Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, melanjutkan percakapan kita sebelumnya, Bapak sudah sempat menyinggung ada dua jenis kategori yang perlu kita perhatikan terkait tentang film-film bioskop Hollywood yaitu kategori pertama 'General' dan kategori kedua 'Parental Guidance Suggested'. Nah, kategori yang ketiga apa, Pak ?
SK : Kategori ketiga adalah dengan simbol "PG-13" atau dalam bahasa Inggris disebut Parents Strongly Caution. Artinya orang tua diminta untuk berhati-hati karena beberapa isi dari tayangan film tersebut kurang cocok bagi remaja usia awal. Jadi memang kategori rating usia ini paling populer di Amerika Serikat karena berada di tengah-tengah dan dipercayai sebagai rating yang paling menguntungkan secara komersial. Dalam hal ini anak-anak usia 13 tahun masih bisa menyaksikan film ini apalagi orang dewasa. Dalam film kategori PG-13 ini, penggambaran tindakan kekerasan, sensualitas, aktifitas seksual, bahasa kasar, itu bisa ditemukan di beberapa adegan film ini namun dalam takaran yang dianggap tidak berlebihan bagi anak di usia minimal 13 tahun asal didampingi oleh orang tua. Sementara adegan merokok, adegan mengkonsumsi obat-obatan terlarang juga masih bisa ditemukan dalam kategori film ini. Termasuk juga adegan seks, sekalipun tidak menunjukkan seluruh bagian tubuh secara eksplisit.
H : Bapak bilang rating ini sangat populer terutama ditujukan bagi anak-anak kita yang berusia remaja awal, usia 13 tahun ya, Pak ?
SK : Iya dan juga bagi orang dewasa.
H : Bisakah Bapak memberikan contoh film apa dan bagaimana proses orang tua dalam pendampingan ini ?
SK : Contoh pendampingannya, jadi memang sebagaimana dijelaskan dalam bimbingan orang tua kategori film atau program televisi "Bimbingan Orang tua" (BO), Kategori Lampu Kuning (Hati-hati), di sini orang tua perlu menyaksikan bersama dan mendiskusikan dengan anak-anak yang menyaksikan film itu. Memang kembali ini memang bukan film yang cocok bagi usia di bawah 13 tahun. Jadi usia anak-anak yang masih TK, SD, apalagi yang balita, usia Kelompok Bermain jangan sekali-sekali menonton film ini. Karena akan cenderung mencederai mentalitas dan tumbuh kembang anak kita menjadi pribadi yang sehat.
H : Kalau saya lihat karena ini sudah memasuki usia remaja, kelihatannya proses dialognya agak berbeda dengan usia anak-anak, ya Pak ? Kalau anak-anak saya rasa pada saat 'on the spot' kita menonton film bersama kita dapat berdiskusi bersama, tapi kalau dengan remaja apa mungkin sesudahnya ya, Pak ?
SK : O ya, tentu. Karena ini film bioskop berarti setelah menonton barulah kita sebagai orang tua dapat membangun diskusi atau dialog.
H : Terima kasih, Pak. Apakah Bapak bisa memberikan contoh film yang berkategori PG-13 ?
SK : Cukup mudah, Pak Hendra. Biasanya ini film-film Box Office, film-film yang laris manis khususnya di masa musim panas (Summer dalam konteks Amerika) dan itu jatuhnya di masa liburan sekolah, sekitar bulan Juni – Juli di Indonesia. Seperti film Iron Man, The Avengers, Man of Steel, Superman yang seri terakhir, The Incredible Hulk, Si Raksasa Hijau, Spiderman, Godzilla, King Kong, Pirates of The Caribbean, Jurassic Park, Harry Potter (Seri kedua, ketiga dan seterusnya yang termasuk kategori remaja ke atas). Jadi Harry Potter yang pertama masih bisa disaksikan oleh anak yang bukan remaja tapi dengan bimbingan orang tua. Sedangkan Harry Potter kedua dan seterusnya berada di level yang lebih atas, usia remaja, dan itu pun sebaiknya di bawah bimbingan orang tua. Ada diskusi, ada percakapan supaya anak bisa menyaring hal-hal yang kurang tepat bagi tumbuh kembang yang sehat bagi anak kita.
H : Bagaimana dengan kategori yang keempat, Pak ?
SK : Kategori yang keempat dengan simbol huruf R yaitu 'Restricted'. Jadi ini berisi beberapa adegan untuk orang dewasa, dimana orang tua diminta untuk benar-benar mempelajari lebih banyak lagi tentang film ini sebelum mengajak anak-anak mereka menontonnya. Jadi film kategori R dalam konteks Amerika Serikat, usia di bawah 17 tahun/remaja akhir wajib didampingi oleh orang tua, karena di dalam film berkategori R memiliki tema cerita tindak kekerasan yang kuat, bahasa yang sangat kasar, penggunaan obat-obatan terlarang, serta unsur dan adegan seksual yang begitu dominan dan memang sebaiknya anak-anak tidak menyaksikannya. Oleh Lembaga Sensor Film Indonesia, film-film seperti ini dikategorikan sebagai film Dewasa (D) atau 17 Tahun Keatas (17+). Film-film yang masuk dalam kategori R biasanya adalah film-film 'horror', 'thriller', 'action', dimana mengumbar kekerasan, darah bercucuran dan ini tidak baik bagi tumbuh kembang seorang anak.
H : Contoh-contoh filmnya apa, Pak ?
SK : Misalnya seperti film "Final Destination"; film pembunuhan berantai, menegangkan, mencekam, berdarah; film "Underworld"; film-film fantasi; film dewasa atau film yang didominasi oleh adegan kekerasan dan adegan seksual. Yang terkenal di tahun 1980-an atau 1990-an awal itu "Basic Instinct". Film-film seperti ini banyak mengekspose hal-hal yang tidak cocok dan tidak membangun bagi anak-anak termasuk remaja.
H : Kalau kategori yang terakhir, Pak?
Sk : Kategori terakhir adalah kategori yang bersimbol NC-17 singkatan dari "No One 17 and Under Admitted". Artinya yang berusia 17 tahun dan kurang dari 17 tahun tidak diijinkan menonton film ini. Dalam konteks Amerika, ini untuk film yang sangat vulgar, kekerasan di luar batas, adegan seksual yang begitu blak-blakan dimana menunjukkan bagian tubuh yang vital dan ada unsur yang dianggap hanya dapat dicerna oleh orang dewasa. Contohnya film Salt.
H : Film yang sadis dan berdarah-darah itu ya, Pak ?
SK : Betul ! Saya sendiri kapok untuk nonton. Saya cukup nonton secuplik lalu tidak melanjutkannya. Karena begitu kejam dan dapat menyebabkan mimpi buruk dan tidak sehat. Menurut saya, film ini juga tidak sehat bagi jiwa saya.
H : Iya. Terima kasih untuk penjabarannya, Pak. Kalau kita sudah mengetahui kategori-kategori tersebut, kelihatannya lembaga sensor film Amerika maupun Indonesia sangat mengkritisi bagian ini karena ingin menghindarkan anak-anak dari pengaruh negatif. Pengaruh-pengaruh negatif tersebut konkretnya seperti apa, Pak ?
Sk : Ada berbagai unsur. Sebelumnya saya ingin tambahkan. Bagi kita yang ingin tahu lebih lanjut, bisa membuka imdb.com. Ini adalah situs yang membahas film-film Hollywood dan kita bisa membuka di bagian "Movie and Theater". Disana kita bisa ketik atau klik judul filmnya, nanti akan muncul ratingnya. Seperti rating yang saya jelaskan tadi. Jadi sebelum menontonnya sendiri apalagi hendak mengajak anak-anak yang berusia balita, remaja atau pun di bawah 17 tahun, sebaiknya kita cek dulu. Jangan terkelabui, "Oh ini 'kan film tokoh fantasi komik, pasti film anak. Ini 'kan film animasi kartun, pasti untuk segala umur." Oh, nanti dulu. Cek dulu. Jadi supaya kita mengantisipasi jangan sampai kita bawa film itu kemudian terkelabui dan terlanjur ditonton oleh anak kita.
H : Terima kasih untuk infonya, Pak.
SK : Untuk menjawab pertanyaan Pak Hendra tadi, saya menemukan ada 7 dampak yang nyata bagi anak-anak kita, Pak Hendra.
H : Apa saja itu, Pak ?
Sk : Yang pertama yaitu mempengaruhi perkembangan otak dan daya pikir anak kita. Dalam hal ini bagi anak kita yang berusia 0 – 3 tahun, pengeksposan televisi, film atau acara televisi yang berjam-jam, itu bisa menghambat kemampuan bicara anak kita. Menghambat sehingga anak kita mengalami gangguan berbicara, lambat berbicara. Kemampuan untuk membaca, kemampuan untuk memahami sesuatu. Jadi saya pernah menemukan suatu situasi anak umur 3,5 tahun tapi masih belum bisa berucap selain "papa" dan "mama" saja. Saya coba menggali lebih lanjut, ternyata kedua orang tuanya sama-sama sibuk, kemudian anak ini diserahkan kepada televisi, tanpa disadari, untuk menjadi orang tua pengganti. Karena di depan televisi anak bisa tenang, tidak banyak bertingkah sebab acara televisi itu menarik. Tapi karena pasif, akibatnya anak tersebut tidak terstimulasi atau terasah dalam hal berbicara. Orang tua pun pulang sudah lelah, hanya memandikan, memberi makan, lalu tidur. Jadi akhirnya kemampuan bicara anak itu terhambat.
H : Selain gangguan bicara, gangguan apalagi yang berkaitan dengan perkembangan otak ini, Pak ?
SK : Berikutnya untuk usia 5 – 10 tahun, yaitu hambatan dalam pengekspresian pikiran lewat tulis menulis. Jadi kemampuannya menulis mengalami hambatan dan anak cenderung berperilaku agresif, menyerang, melakukan kekerasan, akhirnya anak sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Misalnya yang ekstrem pakai selimut berwarna merah, lompat dari lantai dua. "Aku Superman !" Akhirnya jatuh, gegar otak. Karena dia terus-menerus menyaksikan film Superman. Dia tidak bisa membedakan bahwa itu adalah khayalan. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu dia menyaksikan film Superman, akhirnya dia meniru. Anak adalah peniru ulung. Itu menjerumuskan anak kita. Kemudian yang lain berkaitan dengan otak, pola pikirnya cenderung linier. Artinya datar, tidak ada kreatifitas. Hanya menerima, sehingga tidak terangsang berpikir secara kreatif melintas batas, sehingga dia tidak bisa optimal dengan potensi yang sebenarnya Tuhan taruh.
H : Yang berikutnya masih ada, Pak ?
SK : Ya, berkaitan dengan konsentrasi, Pak Hendra. Ada istilah GPP singkatan dari Gangguan Pemusatan Perhatian. Jadi anak-anak yang terlalu banyak terpapar di depan televisi, menonton tayangan-tayangan audiovisual, berhari-hari berminggu-minggu, berjam-jam, maka kecenderungannya dia susah tenang di kelas, baik di Sekolah Minggu maupun di sekolah, karena guru-guru ini membosankan bagi anak-anak jika dibandingkan dengan televisi yang warnanya ganti-ganti, bergerak cepat, adegannya macam-macam, suasananya berbeda. Kelas di sekolah cenderung monoton, sehingga anak itu gelisah. Bahkan sebuah penelitian yang diekspose di halaman pertama Harian Kompas beberapa tahun yang lalu, disampaikan hasil penelitian yang menunjukkan dampak negatif tayangan televisi beriklan bagi anak kita. Hal itu akan membuat daya fokus anak jadi pendek-pendek. Konsentrasinya semakin lama semakin pendek. Anak gelisah untuk sesuatu yang membutuhkan waktu 10, 15 apalagi 30 menit. Karena televisi beriklan paling tayangan acaranya 10 menit, iklannya 3 menit. Tayang 5 menit iklannya 3 menit, atau tayangan acaranya 3 menit, iklannya 5 menit. Nah, itu membuat daya konsentrasi anak menjadi pendek-pendek.
H : Nah, tayangan iklan itu sendiri juga pendek-pendek ya, Pak. Pendek dan menarik.
SK : Betul, inilah, Pak Hendra. Ternyata apa yang disaksikan anak kita tidak sederhana.
H : Selain pengaruh negatif terhadap perkembangan otak anak, apalagi pengaruh negatifnya, Pak ?
SK : Pengaruh lain, Pak Hendra, yaitu anak kita konsumtif. Dalam konteks televisi beriklan yang disaksikan oleh anak-anak menampilkan berbagai macam makanan, mainan, bentuk-bentuk barang-barang tertentu yang akhirnya anak ingin memiliki. Membeli barang ini dan membeli barang itu. Kemudian pengaruh televisi yang ketiga adalah sikap yang terpengaruhi. Jadi memang terutama sampai usia 3 tahun, anak belum pandai menyaring apa yang mereka tonton. Jadi apa yang mereka tonton, itulah yang menjadi tuntunan mereka. Termasuk usia yang lebih tua seperti 5 - 7 tahun, sekarang sudah mengerti soal pacaran, mengerti istilah galau dan istilah-istilah atau ungkapan. Belajar darimana ? Ternyata setelah diusut, televisilah yang mengajari anak kita.
H : Bukan hanya perilaku ya Pak, tapi juga cara berpakaiannya ? Segala yang ada di televisi dia ingin tiru.
SK : Betul, begitulah. Kadang yang ironis, tanpa sadar kita memberi penguatan. Kita tertawa, kita pikir lucu melihat anak kita seperti itu. Bagi anak kita, "Wah, aku disetujui, aku didukung !" Malah membuat anak kita menjadi-jadi.
H : Pengaruh negatif yang lain lagi apa, Pak ?
SK : Yang lain, Pak Hendra, semangat belajar cenderung turun. Menonton televisi itu rileks, pasif. Sedangkan belajar itu aktif, perlu berpikir. Jadi anak kita malas berpikir kalau dia berlama-lama di depan televisi. Dampak yang lain adalah obesitas atau kegemukan. Nonton asyik pasti didampingi oleh masakan yang asyik juga. Dan makan makanan seperti makanan di iklan itu 'kan kaya lemak, penuh zat-zat karbohidrat, lemak dan itu menumpuk potensi kegemukan pada anak dan malas bergerak.
H : Ini untuk anak yang hobi menonton sekaligus hobi makan, ya Pak ?
SK : Ya, tapi tidak hobi makan pun akan terstimulasi. Waktu dia menonton kan ada tayangan iklan. Pada tayangan film anak-anak juga ada tayangan iklan anak-anak. Terstimulasi, ingin beli, akhirnya ingin menikmati. Dan benar, rasanya memang rasa untuk anak. Sekalipun zat-zatnya sintetik yang tidak baik untuk tumbuh kembang anak kita, tapi rasanya memang enak.
H : Berikutnya apa, Pak ?
SK : Yang lain, anak kita cenderung asosial. Artinya dia kurang mampu menempatkan diri dalam relasi dengan orang lain. "Bagaimana sih anak sekarang tidak tahu tata krama, masuk begitu saja, tidak permisi, lupa ngomong terima kasih, lupa minta tolong, lupa minta maaf ?" Ternyata apa ? Memang televisi bukan orang tua yang baik, malah jadi orang tua dan guru yang buruk untuk beberapa adegan yang sebenarnya adegan untuk orang dewasa atau adegan yang jelek. Sinetron-sinetron dilahap, jargon-jargon yang bersifat lelucon, infotainment untuk orang dewasa yang tidak membangun disaksikan anak kita. Sehingga dia jadi orang yang tidak peduli dengan orang lain.
H : Dampak yang terakhir, Pak?
Sk : Yaitu dampak secara seksual, Pak Hendra. Jadi anak kita cenderung akan lebih cepat matang secara seksual, karena dia sudah menyaksikan tayangan-tayangan atau adegan-adegan yang sebenarnya mengeksploitasi seksual dimana anak kita belum bisa menyaring. Itu membuat dia meniru dan terangsang pola pikirnya. Perilaku pun akan terpengaruhi, dia akan mencoba-coba perilaku seksual yang sebenarnya tidak cocok dilakukan oleh anak-anak kita.
H : Ok, Pak. Jadi itu adalah pengaruh-pengaruh negatif yang harus kita waspadai dan sebisa mungkin harus kita hindarkan dari anak-anak kita, ya Pak. Kalau pengaruh negatif media televisi bagi orang dewasa itu apa, Pak ?
SK : Seperti pada anak-anak, pengaruh negatif televisi bagi orang dewasa yang pertama yaitu menjadi pribadi yang konsumtif dan pasif statis. Konsumtif artinya cenderung doyan belanja. "Rumah macam ini yang tren." "Apartemen ini yang modern." Produk elektronik ini yang tren, gaya hidup masa kini." Jadi kalau kita mau jadi orang yang gaya hidupnya sederhana, apa adanya, kurangilah nonton acara televisi beriklan. Pasif dan statis itu mempengaruhi dimana kita jadi penonton. Ada peristiwa apa di negara kita, "Sudahlah tidak usah repot-repot, beri uang saja. Sudahlah biar orang lain yang melakukannya." Semuanya ingin rileks, terhibur. Akhirnya kurang peduli dengan sekitar. Dan yang ironis, Pak Hendra dan saya juga jadi prihatin, hal ini juga mempengaruhi dunia dalam bergereja. Kadang kita mengkritik, "Bagaimana sih gereja itu mengundang artis ? Gereja entertainment." Eh, tanpa sadar, gereja-gereja kita pun yang tidak mengundang artis pun sebenarnya mengarah menjadi gereja entertainment. Buktinya apa ? Jemaat kita yang kemungkinan suka menonton televisi, malas untuk berpikir. Mintanya kotbah yang cepat, pendek dan lucu. Itukan gaya entertainment, gaya komedi, gaya film yang menghibur, diminta dimunculkan di model khotbah. "Natalnya nanti meniru acara ini, Paskahnya seperti ini." Tapi saat diajak, "Ayo berpikir solusi untuk masyarakat." Jawabnya, "Aduh, tidaklah. Hamba Tuhan saja yang bekerja." Atau misalnya dalam hal pelayanan, "Ayo bertindak, ayo memberi sesuatu, sumbangkan pikiran dan tenaga." Jawabnya,"Tidaklah, uang saja yang saya persembahkan." Nah ini pola pikir entertainment masuk dalam dunia bergereja. Pengaruhnya sampai seperti itu, Pak Hendra.
H : Bisakah itu dikatakan sebagai Kristen sekuler atau Kristen duniawi, Pak ?
SK : Ya. Itu bisa masuk pada poin yang kedua, pengaruh negatif bagi orang dewasa dimana hari minggu mendengar firman Tuhan, tapi di hari-hari yang lain tontonan media yang sekuler, hidup tanpa saat teduh merenungkan firman, pergaulan pun percakapannya sekuler. Maka dia menjadi pribadi yang Kristen tapi sekuler dan duniawi. Ini dampak negatif yang lain.
H : Iya, Pak. Konsumtif, pasif dan statis; bisa membuat kita menjadi orang Kristen sekuler dan duniawi. Apalagi Pak pengaruhnya bagi orang dewasa ?
SK : Yang ketiga, Pak Hendra, menjadi pribadi yang mengalami kecanduan media. Kecanduan media ini merupakan keadaan yang seringkali kurang kita sadari. Seringkali orang lebih menyadari kecanduan alkohol, kecanduan obat-obatan terlarang. Tapi orang tidak menyadari bahwa media yang kesannya netral itu ternyata bisa menjadi objek dimana orang mengalami kecanduan. Hal ini memiliki beberapa gejala, Pak Hendra.
H : Gejala-gejala seperti apa, Pak ?
SK : Yang pertama, orang yang mengalami kecanduan media ditandai oleh pikiran yang terus menerus tertuju kepada media. Jadi ketika dia sedang beraktifitas, yang dipikirkan media. Misalnya, "Aduh, tayangan televisi ini harus ditonton. Ini bagus. Apa ya acara hari ini ?" Atau dalam bentuk handphone, atau Facebook bagi yang berbentuk media sosial. "Wah, saya harus pasang status apa ya? Kira-kira respons apa yang muncul, ya ? Wah saya harus update, saya harus perbaharui, saya harus beri tanggapan." Itu yang pertama, Pak Hendra.
H : Pak, terkait tentang media televisi. Seandainya orang itu mengikuti serial sinetron atau serial film Korea, apa itu termasuk kategori kecanduan, Pak ? Karena dia mungkin menanti-nantikan jam tayang film serial yang ditunggu itu.
SK : Ya itu baru poin yang pertama, Pak Hendra. Jadi kalau hanya berdasarkan menantikan serial berikutnya itu belum menunjukkan orang itu kecanduan atau tidak. Masih ada lima poin lagi, Pak Hendra.
H : OK. Jadi poin kedua dan seterusnya itu apa, Pak ?
SK : Poin kedua adalah orang tersebut cenderung menambah waktu demi meraih kepuasaan yang dulunya pernah dicapai. Misalnya dulu menonton televisi satu jam sehari sudah cukup, puas, lega, nyaman. Namun dalam perjalanannya kurang puas. Bertambah jadi satu setengah jam supaya menimbulkan efek seperti dulu yang satu jam. Setelah satu setengah jam kok kurang puas, kepuasannya menurun. Tambahkan dosis jadi dua jam. Tambah lagi tiga jam, tambah lagi empat jam. Jadi ada kecenderungan menambah waktu demi mencapai kepuasan yang dulu pernah dicapai.
H : Dan bisa dipastikan kalau sampai seperti itu tidak ada titik puasnya, ya Pak ?
SK : Betul! Betul! Maka itulah yang membahayakan. Sebagaimana orang ketika mengalami kecanduan alkohol. Dulu minum satu sloki sudah puas, sekarang minum dua sloki kurang puas, akhirnya minum tiga sloki, satu botol, dua botol dan seterusnya. Itu yang kedua. Yang ketiga, kecenderungannya adalah orang tersebut berulang kali gagal untuk mengontrol atau menghentikan pemakaian. "Ah, aku menyesal sudah menghabiskan empat jam di depan televisi. Aku jadi tidak produktif !" "Aku menyesal! Empat jam aku habiskan untuk membuka media sosial, aku habiskan untuk memperbaharui status. Aku 'kan tidak kerja-kerja ini." Menyesal tapi diulangi lagi, menyesal diulangi lagi. Jadi berulang kali gagal untuk menghentikan pemakaiannya.
H : OK, Pak Sindu. Saya percaya masih ada beberapa pengaruh negatif bagi orang dewasa yang ingin Bapak sampaikan lagi. Tapi kita harus akhiri sampai di sini karena keterbatasan waktu, Pak. Namun sebelumnya, adakah pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan bagi kita semua ?
SK : Pak Hendra dan para pendengar, saya akan bacakan dari Efesus 5:15–17, "Karena itu perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu hidup. Janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. Dan pergunakanlah waktu yang ada karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan." Ini sebuah peringatan firman Tuhan yang semakin relevan bagi jaman kita dimana kita perlu memperhatikan apa yang kita pakai, apa yang kita nikmati, apa yang kita saksikan. Itulah sebagai bagian dari gaya hidup kita. Dan Tuhan minta jangan seperti orang yang tidak mengenal Tuhan, orang yang mengeraskan hati. "Ah tidak apa-apa kok. Itu 'kan netral. Yang penting aku baca firman. Yang penting aku ke gereja." Tetapi kalau kita tidak mengkritisi, tidak membatasi hal-hal asupan media yang beberapa bagiannya negatif, justru kita menjadi orang yang bodoh kata firman Tuhan. Yang tidak hidup dalam mengerti dan melakukan apa yang Tuhan mau. Dan kita jadi orang yang tidak bijak dalam menyikapi waktu yang terbatas ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Tuhan Yesus memberkati. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org ; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.