dalam batas usia tertentu. Sedangkan si ibu mandi dengan anaknya yang laki-laki. Jadi pada saat melihat sesuatu yang berbeda ini orang tua bisa menjelaskan. Tapi ada tokoh yang berbeda lagi justru menentang pangajaran seperti ini, menurut Pak Paul sebaiknya bagaimana?
PG : Saya termasuk yang menentangnya, sampi usia tertentu orang tua sesama jenis dengan si anak bolehkan mandi bersama? Boleh, tapi dalam batas usia tertentu misalkan di bawah 5 tahun. Setelah tu sebaiknya pun juga tidak apalagi yang berlawanan jenis, saya kira jangan.
Karena apa, kita manusia berdosa, dalam diri kita selalu ada potensi untuk berdosa, ini bisa muncul dari si orang tua atau bisa muncul dari si anak. Lama-kelamaan misalkan si anak di usia 9, 10 tahun hormon-hormon seksualnya sudah mulai bekerja, melihat orang tua lawan jenis mandi dengan dia, dia akan mengalami rangsangan. Si orang tua sendiri pun misalkan orang tua laki-laki mandi dengan anak perempuannya usia 9, 10 tahun yang tubuhnya mulai membentuk sebagai seorang wanita itu pun bisa menimbulkan rangsangan. Jadi kita harus bijaksana mencegah diri kita dari kemungkinan berdosa, jadi memang saya tidak setuju dengan pandangan yang membolehkan hal itu.
GS : Bagaimana kalau tanggapan anak itu ketika kita mulai mencoba melakukan pendekatan dan memberikan masukan tentang seksual ini, tanggapannya itu tidak serius, mungkin dengan tertawa, acuh tak acuh dan sebagainya. Mungkin dia melihat bahwa kita ini cuma orang awam dalam hal ini bukan dokter, bukan seksolog itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya menduga reaksi tak serius itu sebetulnya reaksi menutupi ketidaknyamanannya Pak Gunawan. Sesungguhnya si anak juga tidak nyaman membicarakan hal ini, sebab kemungkinan dia melihat orag tuanya pun tidak nyaman, karena orang tuanya tidak nyaman dia menangkap kesan tidak nyaman itu.
Nah untuk menutupi rasa tidak nyamannya akhirnya dia bercanda dan sebagainya. Saya kira orang tua tetap saja sampaikan hal itu. Waktu saya berbicara dengan anak saya, anak saya diam dan hanya mendengarkan, anak saya tidak memberikan komentar. Nah tidak apa-apa, sebab saya kira yang penting adalah pembicaraan ini telah terjadi dan dengan pembicaraan ini kita seolah-olah berkata kepada anak kita bahwa ini adalah topik yang boleh dibicarakan dan ini sesuatu yang wajar, tidak apa-apa dibicarakan. Kalau ada pertanyaan silakan diajukan dan kita pun berani untuk mengatakan hal-hal yang pernah kita alami dulu. Nah kita misalkan bisa berkata: "Saya pun bukan saja dulu, sekarang pun masih bisa tergoda, masih bisa terangsang melihat hal-hal seperti itu." Nah apa yang kita lakukan supaya kita tidak jatuh ke dalam dosa, kita juga bisa bagikan kepada anak-anak kita. Maka dalam hal seperti ini orang tua perlu meyakini satu hal yaitu tidak semua orang tua mempunyai latar belakang yang baik, ada sebagian orang tua berlatar belakang bebas dan akhirnya jatuh ke dalam dosa. Nah kalau orang tua bertobat, sudah tahu bahwa itu dosa dan bertobat, meskipun dulu pernah memiliki masa lalu yang kelam itu orang tua tetap harus menjadi penjaga gawang, harus tetap berfungsi menjadi wakil Tuhan. Jangan sampai orang tua beranggapan: "Saya dulu tidak benar, saya dulu juga lemah, saya juga banyak kelemahan masa sekarang saya melarang anak saya, ya tidak pantas saya melakukan hal seperti itu." Oh....tidak, Tuhan mempercayakan anak kepada kita dan kita duta Tuhan di rumah ini kita harus menjaga anak-anak kita jangan sampai jatuh ke dalam dosa yang sama. Namun karena kita pernah jatuh, kita lebih memahami bahwa memang pencobaan ini berat, jadi dalam berbicara dengan anak-anak kita tidak bersikap menghakimi dan bersifat kebalikannya seolah-olah kita tak pernah sama sekali diganggu oleh masalah-masalah ini.
GS : Jadi pesan-pesan moral itu yang harus lebih banyak diungkapkan di dalam hal menyampaikan pendidikan seks ini daripada yang teknis-teknis itu Pak Paul?
PG : Ya, jadi sudah tentu apanya, seks itu apanya, masturbasi itu apanya, seperti apa semua itu, itu perlu dijelaskan. Kita tidak lagi menggunakan istilah-istilah untuk meringankan pesan seks iu.
Memanggil alat kelamin apalah, tidak, katakan apa adanya, namun setelah itu diberitahukan akhirnya yang lebih banyak kita sampaikan adalah pesan-pesan moral.
GS : Mungkin dalam hal ini Pak Paul ingin menyampaikan ayat firman Tuhan?
PG : Saya bacakan dari 1 Korintus 6:18, Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan erdosa terhadap dirinya sendiri."
Nah Tuhan di sini memberikan satu pembedaan antara dosa yang dilakukan di dalam diri dan di luar diri, ternyata percabulan yaitu hubungan seksual di luar nikah adalah dosa yang menyangkut diri kita sendiri, kita berdosa terhadap diri kita. Kenapa, karena tubuh kita adalah bait Allah, tempat kediaman Allah, tempat kediaman Roh Kudus. Waktu kita mencabulkan diri, kita itu mencabulkan tubuh Allah, maka pesan Tuhan di ayat 20 adalah "Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" Jadi kita mendapatkan mandat dari Tuhan, tubuh ini tidak dipakai untuk hal-hal yang cabul, otak ini tidak diisi dengan hal-hal yang pornografi tapi otak dan tubuh ini kita pakai untuk memuliakan Tuhan. Bagaimana caranya memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, yaitu dengan memelihara kekudusannya. Itulah caranya memuliakan Allah dengan tubuh yaitu dengan menjaga kekudusan baik itu pikiran maupun tubuh kita.
GS : Jadi melalui perbincangan ini makin jelaslah betapa pentingnya pendidikan seks itu dalam keluarga dan itu menjadi tanggung jawab kita buat orang tua. Terima kasih banyak Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.