Memahami dan Menolong Kaum Homoseksual
Berita Telaga Edisi No. 97 /Tahun IX/ September 2012
Diterbitkan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Sekretariat: Jl.Cimanuk 56 Malang 65122 Telp.: 0341-408579, Fax.:0341-493645 Email: telagatelaga.org Website: http://www.telaga.org Pelaksana: Melany N.T., Dewi K. Megawati Bank Account: BCA Cab. Malang No. 011.1658225 a.n. Melany E. Simon
Memahami dan Menolong Kaum Homoseksual
Feminitas adalah segala sesuatu yang membentuk dia menjadi seorang yang feminin atau wanita. Penyebab seorang wanita menjadi homoseksual adalah:
- Lingkungan yang menolak nilai-nilai atau hal-hal yang bersifat feminin itu, misalkan ia dibesarkan di rumah atau di keluarga dan di lingkungan di mana harus bersikap seperti laki-laki karena mungkin tuntutan hidup yang sangat keras sejak kecilnya sehingga dia harus benar-benar bertingkah laku seperti pria.
- Mengalami kepahitan atau trauma dalam kehidupan.
Seseorang tidak secara tiba-tiba menjadi homoseks, ada fase atau tahapannya.
Waktu dia menyadari itu, mulailah dia masuk pada fase kebingungan. Kebingungan dalam pengertian, mereka bertanya-tanya kenapa saya begini, kenapa saya berbeda dan dia tidak merasakan bisa pas masuk ke dalam kelompok yang sejenis. Jadi dia mulai merasa bahwa dia berbeda dengan teman-temannya, ini suatu fase yang sangat membingungkan.
Fase penyangkalan, saya tidak mau seperti ini, saya normal, saya sama seperti orang lain, saya hetero-seksual, saya tidak ada bedanya dengan teman-teman saya.
Fase mencari, karena ada suatu kerinduan mereka bertemu dengan orang yang sama seperti dirinya, senasib.
Fase penerimaan.
Fase pergumulan. Kalau yang pertama tadi fase pergumulan tidak bisa menerima bahwa dia beda dengan orang lain. Sekarang pergumulannya lebih dalam lagi yaitu mereka menyadari, ini bukan saja punya keinginan tapi malahan sudah melakukan. Jadi ada keinginan untuk tidak seperti itu, saya ingin kembali lagi sama, saya ingin mencoba lagi jadi orang yang sama.
Tetapi jelas Tuhan tidak menghendaki kita melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, jadi seyogyanyalah kita tidak memasuki fase penerimaan itu, seyogyanyalah kita terus berjalan di dalam fase pergumulan.
Sebagai teman sepersekutuan atau teman segereja yang menghadapi kenyataan seperti itu sebaiknya kita bersikap dengan baik. Kita harus menekankan dan mengadopsi cara Tuhan menghadapi manusia, sebagaimana Tuhan Yesus pernah berkata : "Aku datang bukan untuk menghakimi tapi menyelamatkan manusia dari dosa." Jadi Tuhan selalu menggunakan cara, pendekatan cinta kasih, Tuhan melihat kita berdosa dan memanggil kita, Tuhan terus menantikan kita.
Maka yang paling praktis yang bisa kita lakukan adalah membentuk suatu kelompok, di mana kalau memang memungkinkan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai pergumulan yang sama dengan homoseksualitas. Di sana kita adakan kelompok tumbuh bersama, berdoa bersama, menguatkan satu sama lain.
Tujuannya ada 2 alternatif:
bertujuan untuk mengubah orientasi sehingga mereka menjadi heteroseksual.
selama belum menjadi heteroseksual, hiduplah kudus di hadapan Tuhan sebagai seorang yang lajang, yang tidak menikah. Sebab Tuhan juga melarang kita yang heteroseksual berhubungan seksual dengan orang lain yang bukanlah istri atau suami kita.
Roma 1 : 18, "Sebab murka Allah nyata atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman."
Kata menindas kebenaran akhirnya berarti memendam kebenaran. Lebih baik sebagai seorang homoseksual kita terus bergumul daripada kita mendistorsi kebenaran, memendam kebenaran itu, sebab kebenaran tetaplah kebenaran.
Sebagai orang tua Kristen, kita perlu terus menerus membina hubungan yang baik sebagai suami istri agar anak-anak tidak menjadi korban. Dan sedini mungkin memberi pengarahan kepada anak-anak. Itulah yang menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua. Tapi kalau itu menimpa beberapa orang di antara kita, ketahuilah bahwa Tuhan tetap mengasihi saudara dan selalu ada jalan keluar untuk menyelesaikan masalah itu.
Pilihlah jalan yang lebih susah, pergumulan memang jalan yang lebih susah, tapi lebih diperkenankan Tuhan.
Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi Audio dan transkrip bisa didapatkan melalui situs TELAGA dengan kode T43 B
Tanya?
Kami pasangan suami istri yang belum lama menikah dan baru dikaruniai seorang anak. Suami bekerja di Jakarta dan karena saya punya anak maka saya tinggal dengan orang tua dulu di Manado. Sebenarnya kami punya rencana untuk tinggal bersama di Jakarta, tapi di lain sisi saya ingin meneruskan kuliah saya, saya bingung harus bagaimana, saya terlalu takut untuk masa depan nanti. Suami saya tidak mau bekerja di Manado supaya kami bisa bersama-sama dan saya juga bisa tetap meneruskan kuliah selama anak masih bisa saya titipkan kepada orang tua.
Sebelum menikah suami memang pernah memunyai pacar dan masih berpacaran sampai menjelang pernikahan kami, saya mau menggagalkan pernikahan kami karena hal itu tapi suami mengatakan kalau dia benar-benar mencintai saya. Hal ini seringkali membuat saya cemburu karena jujur saya belum bisa melupakan kesalahan yang suami saya buat, yaitu tidak jujur. Saya tidak tahu apakah mereka masih berhubungan atau tidak, tapi sebelum saya balik ke Manado mereka sudah tidak lagi punya hubungan, saya selalu berpikir positif semenjak saya di Manado.
Mungkin saja dia bisa terpaksa menikah dengan saya karena sebelum kami menikah saya sudah hamil. Kami pernah bertengkar dan saya pernah berbicara kalau dia terpaksa menikah sama saya dan lebih baik hubungan kita tidak usah diteruskan karena saya akan sakit hati, tapi waktu itu dia sampai sumpah-sumpah kalau dia tidak terpaksa dan dia benar-benar sayang sama saya.
Kadang ketika di gereja saya berdoa menangis sama Tuhan dan saya bilang, "Tuhan saya tahu perceraian di mata Engkau adalah dosa, tapi bagaimana mau menjalin suatu hubungan kalau begini, Tuhan apa saya yang belum bisa melupakan semua itu atau dia yang tidak sayang ?".
Sebelumnya terima kasih sudah mau mendengarkan curahan hati saya.
Jawab !!!Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang harus disertai dengan tanggung jawab dan pengorbanan, demikian juga dengan yang Ibu alami saat ini. Ibu telah mengambil keputusan untuk menikah dengan suami karena Ibu telah hamil terlebih dahulu. Sebenarnya kehamilan sebelum menikah tidak harus diselesaikan dengan pernikahan. Jika memang belum siap untuk menikah, dapat diambil tindakan untuk tidak buru-buru menikah. Ibu bisa mengandung dan melahirkan anak itu lalu mencari orang tua yang ingin mengadopsi atau menghubungi lembaga adopsi. Atau, pilihan terakhir adalah merawat dan membesarkan anak itu sendiri. Semua pilihan ini memang memerlukan pengorbanan. Pilihan Ibu untuk menikah tentu saja bukan keputusan yang salah karena Ibu dan suami sudah berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang terbaik. Namun harus diingat bahwa semua itu memerlukan pengorbanan, mungkin termasuk perkuliahan yang kandas.
Sekarang Ibu bukan lagi sendiri, ada suami dan seorang anak yang Tuhan karuniakan. Walaupun anak itu lahir bukan karena rencana Anda berdua, tetapi kelahiran anak itu direncanakan oleh Allah. Allah dapat menggunakan pelbagai cara untuk membawa seorang anak lahir ke dalam dunia. Sudah tentu, bukan berarti bahwa semua cara adalah cara yang diperkenan Tuhan. Tidak! Sebagaimana yang terjadi pada Ibu, kendati kehamilan itu sendiri adalah dosa namun anak yang dikandung berada dalam kehendak Allah. Roma 8:28 memberi kita penjelasan akan cara kerja Allah yang sempurna, dimana Dia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya.
Sebagai pasangan suami istri, Ibu bersama suami memunyai tanggung jawab yang baru. Pertama, membangun kehidupan rumah tangga agar kehidupan suami istri semakin harmonis. Memang Alkitab mengatakan bahwa Allah memberikan pasangan yang sepadan. Sepadan artinya cocok dengan pasangan. Namun kecocokan itu tidak terjadi begitu saja, membutuhkan usaha masing-masing pasangan untuk mencocokkan diri. Dr. Archibald Hart mantan dekan fakultas Psikologi di Fuller Seminary, di California – USA mengemukakan teorinya bahwa kedua orang yang menikah sesungguhnya memulai pernikahan dengan ketidakcocokan, dengan berjalannya waktu masing-masing belajar mencocokkan diri akhirnya berhasil hidup hamonis. Mustahil bagi pasangan suami istri menjadi pasangan yang sepadan tanpa interaksi langsung setiap hari. Menjalani kehidupan suami istri jarak jauh sulit untuk membangun cinta bersama suami. Kala di masa pacaran, Ibu "jatuh cinta", maka sekarang setelah menjadi suami istri harus membangun cinta. Seiring berjalannya waktu, cinta terhadap pasangan bisa memudar. Oleh sebab itu perlu membangun cinta melalui kedekatan keduanya. Selain itu kehidupan jarak jauh itu banyak godaannya. Jangan memberi celah kepada iblis.
Tanggung jawab selanjutnya adalah membesarkan anak bersama suami. Ingat, tugas membesarkan anak bukan tugas Ibu sendiri atau bisa dibebankan kepada orang tua Ibu, tetapi tugas Ibu bersama suami. Sudah saatnya untuk tidak berpikir ke belakang lagi tapi berpikir ke depan. Jangan biarkan perasaan cemburu terus berkecamuk sehingga menimbulkan kecurigaan yang tidak membangun. Begitu juga dengan rencana kuliah. Mungkin hal itu perlu dipertimbangkan lagi demi pertumbuhan anak dan keharmonisan hubungan suami istri. Jangan menyelesaikan masalah dengan cara menciptakan masalah baru.
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak: ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya.
Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu.
Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.
"Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta.
"Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi.
Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. "Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.
Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan. "Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!", teriak Cinta. "Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya.
Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan. "Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta. "Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja" kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.
Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!" Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi. Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
"Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu." kata orang itu. "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku" tanya Cinta heran. "Sebab," kata orang itu, "Hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu."
Dikutip dari www.renungan-harian.com
- 3914 kali dibaca