Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Topeng Laki-laki". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang rupanya kalau kita jumpai orang-orang di sekeliling kita atau bahkan kalau kita melihat diri sendiri ada banyak hal yang menutupi keadaan diri kita sebenarnya sehingga orang sulit menebak siapa kita dan kita sulit menerka apa yang ada di dalam diri seseorang yang kita hadapi. Apakah hal-hal seperti ini memang sudah menjadi lazim, menjadi sesuatu yang memang harus seperti itu atau bagaimana ?
PG : Pada dasarnya kita tidak bisa hidup terlepas dari tuntutan atau pengharapan lingkungan, jadi untuk dapat diterima, untuk dapat kita berkiprah dalam bermasyarakat maka perlu kita memelajari dan juga mencoba untuk memenuhi apa yang dituntut oleh lingkungan atau orang di sekitar kita. Ini yang seringkali menjadi masalah adalah kalau siapakah diri kita yang sebenarnya tidak sama dengan apa yang sebetulnya dituntut oleh lingkungan terhadap diri kita, bila jaraknya terlalu besar antara diri kita yang sesungguhnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan maka saya menggunakan istilah menggunakan topeng supaya kita bisa diterima oleh lingkungan kita. Misalnya sebagai contoh, kita sebetulnya tidak menyukai olahraga tertentu misalnya sepak bola karena kita tidak nyaman dengan sentuhan atau kontak-kontak fisik dalam permainan sepak bola, tapi misalnya kita dibesarkan dalam lingkungan dimana semua orang yang bermain sepak bola itu mengharapkan kita juga bermain sepak bola karena lingkungan kita seperti itu. Apalagi dikaitkan dengan kelaki-lakian, misalkan kita tidak bisa dan tidak menyukai sepak bola, tapi di lingkungan itu untuk menjadi seorang laki-laki itulah yang dituntut maka kita kalau mau diterima oleh lingkungan maka kita terpaksa bermain juga. Masalahnya adalah kalau kita tidak menikmatinya tapi kita terpaksa melakukannya akhirnya kita menggunakan topeng supaya bisa diterima oleh lingkungan. Kalau makin banyak topeng-topeng yang kita pakai sudah tentu nantinya membuat hidup kita merana dan kita tidak bisa lagi hidup dengan bebas menjadi diri kita apa adanya, sebab siapa diri kita dan apa yang kita tampilkan di luar sesuai dengan tuntutan, tidak sama.
GS : Tapi apakah seseorang itu harus menuruti tuntutan yang datang dari luar seperti itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ada hal-hal yang kita tolak dan kita katakan, "Terserah kamu terima saya seperti apa" namun sudah tentu dalam lingkungan kita seyogianyalah memenuhi kebanyakan dari tuntutan itu, kalau kita terlalu sedikit memenuhinya dan jaraknya terlalu besar, maka tidak bisa tidak lingkungan akan sukar menerima kita. Sebagai contoh kebalikannya lagi, seorang wanita yang hidup dalam lingkungan dimana yang ditekankan adalah berperilaku secara feminin tapi kebetulan si perempuan ini tidak terlalu feminin sehingga dia akhirnya menunjukkan sikap-sikap seperti tomboi, bisa jadi karena lingkungannya menuntut seorang wanita seharusnya bersikap seperti yang diharapkan mereka sangat feminin, maka pada akhirnya dia akan mendapatkan penolakan dari lingkungan, sebab dianggap dia itu tidak sama dengan yang mereka harapkan. Jadi sekali lagi sedapatnya kita memenuhi namun kalau kita tidak bisa memenuhinya maka seharusnya kita bisa menerimanya dan mengakuinya, namun kalau terlalu banyak hal yang dituntut dan kita tidak bisa memenuhi maka biasanya itu akan menjadi problem.
GS : Secara spesifik kita sebagai kaum pria, biasanya topeng apa yang kita gunakan, Pak Paul ?
PG : Saya hanya akan menggunakan satu saja untuk mudahnya yaitu topeng kuat, nanti dalam topeng kuat ini kita akan melihat beberapa hal yang termaktub di dalamnya. Topeng kuat yang saya maksud di sini dapat dibagi sekurang-kurangnya dalam 4 pengertian. Yang pertama adalah tidak mudah dipengaruhi emosi dan yang kedua tidak mudah menyerah dalam kesulitan dan yang ketiga tidak takut menghadapi bahaya, yang keempat tidak lepas kendali. Jadi kita bisa melihat sebenarnya bahwa keempat tuntutan ini untuk menjadi pribadi yang kuat sebetulnya merupakan empat karakter yang baik namun nanti akan kita lihat dalam perjalanannya maka keempat karakter ini yang membangun kepribadian yang kuat yang diharapkan oleh lingkungan terhadap pria seringkali berkembang akhirnya ke arah yang tidak sehat dan justru menjadi masalah bagi kita.
GS : Bahwa pria itu dianggap kuat, itu sudah dari asalnya memang pria diciptakan lebih kuat secara fisik dibandingkan dengan wanita, tanpa kita menutupi, kaum pria itu lebih kuat dari wanita.
PG : Dalam kenyataannya sebetulnya aspek kuat secara fisik hanyalah bagian kecil dari pengharapan akan pria itu seharusnya kuat. Jadi waktu kita membayangkan pria itu kuat sebetulnya sedikit sekali kita akan asosiasikan itu dengan kekuatan fisik, biasanya kalau kita berkata pria itu seharusnya kuat, kita sebenarnya tidak terlalu membicarakan kekuatan fisik melainkan kekuatan-kekuatan yang lebih bersifat karakter atau moralnya. Jadi inilah yang perlu dibentuk dalam diri seseorang, kekuatan fisik adalah sesuatu yang dia terima sejak lahir tapi kekuatan-kekuatan dalam hal karakter yang telah saya bahas, itu memang sesuatu yang harus dibangun oleh seorang pria.
GS : Dalam hal ini apa misalnya, Pak Paul ?
PG : Misalnya yang pertama tadi saya sudah singgung, pribadi yang kuat adalah pribadi yang tidak mudah dipengaruhi emosi, sudah tentu ini adalah sesuatu yang baik namun seringkali ini berubah menjadi tidak beremosi sama sekali. Seharusnya hanya tidak mudah dipengaruhi oleh emosi, tapi pada kenyataannya seringkali pria bukan hanya tidak mudah dipengaruhi emosi malahan tidak beremosi sama sekali. Kita tahu sebetulnya mustahil kita manusia tidak beremosi sama sekali. Jadi yang sesungguhnya terjadi adalah kita bukannya tidak beremosi sama sekali, melainkan kita menyangkal perasaan atau emosi yang ada. Saya kira ini yang sering dilakukan oleh laki-laki. Jadi kita ini sebetulnya punya emosi tapi karena tidak mau dipengaruhi oleh emosi dan kita tidak mau sama sekali beremosi, maka kebanyakan kita laki-laki itu menyangkal keberadaan perasaan atau emosi kita.
GS : Akibatnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah lama-kelamaan laki-laki memunyai kesukaran bukan saja mengenali dan menghayati perasaannya sendiri, tapi juga mengenali dan menghayati perasaan orang lain. Pada akhirnya laki-laki mengalami yang saya sebut ketumpulan emosional dan sulit mengerti perasaan orang lain, ini dampak yang pertamanya.
GS : Dampak yang lain ?
PG : Dampak dari ketumpulan emosional adalah karena kita tidak dapat mengenali dan menghayati berbagai perasaan seringkali semua perasaan mengerucut menjadi satu perasaan yaitu kemarahan. Ini yang biasanya laki-laki kenal dan tidak heran pada umumnya laki-laki punya masalah dengan kemarahan sebab perasaan yang lain itu tidak selalu bisa disadarinya, hanya kemarahan yang lebih bisa disadari oleh laki-laki karena semua perasaan diikat menjadi satu dan semua perasaan ditumpuk menjadi gunung perasaan yaitu gunung kemarahan dan akhirnya yang sering muncul dari laki-laki adalah kemarahan saja.
GS : Mungkin karena kita tidak tahu lagi cara bagaimana mengungkapkan emosi selain kemarahan itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi karena ketumpulan emosional itu akhirnya kita tidak begitu bisa mengenali perasaan apalagi mengungkapkannya, akhirnya bertumpuk dan waktu keluar biasanya keluarnya dalam bentuk kemarahan.
GS : Apakah ada dampak yang lain, Pak Paul ?
PG : Dampak yang berikut adalah sebaliknya dari yang tadi oleh karena tidak mudah mengenali dan menghayati perasaan serta tidak ingin marah karena kita sadar orang tidak suka kita marah, maka laki-laki cenderung menarik diri dari situasi yang bermuatan emosi. Dengan kata lain, akhirnya dari pada marah, dari pada mengeluarkan emosi maka laki-laki menutup diri seperti batu yang dilempar ke kolam, laki-laki cenderung tenggelam di dalam dirinya sewaktu berhadapan dengan emosi.
GS : Kalau Pak Paul katakan ini merupakan ketumpulan emosi, apakah ketumpulan ini sebenarnya bisa diperbaiki, artinya ditajamkan kembali ?
PG : Saya kira bisa, makanya penting untuk kita mengembangkan karakter tidak mudah dipengaruhi emosi secara benar yaitu bukan menyangkal perasaan melainkan mengenali, menghayati dan mengelolanya. Jadi kita laki-laki perlu memaksa diri untuk mengenali apa yang kita rasakan dan kemudian membiarkan diri kita merasakannya atau menghayatinya dan kemudian belajar mengelolanya artinya belajar mengaturnya. Emosi yang dikelola justru cenderung lebih terkendali dan dapat menjadi aset bagi laki-laki dalam berelasi karena dia lebih peka baik dengan perasaannya sendiri maupun dengan perasaan orang lain. Jadi nasehat praktis saya adalah belajarlah mengungkapkan perasaan sewaktu perasaan itu masih dalam kadar yang lemah, misalnya kita takut, sedih, kecewa, belajarlah untuk mengungkapkannya pada kadar yang rendah itu. Jangan tunggu sampai menjadi gunung emosi seperti kecewa berat, marah berat, sedihnya berat jadi akhirnya tidak terkendali lagi. Jadi coba belajar untuk mulai mengenali, menghayati dan mengungkapkan serta mengelola emosi sewaktu emosi muncul dalam kadar yang rendah.
GS : Pengertian emosi juga termasuk dalam sifat misalnya bersukacita dan sebagainya, kadang-kadang kaum pria juga berusaha untuk tidak terlalu menampilkan kegembiraan hatinya, Pak Paul.
PG : Betul. Semuanya sama termasuk juga kegembiraan itu makanya kadang-kadang pria itu waktu gembira karena tidak bisa mengungkapkanya dengan tepat akhirnya mengungkapkannya dengan cara yang salah, misalnya ada kecenderungan laki-laki sewaktu gembira akhirnya melakukan hal-hal yang salah, dia mabuk-mabukan atau berjudi. Jadi banyak hal yang dilakukan sewaktu gembira justru menjerumuskan dia ke dalam dosa. Memang penting bagi pria belajar mengelola perasaan itu sejak awal.
GS : Pengertian yang lain tentang topeng kuat ini apa, Pak Paul ?
PG : Selain dari tidak mudah dipengaruhi emosi tapi akhirnya terselewengkan menjadi menyangkali emosi, yang berikut adalah tidak mudah menyerah dalam kesulitan dan ini adalah pertanda kekuatan pria yaitu tidak mudah menyerah dalam kesulitan, ini adalah karakter yang baik. Namun pada perkembangannya acapkali karakter berubah menjadi tidak mudah mengakui kekalahan sebab dalam kalimat tidak mudah menyerah dalam kesulitan, kata menyerah itu sendiri dianggap sebagai kekalahan dan inilah yang dicoba untuk dihindari dengan berbagai cara.
GS : Misalnya orang menghindarinya dengan cara seperti apa, Pak Paul ?
PG : Karena kita tidak mudah mengakui kekalahan maka kita ini akhirnya mengembangkan ego, ego itu menjadi keras, makin sering kita tidak bersedia mengakui kekalahan berarti makin bertumbuh dan kaku ego kita. Sebagai akibatnya makin sukar laki-laki mengakui kesalahannya, karena egonya makin keras. Alhasil laki-laki cenderung menganggap diri benar karena egonya tidak mau mengaku kalah, sehingga selalu menganggap diri benar dan merasa malu kalau dia harus mengakui salah. Itu sebabnya laki-laki atau perempuan juga punya masalah yang sama, tapi saya kira lebih umum laki-laki sukar meminta maaf, kalau mau meminta maaf maka dia harus bergumul, mungkin menurut saya sebetulnya laki-laki tidak terlalu mementingkan kemenangan dan tidak semua laki-laki itu harus menang dan sebagainya. Tapi saya kira masalah yang lebih utama adalah laki-laki sukar menerima kekalahan, "Tidak apa tidak menang asal jangan kalah", kalau kalah rasanya susah untuk ditelan oleh laki-laki karena akhirnya ego itu sendiri yaitu tidak mudah mengakui kekalahan.
GS : Memang hal ini seringkali terjadi dan menjadi pengalaman kita. Dampak yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Dampak yang lain karena tidak mudah mengakui kekalahan adakalanya laki-laki bersikap tidak realistik dan cenderung bersikap optimistik secara berlebihan misalnya saya bisa bayangkan, saya ingat kita bisa melihat jelas terutama waktu laki-laki tengah berusaha meng-goalkan rencana usahanya, bukankah semua menjadi begitu mudah kalau laki-laki itu ada rencana atau usaha dan dia akan kemas semuanya dalam bingkai yang begitu positif dan optimis, "Pasti menguntungkan dan sebagainya", sangat tidak realistik kadang-kadang. Singkat kata, masalahnya adalah bukankah belum tentu ini akan terjadi seperti yang dikatakannya. Jadi dampak dari kesukaran dia mengakui kekalahan adalah menyempitnya pandangan akan keterbatasan dirinya, begitu mau meng-goalkan usahanya, keterbatasan dirinya tidak dilihat dan dia merasa sanggup akan ini dan itu, ini sebetulnya dampak sampingan dari tidak mudah mengakui kekalahan.
GS : Tetapi memang kaum pria ini lebih banyak membuat rencana artinya segala sesuatu sudah direncanakan dan dia hampir pasti bisa mencapai apa yang diinginkan.
PG : Sudah tentu kalau memang dia bisa memperhitungkan semuanya dengan masak maka tidak apa-apa, namun ada kecenderungan laki-laki itu tidak melihat atau memikirkan dengan masak. Yang penting bagi dia adalah dia bisa meng-goalkan rencananya itu, sehingga tidak lagi realistik dan terlalu optimistik secara berlebihan dan ini akhirnya bisa menjadi masalah yang berlebihan.
GS : Itu bisa dikaitkan dengan kebanggaan diri, Pak Paul ?
PG : Saya kira ya, dia tidak bisa melihat dirinya kalah. Jadi sebetulnya karakter yang baik yaitu tidak mudah menyerah dalam kesulitan tapi kadang-kadang tidak realistik dan karena tidak mau menyerah dalam kesulitan serta yang penting jangan sampai kalah. Jadi apapun akan diusahakan dan misalnya tidak ada uang maka dia akan pinjam sana sini, asal dia dapat meng-goalkan usahanya padahalnya beresiko tinggi. Ini memang yang akhirnya menjadi masalah besar.
GS : Apakah ada dampak yang lain, Pak Paul ?
PG : Dampak yang ketiga, adakalanya laki-laki terus mengulang kesalahan yang sama karena tidak cepat belajar dari kesalahan yang lama. Dengan kata lain, laki-laki sukar menerima teguran untuk berubah karena tidak mudah mengakui kekalahan itu. Jadi kalau harus terima teguran berarti harus mengakui bahwa dia itu salah tapi tidak mau, akhirnya terus mengulang dan terus mengulang kesalahan yang sama. Inilah yang harus kita waspadai.
GS : Memang ini sangat peka sekali apalagi kalau teguran itu dilakukan di depan umum maka dia akan merasa sangat terpukul, lebih-lebih kalau yang melakukan teguran itu adalah istri atau anaknya, itu akan menjadi pukulan yang sangat telak bagi dia.
PG : Betul. Jadi sekali lagi siapa pun yang harus menegur apalagi kalau istrinya memang istri itu harus peka dengan hal ego, hal laki-laki ini adalah egonya. Jadi kalau dia memojokkan si suami meskipun dia tahu dia salah, si suami itu akan tetap menolak untuk mendengar masukan dari istrinya.
GS : Kalau hubungan dengan anggota keluarga yang lain, ini pengaruhnya apa, Pak Paul ?
PG : Pengaruhnya memang sangat luas sekali. Misalnya kita sudah bicarakan tentang karakter yang pertama itu yakni tentang tidak beremosi sama sekali menyangkal perasaan, ini sebetulnya berdampak sangat luas di dalam relasi dengan pasangan hidupnya. Misalnya tidak heran cukup banyak istri yang mengeluhkan masalah, "Kenapa saya tidak dimengerti oleh suami saya, perasaan-perasaannya tidak bisa dipahami" atau kita juga mendengar keluhan istri tentang suaminya yang bermasalah dengan kemarahan dan tidak bisa bicara hal lain dan tidak bisa mengungkapkan perasaan yang lain, hanya bisanya mengeluarkan kemarahan. Atau kita mungkin pernah mendengarkan keluhan istri terhadap suami yang menarik diri, menutup diri, karena tidak bisa berhadapan dengan situasi yang mengandung emosi. Jadi sekali lagi ini berdampak. Juga tentang tidak mudah mengakui kekalahan dalam relasi dengan istrinya sudah tentu menjadi duri, berapa banyak kita mendengar keluhan istri, "Suami saya itu tidak pernah mengakui kesalahan dan tidak pernah minta maaf" atau kita mendengar keluhan istri tentang suami yang menghabiskan banyak uang karena salah perhitungan dalam berbisnis tapi terus mengulang kesalahan yang sama, apalagi misalnya yang jatuh ke dalam dosa seksual, tidak setia, tapi jatuh lagi dan jatuh lagi. Ini bagian dari karakter yang seharusnya positif, yaitu kuat tapi akhirnya menimbulkan masalah karena memang laki-laki itu tidak mengembangkan karakter yang kuat yaitu secara positif.
GS : Tapi pengembangan karakter seperti ini sebenarnya harus dilakukan sejak anak-anak, sedini mungkin padahal seringkali orang tua justru mengarahkan anak laki-lakinya untuk memunyai sikap-sikap seperti itu misalnya untuk mengungkapkan emosi karena tidak diajarkan oleh orang tua kita atau tidak boleh kalah, sejak kecil pun kita sudah ditanamkan tidak boleh kalah.
PG : Maka terpulang pada apa yang dilihat oleh si anak pada masa kecil, misalkan si anak melihat si ayah bisa meminta maaf pada si ibu waktu dia salah, waktu dia melihat si ayah bisa meneteskan air mata sewaktu sedih, waktu si ayah bisa mengakui kesalahannya dan kekalahannya, hal-hal itu menjadi pelajaran yang sangat berguna karena anak akan melihat, "Tidak apa-apa, berarti kalau saya nanti meneteskan air mata atau menangis tidak apa-apa, waktu saya kalah saya tidak bisa menang juga tidak apa-apa". Jadi waktu dia melihat semua itu dia pun akhirnya membolehkan dirinya mengakui semua itu, ini yang lebih sehat daripada memaksakan diri untuk tidak mudah dipengaruhi emosi padahalnya ada emosi yang memang harus dihayati, daripada menyangkal dan menyangkal lebih baik diakui. "Memang saya sedang merasa seperti ini tapi saya akan coba berjalan lagi", jadi jangan sampai kita menyangkalinya dan lebih baik, kita harus akui. Kemudian tentang tidak mudah menyerah karena dituntut harus berani dan tidak menyerah, tapi akhirnya tidak realistik dan membabi buta maka lebih baik kita lihat jika tidak bisa lagi terus, maka kita harus berkata, "Baiklah setop di sini dan saya keliru". Justru kalau si anak melihat orang tuanya bisa mengakui hal itu maka dia pun akan belajar juga untuk mengakui keterbatasannya.
GS : Ada suatu peristiwa menarik beberapa hari yang lalu yang saya saksikan sendiri, ketika orang tua meneteskan air mata, saya rasa ini cucunya bukan anaknya karena jarak usia mereka terlalu jauh. Si cucu ini malah menertawakan kakeknya, "Lho kakek menangis" jadi rupanya tidak ada penjelasan dari kakeknya dan berhenti sampai di situ. Kakeknya hanya mengusap air matanya dan cucunya juga menertawakan.
PG : Jadi sebenarnya itu adalah sebuah kesempatan bagi si kakek memberikan pelajaran kepada cucunya, "Nak, waktu kita sedih kita meneteskan air mata itu adalah hal yang normal dan seharusnya, waktu kita senang kita tertawa itu juga adalah hal yang seharusnya dan yang wajar". Jadi kita mengajarkan kepada anak atau cucu kita bahwa ini yang benar, kekuatan pria justru nampak dari semua ini sebab tidak berarti waktu kita mengakui kita sedih kita itu lemah, tidak ! Waktu kita meneteskan air mata tidak berarti kita lemah, waktu Tuhan Yesus harus membangkitkan Lazarus, Dia kehilangan sahabatnya, Dia sedih dan Dia juga meneteskan air mata. Jadi itu normal sehingga firman Tuhan berkata, "menangislah dengan yang menangis, bersukacitalah dengan yang bersukacita". Tuhan tidak ingin kita menyangkali keberadaan emosi kita.
GS : Jadi seringkali pengertian kita tentang pria yang kuat berbeda dengan yang sebenarnya dan dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan, Pak Paul ?
PG : Di Amsal 24:5 firman Tuhan berkata, "Orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat." Jadi firman Tuhan disini menegaskan kekuatan itu bukan pada kekuatan fisik, lebih pada kekuatan jiwa seseorang. Ini yang perlu kita bangun bersama dan bukan dengan jalan menyangkali perasaan dan bukan dengan jalan menjadi tidak realistik dengan keterbatasan diri, tapi berani mengakui diri apa adanya namun kita bersandar kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan dan hikmat bagaimana kita seharusnya melangkah.
GS : Tadi di awal perbincangan Pak Paul katakan ada 4 pengertian berkenaan dengan topeng laki-laki kuat ini dan kita baru membicarakan dua saja, berarti kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap para pendengar kita juga bisa mengikuti perbincangan yang akan datang.
Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Topeng Laki-laki" bagian yang pertama, kita akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.