Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Anak Adopsi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita pernah memperbincangkan tentang anak adopsi atau anak angkat. Sekalipun ditutup-tutupi tetap suatu saat anak adopsi ini akan tahu bahwa dia bukan anak kandung di tengah-tengah keluarga itu. Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, itu sebabnya dianjurkan kepada orangtua yang mengadopsi anak, sebelum anak itu beranjak remaja sebisanya di bawah usia 10 tahun, orangtua sudah memberitahukan staus yang sebenarnya.
Supaya jika terjadi pergolakan pada si anak biarlah pergolakan itu terjadi di kala anak ini masih kanak-kanak; jangan sampai anak itu tahu di kala anak itu sudah usia remaja, pergolakan itu biasanya akan melebar. Karena memang di usia remaja si anak tengah mengalami pergolakan.
GS : Kalau seandainya pada waktu anak ini pada masa kanak-kanak belum diberitahu, kapan waktu yang tepat untuk memberitahukan?
PG : Kalau memang kita tidak memberitahukannya pada masa kecil, lebih baik tunda; pada masa remaja tidak memberitahukannya. Karena biasanya pada masa remaja pergolakan tengah terjadi, waktu sianak menyadari dan diberitahukan bahwa dia bukanlah anak kandung biasanya pergolakannya akan menjadi lebih besar.
Jadi kalau mau memberitahukan anak dan sudah lewat waktunya, beritahukan waktu anak itu sudah dewasa, umur 20 tahunan. Hidupnya lebih stabil dan sudah benar-benar berpikir dengan rasional dan dia juga tahu dia disayangi oleh kita. Nah di usia dewasa itulah baru kita beritahukan.
ET : Tapi masalahnya kalau keburu ketahuannya pada masa remaja itu Pak?
PG : Kita harus siap menghadapi beberapa masalah yang cenderung muncul. Yang pertama, anak-anak yang diadopsi meskipun dia disayangi oleh orangtua yang mengadopsinya tetap dia menyimpan sebuahperasaan bahwa dia anak yang tidak diinginkan, apa pun penjelasan yang kita berikan kepadanya dia akan tetap beranggapan bahwa, "saya tidak diinginkan".
Misalkan ada anak yang diberikan karena orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi. Anak itu akan langsung bertanya, "Orangtua kandung saya anaknya berapa?" Misalkan kita beritahukan, anaknya misalnya lima dan dia nomor empat, yang nomor lima ada, "yang nomor empat saya kenapa saya yang diserahkan." Jadi apa pun alasannya anak itu sudah langsung berasumsi, "saya tidak diinginkan." Perasaan yang tidak diinginkan merupakan suatu ketertolakan, apa nantinya yang akhirnya mengisi rasa ketertolakan? Biasanya ada dua yaitu kesedihan dan kemarahan, maka kalau anak ini baru tahu dan terjadinya di usia remaja, biasanya keluar kemarahan dan kesedihan. Kalau memang moodnya lebih melankolis, mungkin akan lebih anjlok, depresi, murung, mengucilkan diri, tidak mau lagi bertemu dengan orang. Atau kalau memang anak ini sedikit lebih agresif, dia lebih sering marah, dia memberontak, dia mengamuk; karena memang dua perasaan inilah yang akan muncul, rasa sedih dan rasa marah. Muncul dari satu sumber yaitu "Saya anak yang tidak diinginkan."
GS : Memang kekhawatiran orangtua yang mengadopsi anak ini memang itu, kalau sampai anak ini berontak, lari meninggalkan rumah dan sebagainya itu yang dikhawatirkan, makanya mereka tidak memberitahukan.
PG : Itu sebabnya diberitahukan sewaktu anak itu kecil, sebab kalau itu diberitahukan kepada si anak sewaktu dia masih usia kecil, pengetahuan atau informasi bahwa dia bukan anak kandung, itu tdak memberi dampak emosional yang sama sebagaimana kalau dia sudah dewasa.
Maksud saya begini, waktu kita sudah dewasa atau kita memasuki usia remaja, informasi bahwa kita bukanlah anak kandung itu mengagetkan dan mempunyai makna, mempunyai bobot emosional tertentu, saya tertolak dan sebagainya. Tapi kalau itu diberitahukan kepada anak yang masih berusia 9 tahun atau 8 tahun, bobot emosional saya itu tertolak, saya tidak diinginkan, itu belum ada-kalaupun ada masih sedikit. Sebab anak usia-usia 8 tahun, 9 tahun belum memiliki kemampuan mental untuk mencerna bobot emosional seperti itu. Makin dewasa makin kita itu lebih penuh mengerti bobot emosional dari suatu peristiwa yang terjadi. Makin kecil makin kita kurang bisa memaknainya seperti itu, jadi dampaknya memang tidak akan sama tapi pengetahuan atau informasi ini sudah diketahui oleh si anak, dengan dia beranjak ke usia remaja misalkan ke 10 atau 11 informasi ini tetap akan ada. Dan akan membuat dia sekali-sekali berpikir bahwa, "Saya anak yang tidak diinginkan." Ini akan muncul, sebab dengan dia beranjak dewasa, pemahamannya tentang peristiwa saya tidak diinginkan lebih nyata. Namun bedanya adalah pada waktu dia mulai berpikir seperti itu kalau dia diberitahukan di usia kecil dia sudah bisa berkata juga, "Ya, meskipun saya diserahkan, saya diadopsi tapi orangtua saya yang sekarang ini sangat mengasihi saya." Dia melihat buktinya bahwa papa-mama baik dan mengasihi saya. Bandingkan dengan usia remaja, di usia remaja anak cenderung mengalami gesekan dengan orangtua. Meskipun anak itu anak kandung sekalipun, pada usia remaja anak kandung pun sering merasa, "Papa-mama tidak adil, papa-mama jahat, papa-mama tidak mau mendengarkan saya, tidak mau mengerti saya." Itu adalah keluhan anak-anak remaja, kalau ditambah dengan informasi bahwa saya bukan anak kandung, "Klop sudah, papa-mama memang selalu begini sama saya karena saya bukan anak kandung." Langsung dikaitkan seperti itu, jadi kalau anak itu masih kecil diberitahukan bahwa dia itu anak adopsi, waktu dia mulai menyadari statusnya, waktu dia bisa mulai mengerti langsung waktu dia menengok ke belakang dia akan melihat saya dicintai, dan memang belum ada masalah-masalah yang berkembang di usia remaja tersebut.
ET : Tapi kadang-kadang perasaan tertolak itu juga bisa membawa anak menjadi melihat dirinya begitu rendah, begitu tidak layak, sehingga dia menjadi minder waktu kumpul untuk acara keluarga karna dia mulai berpikir sesungguhnya saya bukan bagian dari keluarga ini.
GS : Itu hal yang cukup sering terjadi, terutama kalau dia memiliki baik fisik maupun mental yang berbeda dan di bawah standar ciri-ciri fisik dan mental orangtuanya. Saya berikan contoh, misalkan warna kulitnya berbeda dan warna kulit yang lebih dikagumi dan lebih diterima dalam lingkungan keluarganya adalah warna kulit orangtua yang mengadopsinya. Dia akan merasa minder karena dia berbeda. Atau semua pandai, papanya, mamanya cerdas-cerdas, bertemu dengan sepupu-sepupunya juga cerdas-cerdas sementara dia tidak. Dia sekolah dengan susah payah, tapi sepupu-sepupunya yang adalah anak kandung dari pamannya berprestasi semua, itu cenderung membuat anak akhirnya merasa minder. Di tambah dengan kenyataan atau perasaan bahwa saya adalah anak adopsi, kadang-kadang anak itu mudah sekali merasa minder, membandingkan diri terus-menerus dengan orang lain. Kadang-kadang si anak ini berupaya terlalu keras untuk mendapatkan penerimaan orangtuanya, pengakuan dari orang lain. Maka yang dia lakukan menjadi berlebihan, perilakunya menjadi perilaku kompensasi. Misalkan adakalanya anak-anak ini terlalu overacting, terlalu macam-macam, menarik perhatian orang, yang sebetulnya membuat kita kesal dan orang-orang pun kesal, tapi buat si anak dia seolah-olah harus melakukan yang berlebihan itu supaya diakui keberadaannya. Kadang-kadang juga terhadap orangtuanya terlalu mau menyenangkan hati orangtuanya, benar-benar mencari hati orangtuanya. Misalkan ada anak-anak lain di situ, misalkan anak kandung; anak kandungnya juga bisa sebel melihat kamu itu menjilat, mencari-cari muka. Itu salah satu kemungkinan yang bisa terjadi karena dia merasa tidak layak, anak yang tidak berharga, jadi keinginannya untuk diterima begitu besar. Dia berusaha membeli semua perhatian yang bisa dibelinya.
ET : Jadi itu yang ekstrim atau akhirnya menarik diri atau kabur?
PG : Betul, kalau dia merasa dia tidak bisa mendapatkannya dia kabur, dia akan mengucilkan diri seperti keong dia akan masuk ke dalam rumahnya dan mulailah dia memisahkan diri dari keluarganya. Ada pertemuan-pertemuan keluarga dia tidak mau datang, ada apa-apa dia tidak mau datang nah itu biasanya yang akan terjadi.
GS : Kalau anak ini tahu bahwa dia anak adopsi, kecenderungannya dia akan memberitahukan kepada orang lain bahwa dia anak adopsi atau justru menutupinya?
PG : Biasanya akan menutupinya, dia malu. Jadi di dalam budaya kita adopsi itu belumlah menjadi istilah yang dapat diterima dengan mudah oleh semua orang. Jadi saya akui anak yang diadopsi pu sering kali juga membawa beban itu bahwa saya bukan anak kandung.
Dia akan mengalami keraguan dan ketakutan untuk membukakan jati dirinya yang sesungguhnya.
GS : Walaupun dia tahu orang-orang di sekelilingnya mengerti bahwa ini anak adospi.
PG : Betul, sebab daripada dia harus akui bahwa dia adalah anak adopsi lebih baik dia tutupi saja. Seolah-olah begini Pak Gunawan, waktu dia harus mengakui bahwa dia anak adopsi, seolah-olah da menjadi anak sebatang kara.
Seolah-olah tali yang mengikatnya dengan orangtua meskipun dia tahu tali ini adalah tali imajiner karena memang dia bukan anak kandung, tapi kalau orang tidak bicarakan seolah-olah dia masih bisa bersembunyi di belakang tali ini bahwa saya tetap anak dari keluarga saya ini. Tapi di waktu dia harus mengakuinya seakan-akan dia menjadi anak yang sebatang kara, dia sendirian, dia tidak punya orangtua. Ini mungkin lebih sulit kita pahami tapi ini beda dengan kita ini dibesarkan oleh orangtua kandung kemudian suatu saat orangtua kita meninggal dunia, dua-duanya. Misalkan waktu itu kita baru berusia 15 tahun, orangtua kita dua-dua sudah meninggal dunia, kesebatangkaraan kita itu beda, karena kita tahu bahwa kita mempunyai orangtua, tapi sekarang orangtua kita itu sudah tidak ada. Kita tahu orangtua kandung kita tapi kalau anak-anak yang diadopsi perasaan sebatang karanya itu berbeda benar-benar sebuah kekosongan, karena mereka tidak tahu siapa orangtuanya kecuali dia tahu. Tapi kalau tidak tahu siapa orangtuanya, mereka hanyalah diadopsi, perasaan saya sungguh-sungguh sebatang kara itu benar-benar masuk ke dalam sumsum kita yang terdalam. Kecenderungannya adalah pada saat itu si anak merasa tersesat, dia kehilangan dirinya, dia kehilangan dunianya, dia seolah-olah tidak tahu lagi siapa dirinya. Kita mesti berwaspada di sini karena kalau tidak hati-hati si anak akan mencari-cari identitas dirinya. Di mana carinya, sudah tentu bukan dalam lingkungannya, kecuali dia bisa pas masuk diterima oleh lingkungannya. Misalkan anak itu kebetulan cerdas sekali, dihargai oleh keluarganya atau anak ini lucu sekali, cantik sekali atau ganteng sekali. Jadi kalau bagus-bagus yang dimiliki oleh anak ini masalahnya akan lebih kecil. Tapi kalau kebetulan dia tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang ada dalam keluarganya dia akan merasa terbuang, tertolak dan dia akan mencari identitas dirinya di tempat yang berbeda. Biasanya tempat yang berbeda itu adalah tempat yang bertolak belakang dari keluarganya sendiri.
ET : Jadi sebenarnya kesiapan orangtua untuk memberitahukan anak itu dengan menyadari semua kemungkinan perasaan-perasaan yang akan timbul ini. Seperti nanti anak akan merasa tertolak, merasa tidak aman, merasa sebatang kara, tapi sebenarnya apakah memungkinkan jika memang dengan orangtua memberikan kasih sayang yang semaksimal mungkin, perasaan-perasaan itu bisa diminimalkan?
PG : Bisa sekali Bu Ester, sebab anak ini nantinya harus kembali kepada bukti, apapun yang dia rasakan kalau dia tidak bisa menyangkal bukti bahwa orangtua yang mengadopsinya sangat menyayangina.
Bukti ini akan cukup kuat mengalahkan atau menetralisir perasaan-perasaan ketertolakannya, perasaan terbuangnya dan sebagainya. Dan waktu dia merasa dia sebatang kara, tidak ada yang menginginkan dia, dia harus cari di mana-mana, dia akan berkata: "Tidak, ini rumah saya, ini benar-benar rumah saya. Waktu saya marah, waktu saya mau keluar rumah, papa-mama begitu sedih bahkan sampai menangis." Anak itu akan berkata siapakah yang mencintai saya di dunia seperti orangtua saya, jadi dia akan berkata, "inilah rumah saya," dan dia akan kembali lagi ke rumahnya. Jadi betul sekali, penting orangtua yang mengadopsi anak memang mengkomunikasikan kasih sayangnya secara kuat kepada si anak.
GS : Berarti ada hal-hal tertentu yang harus dilakukan oleh orangtua ketika mengadopsi anak, Pak Paul?
PG : Betul, point yang pertama atau hal yang pertama yang dilakukan adalah benar-benar orangtua harus memperlakukan anak adopsi sebagai anak kandung. Jangan atau tidak boleh orangtua memperlakkan anak adopsi sebagai anak adopsi.
Perlakukanlah anak ini sebagai anak kandung meskipun dia harus beritahukan bahwa engkau adalah anak adopsi tapi perlakuannya benar-benar sebagai anak kandung yang dikasihi. Dan orangtua siap membagi hidup dengannya dan membesarkan anak sebagai pewaris dan penggenap rencana Allah dalam hidupnya. Itu tindakan pertama yang harus orangtua tetapkan sebagai tekat.
GS : Kalau kemudian kita telah mengadopsi anak lalu lahir anak-anak kandung; untuk menjaga keharmonisan antara anak kandung dan anak adopsi ini apa Pak Paul yang harus dilakukan oleh orangtua?
PG : Anak adopsi diberikan tanggung jawab untuk merawat adik-adiknya, dengan kata lain waktu dia masih kecil kita minta tolong. "Bisa atau tidak tolong ambilkan botol susu, bisa tidak tolong abilkan popok adikmu, bisa tidak tolong lihat adikmu sebentar."
Si anak yang diadopsi itu dari kecil akan merasakan bahwa dia wakil si mama, dia adalah wakil si papa dan bahwa adik ini adalah adiknya sehingga dia juga akan menumbuhkan kasih sayang kepada adiknya. Waktu dia misalkan usia 8, 9 tahun dan dia diberitahukan bahwa dia anak adopsi bukan anak kandung, sekali lagi bobot mental atau bobot emosional bahwa dia anak adopsi belum sepenuh kalau dia sudah usia remaja. Namun yang pasti adalah di saat itu waktu orangtuanya memberitahukan bahwa dia anak adopsi, cintanya kepada si adik sudah tertanam. Dia sudah mempunyai rasa memiliki si adik, "Ini adik saya, saya yang merawatnya, saya yang memberikan dia susu, saya yang memberikan dia popok, saya mandi bersamanya, saya yang juga ambilkan makanan untuk dia." Nah itulah yang perlu ditanamkan oleh orangtua, libatkan si anak adopsi dalam merawat adik-adiknya. Sudah tentu kita berhati-hati juga dengan perlakuan-perlakuan khusus, jangan sampai ada perlakuan khusus; perlakukan semua anak-anak sama.
ET : Kalau tadi kita berbicara tentang kesiapan orangtua, yang menjadi masalahnya biasanya keluarga besar, begitu ada anak kandung mungkin kakek-nenek secara tanpa disadari lebih menyayangi cuc kandungnya atau pun paman-bibi dan saudara-saudara yang lain.
Bagaimana kalau berkaitan dengan keluarga besar?
PG : Kita mesti beritahukan kepada orangtua kita mohon jangan katakan hal seperti itu kepada anak kita, karena, "Tolong perhatikan kata-kata seperti ini nanti akan diingat oleh si anak. Dan natinya (kita ingatkan orangtua kita) anak saya nanti tidak respek kepada papa-mama.
Jadi ini bukan hanya masalah anak ini saja, apakah papa-mama mau nanti anak sudah besar malahan tidak respek kepada papa-mama, 'kan jadi tidak enak. Jadi kalau papa-mama mau tetap dihormati oleh cucu, tolong jangan katakan hal seperti itu kepada cucu meskipun dia cucu adopsi." Kita harus berbicara seperti itu juga kepada orangtua kita, karena memang betul Bu Ester, kadang-kadang karena mereka tidak merasa mereka yang adopsi, mereka tidak mempunyai beban mental jadi berbicara lebih seenaknya, berbuat semaunya.
GS : Pak Paul, ada kecenderungan orangtua yang mengadopsi anak, anaknya itu dimanjakan atau lebih diperhatikan secara khusus. Nah apakah ini baik untuk anak adopsi ini?
PG : Sama sekali tidak baik, kita harus memperlakukan anak sama. Artinya baik anak kandung maupun anak adopsi kita perlakukan sama. Dia salah mesti ada sanksi, dia membangkang mesti ada hukuan yang kita berikan.
Jadi kasih dan disiplin tetap harus kita berikan kepada dua-duanya. Ada orangtua yang memang di ekstrim yang satunya luar biasa mengidolakan anak itu. Apalagi misalkan anak yang diadopsi begitu bagus, begitu cakep, jadi orangtuanya selalu memimpikan mempunyai anak yang sebagus ini. "Wah mendapat anak adopsi sebagus ini," benar-benar mengidolakan, memanjakannya. Jangan seperti itu, karena tindakan-tindakan orangtua biasanya nanti menjadi bumerang. Nanti anak itu sudah besar tidak bisa dikontrol, tidak bisa diberitahukan, kemauannya harus selalu dituruti, apalagi nanti kalau dia tahu dia anak adopsi-dia makin-makinan pergolakannya dia merasa tidak diinginkan, tapi egonya sudah begitu kuat dan tidak bisa dicegah, problemnya benar-benar meledak. Jadi jangan sampai memanjakan, perlakukan sama dan tetap seimbangkan kasih dan disiplin pada anak adopsi.
GS : Memang itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan karena mereka tetap melihat bahwa ini bukan bagian dari keluarga. Tetapi ada juga yang memberikan perbedaan di dalam hal warisan, jadi anak adopsi ini tidak diberikan warisan yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain dan dijelaskan kenapa begitu. Nah ini memang akhirnya berdampak buruk pada anak itu.
PG : Saya kira sayang kalau orangtua sampai berbuat seperti itu, berpuluhan tahun dia merawat anak ini dengan begitu baik, kenapa di ujung-ujungnya warisannya dibedakan. Itu benar-benar menanakan bibit kepahitan pada si anak, justru di usia tua si anak itu tambah tidak respek kepada orangtuanya.
Jadi saya kira sayang sekali. Anak itu anak yang telah kita angkat menjadi anak kita, kita perlakukan sebagai anak kita, jadi jangan bedakan lagi. Dalam hal memberikan warisan pun berikan sama rata.
GS : Ya, itu karena desakan dari saudara-saudaranya yaitu anak kandung dari orangtua itu yang mendesak orangtuanya untuk melakukan seperti itu.
PG : Orangtua di sini memang harus tegas dan berkata, "Tidak, kalian semua sama, Tuhan memberikan anak ini kepada papa-mama, dia adalah anak kami. Ada anak yang Tuhan berikan lewat rahim sendii, ada anak yang Tuhan berikan lewat rahim orang lain.
Ada orangtua yang diberikan tugas oleh Tuhan melahirkan anak, ada orangtua yang diberikan tugas oleh Tuhan hanya membesarkan anak jadi kita menerima porsi masing-masing sesuai dengan yang Tuhan telah tetapkan."
ET : Kadang-kadang kita sudah memberitahukan anak bahwa dia bukan anak kandung, bukankah ada kemungkinan di masa remajanya pun mengalami pergolakan. Ada orangtua yang gamang dalam situasi sepeti ini, memang bukan memanjakan tapi dalam hal ini mau menghukum waktu dia melakukan kesalahan tapi takut, takut nanti ketika dihukum anak akan kabur atau anak akan merasa tidak dikasihi.
Jadi sebaiknya bagaimana dalam melakukan hal ini?
PG : Jangan gamang, kalau anak itu salah tetap berikan teguran, jadi kita katakan pada anak. Misalnya dia berkata, "Mama memang tidak mengasihi saya, memang saya bukan anak mama." Kita dengantegas berkata, "Kamu anak mama, apapun yang kamu katakan tidak akan mengubah satu fakta bahwa kamu anak mama, sebab Tuhan memberikan kamu kepada mama untuk kami besarkan, itu tidak akan pernah berubah."
Jadi jangan sampai gamang.
ET : Soalnya kadang-kadang seperti ada upaya ngetest, papa-mama ini sebenarnya bagaimana terhadap saya.
PG : Betul, jadi ngetestnya adalah orangtua tetap harus menjaga otoritasnya atau wibawanya, jangan sampai akhirnya orangtua terpancing. "Ah tidak berani tegas karena anak ini nanti bagaimana-bgaimana."
Tidak, tetap wibawa, otoritas orangtua ditegakkan tapi cinta kasih juga terus diberikan. Ya memang kadang-kadang anak-anak mau ngetest berapa besar kasih orangtua kepada saya, tetap orangtua berkata, "Kamu nakal seperti apa pun kamu anak kami, kami tidak akan melepaskan kamu." Nah jaminan seperti inilah yang memang diinginkan oleh si anak dan untuk mendapatkannya dia sering kali mengetest kesabaran orangtua. Jadi orangtua mesti tahan, jangan sampai terjebak ke dalam test-test yang diberikan oleh si anak ini.
GS : Kegamangan itu juga muncul kadang-kadang dari diri orangtua itu sendiri. Dia merasa kalau saya berlaku terlalu keras terhadap anak ini, dulu saya sudah mengadopsi dia masakan sekarang diperlakukan seperti ini, jadi dia agak gamang melakukan disiplin.
PG : Nah dia harus ingat bahwa Tuhanlah yang menitipkan anak ini untuk dibesarkan oleh mereka dengan cara yang Tuhan kehendaki. Dan cara yang Tuhan kehendaki adalah membesarkan anak dalam kasi dan dengan disiplin, itu cara yang paling bertanggung jawab.
Jadi kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan, jadi jangan sampai kita gamang dalam hal ini.
GS : Memang ada sebutan yang kurang pas yang kadang-kadang orangtua ucapkan yaitu ini adik tirimu, ini kakak tirimu. Ini menjadi tidak enak Pak Paul?
PG : Sebaiknya tidak, kita tidak usah menggunakan istilah-istilah tiri atau tidak, kakak-adik sudah cukup. Waktu kita perkenalkan kita tidak berkata, "Ini anak adopsi, ini anak kandung." Tida, "ini anak saya, ini kakak, ini adik," semua diperlakukan dengan sama rata.
GS : Apakah ada contoh di Alkitab sehubungan dengan ini?
PG : Di Hakim-hakim pasal 11 dikisahkan tentang seorang yang bernama Yefta. Yefta ini anak Gilead tapi masalahnya adalah ibunya bukanlah istri sah dari Gilead, maka Yefta menjadi anak yang teruang, dianggap anak haram.
Kasihan sekali, dia akhirnya berperilaku buruk ikut merampok dan sebagainya. Kita harus menekankan satu hal anak adopsi bukanlah anak yang terbuang, sebaliknya anak adopsi adalah anak yang terselamatkan. Tuhan menyelamatkan anak yang diadopsi dan Tuhan memberinya keluarga yang baru. Kita tahu cerita dari Yefta, Tuhan memakai Yefta, dia menjadi pemimpin bagi orang Israel melepaskan orang Israel dari bangsa-bangsa lainnya, dia menjadi seorang pahlawan. Sekali lagi kita melihat Tuhan tidak pernah membedakan anak, baik anak kandung maupun anak adopsi sebab semua anak pemberian Tuhan, jadi di mata Tuhan semua sama berharganya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Anak Adopsi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 19/04/2010 - 4:32am
Link permanen
Ingin mengetahui keadaan Anak yang sudah saya Adopsi