GS | : | Pak Paul, dalam salah satu ayat di kitab Amsal, dikatakan bahwa "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" di dalam Amsal 27:17. Apa hubungan di dalam kehidupan kita sehari-hari khususnya dalam hidup berumah tangga, itu bagaimana ? |
PG | : | Pada dasarnya kita dipanggil Tuhan untuk masuk ke dalam pernikahan supaya lewat pernikahan rencana Tuhan dapat digenapi. Salah satu syarat agar rencana Tuhan dapat digenapi adalah dengan membekali kita, menumbuhkan kita, mendewasakan kita sehingga makin hari makin serupa dengan Tuhan kita Yesus. Cara yang Tuhan gunakan adalah dengan mengizinkan kita untuk saling memberikan komentar atau masukan terhadap karakter kita masing-masing. Dalam pernikahan yang sehat seyogianyalah suami dan istri saling menajamkan karakter masing-masing, sehingga pada akhirnya masing-masing bertumbuh sehingga setelah kita menikah untuk satu kurun waktu, kita tidak lagi menjadi manusia yang sama, kita telah menjadi manusia yang bertumbuh dan lebih matang. |
GS | : | Yang ingin saya tanyakan adalah kata ‘menajamkan’ biasanya digunakan pada menajamkan pikiran, menajamkan pendapat. Apa ini maksudnya, Pak Paul ? |
PG | : | Sudah tentu menajamkan bukan berarti membuat diri kita begitu runcing sehingga kita menyakiti hati pasangan kita. Jadi menajamkan berarti seperti pisau, waktu tajam pisau barulah dapat dipakai dengan optimal sesuai dengan fungsinya, demikian pula manusia sewaktu kita ditajamkan kita menjadi manusia yang optimal dan dapat berfungsi dengan sebaik mungkin. Saya percaya Tuhan memakai pasangan kita untuk menajamkan kita dengan cara menunjukkan kelemahan kita sekaligus memerlihatkan hal-hal yang perlu kita koreksi. Lewat interaksi seperti inilah masing-masing saling memerlihatkan kelemahan dan menunjukkan koreksiannya, maka keduanya barulah dapat bertumbuh bersama. |
GS | : | Ayat ini mengatakan orang menajamkan sesamanya, kalau begitu tidak harus suami atau istri kita, ‘kan bisa saja orang lain lalu apa kelebihannya kalau yang menajamkan adalah pasangan hidup kita, Pak Paul ? |
PG | : | Tadi Pak Gunawan mengatakan hal yang betul bahwa kita ini sebetulnya dalam proses untuk dipertajam dan Tuhan menggunakan segala cara termasuk orang-orang di luar pula. Namun orang yang paling dekat dengan kita adalah pasangan kita, akhirnya menjadi alat Tuhan yang paling efektif untuk menajamkan kita. Mengapa demikian ? Karena pasangan kita tinggal bersama kita dan dia paling mengenal kelemahan kita yang mungkin tidak dikenal oleh orang-orang di luar. Jadi apa yang tidak dilihat oleh orang di luar dilihat oleh pasangan kita dan karena dia juga paling mengenal jiwa kita, dia jugalah yang paling tahu bagaimana menyampaikan komentarnya yang membangun itu supaya dapat kita terima dengan baik. Akhirnya dalam rumah tangga yang seperti ini keduanya berkesempatan untuk bertumbuh. |
GS | : | Di dalam saling menajamkan tentunya harus ada cara yang tepat sama seperti pisau yang digunakan atau besi yang digunakan dalam perumpamaan di sini, kalau kita salah cara menggesek kedua besi itu, tidak tambah tajam malah tambah tumpul. Apakah hal itu juga bisa terjadi dalam hubungan ini ? |
PG | : | Benar, Tuhan dapat memakai semua orang di luar rumah kita untuk membentuk kita bahkan kadang Tuhan menggunakan situasi atau pengalaman tertentu untuk menajamkan kita pula. Namun orang yang paling dekatlah yang sebetulnya paling efektif untuk dipakai Tuhan menajamkan kita, kenapa demikian ? Sebab orang yang paling dekat yang paling mengenal kelemahan kita, orang di luar mungkin tidak tahu bahwa kita memunyai kelemahan tertentu tapi pasangan kita sudah tentu tahu, karena dia paling mengenal kita maka dia juga lebih mengerti bagaimana menyampaikannya supaya lebih bisa diterima oleh kita. Jadi memang akhirnya kita melihat bahwa dengan pasanganlah kita seharusnya saling menajamkan supaya masing-masing dapat bertumbuh. |
GS | : | Kalau begitu cara-cara apa atau hal-hal apa yang patut kita perhatikan supaya ini bisa saling menajamkan bukan saling menumpulkan, Pak Paul ? |
PG | : | Yang pertama adalah sebelum dapat saling menajamkan kita harus sepadan terlebih dahulu, sepadan berarti kita memunyai kematangan karakter yang sama, apabila kita memunyai tingkat kematangan yang berbeda, tidak bisa tidak kita akan sulit untuk saling menajamkan. Dalam relasi yang tidak seimbang pada umumnya yang lebih matang akan harus menajamkan pasangannya, sedangkan dia sendiri jarang sekali ditajamkan oleh pasangan. Kalau saja pihak yang kurang matang bersedia untuk menerima masukan maka besar kemungkinan relasi akan mencapai keseimbangan. Masalahnya adalah seringkali pihak yang kurang matang tidak menerima masukan yang diberikan, komentar yang kita berikan sering dianggap meremehkannya. Sehingga maksud hati ingin membangun tidak kesampaian pada akhirnya kita enggan untuk memberi masukan dan cenderung membiarkan pasangan berbuat sekehendak hatinya. |
GS | : | Tentu sulit untuk mencari pasangan yang sepadan dalam hal karakter ini, tentu masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi bukankah itu bisa menjadikan kita saling belajar satu sama lain, Pak Paul ? |
PG | : | Jadi tadi sudah disinggung dengan sangat tepat, yang dibutuhkan dalam hal kematangan karakter adalah kesediaan menerima koreksi. Kesediaan mendengarkan masukan tentang kelemahan dirinya. Mungkin kita masih banyak kelemahan lain yang harus kita perbaiki tapi kalau kita memunyai modal itu yaitu kesediaan mendengarkan masukan yang berkaitan dengan kelemahan kita dan kesediaan untuk dikoreksi, saya kira besar harapan pada akhirnya kita akan bertumbuh. Yang menjadi masalah adalah kita menganggap diri kita sudah baik, sehingga apa pun yang pasangan katakan tidak kita terima dan kita tolak mentah-mentah. Dalam kondisi seperti itu akan sulitlah kita dan pasangan untuk saling menajamkan. |
GS | : | Pada awalnya seseorang itu apalagi dikritik oleh pasangan maka sulit untuk diterima dan baru setelah kita menyadari kekurangan kita dan baru setelah kita tahu manfaatnya apabila kita berubah barulah di situ kita bisa bertumbuh. |
PG | : | Kadang-kadang masalahnya adalah kita perlu diingatkan terlebih dahulu akan kelemahan kita baru nantinya menyadari bahwa kita memunyai kelemahan itu. Saya berikan contoh sesuatu yang memalukan saya, suatu hari istri saya batuk-batuk di tengah malam dan dia kurang sehat. Saya langsung berpikir yang harus saya harus lakukan adalah memberinya air panas tapi untuk itu saya harus keluar mengambil air panas dan sebagainya. Itu memang akan merepotkan, saya masih ingat sekali bahwa sebelum saya menawarkan air panas itu terbersit pemikiran untuk tidak menawarkannya karena tidak mau repot. Tapi saya tahu ini salah dan saya lawan pemikiran saya dan saya tawarkan kepada dia, dan yang memalukan adalah waktu saya menawarkannya pun terbersit sebuah keinginan bahwa dia akan menolak penawaran saya sehingga saya tidak perlu repot-repot mengambil air panas itu, tapi istri saya menerima tawaran saya dan saya harus keluar mengambil air panas dan memberikan kepada dia. Waktu saya berikan air panas itu kemudian Tuhan mengingatkan kepada saya tentang perkataan istri saya yang dikatakan beberapa kali, dia pernah berkata, "Paul, kamu itu sebetulnya orangnya tidak terlalu baik", waktu dia berkata begitu saya tidak bisa terima, sebab saya menganggap saya orang yang cukup baik. Waktu peristiwa itu terjadi Tuhan mengingatkan, "Ini yang dimaksud istrimu bahwa kamu kurang baik sebab untuk mengambilkan air panas saja engkau harus berpikir berkali-kali sedangkan kalau kamu yang sakit, istrimu akan langsung mengambil air panas tanpa engkau minta sekalipun". Jadi kita perlu diingatkan akan kelemahan kita bahkan sebelum kita menyadari kelemahan itu supaya nanti waktu Tuhan menyodorkan suatu situasi yang akan menunjukkan kelemahan kita disitulah kita akan diingatkan bahwa, "Benar, saya memunyai kelemahan ini". |
GS | : | Pada waktu ditegur atau diberitahu oleh pasangan kita, biasanya kita bereaksi negatif seperti itu, itu belum terjadi suatu proses penajaman dalam diri kita. |
PG | : | Betul sekali. Akan ada hal-hal yang kita sadari di kemudian hari, tapi akan ada hal-hal yang kita sadari dengan lebih cepat. Ada hal-hal yang waktu pasangan kita menunjukkannya kita langsung menyadarinya, sebab kita sebetulnya sudah mulai menyadarinya tapi kita tidak mau terlalu mengakuinya. Waktu pasangan kita menunjukkan bahwa kita memang memunyai kelemahan itu, maka disitulah kita mendapatkan konfirmasi, "Benar ini adalah kelemahan saya dan ini adalah hal yang perlu diperbaiki". |
GS | : | Hal yang sulit kita alami ketika kita mau menyampaikan teguran itu, ada keraguan, "Bisa diterima atau tidak oleh pasangan kita ?". |
PG | : | Maka penting sekali dari awal pernikahan kita sudah menanamkan budaya saling mendengarkan, budaya rela dikoreksi. Ini sesuatu yang harus kita lihat dan kita cari bahkan pada masa berpacaran. Kalau pasangan kita sejak kita mengenalnya sebelum kita menikah adalah orang yang sukar mendengarkan masukan kalau itu berkaitan dengan kelemahannya, maka kita sudah bisa memprediksi kalau kita setelah menikah kita akan menyumpai hal yang sama dan dia akan sukar menerima masukan kita. Maka sebaiknya dari awal masing-masing menumbuhkan sikap untuk menerima masukan dari pasangan. |
GS | : | Hal kedua yang harus kita perhatikan apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang kedua adalah kita baru dapat saling menajamkan, bila kita sendiri hidup dalam realitas bukan di alam fantasi, maksud saya kita harus dapat melihat pasangan apa adanya, tidak lebih baik atau buruk daripada kenyataan. Jika kita melihat pasangan seperti durian runtuh maka kita akan mengagungkannya seakan-akan dia adalah sosok yang sempurna. Mungkin kita memiliki banyak kebutuhan emosional dan melihat pasangan sebagai juruselamat yang menyelamatkan hidup kita. Jika demikian akan sukar bagi kita melihatnya sebagai sosok yang tidak sempurna, segala sesuatu yang dilakukannya kita pandang bukan saja baik, tapi sempurna. Sudah tentu kita tidak akan lagi memunyai komentar apa pun tentang dirinya sebab bagi kita dia terlalu baik. Jadi kita harus hidup dalam alam realitas dalam pengertian kita tidak semestinya mengidolakannya, mengagung-agungkan dia seakan-akan dia orang yang sempurna. |
GS | : | Kadang ada fakta yang seperti itu, salah satu pasangan kelihatan dominan sekali dan menguasai semuanya padahal pasangan yang lain penuh dengan kekurangan dan orang luar pun bisa melihat hal itu. Kalau dalam kondisi kurang seimbang seperti itu maka akan sulit untuk terjadi proses saling menajamkan itu. |
PG | : | Betul. Jadi ini berkaitan dengan poin yang pertama tadi yaitu kesepadanan. Memang dalam relasi yang tidak sepadan akan sulit bagi keduanya untuk bertumbuh secara serentak, sebab akan ada satu pihak yang susah untuk memberikan masukan kepada pihak yang satunya, tapi ia tetap kalau itulah situasi di mana kita berada, kita mesti mengingat bahwa kita bukanlah orang yang sempurna dan kita ini juga punya kelemahan. Jadi waktu pasangan kita memberitahukan kita hendaklah kita mendengarkannya. Dan yang juga penting kita sadari adalah kita tidak bisa menajamkan pasangan bila kita memandangnya lebih buruk daripada kenyataan. Sewaktu kita melihatnya sebagai sosok yang lebih buruk daripada kenyataan, kita cenderung merendahkannya dan bukan membangunnya, kesalahan yang diperbuatnya mengundang kemarahan besar dan kebaikan yang dilakukannya luput dari penglihatan akhirnya relasi kita menjadi relasi yang sarat pertikaian. Jadi bila kita ingin saling menajamkan kita harus dapat melihat pasangan sesuai realitas, tidak lebih baik atau tidak lebih buruk daripada kenyataan. Ketika kita melihatnya secara apa adanya kita akan dapat memberikan masukan kepadanya secara proporsional pula, apa yang baik kita puji dan hargai sedangkan apa yang buruk kita munculkan dan koreksi. |
GS | : | Dengan kata lain, kita harus objektif dan ini sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena biasanya pada awal pernikahan baik suami atau istri saling memandang sebagai sosok yang penuh pesona, banyak hal yang positif dalam dirinya tapi dengan berjalannya waktu makin kelihatan hal-hal yang buruk dan ini seringkali dipandang secara tidak objektif, Pak Paul. |
PG | : | Betul yang Pak Gunawan katakan. Saya melihat ada pasangan yang terlalu mengagungkan satu sama lain, sehingga membela satu sama lain, apa pun yang terjadi pasangannya pasti benar. Pasangan itu atau suami istri ini akan sukar bertumbuh, tapi saya juga lihat ekstrem yang satunya yaitu semua yang dilakukan pasangannya pasti salah dan apa yang dikatakan atau diperbuat orang lain pasti benar. Jadi dengan kata lain, dia menjadi kritikus tertajam buat pasangannya. Jadi akhirnya pasangannya tidak bisa bertumbuh karena dia terus menerus merasa ditusuk-tusuk oleh diri kita. Jadi kita harus menghindar dari kedua ekstrem ini yaitu membabi buta, mengagung-agungkan pasangan kita dan membabi buta menyalah-nyalahkan pasangan kita. |
GS | : | Mungkin kita bisa meminta bantuan orang lain secara lebih objektif dalam hal ini, sebenarnya bagaimana pasangan atau diri kita, Pak Paul ? |
PG | : | Betul. Justru relasi yang sehat adalah relasi yang terbuka terhadap pengaruh atau masukan dari luar, relasi yang tidak sehat yang kurang aman menjadi relasi yang tertutup tidak mau menerima masukan dari luar. Jadi kalau kita aman dengan relasi kita dan diri kita, waktu orang mengatakan sesuatu tentang pasangan kita, maka kita tidak langsung menutup pintu dan berkata, "Kamu salah, pasangan saya tidak seperti itu dan pasangan saya sangat baik" atau kebalikannya waktu orang berkata tentang pasangan kita, kita tidak langsung berbalik badan dan memarahi pasangan kita karena kita menganggap orang pasti benar dan pasangan kita pasti salah. Jadi memang perlu menjaga objektivitas yang baik ini. |
GS | : | Kalau begitu mungkin masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ? |
PG | : | Kita baru dapat saling menajamkan bila kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita sebagai pernikahan yang sehat. Kita hanya akan bersedia mengambil tanggung jawab untuk menajamkan pasangan bila kita mengasihinya. Kita hanya akan bersedia memberi masukan dan bahkan mengambil resiko terjadinya konflik jika kita memunyai tekad untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang sehat. Itu sebabnya kita hanya dapat menajamkan satu sama lain, bila kita saling mengasihi dan memunyai kesamaan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Saya mengerti bahwa adakalanya tidak mudah untuk memertahankan kasih dan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Perilaku pasangan yang tidak menyenangkan dan konflik yang kerap terjadi membuat hati tawar. Pada saat seperti itu godaan terbesar adalah godaan untuk bersikap masa bodoh, kecenderungan terbesar adalah mengangkat tangan dan tidak memedulikan masa depan relasi. Kendati sukar namun kita tidak boleh menyerah dan kita harus terus berusaha menajamkan satu sama lain dan kita meyakinkan pasangan bahwa kita berdua harus sehati menjadikan pernikahan menjadi pernikahan yang sehat. Setiap masukan yang diberikan haruslah dibungkus dengan itikad baik yaitu ingin menjadikan pernikahan ini lebih sehat lagi. |
GS | : | Yang dikhawatirkan adalah konflik yang terjadi dengan kita memberitahukan sesuatu atau kita diberitahu, kalau waktunya atau caranya tidak tepat seringkali menimbulkan konflik dan kita menghindar untuk terjadinya konflik yang tidak perlu sehingga kita berpikir, "lain kali tidak perlu". Tapi tidak terjadi proses pertumbuhan di situ. |
PG | : | Sudah tentu ada waktu-waktu di mana kita menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu kalau kita melihat waktunya tidak pas, dia sedang dalam keadaan yang sangat jengkel dan sebagainya, sehingga kita sadar kalau kita mengeluarkan komentar ini maka akan memancing reaksi kemarahannya. Jadi kita harus memilih waktu dan tempat yang cocok untuk mengatakan sesuatu tentang dirinya yang merupakan kelemahannya. Namun kita memang harus bertekad bahwa kita mau melakukannya dan kenapa kita mau melakukannya sebab kita ini berkepentingan menjadikan pernikahan kita pernikahan yang sehat. |
GS | : | Mungkin kita bisa membantu pasangan kita dengan menanyakan, "Menurut kamu sebenarnya hal-hal apa atau karakter apa yang perlu saya perbaiki ?" Dengan begitu kita membuka kesempatan nanti dia juga akan melakukan hal yang sama. |
PG | : | Ini usulan yang baik, jadi secara berkala kita bisa berkata, "Tolong beri aku masukan kalau ada hal-hal dalam diriku yang aku tidak lihat dan perbaiki, maka tolong tunjukkan kepadaku", keterbukaan seperti itu sudah tentu akan lebih membukakan pintu bagi dia masuk ke dalam hati kita dan memberikan komentar. Namun yang penting juga dari pihak kita adalah jangan sampai setelah dia memberikan komentar, kita tersinggung. Pasangan akan berkata, "Buat apa tadi beritahu saya kalau akhirnya kamu menjadi marah". Jadi sekali lagi kita harus siap mendengar masukan. Dalam penyampaian sering-seringlah kita mengingatkan pasangan bahwa tujuan saya mengatakan ini bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan kita berdua sebab saya hanya ingin melihat pernikahan kita makin bertambah sehat dan kita berdua juga bertumbuh makin hari makin serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus. |
GS | : | Atau sebaliknya penilaian itu bisa salah, waktu kita menyampaikan hal-hal tentang kekurangan-kekurangan pasangan kita, pasangan kita bisa berkata, "Saya tidak seperti itu, kamu saja yang memandangnya keliru". |
PG | : | Ada waktu pasangan kita tidak bisa terima dan sebaiknya kita tidak memaksakan, sebaiknya kita biarkan dan jangan sampai kita memaksakan sebab akan terjadi pertengkaran. Jadi kita katakan, "Kalau kamu tidak merasa seperti itu maka saya akan sampaikan apa yang saya lihat saja". |
GS | : | Yang perlu kita perhatikan lagi apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang keempat adalah kita baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan bahkan teguran dari pasangan. Jika kita bersikap tertutup dan defensif akan sukar bagi pasangan untuk memberi masukan kepada kita, ini berarti tidak ada yang dapat menajamkan karakter kita. Bila kita ingin bertumbuh maka kita harus membuka diri dan menyambut teguran pasangan, Tuhan ingin membentuk kita dan salah seorang yang dipakainya untuk tujuan itu adalah pasangan kita sendiri. Mungkin dia penuh kesalahan juga sehingga tidak mudah bagi kita untuk mendengarkan masukannya, sungguh pun demikian kita harus membedakan antara masukannya dan kelemahannya. Jangan menutup telinga terhadap komentarnya dikarenakan kita menganggapnya tidak layak memberikan masukan. Jadi jangan kita terlalu cepat berkata, "Kamu pun lemah, kamu pun punya kelemahan dan kenapa kamu memberi masukan, kamu saja tidak bisa melihat dirimu sendiri" jangan ! Komentar yang diberikan terimalah dan dengarkanlah baik-baik apakah benar demikian, tentang kelemahannya itu adalah urusan yang lain dan yang penting kita menghargai masukannya terlebih dahulu. |
GS | : | Kadang-kadang kita bisa lebih menerima orang lain selain pasangan kita yang memberitahu kita dari pada pasangan kita yang memberitahu kita, itu kenapa, Pak Paul ? |
PG | : | Karena kita pun melihat kelemahan pasangan kita sehingga akhirnya kita berkata dalam hati atau mungkin kita ungkapkan, "Kamu itu tidak selayaknya memberitahu saya sebab kamu pun memunyai kelemahan-kelemahan ini" apalagi kalau pasangan kita memunyai kelemahan yang sama, misalnya dia selalu terlambat dan memarahi kita waktu kita terlambat. Tidak bisa tidak kita marah dan berkata, "Kamu memarahi saya terlambat, tapi kamu sering terlambat, kamu tidak berhak untuk menegur saya sebab kamu melakukan kesalahan yang sama". Jadi dengan pasangan lebih susah sebab masing-masing mengenal kelemahannya. |
GS | : | Ini lebih susah kalau kedua orang ini yang berpasangan sebagai suami istri memunyai kelemahan yang sama misalnya saling suka berbohong. Kalau dua-duanya suka bohong maka tidak akan terjadi proses saling menajamkan ini. |
PG | : | Betul. Kalau masing-masing memunyai kelemahan yang sama tetap syaratnya adalah bersedia untuk dikoreksi bahwa ini adalah kelemahan saya dan jangan melihat kelemahan pasangan seolah-olah dia tidak memunyai hak atau otoritas untuk memberitahukan kita akan kelemahan kita. Kita harus pisahkan keduanya, kalau perkataannya benar terimalah. |
PG | : | Sudah tentu proses ini berlangsung seumur hidup, tapi saya juga mengerti bahwa mungkin tahap tersulit adalah di awal pernikahan dan menjadi tahap yang paling menentukan, karena kalau di awal pernikahan kita sudah merasa pasangan kita tidak bisa diberitahukan, kebanyakan kita akan terhenti dan nanti untuk selanjutnya selama sisa pernikahan kita, kita pun akan berhenti memberitahukan dia dan mungkin nanti meledak bukan lagi dalam bentuk pemberitahuan, mungkin meledaknya dalam bentuk caci maki. Saat itu hati sudah terlanjur tawar, maka permulaan pernikahan menjadi tahap yang paling menentukan. Jadi hendaklah kita menjadi orang yang bersedia menerima masukan pasangan sejak awal sehingga budaya ini tertanamkan dalam relasi kita. |
GS | : | Selain empat hal tadi apakah masih ada hal-hal lain yang harus kita bicarakan lagi, Pak Paul ? |
PG | : | Sebetulnya masih ada empat lagi, jadi kita akan tunda pembahasan kita sampai pertemuan kita yang berikutnya. |
GS | : | Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Saling Menajamkan" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |