Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang "Bertumbuh Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat
bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DL : Pak Paul, apakah yang dimaksud dengan bertumbuh bersama dan
dalam hal apa orang harus bertumbuh bersama ?
PG : Jadi begini, Bu Dientje, kita menyadari bahwa kita mesti
bertumbuh. Kalau kita tidak bertumbuh berarti kita mulai tidak sehat, sebab
misalnya dari kecil kita bertumbuh menjadi besar, kalau dari dulu kita tidak
pernah bertumbuh besar berarti memang ada yang kurang sehat dengan tubuh kita.
Juga kita terus-menerus mengalami pergantian sel, sel yang lama digantikan
dengan yang baru, jadi kita bisa melihat bahwa pertumbuhan menunjukkan adanya
kehidupan dan kesehatan. Kalau demikianlah dengan tubuh kita dan hal-hal lain
dalam hidup, bukankah semestinya begitu juga dengan pernikahan. Bahwa relasi
kita seharusnya tidak sama 5 tahun yang lalu dengan hari ini dan tidak bisa
sama juga antara 10 tahun yang lalu dengan hari ini. Seyogianyalah relasi nikah
pun bertumbuh, sebab kalau tidak ada pertumbuhan berarti ada yang tidak beres
dengan relasi nikah kita itu.
GS : Pertumbuhan ini ada yang kita sadari tapi ada juga yang tidak
kita sadari, yang secara otomatis, secara alamiah bertumbuh, tadi Pak Paul
katakan, kita dari kecil menjadi besar. Memang orang tua kita menyediakan
asupan yang cukup tapi kita sendiri hampir tidak menyadari sedang bertumbuh.
Dalam relasi suami istri, itu suatu pertumbuhan yang kita sadari atau tidak
kita sadari ?
PG : Biasanya kita sadari tatkala kita mengalami tantangan tertentu.
Sebagai contoh, misalnya kita dulu kalau bertengkar bisa 2 atau 3 hari baru
selesai, namun setelah menikah bertahun-tahun kemudian kita kilas balik, dulu
kalau kita bertengkar bisa 2 atau 3 hari, sekarang tidak sampai 1 hari sudah
selesai. Dulu pasangan saya merasa curiga tapi sekarang tidak, dia percaya pada
saya. Atau kalau tidak ada dia, merasa kehilangan dia, dulu waktu berpacaran tidak
sampai begitu, tapi sekarang setelah menikah kalau tidak ada dia di samping
saya, saya merasa ada yang hilang dalam hidup saya. Tatkala muncul situasi atau
tantangan tertentu biasanya barulah di situ kita menyadari sesungguhnya relasi
kita telah bertumbuh. Sebaliknya, kalau kita merasa senang kalau dia tidak ada
di samping kita, berarti ada yang tidak beres ! Atau mengapa dia pergi cepat
sekali, seharusnya lebih lama, itu pertanda juga ada yang tidak beres dengan
pernikahan kita. Sekali lagi, biasanya kita tidak terlalu menyadarinya sampai
titik tertentu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa kita sekarang tidak
lagi merupakan pasangan yang sama. Kita telah berbeda, kita telah bertumbuh
menjadi lebih baik.
GS : Biasanya pada awal-awal pernikahan seperti tubuh manusia, Pak
Paul, pertumbuhan itu begitu cepatnya tetapi sampai pada suatu titik entah
sudah 10 tahun menikah, atau 15 tahun menikah, seolah-olah pertumbuhan itu
stagnan jadi ya tidak maju dan tidak mundur seperti itu berulang-ulang kali menjadi
suatu kebiasaan dalam rumah itu, menjadi sistem dalam keluarga itu. Ini
bagaimana, Pak Paul ?
PG : Tapi sesungguhnya meskipun seolah-olah stagnan, Pak Gunawan,
sebetulnya kalau tidak ditandai dengan pertengkaran, lebih banyak ditandai
dengan pengertian dan sebagainya, sebetulnya telah terjadi pertumbuhan. Memang
pada awal-awal pernikahan ada lebih banyak tugas yang mesti kita selesaikan,
sehingga kita bisa saling menyesuaikan diri, oleh karena itu kita lebih bisa
melihat pertumbuhan itu, perbedaan itu, tapi setelah mencapai titik tertentu
biasanya pertumbuhan itu tidak lagi terlalu jelas tapi lebih mendalam sehingga
kita jauh lebih membutuhkan dia, kita lebih menghargai dia, kita lebih mau
mencari dia ketika kita mengalami masalah. Kita benar-benar merindukan seorang
pendamping, seorang sahabat baik. Waktu kita ditanya, "Siapa yang kamu biasanya
berbagi perasaan", kita mungkin akan langsung berkata, "Istri kita" atau "Suami
kita", itu pertanda sebetulnya relasi kita telah mengalami pertumbuhan.
GS : Langkah-langkah apa yang patut kita perhatikan supaya pernikahan
itu terus bertumbuh, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa hal yang mesti kita fokuskan, meskipun tadi telah
kita katakan bahwa pertumbuhan itu bisa berjalan dengan alamiah, tapi untuk
diskusi pada hari ini saya akan membaginya dalam beberapa bagian. Yang pertama,
kita mesti bertumbuh dalam pengenalan, pengertian dan penyesuaian. Pernikahan
bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga
mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang
telah terjalin. Maksudnya, kita tidak cukup hanya saling mengenal. Saling
mengenal tujuannya apa ? Tujuan akhir dari saling mengenal lebih mendalam
adalah agar terjadi penyesuaian sehingga kita bisa hidup dengan harmonis. Namun
untuk terjadinya penyesuaian mesti ada pengertian, jadi setelah pengenalan,
saling kenal, mesti juga akhirnya bertumbuh adalah pengertian. Sebab untuk apa
makin mengenal tapi makin tidak mau mengerti. Semestinya makin mengerti, dengan
perkataan lain dimulai dengan pengenalan dilanjutkan dengan pengertian dan
berakhir dengan penyesuaian. Namun sekali lagi pertama yang mesti bertumbuh
adalah pengenalan sebab tanpa pengenalan kita tidak mungkin menumbuhkan
pengertian dan juga penyesuaian. Ini yang seringkali menjadi masalah di dalam
pernikahan berhubung kita makin hari makin sibuk, pengenalan itu akhirnya
berhenti. Kita tidak lagi memberi waktu yang cukup untuk saling mengenal.
DL : Kalau misalnya suami istri ini tinggal berjauhan, yang suami
bekerja di luar kota dan jarang pulang, bagaimana dia bisa mengenal istrinya
lebih dekat, Pak Paul ?
PG : Ini tidak bisa tidak menjadi masalah, Bu Dientje, sebab
pengenalan lewat telepon atau SMS tidak sama dengan pengenalan yang terjadi
lewat interaksi yang riil atau nyata. Sudah tentu dalam kondisi itu, pengenalan
akan mengalami hambatan namun di pihak lain kita juga mau mengerti situasi
pasangan nikah yang tidak selalu ideal, ada waktu-waktu tertentu terjadilah
krisis keuangan, kehilangan pekerjaan atau apa sehingga harus berpisah. Nah
kalau itu harus terjadi, ya sudah, dilakoni saja tapi tolong pelihara terus
komunikasi sehingga terus terjadilah percakapan dan sedapatnya jangan biarkan
situasi ini terus berlanjut. Sedapatnya usahakanlah mendapat pekerjaan di dalam
kota yang sama, meskipun misalnya penghasilan berkurang, tidak sama, tidak
apa-apa sebab hal ini sangat berharga.
GS : Yang Pak Paul maksudkan pengenalan di sini, sebenarnya dalam
hal-hal apa yang penting kita kenali terhadap pasangan itu, Pak Paul, karena
setelah menikah sekian lama pun ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak
mengenal istrinya.
PG : Yang paling awal biasanya kita harus mengenal gaya atau
kebiasaan hidup karena itu yang paling utama menonjol, muncul dalam masa
awal-awal pernikahan. Kita ‘kan harus saling menyesuaikan gaya hidup yang
berbeda, kebiasaan-kebiasaan hidup yang berbeda, sekarang tinggal serumah.
Biasanya kita harus mengenal gaya hidup atau kebiasaan pasangan kita, makin
kita mengenal maka kita lebih bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan dia.
Contoh dalam hal gaya hidup atau kebiasaan hidup, misalnya pasangan kita tidak
biasa langsung bisa nonton televisi bersama dengan kita setelah pulang dari
bekerja, tidak bisa. Dia perlu waktu untuk 1 jam berdiam diri dulu, mungkin
membaca koran baru setelah itu bisa bercengkerama dengan kita. Selama kita
akhirnya melihat, yang penting tetap bisa berbicara meskipun ada 1 jam dia
meminta untuk sendiri dulu, ya tidak apa-apa. Pengertian muncul kemudian
penyesuaian terjadi, biasanya yang pertama adalah itu, Pak Gunawan. Yang kedua
yang penting kita mesti mengenal cara pikir, bahwa tidak sama pasangan kita misalkan
lebih menekankan tidak penting sekolah yang harus bagus-bagus, yang penting
anak bisa cocok dan menikmati waktu belajarnya. Mungkin kita berkata, "Tidak
bisa, orang mesti dipacu baru nanti bisa memaksimalkan potensi", nah cara-cara
pikir yang memang seringkali berkaitan dengan nilai-nilai hidup kita yang
akhirnya membuat perbedaan di antara kita. Kita mesti mengenal dan mencoba
mengerti kenapa dia menuntut anak kita bersekolah di sekolah yang baik, saling
memahami latar belakangnya sehingga bisa menyesuaikan. Hal ketiga yang juga
penting, yang perlu kita kenali adalah sifat atau karakter. Ini tidak selalu
muncul atau terlihat dari awal, tidak, sebab sifat atau karakter itu muncul
tatkala situasi tertentu muncul, misalnya orang tua kita minta bantuan keuangan
dari kita karena dulunya mereka bekerja tapi sekarang sudah mulai pensiun jadi
mereka agak kesulitan, tidak cukup dan tidak berani minta benar-benar, akhirnya
minta secara pribadi kepada kita. Bisa jadi pasangan kita tidak menerima, dan
berkata, "Kenapa mesti minta-minta, ‘kan masih ada rumah, masih ada harta, itu
‘kan masih bisa dijual. Kalau orang memang butuh, kita harus menolongnya. Ini
tidak butuh, orang punya rumah, punya kendaraan, ya dijual nanti uangnya
dibungakan, hidup dari bunga itu, tidak usah memunyai rumah pun tidak apa-apa,
bisa tinggal dengan kita atau misalnya tidak mau tinggal dengan kita, menyewa
rumah. Uang itu dibungakan untuk itu". Hal ini biasanya muncul pertengkaran,
ternyata baru kita sadari bahwa pasangan kita memunyai sifat atau karakter yang
di luar dugaan kita, dia sangat menghitung uang, dia bukan orang yang terlalu
murah hati. Kita merasa terkejut, seringkali hal-hal itu muncul pada waktu kita
berada dalam situasi tertentu.
GS : Pak Paul, dalam penyesuaian harus ada yang saling mengalah, kita
tidak bisa dituntut hanya mengalah, mengerti pasangan kita tetapi pasangan kita
tidak mau mengerti kita. Hal ini kadang-kadang mencari penyesuaian ini justru
yang sulit, Pak Paul.
PG : Kira seringkali harus mencoba dan mencoba walaupun akhirnya
gagal lagi, gagal lagi. Sebagai contoh, misalkan yang baru saja saya angkat,
misalkan itu terjadi. Orang tua kita minta tolong secara halus karena
sebetulnya mereka sungkan, kita sudah merasa pasti mereka perlu tapi tidak
pernah minta. Kita menanyakan, "Perlukah, Ma, perlukah Pa ?" dijawab, "Tidak
perlu, tidak perlu jangan untuk kamu saja, kamu ‘kan perlu !". Akhirnya
terbukalah bahwa dia perlu, "Ya kalau misalnya bisa bantu, kami senang". Kita
kemudian berbicara dengan pasangan kita, tapi pasangan kita kemudian berkata
begitu, "Mereka masih punya uang, masih punya harta, ya dijual saja". Bagaimana
kita menyesuaikannya karena kita sekarang sudah mengenal inilah watak atau
karakter pasangan kita. Mungkin kita mencoba mengerti atau mencoba memahami
latar belakangnya, mereka satu keluarga dari latar belakang yang relatif susah
jadi masing-masing berdiri sendiri, berusaha sendiri, yang namanya belas
kasihan, menolong orang tidak ada, atau mungkin kebalikannya, mereka berasal
dari latar belakang yang pernah dirugikan oleh orang, ditipu atau uangnya
diambil orang sehingga sangat-sangat perhitungan, ketat sekali dengan uang dan
hampir tidak ada yang namanya belas kasihan. Tidak ada memberikan yang tanpa
pamrih, semua harus ada perhitungannya. Bagaimana kita menyesuaikan diri dengan
dia ? Dalam kondisi seperti ini, kekeliruan yang sering terjadi adalah begini,
kita memaksa. Kita berkata pada pasangan kita, "Tidak, kamu harus menolong,
orang tua ‘kan perlu dibantu", akhirnya kita bertengkar hebat. Yang perlu kita
lakukan untuk menyesuaikan diri saat itu adalah yang terpenting jangan paksakan
dulu. Kalau orang tua kita masih bisa hidup sendiri tanpa bantuan kita beberapa
bulan lagi, diamkan, biarkan. Katakan pada orang tua, "Belum bisa, tapi mungkin
tiga bulan lagi baru bisa", janjikan seperti itu. Kemudian kita perlahan-lahan
dalam pembicaraan dengan istri kita atau suami kita, kita munculkan tentang apa
yang menjadi isi hati Tuhan. "Tuhan sudah memberkati kita, Tuhan sayang kepada
kita dan Tuhan juga ingin agar kita bisa memberikan berkat kepada orang lain".
Atau mungkin kita mulai berkata kepada pasangan kita, "Eh, kita tolong atau
berikan bantuan misalnya kepada adiknya atau kakaknya". Dengan perkataan lain,
kita mau menumbuhkan rasa murah hati dalam hatinya terlebih dahulu, kalau kita
paksakan dia untuk memberikan uang kepada orang tua kita, pasti ribut besar dan
menimbulkan sakit hati tidak bisa sembuh-sembuh. Yang bisa kita sesuaikan
adalah sikap murah hati harus ada terlebih dahulu, itu yang kita coba untuk
tumbuhkan sehingga nanti ia bisa menyesuaikan diri juga dengan hal ini.
GS : Pengenalan, pengertian dan penyesuaian ini butuh waktu yang
cukup panjang karena ini suatu proses yang berkesinambungan, Pak Paul, padahal
sekarang waktu kita sangat terbatas, disibukkan dengan kesibukan yang luar
biasa. Nah ini bagaimana kaitannya dengan pengenalan itu tadi, Pak Paul ?
PG : Kalau kita memang sungguh-sungguh berniat untuk mengenal
pasangan kita memang sedapat-dapatnya kita lebih sering berkomunikasi, lebih
sering membahas, mendiskusikan. Jadi sedapat-dapatnya terbuka terhadap pasangan
kita nanti akan menolong terjadinya dialog dan waktu dialog terjadi kita akhirnya
makin dapat mengenal pasangan kita dengan lebih baik lagi. Kalau kita berhasil
mengenal, mengerti dan menyesuaikan maka kita akan bertumbuh makin hari makin
intim, makin akrab. Kita makin dapat mendamaikan konflik dan akhirnya kita
makin hari makin disatukan. Kalau tidak demikian, saling mendiamkan, tidak mau
mengenal dan mungkin tidak bisa mengerti atau tidak bisa menyesuaikan dan
dibiarkan begitu saja akhirnya secara relasi tidak bertumbuh. Mungkin untuk
sementara tatkala anak-anak masih di rumah, persoalan tidak bermunculan, tapi
begitu anak-anak ke luar rumah, kita tinggal berduaan, timbullah masalah sebab
pada dasarnya kita belum sampai ke titik di mana kita berhasil menyesuaikan
diri satu dengan yang lain. Setelah anak-anak pergi barulah kita diperhadapkan
dengan masalah semula itu.
GS : Padahal pertumbuhan ini antara suami dan istri, kaitannya dengan
anak seperti apa, Pak Paul ?
PG : Jadi begini, Pak Gunawan. Waktu anak lahir tidak bisa tidak anak
akan masuk langsung terlibat dalam relasi kita berdua, sebagai contoh harapan
kita, tuntutan kita, apa yang kita dambakan dalam hidup itu berkaitan dengan
anak. Sebelum ada anak tidak muncul, tapi setelah anak lahir, muncullah. Apakah
yang sebenarnya kita harapkan dari anak, bagaimana sikap kita kepada anak ?
Misalnya, ada orang tua yang menjadikan anak benar-benar seperti trofinya,
supaya dilihat orang sebagai orang yang berhasil. Anak itu juga harus berhasil,
tidak boleh membuat malu orang tua, ditekankan sekali mesti berhasil, mesti
berprestasi. Nah, pasangan kita mungkin tidak setuju, pasangan kita berkata,
"Jangan begitu, tolong lihat kemampuan anak kita, kamu jangan membuat anak kita
seperti kuda yang dipacu supaya kamu nanti bisa duduk di atasnya dan menang,
tidak bisa begitu". Mungkin sekali di situ terjadi gesekan, tapi bagaimana kita
menyadari hal itu ? Sewaktu anak lahir, sewaktu anak nanti akhirnya bersekolah
dan mengalami kesulitan dalam prestasi belajarnya. Memang penting sekali kita
bisa menyadari semua itu.
DL : Pak Paul, selain pengenalan, pengertian dan penyesuaian, dalam
hal apa lagi orang yang menikah itu mereka bisa betul-betul bisa bertumbuh
bersama ?
PG : Ini penting sekali dalam hal hikmat, ini yang sesuatu yang
mutlak harus ada dan bertumbuh dalam pernikahan kita. Sebab apa ? Sebab dalam
hidup itu ada sejumlah hal yang mesti dihadapi dan semuanya menuntut hikmat. Amsal
24:3-4 berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu
ditegakkan dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta
benda yang berharga dan menarik". Dari firman Tuhan ini kita bisa
menyimpulkan bahwa hikmatlah yang diperlukan untuk mendirikan rumah, dalam hal
ini rumah tangga kita. Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat kita cenderung
mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin kalau
terjadinya hanya sekali-sekali, baiklah pasangan akan mengerti, anak-anak akan
menoleransi tetapi bila kerap terulang, kita mengambil keputusan yang salah
lagi, salah lagi, tidak bisa tidak hubungan kita dengan pasangan dan anak pasti
terganggu. Mereka mungkin saja marah, menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan
yang kita perbuat, itu sebabnya kita mesti bertumbuh dalam hikmat sebab kalau
tidak berhikmat pada akhirnya pernikahan kita akan mengalami kerusakan.
GS : Tapi tidak ada pasangan suami istri yang begitu sempurna,
memunyai hikmat yang luar biasa seperti itu, Pak Paul, seandainya terjadi dan
seringkali memang terjadi ada keputusan-keputusan kita sebagai orang tua itu
keliru, apa dampaknya, Pak Paul ?
PG : Dampaknya bergantung pada berapa besarnya keputusan tersebut,
sebagai contoh kalau ada orang mengambil keputusan yang keliru melibatkan hukum
akhirnya dia harus masuk ke penjara. Ini tampaknya besar, sebab anak-anak akan
kehilangan orang tuanya selama di penjara atau yang lebih besar lagi adalah
rasa malu, lingkungan akan mencemooh, membicarakan tentang masalah ini. Jadi
akhirnya repot sekali, mestilah kita berhikmat dalam mengambil keputusan sebab
kita mesti memikirkan keluarga kita. Jangan hanya memikirkan kalau berhasil
kalau bisa, tetapi tidak memikirkan dampak buruknya kalau tidak berhasil.
DL : Bagaimana kalau sampai ada anak memunyai akar pahit terhadap
orang tuanya karena masa lalu yang dihadapi, Pak Paul ?
PG : Banyak anak yang menyimpan rasa pahit, Bu Dientje, misalnya ada
anak yang menyimpan rasa pahit, marah, karena dikirim ke sekolah berasrama di
luar kota, mungkin secara intelektual dia berkembang tapi secara emosional dia
menyimpan kepahitan atau ada anak yang harus merasakan susahnya hidup karena
kesalahan orang tuanya. Tidak bisa tidak, mereka tidak bisa respek kepada orang
tua, mulailah terjadi pemberontakan, kurang ajar, tidak menganggap apa yang
dikatakan oleh orang tuanya, sehingga orang tua tidak bisa lagi berfungsi
sebagai orang tua di rumah. Respek itu akhirnya hilang dan
sudah tentu kalau isinya adalah kemarahan-kemarahan maka kasih
sayang dan kepedulian terhadap orang tua akhirnya memudar, tidak peduli dan
tidak mau mengacuhkan pada orang tua sama sekali.
GS : Tapi mengirimkan anak ke asrama seperti itu tidak selalu keliru,
Pak Paul ? Ada keluarga karena tinggal di kota yang kecil, anaknya dikirim ke
kota yang lebih besar dan diasramakan tetapi hubungan mereka tetap baik karena
pertama-tama anak itu sudah diberitahu mengapa mereka harus studi di luar kota
dan hubungan mereka masih sering. Jadi kalau hari Sabtu atau Minggu orang
tuanya masih menjemput dan sebagainya, begitu Pak Paul.
PG : Memang tidak sama pada tiap kasus, itu betul sekali. Ada anak
yang memang lebih siap, mungkin waktu dia masih lebih kecil, hubungannya dengan
orang tua lebih kuat, lebih dekat sehingga akhirnya dia lebih bisa menghadapi
itu, tetapi ada anak yang tidak bisa. Nah, kita sebagai orang tua mesti
menimbang ulang kalau kita melihat anak itu memberi reaksi yang buruk kita
mesti bersiap untuk mengubah keputusan kita dan memulangkan dia kembali jadi
tidak memaksakannya. Sekali lagi perlu kepekaan waktu melihat reaksi anak itu.
GS : Dan hikmat itu adalah hikmat yang dari Tuhan. Aspeknya apa saja,
Pak Paul ?
PG : Kita baru bisa memiliki hikmat dalam Tuhan jika pertama-tama
kita takut kepada Tuhan, karena firman Tuhan berkata, "Awal dari hikmat adalah
takut akan Tuhan", jadi mesti takut kepada Tuhan sehingga tidak mau main-main
dengan Tuhan, tidak mau berdosa, kita takut pada Tuhan. Yang kedua adalah kita
mesti memiliki kerendahan hati, karena Amsal penuh dengan nasihat tentang
hikmat dan rata-rata hikmat diperoleh lewat kerendahan hati untuk belajar,
untuk menyerap apa yang harus kita ketahui sehingga kita tidak salah melangkah,
bersedia ditegur atau dibimbing oleh orang-orang lain.
GS : Pak Paul, ada orang yang memiliki hikmat Tuhan seperti itu
tetapi ada juga yang kurang. Tidak tahu hubungannya bagaimana, tetapi kita
melihat dia lebih menonjolkan hikmat manusia, pertimbangan-pertimbangan manusia
yang berakibat keluarganya tidak harmonis dan sebagainya. Lalu bagaimana kita
harus menyikapinya, Pak Paul ?
PG : Kita memang harus datang kepada Tuhan, mengakui bahwa kita
kurang berhikmat dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat kepada kita, jadi
terus datang kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat itu kepada
kita.
GS : Apakah ada ayat yang bisa mendukung pernyataan ini dan sekaligus
mengakhiri perbincangan kita kali ini, Pak Paul ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Yakobus 1:5 berkata, "Tetapi
apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat hendaknya ia memintakannya
kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan
tidak membangkit-bangkit maka hal itu akan diberikan kepadanya". Jadi
minta kepada Tuhan, setelah minta ikuti, takut akan Tuhan jangan main-main
dengan Tuhan, jangan main-main dengan dosa dan cobalah rendah hati, dengarkan
masukan dari orang lain juga.
GS : Pak Paul, perbincangan kita ini tentang "Bertumbuh Bersama"
apakah masih ada aspek-aspek yang lain yang perlu nanti kita bicarakan ?
PG : Masih ada, Pak Gunawan.
GS : Untuk kali ini kita sudahi perbincangan ini, namun kita tentunya
berharap para pendengar kita bisa mengikuti lanjutan perbincangan ini. Terima kasih Pak Paul dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak
terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul
Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang "Bertumbuh Bersama" bagian yang pertama dan kami berharap Anda
sekalian bisa mengikuti perbincangan selanjutnya agar memunyai gambaran yang
lebih jelas, lebih lengkap tentang "Bertumbuh Bersama" ini, sedang bagi
Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi
kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK)
Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.