Ujian Kesabaran

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T573B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Perubahan di masa pandemik menuntut adaptasi dan kunci keberhasilan melewati masa sulit adalah fleksibilitas. Makin fleksibel makin mudah kita menyesuaikan diri dan makin besar kemungkinan kita memertahankan keharmonisan rumah tangga. Tiga penyebab kekakuan yaitu sulitnya melihat alternatif lain, mudah cemas dan karena kita sombong
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Ada banyak perubahan yang mesti kita hadapi pada masa pandemik ini; salah satunya adalah kita lebih banyak di rumah. Oleh karena lebih banyak di rumah, maka lebih banyak waktu yang dihabiskan bersama suami dan istri kita. Bagi sebagian orang, lebih banyak waktu dihabiskan bersama berarti lebih banyak pertengkaran yang timbul. Berikut akan dibahas beberapa hal untuk membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya.

Hal pertama yang mesti kita ketahui adalah kenyataan bahwa sekarang kita lebih sering bertengkar tidak berarti bahwa relasi nikah kita memburuk atau lebih buruk daripada sebelumnya. Belum tentu! Perubahan menuntut adaptasi dan dalam masa adaptasi tidak jarang kita mesti bergesekkan. Sebagai contoh, sebelum pandemik kita menghabiskan waktu bersama sebanyak 3 jam. Dipotong dengan makan dan menyelesaikan tugas rumah tangga, mungkin kita hanya berbagi waktu bersama sekitar dua jam. Pada akhir pekan kita terlibat dalam pelbagai aktivitas sehingga walau kita tidak bekerja, praktis kita hanya berbagi waktu beberapa jam per hari. Sekarang praktis kita menghabiskan waktu bersama hampir sepanjang hari—24 jam! Dari kita bangun tidur sampai kita tidur kembali, kita terus bersama pasangan. Jika sebelumnya kita hanya menyiapkan bahan bicara untuk dua jam, sekarang kita mesti menyiapkannya untuk sekurangnya 16 jam. Bila sebelumnya kita tahan mendengarkan pasangan bicara selama beberapa menit, sekarang kita harus tahan mendengarkannya bicara selama berjam-jam.

Perubahan ini saja sudah menuntut kita untuk beradaptasi; dan kita semua mafhum betapa tidak mudahnya mengisi waktu bersama bukan saja untuk sehari tetapi berbulan-bulan. Dari ada bahan pembicaraan sampai bingung mau bicara apa karena kehabisan bahan bicara, sampai kita tidak mau bicara lagi. Dari bisa berkonsentrasi mendengarkan sampai kita tidak bisa lagi berkonsentrasi mendengarkan. Dari memahami jelas apa yang disampaikan sampai kita salah paham. Semua ini adalah bagian dari adaptasi yang wajar yang mesti kita lalui. Kuncinya adalah saling pengertian dan saling bersabar. Jangan berkecil hati dan cepat menyimpulkan bahwa rumah tangga kita sedang mengalami krisis. Belum tentu. Terpenting adalah kita berdua mesti menyadari dan mengakui bahwa kita harus belajar menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan bahwa penyesuaian diri memerlukan waktu. Jangan menuntut pasangan untuk secara tiba-tiba bisa berubah. Berilah ruang kepada pasangan untuk menyendiri bila memang itu yang diperlukannya dan jangan menuduh bahwa ia tidak suka dengan kita atau tidak mencintai kita hanya karena ia perlu waktu untuk menyendiri. Komunikasi yang telah terjalin selama ini perlu diformat ulang dan ini perlu waktu.

Hal kedua yang mesti kita camkan adalah kunci keberhasilan melewati masa yang sulit ini adalah fleksibilitas. Norman Wright, seorang pakar pernikahan dan keluarga di Amerika berkata bahwa karakteristik terpenting yang dibutuhkan dalam pernikahan adalah fleksibilitas. Makin lentur dan tidak kaku kita bersikap, makin besar kemungkinan kita akan dapat menikmati pernikahan yang harmonis. Sebaliknya, makin kaku dan makin enggan kita berubah, makin sulit kita menikmati keharmonisan. Di masa pandemik ini kita dapat melihat kebenaran ini. Makin fleksibel, makin mudah kita menyesuaikan diri dan makin besar kemungkinan kita memertahankan keharmonisan rumah tangga. Mungkin kita mesti fleksibel dalam hal pembagian tugas rumah tangga. Jangan menolak untuk mengerjakan tugas rumah tangga yang sebelumnya bukanlah tugas kita. Mungkin kita harus fleksibel dalam pemakaian uang. Jangan terus memertahankan gaya hidup kita yang lama; ada hal yang mesti kita korbankan. Mungkin kita pun mesti fleksibel dengan pekerjaan atau perubahan karier akibat pandemik ini. Jangan menolak pekerjaan yang ada, walau tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau pengalaman kita. Terpenting adalah kita dapat menafkahi kebutuhan keluarga.

Kekakuan dapat ditimbulkan oleh tiga penyebab.

  1. Kita kaku karena kita sulit melihat alternatif lain. Cara pandang kita yang telah terbentuk cenderung menyoroti sesuatu dari satu sudut saja sehingga sukar buat kita memertimbangkan cara pandang yang lain. Dengan kata lain masalahnya di sini adalah bukannya kita tidak mau berubah tetapi kita memang tidak dapat melihat alternatif lain itu. Walau sudah diberitahukan pasangan, kita tetap tidak dapat melihatnya. Bila ini masalahnya maka tugas kita sebagai pasangan adalah mesti mengerti dan bersabar untuk menjelaskannya berulang-kali.
  2. Kita kaku sebab kita mudah cemas; dan karena perubahan pada umumnya menimbulkan kecemasan, maka kita pun melawan perubahan. Jadi sesungguhnya yang kita lawan bukanlah perubahan itu sendiri melainkan kecemasan. Jika inilah masalahnya, maka kita sebagai pasangan perlu membahas perihal kecemasan itu terlebih dahulu. Kita mesti mengerti apakah yang dicemaskannya dan meneduhkan gelora di hatinya sebelum kita dapat memintanya untuk lebih fleksibel dan berubah.
  3. Kita kaku karena kita sombong. Kita tidak dapat melihat diri kita "salah" dan perlu berubah; itu sebab, kita menuntut pasangan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan kita, tidak pernah sebaliknya. Ini susah untuk berubah. Segala sesuatu susah berubah bila dikaitkan dengan harga diri. Sebagai pasangan kita menghadapi jalan buntu jika pasangan kaku karena egonya yang besar. Setiap usaha untuk memintanya fleksibel berakhir dengan pertengkaran.

Jika inilah masalahnya, sebagai pasangan kita tetap mesti bersabar dan mengerti, namun terlebih dari itu, kita harus mendoakannya. Hanya Tuhan yang dapat mengubah dan meluluhkan hati yang sombong. Tugas kita bukanlah mengubahnya; tugas kita hanyalah memberikannya contoh hidup yang nyata akan sebuah kehidupan yang bebas dari kesombongan. Kita tidak perlu meyakinkannya bahwa ia salah dan bahwa kita benar; kita hanya perlu berjalan terus di jalan yang benar dan berbuat benar. Dengan kata lain, biarlah perbuatan kita berbicara, bukan mulut kita. BiarlahTuhan memakai perbuatan kita untuk menyadarkannya bahwa rendah hati adalah sehat dan baik.

Satu ayat yang baik untuk kita ingat dan terapkan pada masa pandemik ini adalah Filipi 2:4, "dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." Pada masa senang kita dapat berubah menjadi egois tetapi sesungguhnya pada masa sulit pun kita dapat berubah menjadi egois. Oleh karena hati susah, akhirnya kita berusaha mencari kesenangan pribadi, dan melupakan kepentingan dan pengorbanan pasangan. Itu sebab kita harus mawas diri, jangan biarkan pandemik ini mengubah kita menjadi egois. Sebaliknya, jadikanlah pandemik ini sebagai masa ujian kesabaran dan saling pengertian kita.