Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuntutan Tinggi Kasih Rendah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini membahas tentang hubungan orang tua dan anaknya yang sekolah. Memang kita melihat di sekeliling kita, orang tua sering memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk sekolah di tempat yang baik dan sebagainya sampai setinggi mungkin tetapi bagi anak, kadang-kadang juga merupakan suatu tekanan sendiri. Sebab sekolah yang baik dengan tuntutan yang cukup banyak itu akan membuat dia seolah-olah kehilangan masa remajanya atau masa mudanya, Pak Paul.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, di satu pihak saya senang melihat begitu banyaknya orang tua yang peduli dengan anak-anaknya. Saya kira zaman kita adalah zaman dimana orang tua berusaha memberi ang terbaik untuk anak-anak, menyekolahkan di sekolah yang baik, memberikan perawatan medis yang baik, menjaga kesehatan jasmaniah, penampilannya, bajunya, mainannya, memberikan alat-alat pendidikan yang baik, melalui video games dan sebagainya.
Tapi betul sekali waktu kita akhirnya lepas kendali kehilangan perspektif, kita bukannya membuat anak bertumbuh sehat malahan justru membuat anak makin terbebani dan nantinya akan membuahkan masalah.
GS : Kesan saya, ada semacam persaingan antara orang tua yang satu dengan yang lain untuk membuat anaknya memiliki suatu prestasi tertentu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi dewasa ini di dalam rumah saya kira di kota-kota yang agak besar ada sebuah norma yaitu tuntutan orang tua makin hari makin tinggi, mereka mengharapkan anak-anak bersekolah di ekolah yang paling baik dengan tuntutan akademik yang paling tinggi.
Saya kadang-kadang mendengar dari yayasan atau kepala sekolah atau guru di sekolah yang menceritakan bahwa sewaktu mereka mencoba untuk meragamkan segala jenis aktifitas di sekolah supaya tidak hanya akademik, orang tua mulai mengeluh, "Kenapa menjadi ringan dan tidak banyak PR dan sebagainya." Justru sekolah berniat baik namun orang tua salah paham dan banyak orang tua yang berkata, "Sekolah ini sekarang sudah gampang, mari disekolahkan di sekolah yang lebih susah." Akhirnya kita berlomba-lomba memberi tuntutan makin hari makin tinggi kepada anak-anak kita. Masalahnya adalah kita tidak mengimbangi tuntutan dengan cinta kasih, tuntutan yang tinggi sebetulnya sesuatu yang tidak sehat kepada anak-anak kita tapi kalau diikuti dengan kurangnya kasih sayang, kurangnya waktu yang diberikan kepada anak-anak, kurangnya kesempatan untuk bercengkrama, untuk memeluk, mengasihinya, mengujinya dan sebagainya kalau itu semua makin berkurang, ini semua akan membuahkan problem.
GS : Kemungkinan-kemungkinan buruk apa yang bisa terjadi kalau seandainya yang tadi Pak Paul katakan orang tua memberikan tuntutan yang tinggi tapi tidak mengimbanginya dengan kasih yang tinggi pula ?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah tuntutan tinggi akan membuat anak hanyalah memfokuskan pada aspek di luar dirinya yaitu performa dan tugas. Jadi karena terbiasa dituntut, bai di rumah maupun di sekolah akhirnya anak itu yang seyogianya dalam masa pertumbuhan memberi waktu melihat dirinya, tidak sempat lagi, karena fokusnya adalah pada apa yang dituntut dan tugasnya adalah memenuhi tuntutan yang diberikan kepadanya itu.
Hasilnya adalah, apa yang ada dalam dirinya luput dari perhatian orang tua dan juga dari dirinya, itu sebabnya orang tua kadang-kadang setelah anak itu mulai besar kaget karena menemukan anaknya bisa seperti ini, bisa menjadi pemarah, kalau marah bisa meledak. Kenapa? Sebab orang tua juga luput melihat apa yang ada di dalam diri si anak yaitu pergumulannya, kesepiannya, perasaan ragu-ragu tidak percaya diri dan sebagainya, hal itu yang luput di lihat, si anak pun karena terlalu sibuk mau menyenangkan hati orang tua dan juga guru fokus pada performa dan tugas akhirnya juga tidak memperhatikan hal-hal itu sedangkan setiap anak dalam masa pertumbuhannya juga perlu menata apa yang ada di dalam dirinya dan mengelolanya, nanti bentuk nyatanya adalah ketidakmampuan mengelola misalkan emosinya, ketidakmampuan dia untuk memberikan prioritas yang tepat karena semua itu memerlukan penataan internal dan ini yang nantinya terhilang dalam kehidupan si anak.
GS : Karena perhatian anak sepenuhnya tercurah pada tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
PG : Betul sekali. Jadi karena tugas yang difokuskan dan tujuannya adalah memenuhi tugas itu, hidup seperti roda yang berputar, seperti mesin yang berderu-deru tapi tujuannya adalah memenuhi yag ada di luar dirinya sehingga yang di dalam dirinya mau rapuh, ambruk, sedih.
GS : Dan masalahnya biasanya adalah penambahan tugas yang tidak sekaligus tapi setahap demi setahap dan orang tua sendiri tidak merasakan dampaknya secara drastis, Pak Paul.
PG : Bukan saja merasakan dampak-dampaknya secara drastis tapi orang tua pun kadang-kadang merasa ini hal yang baik, Pak Gunawan. Sebab banyak orang tua beranggapan kita tidak boleh memberikan esempatan atau waktu luang kepada anak, waktu harus selalu dipakai untuk hal-hal yang dianggapnya bersifat akademik, dileskan dan sebagainya.
Kenapa? Sebab orang tua takut kalau waktu itu luang atau senggang maka anak akan melakukan hal-hal yang salah. Dan persolannya adalah hidup si anak merupakan keseimbangan, dia memang perlu memfokuskan pada tugas dan tuntutan di luar dirinya tapi dia juga perlu waktu untuk diam untuk bisa menata dirinya, untuk tidak melakukan apa-apa, untuk main, untuk beristirahat dan sebagainya dan ada waktu-waktu dimana orang tua pun mesti bercengkrama, duduk, bicara dari hati ke hati dengan anak. Memberikan perhatian dan tanggapan pada apa yang ada di dalam hati si anak. Jadi pembicaraan dalam rumah tidak hanya yang bersifat sekolah dan akademik, mesti juga diimbangi dengan obrolan-obrolan tentang diri si anak, apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya, apa yang dia ingin lakukan, apa yang menjadi pergumulan, hal-hal yang seperti itu yang harus juga disuburkan di dalam rumah.
GS : Jadi kalau melihat tuntutan dari sekolah sudah begitu tinggi, sebenarnya orang tua tidak perlu lagi menambahkan beban dengan menyuruh anaknya mengikuti les dan sebagainya, Pak Paul.
PG : Betul, kecuali kalau sangat diperlukan dan anak memang perlu bimbingan langsung, kalau tidak maka sebisanya tidak.
GS : Apakah ada pengaruh yang lain, Pak Paul?
PG : Tuntutan tinggi juga membuat orang melihat apa yang masih kurang di dalam dirinya, bukan apa yang telah cukup, artinya karena dituntut harus ini dan harus itu, berikan lagi yang lebih, berkan lagi yang lebih ekstra, anak akhirnya terkondisi untuk melihat apa yang kurang.
Masalahnya adalah nanti dia akan melihat dirinya juga seperti itu, apa yang kurang pada diri saya dan melihat orang lain pun seperti itu, apa yang kurang pada diri orang lain, kalau tidak hati-hati anak-anak pun akan bertumbuh besar, besar menjadi orang yang super kritis selalu melihat kekurangan dan sudah tentu akhirnya kata pujian, kata membangun untuk orang lain itu hampir tidak pernah keluar dari bibirnya sebab terhadap dirinya pun dia tidak akan melakukan hal itu, dia tidak akan memuji dirinya dan dia akan selalu melihat sesuatu yang kurang, sedangkan apa yang telah dicapainya itu tidak lagi menjadi fokus perhatiannya.
GS : Ini bisa menimbulkan perasaan yang selalu merasa bahwa dirinya selalu kurang dan cenderung membuat orang menjadi rakus, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, ini sebetulnya adalah benih-benih ketamakan tapi memang benih-benih yang terselubung karena dalam hal tuntutan yang seolah-olah tuntutan kerja dan sebagainya tapiujung-ujungnya suatu bentuk ketamakan yaitu ketidak mampuan untuk berkata telah cukup, dia tidak bisa berkata telah cukup meskipun sudah dalam kelebihan karena kita masih merasa ada yang kurang.
Nanti setelah dia menikah, dia akan mempunyai masalah yang besar dengan pasangannya, belum lagi terhadap anak-anaknya nanti, dia akan menuntut pasangannya untuk terus memberikan lebih dan lebih karena bagi dia masih ada yang kurang, karena ada saja yang dilihatnya itu kurang walaupun telah dilakukan dengan baik. Saya takut inilah siklus yang akan kita terus lestarikan dari generasi ke generasi.
GS : Jadi menjadi tanggung jawab orang tua untuk tahu bagaimana membatasi anak, sesuatu yang kritis sebenarnya hal yang baik, tapi perlu ada keseimbangan seperti yang Pak Paul katakan, supaya anak jangan terlalu kritis apa yang orang tua bisa lakukan?
PG : Sering-seringlah orang tua juga memuji apa yang telah dilakukan oleh anak, sering-seringlah orang itu juga berkata, "Sudah tidak apa-apa, cukup! Kamu tidak perlu lagi belajar sampai tengahmalam.
Kami tidak menuntut seperti itu." Jadi orang tuanya secara langsung harus berkata, "Sudah cukup, kami tidak minta lebih dari itu." Banyak orang tua yang berkata setelah anaknya dewasa atau remaja, "Anak saya belajarnya ngotot, tidak pernah bisa diam, harus lagi dan lagi sampai jam 1 pagi dan jam 6 pagi sudah bangun," pertanyaannya adalah kenapa si anak sampai seperti itu, saya menduga mungkin karena sewaktu dia kecil itulah yang orang tua terapkan kepada si anak yaitu tuntutan yang tinggi. Sekarang sudah remaja orang tua baru sadar kalau ini tidak sehat tapi masalahnya adalah roda sudah berputar dan memberhentikannya memang tidak gampang, maka orang tua harus sering-sering berkata, "Sudah tidak apa-apa sudah cukup, kamu tidak perlu memaksa seperti itu, hidup perlu seimbang, hidup juga perlu ada aspek-aspek sosial, rekreasi dan yang lainnya, bukan hanya belajar.
GS : Memang dampaknya akan terasa setelah agak besar dan sebenarnya ini adalah benih yang ditaburkan oleh orang tua sendiri, Pak Paul.
GS : Apakah dampak yang lain, Pak Paul?
PG : Dampak tuntutan yang lain adalah anak susah untuk merasa puas dengan dirinya atau apa yang telah dihasilkannya. Untuk memuaskan dirinya, dia cenderung menuntut dirinya dan orang lain untukmakin menghasilkan sesuatu, ibarat orang yang tengah mengejar angin.
Jadi akhirnya anak-anak susah untuk bangga terhadap dirinya, susah bercitra positif, tidak bisa menerima dirinya, susah melihat kekurangan dirinya. Karena melihat kekurangan-kekurangan makanya dia harus dan harus berusaha, tapi di balik itu dia tidak menerima kekurangannya, makanya proyeknya adalah terus menerus menambal kekurangan, tidak benar-benar bisa menerima kekurangan itu sendiri. Sedangkan kita tahu bahwa dalam hidup, kita harus menerima diri sepenuhnya apa adanya. Ada yang masih bisa kita tumbuhkan dan ada yang tidak bisa kita tumbuhkan, ada yang masih bisa kita dongkrak, ada yang harus kita terima. Dan anak-anak akhirnya tidak mengenal kata, "Menerima," akhirnya dia tidak bisa berkata "Baiklah saya terima kekurangan saya ini." Dalam relasi inilah yang akan terjadi, dia tidak bisa terima kelemahan orang, dia akan berkata "Kamu ini hanya berdalih, kamu harus paksa diri kamu, buktinya saya bisa." Dan akhirnya orang yang hidup dengan kita akan sangat letih dan sengsara karena seperti dicambuki dan hidup merupakan suatu upaya mengejar-ngejar angin yang tidak akan pernah bisa tertangkap.
GS : Karena targetnya akan terus meningkat dan dia tidak akan pernah terpuaskan.
PG : Betul, jadi target yang terus ada dan tidak pernah tercapai sekaligus tidak bisa menerima kekurangannya. Ini adalah hal yang nantinya akan menjadi racun dalam membina keluarga karena dalampernikahan kita mesti bisa menerima kekurangan pasangan, orang-orang seperti ini akan susah sabar dan sangat susah untuk toleran dengan kekurangan pasangan, dia akan terus-menerus menyoroti kekurangan dan dia akan berusaha merubah yang kurang itu.
GS : Tapi seperti tadi yang Pak Paul katakan sebenarnya orang tua punya peran besar di sana dalam pembentukan jati diri anak, dengan menerima anak apa adanya. Jadi kalau kemampuannya sampai disitu, maka kita tidak perlu paksa-paksakan seperti anaknya orang lain.
PG : Itulah kuncinya sebenarnya, jadi kita mesti dengan saksama jeli melihat apakah yang menjadi kekuatan anak kita dan apa yang menjadi kelemahannya. Kita coba kembangkan kekuatannya dan kita erima kelemahannya, jangan justru kebalikannya, kita paksa-paksa dia untuk terus mendongkrak kelemahannya sehingga semua usaha, kita curahkan kepada kelemahannya dan akhirnya apa yang anak akan terima dari orang tua yaitu sebuah pesan yang jelas, yaitu orang tua tidak menerima kelemahannya.
Nanti dia akan beranggapan orang lain pun tidak akan menerima kelemahannya. Akhirnya fokusnya adalah selalu pada memecuti diri, tidak bisa puas, tidak bisa mempunyai image yang positif tentang diri, dan terhadap orang lain pun akan berlaku sama.
GS : Tapi kalau dia mulai menyadari bahwa dia tidak mungkin mengembangkan dirinya lebih jauh dari itu, dia juga akan frustrasi, Pak Paul.
PG : Betul, karena dia tidak bisa terima dan dia merasa ini sesuatau yang salah, tidak harus saya terima, makanya saya harus terus koreksi. Jadi hidupnya akan berputar-putar di dalam kubangan lmpur.
GS : Selain tuntutan-tuntutan yang tinggi, tadi Pak Paul katakan kalau diimbangi dengan kasih yang tinggi, juga merupakan penyeimbang tapi yang terjadi sebaliknya yaitu tuntutan yang tinggi tidak dibarengi dengan kasih yang tinggi tapi malah kasihnya rendah dan ini pengaruhnya bagaimana ?
PG : Pak Gunawan, kita sekarang hidup di sebuah abad yang sibuk, kebanyakan suami istri sibuk, pulang sore atau malam sehingga sudah letih dan akibatnya waktu yang bisa diberikan kepada anak mejadi sangat terbatas, sehingga pernyataan kasih kepada anak juga tidak bisa dirasakan dengan langsung oleh anak.
Kalau tuntutan begitu tinggi dan kasih begitu minim, akan ada akibatnya misalkan yang pertama adalah minimnya kasih akan membuat anak tidak tahu bagaimana mengasihi. Kenapa? Sebab kita sebetulnya hanya mengerti mengasihi orang, bagaimana caranya mengasihi orang tatkala kita pernah menerima kasih sayang itu, kita akhirnya mencontoh waktu Papa ajak saya bicara, ajak saya berdoa, Mama sayang dan memeluk saya, waktu Papa sayang mendukung saya, waktu Mama sayang bisa mengelus saya. Semua itu adalah sentuhan-sentuhan kasih yang dialami oleh si anak, sewaktu dia nanti harus memberikan kasih maka dia sudah mengerti bagaimana caranya. Sudah tentu orang pertama yang menjadi objek kasihnya adalah orang tua itu sendiri, dia hanya perlu meniru yang orang tua telah berikan kepadanya, dan dia berikan kembali kepada orang tua sehingga lama-lama dia berikan kepada orang lain. Dalam rumah dimana kasih itu minim, pernyataan kemesraan juga sangat sedikit, si anak tidak pernah tahu bagaimana mengasihi orang lain karena itulah dia akan menuntut orang untuk mengasihinya, tapi dia sendiri tidak bisa mengasihi orang. Dia haus kasih karena dia kurang kasih, tapi dia tidak pernah tahu bagaimana mengasihi namun kebutuhan dikasihinya besar, jadi tidak bisa memberi namun hanya bisa menuntut, orang harus bisa sabar dan mengasihinya.
GS : Padahal kalau kita tanyakan pada orang tuanya, pasti orang tuanya akan berkata kalau mereka mengasihi anaknya, Pak Paul. Tapi biasanya kasih dicurahkan ketika anak masih sangat kecil mungkin baru lahir sampai usia satu tahun tapi lama-lama kasih ini mengendor sehingga saat anak sangat membutuhkan kasih, kasih itu sudah tidak lagi diberikan, Pak Paul.
PG : Betul sekali, sayang sebenarnya Pak Gunawan sebab saat anak-anak sudah lewat balita, mereka justru butuh sekali melihat dan mengalami sentuhan-sentuhan kasih itu.
GS : Pak Paul, selain tidak bagaimana caranya mengasihi, hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Minimnya kasih juga membuat orang berempati kepada orang dan ini yang membuat akhirnya susah berbelas kasihan, Pak Gunawan. Jadi anak-anak yang dibesarkan dengan tuntutan tinggi dan kasih ang kurang cenderung susah sekali menempatkan diri di posisi orang lain, makanya dia susah mengerti dan nanti berbuah negatif di dalam pernikahan karena boleh dikata kunci awal dari pernikahan adalah kemampuan untuk mengerti.
Kalau tidak ada kunci itu, maka kita tidak bisa mengembangkan keterampilan lainnya yang diperlukan dalam pernikahan. Maka perlu untuk bisa mengerti dan orang-orang seperti ini susah karena untuk mengerti diperlukan kemampuan berempati yaitu menghayati perasaan orang, memahami posisi orang, melihatnya dari kacamata orang dan hal itu yang susah. Dia melihat dari kacamatanya sendiri akhirnya berakibat suatu relasi akan susah untuk berumur panjang karena dia tidak bisa tenggang rasa dengan orang dan orang akhirnya akan berkata ini semua berputar pada dirinya saja, orang butuh apa, mau apa, dia tidak memperhatikan.
GS : Rasanya dampak seperti itu sudah kita rasakan saat ini dimana orang-orang tidak peduli dengan masalah orang lain dan yang dia harapkan adalah orang lain yang justru harus memperhatikan dia.
PG : Betul yang sudah kita bahas, tuntutan tinggi fokusnya pada performa dan tugas, memang akhirnya mata itu hanya tertuju pada tugas, pada penilaian, pada performa sedangkan yang diperlukan jutru adalah orang-orang disekitarnya dan itu yang tidak dia lakukan.
GS : Mungkin ada hal lain tentang ini ?
PG : Yang lain adalah minimnya kasih dan tingginya tuntutan membuat orang menjadi tidak sabar dan dengan seketika semua harus diberikan. Makanya pada akhirnya orang-orang ini susah sekali berkopromi atau bernegosiasi karena dua-duanya memerlukan kesabaran, tidak bisa seketika, orang tidak berubah dengan sekejap mata, orang perlu waktu.
Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang tuntutan tinggi dan kasih yang minim, maka susah untuk memberi waktu kepada orang untuk bertumbuh atau berubah dan keinginannya juga harus dituruti detik ini juga kalau tidak dituruti dia cepat marah, dia akan menuduh orang tidak perhatian kepada dia dan dia akan berkata saya sudah memberi sepenuhnya tapi kamu tidak memberikan sepenuhnya. Jadi hal-hal seperti inilah yang akan menjadi menu keseharian di dalam hari-hari pernikahan anak-anak ini kelak.
GS : Memang itu sudah terlihat sejak bayi sebenarnya, Pak Paul. Anak selalu menuntut diberikan seketika, misalnya minta minum dan sebagainya kalau tidak maka anak akan teriak-teriak, tergantung orang tuanya bagaimana mendisiplin anak ini, Pak Paul.
PG : Betul, tadi kita sudah bicara tuntutan yang tinggi. Orang tua yang menuntut-menuntut dan harus mendapatkannya dengan seketika dari anak, tanpa disadari sedang mentransfer sikap-sikap ini kpada anak dan nanti anak pun begitu, dia maunya sekarang.
Kalau dia menuntut sesuatu maka orang harus berikan sebab itulah yang diterimanya dari orang tua, kalau harus dapat nilai 10 maka harus dapat nilai 10, harus lebih bagus lagi dan harus lebih bagus lagi. Jadi nanti dia seperti itu juga. Dia susah sekali sabar, dia susah sekali bernegosiasi, mundur ke negosiasi, mengalah, berkompromi itu hal-hal yang dia tidak bisa kuasai. Setelah menikah bayangkan kalau tidak punya kemampuan bernegosiasi seperti ini, tidak mempunyai kemampuan untuk berkata, "Baik saya harus sabar memberi waktu," tidak mempunyai kemampuan seperti itu, maka rumah tangganya akan mudah sekali ambruk.
GS : Dan hal itu diperkuat oleh sistem pendidikan dimana guru-gurunya juga menuntut hal yang sama seperti orang tua itu. Jadi kesan anak memang anak harus dipacu seperti itu, Pak Paul.
PG : Jadi bukan saja dalam rumah, tapi di luar rumah pun dia cenderung mendapatkan tekanan yang sama, perlakuan yang sama dan akhirnya akan membentuk dia seperti itu.
GS : Mungkin ada hal yang lain yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Pada akhirnya pola asuh seperti ini, berpotensi menciptakan generasi anak yang "border-line". Gangguan "border-line", suatu gangguan yang memang serius ada di dalam gangguan psikologis, cii-cirinya adalah apa yang dia inginkan dia harus dapatkan, pola pikirnya sangat kaku hitam putih dan semua orang harus menuruti dia dan dia tidak mau menuruti orang lain.
Kalau orang tidak mau mengerti dia, berarti dia bukan teman dia dan dia tidak lagi baik dengan orang itu. Jadi ciri-ciri kepribadian seperti itu yang disebut"border-line". Saya takut Pak Gunawan, tanpa kita sadari kita sedang menciptakan generasi baru yang lebih banyak "border-line"nya, sebab keinginannya harus dituruti, jika kita tidak menuruti maka kita dianggap bukan temannya, dia pun juga sukar memecahkan konflik, sebab untuk memecahkan konflik diperlukan kesabaran yang panjang. Saya takut hal-hal ini makin menjamur di generasi yang akan datang.
GS : Memang sekarang banyak para remaja yang sukar sekali bersosialisasi karena dia menuntut lingkungannya menuruti apa yang dia mau.
PG : Betul, jadi dia selalu meminta orang untuk mengerti dia. Kenapa orang yang selalu harus mengerti dia dan dia tidak bisa mengerti orang lain, memang dia tidak bisa dan dia juga tidak mau. Iilah produk yang saya takut akan dihasilkan.
Memang kalau dalam soal kerja, anak-anak seperti ini bisa jadi sangat tegang karena dituntut tinggi, dari kecil memang sudah dituntut untuk berprestasi, mungkin di dalam hal-hal produktifitas dia tidak ada masalah tapi dalam relasi kerja dia akan banyak masalah, nanti setelah menikah juga akan banyak masalah. Jadi akhirnya kita akan bertanya buat apa semua ini, buat apa meningkatkan produktivitas kalau kita juga makin membuat problem tambah produktif.
GS : Dan hasil dari produktivitas itu tidak bisa dia gunakan untuk mengatasi kehidupan ini dan itu masalahnya, Pak Paul?
PG : Dia sendiri memang tidak bisa atasi tapi karena dia tidak tahu cara lain Pak Gunawan, bagi dia pelipur lara adalah produktivitas. Karena dia juga tidak bisa membangun relasi untuk menikmat kebersamaan, jadi dia makin terlilit di dalam pekerjaan-pekerjaan produktif dan semua akan dia korbankan karena dia juga tidak bisa menikmatinya.
Memang kasihan karena pada masa tuanya dia akan menjadi orang yang kesepian.
GS : Mungkin itu penyebab awal dari orang yang kecanduan kerja dan sebagainya itu, Pak Paul ?
GS : Pak Paul, mungkin ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk menyimpulkan perbincangan kita ini?
PG : Saya akan bacakan Amsal 27:18. Firman Tuhan yang singkat tapi sangat-sangat luar biasa berbicara kepada kita semua, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya," sederhana sekali. Kit harus memperingatkan diri kita, apa yang kita sedang tanam sekarang? Pohon seperti apa yang akan kita hasilkan? Kalau pohon ara kita tahu, pohon yang manis yang akan menghasilkan buah dan buahnya enak manis dan kecut.
Kalau kita pelihara pohon ara hasilnya adalah buah-buah yang manis kalau kita tidak memelihara pohon yang bisa menghasilkan buah maka kita juga tidak bisa memetik buahnya. Saya takut kalau kita tidak hati-hati, kita bukannya sedang menanam pohon ara tapi kita justru menanam racun-racun yang nanti bisa merusakkan satu generasi.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuntutan Tinggi Kasih Rendah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.