Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Tugas dalam Berpacaran. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kalau berpacaran itu disebut ada tugas yang harus diselesaikan, mungkin orang enggan berpacaran. Biasanya orang mau berpacaran hanya menikmati saja masa- masa berpacaran itu, Pak Paul. Tapi kok topik ini mengangkat ternyata ada tugas yang harus diselesaikan di dalam berpacaran. Apa maknanya, Pak Paul ?
PG : Maknanya adalah memang ada hal-hal yang harus kita lakukan di dalam masa berpacaran untuk mempersiapkan kita memasuki pernikahan dan untuk memastikan bahwa pernikahan kita itu didasari atas kecocokan. Begini, Pak Gunawan. Memang perceraian tidak terjadi di masa sekarang ini saja, di masa lampau pun ada pasangan nikah yang bercerai. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah angka perceraian di masa sekarang jauh melampaui di masa sebelumnya. Ini 'kan ironi. Sebab justru di masa dimana ceramah dan buku tentang pernikahan berlipat ganda, di saat itu pulalah angka perceraian terus meningkat. Dan yang memprihatinkan adalah perceraian tidak hanya menimpa pasangan paro baya, seperti biasanya yang kita ketahui di masa lampau, tetapi juga pasangan muda yang usianya masih berada di bawah lima tahun. Jadi ini yang kita coba fokuskan, Pak Gunawan. Sebab kendati ada banyak penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena kurangnya persiapan. Jadi ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui apalagi menyelesaikan tugas berpacaran. Nah, akhirnya kurangnya persiapan inilah yang membuahkan masalah yang kalau tidak terselesaikan akan merenggangkan relasi pernikahan.
GS : Iya. Tapi memang karena jumlah orang bertambah banyak, secara otomatis masalahnya bertambah kompleks, termasuk di dalam pernikahan. Sehingga mau tidak mau, yang dikatakan perceraian meningkat itu apakah bukan karena jumlah penduduk yang terus bertambah ini, Pak Paul ?
PG : Memang sudah tentu dengan semakin banyaknya orang, angka perceraian juga
akan bertambah. Tapi biasanya memang kita menggunakan rasio atau perbandingan, Pak Gunawan. Misalkan seperti di Amerika Serikat dikatakan, satu dari tiga pernikahan berakhir dengan perceraian. Jadi bukan hanya secara jumlah, tapi secara perbandingan, itu memang angka yang tinggi sekali.
GS : Kalau menyelesaikan tugas di dalam berpacaran, memang kesulitan juga dengan waktunya, Pak Paul. Orang masing-masing punya kesibukannya, baik si wanita maupun si pria. Sehingga mereka mengatakan, Ya nanti saja kita selesaikan setelah menikah. Begitu, 'kan masih ada budaya orang didesak untuk menikah.
PG : Ini memang berpengaruh di dalam budaya kita di Indonesia, Pak Gunawan. Adanya tekanan itu sehingga akan ada orang yang memang berpendapat lebih baik menikah kemudian bercerai daripada sama sekali tidak menikah. Sebab kalau tidak menikah sama sekali itu memalukan. Jadi keluarga cenderung mendesak anaknya pokoknya menikah saja. Nanti itu urusan nanti. Tapi orang lupa, kalau sudah terjadi perceraian, dampaknya ini bukan saja menimpa dua orang, tapi juga menimpa anak-anak mereka. Jadi ini akan menimbulkan bekas dan luka dalam hati begitu banyak orang yang nanti akan mereka bawa ke dalam pernikahan mereka sendiri. Jadi masalah ini akan terus berkembang biak dan ini mulai kita lihat di generasi sekarang ini. Tadi sudah saya singgung, dewasa ini ada begitu banyak pernikahan muda atau pasangan muda yang mengalami masalah dalam pernikahan mereka, sebab di masa lampau biasanya kalau sudah di usia paro baya lah baru mengalami masalah. Kenapa sekarang begitu banyak pasanagn muda kok sudah mengalami masalah ? Sebab salah satu penyebabnya adalah mereka buah dari keluarga yang sudah retak itu. Efeknya itu benar-benar seperti piramida, Pak Gunawan. Di atas kecil, mengerucut. Semakin ke bawah semakin ke bawah semakin membesar. Sebab sekali lagi, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berantakan dan tak lagi utuh, nanti ke dalam pernikahan mereka akan membawa luka-luka itu dan nanti mereka akan tidak siap untuk menikah, tidak siap untuk menyelesaikan masalah. Dan itu akan memudahkan mereka untuk menyerah dan akhirnya bercerai. Jadi benar-benar efeknya itu akan terus membesar dan semakin besar.
GS : Tetapi katakan pernikahan itu sudah dipersiapkan, seperti di gereja ada persiapan sebelum pernikahan, Pak Paul. Tapi nyatanya juga perceraian terjadi juga di kalangan orang-orang Kristen.
PG : Betul. Kita tidak bisa berkata gara-gara mereka telah belajar, kita telah mempersiapkan mereka, maka mereka juga akan lebih mampu melanggengkan pernikahan itu. Belum tentu, ya. Memang tidak ada jaminan. Tapi saya percaya persiapan-persiapan itu akan menolong. Setidaknya mereka lebih bisa mengenali potensi masalah dan dari awal sudah mulai berusaha menyelesaikannya. Ini lebih baik dari pada sama sekali buta, tidak tahu apa-apa kemudian masuk ke dalam pernikahan, nah tanpa persiapan bagaimana menyelesaikannya dan tanpa kesiapan menerima walau ada masalah seperti ini, saya kira itu memang akan membuat mereka lebih sulit menyelesaikannya. Jadi tujuannya kita mau mengangkat hal ini, mudah-mudahan para pendengar yang berusia muda dan belum menikah bisa mulai melihat dengan jelas apakah ada kecocokan di dalam hal seperti ini. Sebab kalau memang tidak ada, cobalah untuk dievaluasi ulang apakah ini sesuatu yang bisa diteruskan atau tidak.
GS : Kalau begitu, tugas-tugas apa yang perlu dilakukan sementara dalam masa pacaran itu, Pak Paul ?
PG : Yang pertama, kita mau membagi masa berpacaran itu ke dalam tiga fase, Pak Gunawan. Jadi ada tiga tugas yang mesti kita selesaikan. Pertama adalah fase ketertarikan, kedua adalah fase kecocokan dan yang ketiga adalah fase kesiapan. Nah, setiap fase itu ada tugas-tugas yang mesti diselesaikan. Coba kita perhatikan satu per satu. Yang pertama adalah fase ketertarikan. Acapkali faktor pertama yang mendekatkan kita dengan pasangan adalah ketertarikan, Pak Gunawan. Biasanya kita melihat, bertemu, berjumpa seseorang, kita tertarik. Biasanya kita tertarik pada dua unsur, yaitu jasmaniah dan emosional. Jadi yang pertama biasanya jasmaniah, yaitu penampilan. Mungkin kita melihat adanya hal-hal tentang dirinya yang kita sukai. Misalnya orangnya tinggi, kulitnya coklat atau kulitnya putih, hidungnya mancung, atau apa saja. Jadi ada sesuatu tentang penampilannya yang membuat kita tertarik kepadanya. Biasanya yang terjadi begini, dalam bayangan kita sewaktu kita bertemu dengan dia, nah kita berkata secara fisik dia adalah sosok yang kita dambakan atau memenuhi syarat. Sebab di dalam diri kita itu sebelum bertemu dengan seseorang, kita sudah punya kriteria. Itu sebabnya kita tidak tertarik dengan setiap orang. Tidak. Kita tertarik hanya dengan orang tertentu. Kenapa kita hanya tertarik dengan orang-orang tertentu ? Sebab kita sudah punya gambarannya, orang seperti inilah yang kita dambakan. Nah, sewaktu kita berjumpa dengan orang itu, tertariklah kita. Nah, kalau boleh saya simpulkan, ketertarikan fisik ini dapat kita ringkaskan dalam satu kalimat yaitu Dia menarik perhatian saya. Biasanya itu yang kita katakan.
GS : Itu bisa terjadi ketika dua orang itu belum saling mengenal, Pak Paul. Tapi kalau sudah saling mengenal kebanyakan orang justru tertarik karena emosionalnya lebih dahulu baru kemudian fisiknya menyusul belakangan, Pak Paul.
PG : Bisa. Seringkali ini bisa silih berganti atau tumpang tindih. Bisa sekaligus dua- duanya ada ketertarikan emosional dan ketertarikan fisik, bisa juga didahului oleh ketertarikan emosional. Yang kita akan bahas nanti, ya. Namun satu hal yang mau saya garis bawahi supaya jangan sampai kita ini malu ya, yaitu tidak apa-apa mengakui bahwa kita tertarik kepada penampilan fisik seseorang, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita orang Kristen merasa enggan mengakui atau malu mengakui bahwa kita tertarik kepada penampilan fisik seseorang. Sebetulnya tidak perlu malu ya, sebab bukan saja tidak salah, tetapi justru ini wajar dan baik ya. Bukankah baik dan sehat bila kita menyukai dan dapat menikmati penampilan fisik seseorang. Jadi kita mesti mengingat bahwa pernikahan yang sehat didasari oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah kekaguman dan kepuasan jasmaniah. Jadi tidak salah mengakui, Ya saya suka dengan penampilannya, saya suka dengan wajahnya dan sebagainya.
GS : Iya. Itu seringkali terjadi karena pengajaran-pengajaran yang selalu menekankan, Tidak usah pedulikan fisiknya 'kan ajaran Alkitab mengatakan tidak perlu
memperhatikan yang luarnya, yang penting itu ada inner beauty di dalam diri orang itu. Sehingga orang kurang memperhatikan penampilan fisik, Pak Paul.
PG : Iya. Akan tetapi kita lupa bahwa ini adalah bagian dari pernikahan ya. Pernikahan ini 'kan bukan hanya menyukai kerohanian, karakter, tapi juga salah satunya adalah menyukai penampilan fisik seseorang. Saya berikan contoh di Alkitab, waktu akhirnya budaknya Abraham, Eliezer, membawa pulang Ribka, dikatakan begitu Ishak melihatnya, Ishak langsung jatuh cinta atau menyukainya. Ishak belum mengenal. Tidak tahu karakternya seperti apa dan sebagainya. Tapi, ia langsung menyukai. Nah, bisa kita simpulkan dia menyukai penampilan Ribka. Dan memang setelah menikah juga ketahuan bahwa karakternya Ribka juga baik dan sebagainya jadi mereka cocok. Tapi poinnya adalah tidak apa-apa tertarik pada seseorang pada awal itu atas dasar penampilan fisiknya.
GS : Tapi 'kan memang betul kalau dikatakan kalau kecantikan luar itu bersifat semu dan sementara. Sekarang mungkin memang cantik, nanti setelah menikah beberapa tahun kemudian setelah melahirkan akan menjadi gemuk dan sebagainya. Nah itu 'kan memang sementara sifatnya, Pak Paul.
PG : Betul. Makanya kita mau menempatkan ini pada perspektif yang tepat, yaitu boleh dan tidak mengapa tertarik pada penampilan fisik seseorang, tapi janganlah jadikan itu sebagai penentu atau dasar relasi kita dengan dia. Yang bertalian erat dengan ketertarikan fisik adalah ketertarikan emosional, ya Pak Gunawan. Nah, yang saya maksud disini adalah kita merasa kalau dekat dengan dia tenang, nyaman, ceria atau kita merasa dekat dia lebih terarah. Singkat kata, ketertarikan secara emosional adalah sebuah perasaan nyaman dan dapat diringkaskan dalam satu kalimat, Dia membuat saya ... begitu. Jadi, sekali lagi saya mau garis bawahi, sama seperti ketertarikan fisik, ketertarikan emosional adalah sesuatu yang baik dan wajar, tidak salah sama sekali. Kenyataan kita merasa tenang bersamanya, merasa aman, bersemangat atau lainnya, memerlihatkan ada sesuatu tentang dirinya yang memberi kita rasa nyaman. Jadi silakan perhatikan reaksi awal ini. Dan kenalilah perasaan yang timbul tatkala bersamanya dan jadikan ini salah satu pertanda apakah kita dapat atau tidak dapat meneruskan relasi ini.
GS : Ini ada kaitannya dengan kepribadian seseorang atau tidak, Pak Paul ?
PG : Saya kira ada. Ada kepribadian tertentu yang memang kita sukai akan membuat kita merasa nyaman atau tentram, begitu Pak Gunawan. Sudah tentu ini berkaitan dengan perilaku orang tersebut. Jadi ada hal-hal tertentu yang orang itu lakukan yang begitu kita dekat dengan dia kita merasa pas, kita merasa tenang. Ini yang saya maksud dengan ketertarikan emosional.
GS : Itu akan berkembang terus atau hanya sekali saja orang tertarik dengan kelebihan emosional itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu memang nantinya akan ada turun naiknya, bisa hilang bisa ada lagi, karena memang bergantung pada situasi yang sedang kita hadapi dan juga tergantung pada kualitas hubungan kita dengan dia. Nah, namun kita sekali lagi tidak salah memerhatikan reaksi awal ini, ketertarikan emosional ini. Tidak salah.
Tapi saya juga mau garis bawahi supaya nantinya kita tidak menjadikan ini sebagai pegangan kita satu-satunya. Berkaitan dengan hal ini saya mau mengingatkan ada dua hal yang mesti kita waspadai. Yang pertama adalah mengabaikan faktor ketertarikan. Misalnya kita menyimpulkan bahwa, Oh, tidak apa tidak ada ketertarikan baik fisik ataupun perasaan, emosional. Tidak apa mengabaikan rasa tidak aman atau cemas berada di dekatnya. Nah, kita tidak boleh mengabaikan faktor ketertarikan baik fisik maupun emosional sebab hal ini adalah pertanda awal yang penting. Sebagai contoh, jika sejak awal kita tidak pernah mengagumi penampilan fisik pasangan kita apalagi menikmatinya, besar kemungkinan kita akan membawa respons yang dingin ini ke dalam pernikahan. Nah, dapat diduga, setelah pernikahan kita akan bersikap pasif terhadapnya secara jasmaniah dan hal ini akan merenggangkan relasi pernikahan. Juga, saya sambung dengan ketertarikan emosional, apabila kita merasa takut atau setidaknya merasa tidak aman, sebaiknya kita mempertimbangkan ulang kelanjutan relasi ini. Jangan abaikan sinyal instingtif ini. Sebab mungkin saja ada sesuatu tentang dirinya yang membuat kita tegang dan tidak aman. Jadi ada orang yang dari awal waktu bersama dengan baik pria ini maupun dengan wanita ini justru perasaannya kurang begitu aman. Ada sesuatu yang membuat mereka seperti terancam. Ada yang mengabaikan, Oh tidak usah didengarkan lah, tidak apa-apa lah. Saya pikir reaksi-reaksi awal ini kalau kita dekat dengan dia kok kita merasa tidak aman, kita harus dengarkan dan tanya, kenapa ? Ada kalanya misalnya sebagi contoh, memang di dalam diri seseorang itu ada bibit kemarahan yang besar. Ini yang kita tangkap, ini yang membuat kita ketika dekat dengan dia sudah tidak aman. Perlu kita perhatikan, jangan kita abaikan reaksi-reaksi awal ini.
GS : Memang dibandingkan dengan kecantikan atau masalah fisik seseorang, emosi itu
'kan labil sekali, Pak Paul. Kadang kita bisa melihat seseorang ini marah, lain kali melihatnya sabar sekali dan seterusnya. Tapi kalau fisik 'kan lebih permanen.
PG : Memang kita tidak bisa langsung memutuskan atas dasar satu perjumpaan dan satu reaksi. Tidak bisa. Tapi yang saya minta kita perhatikan. Kita perhatikan, sebab dalam pelayanan saya, misalkan waktu saya bicara dengan korban kekerasan fisik dalam rumah tangga, cukup banyak di antara mereka yang mengakui bahwa hal ini sebetulnya sudah mulai mereka sadari sejak masa berpacaran. Tapi pada saat itu tidak terjadi pemukulan, tidak. Namun mereka mengakui bahwa ada beberapa kali itu terjadi letupan-letupan emosi yang kuat. Dan sebetulnya, si korban ini sudah merasa tidak aman. Jadi jarang ya, saya juga tidak ingat ada yang berkata saya tidak menyadari hal itu. Jadi kebanyakan orang dari awalnya sudah menyadari. Tahunya dari mana ? Dari rasa tidak aman itu. Atau yang lain yang tidak usah tentang rasa tidak aman adalah misalkan si pria ini bersama dengan wanita ini dan dia dari awal sudah merasa susah sekali untuk mengatur si wanita ini. Sepertinya dia kalau bicara dibantah lagi, dia kalau mau bicara harus dipikirkan matang-matang sebab kalau dia bicara dia yang harus mengalah lagi, atau dia salah lagi. Jadi dengan kata lain, sejak awal dia sudah
merasa frustrasi tidak bisa mengendalikan pacarnya ini. Nah, hal seperti ini justru membuat dia merasa kurang nyaman. Ini yang saya maksud dengan masalah- masalah yang muncul di awal atau reaksi-reaksi awal yang perlu kita perhatikan. Nah, kalau kita abaikan, saya kira nantinya kita akan temukan bahwa reaksi ini memang benar.
GS : Kalau ada sekelompok orang yang memang kurang memperhatikan faktor-faktor seperti itu Pak Paul, tapi ada sekelompok lain yang terlalu menekankan faktor- faktor itu sehingga akhirnya dia tidak kunjung menikah.
PG : Ekstrem yang satu ini. Jadi kita jangan sampai melebih-lebihkan faktor ketertarikan ini. Misalnya ya, begitu tertariknya kita pada penampilannya sehingga tanpa pikir panjang kita langsung memutuskan untuk menikah dengannya. Ada orang-orang yang begini, Pak Gunawan. Mungkin ada yang berdalih pastinya hal- hal seperti itu bisa diselesaikan dengan sendirinya, terpenting kita saling menyukai. Nah, saya mau tegaskan. Ketertarikan fisik adalah sebuah faktor yang penting. Namun ada sejumlah faktor lainnya yang mesti diperhatikan untuk membangun sebuah relasi pernikahan yang sehat. Jadi jangan dasarkan keputusan kita hanya atas dasar ketertarikan fisik, jangan ya. Yang berikut yang sama yaitu kita melebih-lebihkan ketertarikan emosional. Ada yang memutuskan langsung menikah, karena berkata oh dia itu membuat saya merasa nyaman, aman, tentram, dan sebagainya. Dengan kata lain, kalau kita melebih-lebihkan faktor ketertarikan emosional ini kita sebetulnya menyamakan ketertarikan emosional dengan kecocokan. Nah, sebagaimana kita lihat keduanya tidak sama ! Kecocokan itu memerlukan upaya yang lama dan panjang untuk bisa menyesuaikan. Jadi penting bagi kita untuk tidak bertindak gegabah pada awal ini. Jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa kita serasi dan siap menikah. Beri waktu yang panjang kepada relasi untuk berproses secara alamiah. Memang kenyataan ada sesuatu tentang dirinya yang membuat kita merasa nyaman adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Tetapi kita pun tahu bahwa perasaan nyaman ini bukanlah satu- satunya faktor yang diperlukan untuk membangun satu relasi yang kuat. Jadi jangan langsung mengambil keputusan sebelum kita benar-benar menjalani proses yang lebih panjang lagi.
GS : Tapi itu memang menjadi suatu pertimbangan yang sulit, Pak Paul, karena pasangan ini juga didesak oleh banyak orang di sekelilingnya. Misalnya dari pihak wanita. Kalau dia sudah pacaran lebih dari satu tahun, orang tuanya bilang
Tanyakan keseriusan calonmu itu bagaimana, kok sampai sekarang tidak ada ditanyakan ya tidak. Itu 'kan pihak perempuan jadi gelisah. Sehingga ini membuat orang harus mengambil keputusan secara cepat. Walaupun mungkin belum tentu tepat.
PG : Iya. Apalagi kalau kita sebagai orang tua ya, kita harus ingat bahwa yang penting bukanlah menjaga nama baik, yang penting adalah menjaga masa depan yang baik. Jadi kadang kita sebagai orang tua, apalagi kalau kita punya anak perempuan ya, mau jaga nama baik. Sudahlah, sembaranganlah, silakanlah. Kamu jangan
terlalu milih-milih. Tidak ada pria yang sempurna, dia sudah cukup baik, cepat- cepatlah. Apalagi jika kita sudah suka orang itu, kita desak-desak orang itu untuk langsung mengambil anak kita sebagai istrinya karena sebetulnya kita lebih peduli dengan nama baik. Kita mesti ingat yang terlebih penting dari nama baik adalah masa depan yang baik. Kenapa kita kok tidak memikirkan baik-baik bahwa tindakan gegabah ini justru akan membuat anak kita sengsara nantinya ? Bukankah ini kerugian yang lebih besar ? Jadi kita sebagai orang tua jangan sampai menceburkan anak ke dalam problem yang besar itu.
GS : Apakah di Alkitab ada contoh sehubungan dengan hal ini, Pak Paul ?
PG : Di Alkitab dicatat sebuah kisah tragis yang menimpa keluarga Raja Daud, Pak Gunawan. Peristiwa ini dapat kita baca dalam 2 Samuel 13. Daud memunyai seorang putra bernama Amnon. Amnon ini tertarik dengan seorang gadis, bernama Tamar. Masalahnya Tamar adalah adiknya sendiri, seayah tapi berlainan ibu! Nah untuk membuat Tamar datang ke kamarnya, Amnon pun berpura-pura sakit. Singkat kata, Amnon berhasil membujuk Daud, ayahnya, untuk menyuruh Tamar datang ke kamarnya menyiapkan makan baginya. Di saat itulah dia mengajak Tamar bersetubuh dengannya. Sewaktu Tamar menolak, Amnon memaksa dan memperkosanya. Di ayat 15 kita dapat membaca, Kemudian timbullah kebencian yang sangat besar pada Amnon terhadap gadis itu, bahkan lebih besar benci yang dirasanya kepada gadis itu dari pada cinta yang dirasanya sebelumnya. Amnon berpikir ia mencintai Tamar. Padahal ia tidak mencintai. Dia hanya menyukai Tamar. Jadi kesimpulannya, Amnon hanya mengalami ketertarikan kepada Tamar. Mungkin dia tertarik kepada penampilan Tamar, mungkin pula dia mengalami ketertarikan emosional. Yaitu Tamar membuatnya merasa nyaman. Namun sebagaimana kita lihat, ketertarikan fisik dan emosional hanya berlangsung singkat. Begitu ketertarikannya pudar, hilang pula rasa sukanya. Bahkan dalam kasus ini, Amnon menggantikan rasa suka itu dengan rasa benci. Biarkanlah relasi berkembang melewati waktu dan proses yang panjang. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Ingatlah bahwa hampir semua perasaan yang muncul pada tahap awal ini sebenarnya adalah bunga dari ketertarikan belaka. Kita harus membawa relasi ini menuju ke tahap selanjutnya yakni ke tahap kecocokan, Pak Gunawan.
GS : Dalam kasusnya Tamar, memang 'kan Tamar ini tidak berdaya ya, Pak Paul. Pada waktu itu, apalagi pada jamannya Daud ini, dia 'kan seorang yang tidak berdaya. Apalagi disuruh ayahnya untuk melayani saudaranya. Dia melakukan itu semua tanpa tahu akibatnya seperti ini, Pak Paul.
PG : Betul. Dia benar-benar korban yang malang sekali. Dia sama sekali tidak mengerti apa-apa. Memang yang sangat jahat adalah Amnon. Namun awalnya Amnon sungguh-sungguh berpikir dia jatuh cinta, tapi kenyataannya itu hanyalah sebuah ketertarikan. Itu sebab begitu dia sudah mendapatkan yang dia inginkan, ketertarikan itu langsung pudar dan digantikan oleh kebencian. Maka saya juga mau menitipkan pesan kepada para pendengar kita, jangan terlalu tergesa-gesa
ya. Berilah waktu supaya relasi ini berkembang secara alamiah. Sebab yang terjadi di awal relasi itu semuanya adalah ketertarikan. Dan kita tidak bisa mendasari pernikahan atas ketertarikan.
GS : Tapi apakah memang memungkinkan seseorang berubah dalam sekejap seperti itu, Pak Paul?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Karena memang modalnya hanya ketertarikan, bisa sekali berubah. Contoh yang paling klasik adalah pada waktu cinta kita ditolak. Ada orang yang langsung bisa berubah, mengamuk, mau membunuh orang itu dan itu kejadian dimana-mana. Sebetulnya itu bukan cinta. Sebab kalau kita cinta, kita tidak mau membunuh orang yang kita cintai, meskipun kita ditolak olehnya.
GS : Terima kasih, Pak Paul, atas perbincangan ini. Dan seperti yang tadi Pak Paul katakan ini masih akan dilanjutkan pada tahap yang berikutnya. Namun para pendengar sekalian Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Tugas dalam Berpacaran bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e- mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Perceraian tidak terjadi di masa sekarang ini saja; di masa lampau pun ada pasangan nikah yang bercerai. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah angka perceraian di masa sekarang jauh melampaui masa sebelumnya. Justru di masa di mana ceramah dan buku tentang pernikahan berlipat ganda, di saat itu pulalah angka perceraian terus meningkat. Yang memprihatinkan adalah, perceraian tidak saja menerpa pasangan paro-baya tetapi juga pasangan muda, yang usia pernikahannya masih di bawah lima tahun. Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Singkat kata, ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui--apalagi menyelesaikan--tugas berpacaran. Berikut ini akan dibahas beberapa tugas berpacaran yang mesti diperhatikan dengan saksama guna membangun relasi nikah yang kuat.
Ketertarikan
Pada dasarnya ada tiga hal atau fase yang seyogianya dilalui: (a) ketertarikan, (b) kecocokan, dan (c) kesiapan. Acap kali faktor pertama yang mendekatkan kita dengan pasangan adalah KETERTARIKAN. Pada tahap awal ini biasanya ketertarikan didasari atas dua unsur: JASMANIAH dan EMOSIONAL. Meski tidak selalu, namun pada umumnya kita tertarik dengan penampilannya. Ketertarikan fisik ini dapat diringkas dalam satu kalimat, Dia menarik perhatian saya. Adakalanya sebagai orang Kristen kita merasa enggan atau malu mengakui bahwa kita tertarik kepada penampilan fisik seseorang. Sesungguhnya kita tidak perlu malu sebab hal ini bukan saja tidak salah tetapi justru wajar dan baik. Ingat, pernikahan yang sehat didasari oleh sejumlah faktor; salah satunya kekaguman dan kepuasan jasmaniah.
Selain dari ketertarikan fisik, biasanya yang mendekatkan kita dengan pasangan adalah ketertarikan emosional. Mungkin kesan awal kita adalah, bersama dengannya kita merasa tenang atau merasa ceria atau lebih terarah, dan sebagainya. Singkat kata ketertarikan emosional adalah sebuah perasaan nyaman. Sama seperti ketertarikan fisik, ketertarikan emosional adalah sesuatu yang baik dan wajar. Kenyataan kita merasa tenang, aman, bersemangat atau lainnya, memperlihatkan ada sesuatu tentang dirinya yang memberikan kepada kita perasaan nyaman. Jadi, silakan perhatikan reaksi awal ini dan kenalilah perasaan yang timbul tatkala bersamanya. Jadikan ini salah satu pertanda apakah kita dapat atau tidak meneruskan relasi ini.
Sekarang marilah kita berhenti sejenak. Pada tahap awal ada dua hal yang mesti kita waspadai.
(1) MENGABAIKAN FAKTOR KETERTARIKAN. Misalkan kita menyimpulkan tidak apa tidak ada ketertarikan fisik atau tidak apa mengabaikan perasaan tidak aman atau cemas berada dekatnya. Kita tidak boleh mengabaikan faktor ketertarikan--baik itu fisik maupun emosional--sebab hal ini adalah pertanda awal yang penting. Sebagai contoh, jika sejak awal kita tidak pernah mengagumi penampilan fisiknya--apalagi menikmatinya--besar kemungkinan kita akan membawa respons yang dingin ini ke dalam pernikahan. Dapat diduga, setelah pernikahan kita akan bersikap pasif terhadapnya secara jasmaniah dan hal ini akan merenggangkan relasi pernikahan. Juga, apabila kita merasa takut--atau setidaknya merasa tidak aman, sebaiknya kita mempertimbangkan ulang kelanjutan relasi ini. Jangan abaikan sinyal instingtif ini sebab mungkin saja, ada sesuatu tentang dirinya yang membuat kita tegang dan tidak aman.
(2) MELEBIH-LEBIHKAN FAKTOR KETERTARIKAN. Begitu tertariknya kita kepada penampilannya, sehingga tanpa pikir panjang kita langsung memutuskan untuk menikah dengannya. Mungkin kita berdalih, hal lain pasti bisa beres dengan sendirinya, terpenting adalah kita saling menyukai. Ketertarikan fisik adalah sebuah faktor yang penting namun ada sejumlah faktor lainnya yang mesti diperhatikan untuk membangun sebuah relasi pernikahan yang sehat. Jadi, jangan dasarkan keputusan kita hanya atas dasar ketertarikan fisik.
Adakalanya kita langsung memutuskan untuk menikah hanya atas dasar, dia membuat kita merasa nyaman. Dengan kata lain, kita menyamakan ketertarikan emosional dengan kecocokan. Sebagaimana akan kita lihat, keduanya tidak sama. Jadi, penting bagi kita untuk tidak bertindak gegabah pada tahap awal ini. Jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa kita serasi dan siap menikah. Berilah waktu yang panjang kepada relasi untuk berproses secara alamiah. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Ingatlah bahwa hampir semua perasaan yang muncul pada tahap awal ini sebenarnya adalah bunga dari ketertarikan belaka. Kita harus membawa relasi ini menuju ke tahap selanjutnya yakni tahap kecocokan.
Kecocokan
Faktor kedua setelah ketertarikan adalah kecocokan. Ada dua hal penting yang mesti kita ketahui tentang fase ini.
(1) KITA HANYA DAPAT MASUK DAN MELEWATI FASE KECOCOKAN SETELAH KITA MELALUI FASE SEBELUMNYA YAITU KETERTARIKAN. Dalam pengertian, perasaan kuat yang kita rasakan terhadap penampilan fisiknya dan perasaan nyaman berada di dekatnya mestilah lebih stabil dan tidak lagi meluap-luap. Dengan kata lain, apabila kita masih berada di fase ketertarikan--mengagumi penampilan fisik dan merasakan kenyamanan bersama dengannya secara menggebu-gebu--kita tidak dapat masuk ke fase kecocokan. Alasannya adalah karena kita belum dapat melihat pasangan secara obyektif, utuh dan jernih. Seluruh perhatian kita masih tersedot ke arah penampilan fisik dan mata hati kita masih terfokus pada rasa nyaman yang kita alami bersamanya. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menjaga batas fisik selama berpacaran. Bila kita terlibat secara fisik dengan pasangan, maka tidak bisa tidak, hal ini akan menghambat kita masuk ke tahap kecocokan. Akhirnya kita gagal menyelesaikan tugas berpacaran. Walaupun kita telah berpacaran selama bertahun-tahun, sebenarnya kita tetap masih berada di tahap ketertarikan. Tidak heran masalah mulai bermunculan setelah pernikahan. Kita beranggapan bahwa kita sudah siap menikah karena sudah berpacaran untuk waktu yang lama. Padahal waktu yang lama tidak menjamin bahwa kita sudah melewati fase ketertarikan, apalagi bila kita telah terlibat secara fisik dengan pasangan. Jadi, jagalah batas fisik dan peliharalah kekudusan. Sebab, kekudusan membuka jalan bagi kita masuk ke dalam tahap kecocokan.
(2) Ini adalah FASE YANG TERSULIT DAN TERPANJANG. Pada fase inilah kita mesti bekerja keras melihat diri secara realistik--baik itu diri pasangan maupun diri sendiri--dan menyesuaikan diri dengan satu sama lain agar dapat hidup bersama. Pada akhirnya di fase inilah kita harus menilai secara jujur dan tepat apakah memang kita mempunyai banyak kecocokan yang dapat kita bawa masuk ke dalam pernikahan. Singkat kata, tahap kecocokan adalah tahap di mana relasi akhirnya berdiri dengan tegak dan berjalan maju atau sebaliknya, justru tumbang dan terputus.
Kecocokan Rohani
Ada beberapa hal tentang kecocokan yang mesti kita perhatikan. Pertama adalah kecocokan rohani yang terurai dalam beberapa komponen yaitu (a) kesamaan iman dalam Kristus, (b) kesamaan komitmen kepada Kristus, dan (c) kesamaan panggilan hidup bagi Kristus. Sekilas ketiganya tampak terpisah namun sesungguhnya ketiganya saling terkait. Sebelum dijelaskan, mari kita baca terlebih dahulu ayat yang mendasari pemikiran ini, 2 Korintus 6:14, Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab, persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
Dengan jelas dapat kita lihat di sini bahwa Firman Tuhan mengkategorikan berpasangan dengan orang yang tidak percaya pada Kristus sebagai pasangan yang tidak seimbang. Sebenarnya kata yang digunakan oleh Paulus di sini berasal dari istilah pertanian yakni mengikatkan sepasang kerbau di bawah satu kuk-- supaya keduanya dapat berjalan seiring sewaktu membajak sawah. Singkat kata,, tidak seimbang berarti tidak dapat berjalan bersama sehingga pada akhirnya tidak dapat membajak sawah. Dapat kita bayangkan bahwa dua kemungkinan mengapa kedua hewan ini tidak dapat berjalan bersama adalah (a) bila salah satu dari keduanya bukanlah lembu atau (b) salah satu dari lembu itu berukuran tubuh jauh berbeda dari yang satunya. Dengan kata lain, penyebab mengapa keduanya menjadi pasangan yang tidak seimbang adalah dikarenakan adanya PERBEDAAN di antara mereka. Inilah latar belakang penggunaan istilah tidak seimbang yang digunakan Paulus di sini. Berpasangan dengan bukan sesama orang yang percaya pada Kristus akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang serius di dalam perjalanan hidup bersama.
Mungkin ada di antara kita yang tidak setuju dan berkata, Bukankah ada begitu banyak pasangan tidak seiman yang hidup bersama dengan harmonis? Sudah tentu pengamatan ini betul, dalam pengertian ada banyak pasangan yang tidak seiman hidup harmonis dan ada banyak pasangan yang seiman, justru hidup tidak harmonis. Pada kenyataannya memang keharmonisan rumah tangga dibangun di atas sejumlah faktor, bukan hanya faktor rohani. Namun, kenyataan bahwa Paulus menekankan bahwa ketidaksamaan iman akan mengakibatkan ketidakseimbangan, itu menunjukkan bahwa kesamaan iman adalah suatu hal yang penting. Begitu pentingnya sehingga jika tidak ada, maka hal ini akan menyebabkan gangguan dalam perjalanan hidup bersama. Nah, di sinilah kita melihat keterkaitan erat antara 3 komponen tersebut di atas. Kesamaan iman hanya akan menjadi sesuatu yang penting bila kita memiliki komitmen yang dalam kepada Kristus dan mempunyai panggilan hidup yang jelas bagi Kristus. Sebab, tidak mungkin bagi kita hidup bersama bagi Kristus jika pasangan tidak mempunyai iman yang sama dengan kita. Dan, tidak mungkin kita bersama menyerahkan hidup kepada kehendak dan pekerjaan Kristus, bila pasangan tidak mempunyai kesamaan iman dalam Kristus. Singkat kata, faktor kecocokan rohani mutlak diperlukan bagi kita untuk dapat hidup bersama bagi Kristus dan bersama-sama melayani Kristus. Jika berpasangan dengan yang tidak seiman, kita mungkin masih dapat hidup dan melayani Kristus tetapi sudah tentu, kita tidak dapat melakukannya bersama-sama. Di dalam hal ini relasi nikah akan mengalami kepincangan. Jika kita berpasangan dengan yang tidak seiman, besar kemungkinan kita akan terbawa arus dan akhirnya kita tidak lagi mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati. Perjalanan hidup bersama melayani Tuhan pun terhenti.
Tugas Dalam Berpacaran II|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T388B|T388B|Pranikah/Pernikahan|Audio|Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah angka perceraian di masa sekarang jauh melampaui masa sebelumnya.Yang memprihatinkan adalah, perceraian tidak saja menerpa pasangan paro-baya tetapi juga pasangan muda, yang usia pernikahannya masih di bawah lima tahun. Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Berikut ini akan dibahas dua tugas atau fase dalam berpacaran yang mesti diperhatikan dengan saksama guna membangun relasi nikah yang kuat, yaitu fase ketertarikan dan fase kecocokan.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T388B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu yaitu tentang Tugas dalam Berpacaran. Jadi ini merupakan bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sejak kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang tugas dalam berpacaran. Nah, kita masih akan melanjutkan perbincangan ini. Namun supaya para pendengar kita bisa mempunyai gambaran tentang apa yang pernah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau, mungkin Pak Paul bisa secara cepat mengulas kembali.
PG : Jadi yang menjadi alasan kenapa kita mengangkat masalah ini adalah karena kita
melihat makin banyak saja masalah dalam pernikahan dan tidak jarang berakhir dengan perceraian yang menimpa kalangan kawula muda atau pasangan- pasangan muda. Kalau di masa lampau yang mengalami konflik dan akhirnya perceraian adalah orang-orang yang berusia paro baya, tapi sekarang ini kok rasanya makin banyak saja yang masih muda akhirnya juga bercerai. Akhirnya kita simpulkan bahwa duduk masalahnya adalah kurangnya persiapan dalam masa berpacaran. Jadi kita mau bahas hal-hal apakah yang mesti dilakukan, difokuskan di dalam masa berpacaran. Pada kesempatan lampau kita telah fokuskan pada satu aspek yaitu bahwa di awal atau pada masa-masa kita baru berkenalan dengan pasangan, kita sebetulnya melewati sebuah fase ketertarikan. Kita tertarik dengan penampilan fisik, kita tertarik dengan hal-hal yang bersifat emosional, orang itu membuat kita nyaman, kita senang, kita kok gembira dekat dia. Nah, hal-hal itu yang biasanya kita gunakan nanti untuk melanjutkan relasi ini ke tahapan selanjutnya. Tapi kita juga tekankan, jangan gara-gara ada rasa nyaman dan suka tentang penampilan fisiknya, kita memutuskan untuk langsung menikah dengan dia. Itu keliru besar! Kita harus membiarkan relasi kita ini berkembang secara alamiah melewati proses yang lebih panjang. Tahapan berikutnya yang akan kita bahas sekarang adalah tahapan kecocokan. Dan ini memang agak panjang.
GS : Masalah kecocokan ini terkadang dicocok-cocokkan, Pak Paul. Kalau memang sudah senang di masa berpacaran itu ya memang agak 'buta', sehingga yang mestinya tidak cocok itu dicocok-cocokkan. Itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Ini memang sering terjadi, Pak Gunawan. Jadi karena sudah terlanjur tertarik secara fisik, emosional, sudahlah anggap gampanglah. Kalau ada perbedaan tidak apalah, nanti bisa dicocokkanlah. Yang penting keduanya sudah saling mencintai.
Nah, ini keliru ya! Jadi kita tidak boleh memaksakan atau mencocok-cocokkan sebelum memang relasi itu sendiri mencapai titik kita benar-benar mengalami kecocokan. Maka saya mau angkat ada dua hal penting yang mesti kita ketahui tentang fase kecocokan ini, Pak Gunawan. Pertama, kita hanya dapat masuk dan melewati fase kecocokan setelah kita melalui fase sebelumnya, yaitu ketertarikan. Dalam pengertian perasaan kuat yang kita rasakan terhadap penampilan fisiknya dan perasaan nyaman berada di dekatnya mestilah lebih stabil dan tidak lagi meluap-luap. Dengan kata lain, apabila kita masih berada di fase ketertarikan, kita mengagumi penampilan fisiknya, merasakan kenyamanan bersama dengannya secara menggebu-gebu, kita tidak dapat masuk ke dalam fase kecocokan. Alasannya kenapa ? Karena kita belum dapat melihat pasangan secara objektif, utuh dan jernih. Seluruh perhatian kita masih tersedot ke arah penampilan fisiknya dan mata hati kita masih terfokus pada rasa nyaman yang kita alami bersamanya. Nah, sedangkan syarat untuk dapat masuk ke dalam fase kecocokan adalah kita mesti bisa melihat pasangan secara utuh, objektif dan jernih. Itu sebab pentingnya bagi kita menjaga batas fisik selama berpacaran. Bila kita terlibat secara fisik dengan pasangan, maka tidak bisa tidak, hal ini akan menghambat kita masuk ke tahap kecocokan. Akhirnya kita gagal menyelesaikan tugas berpacaran. Walaupun kita telah berpacaran selama bertahun-tahun, sebenarnya kita tetap masih berada di tahap ketertarikan. Tak heran, masalah-masalah muncul setelah pernikahan. Kita menganggap kita siap menikah karena sudah berpacaran selama waktu yang lama, padahal waktu yang lama tidak menjamin kita sudah melewati fase ketertarikan. Apalagi bila kita telah terlibat secara fisik dengan pasangan. Jadi ya jagalah batas fisik dan peliharalah kekudusan, sebab kekudusan akan membuka jalan bagi kita masuk ke dalam tahap kecocokan.
GS : Ya, yang Pak Paul maksudkan dengan melihat pasangan secara utuh, objektif dan jernih itu bagaimana ?
PG : Pada masa ketertarikan kita harus mengakui bahwa kita tidak bisa melihat pasangan secara utuh, objektif dan jernih. Sebab yang bermain adalah memang ketertarikan jasmaniah dan ketertarikan emosional. Kita tidak bisa masuk ke dalam tahap kecocokan kalau masih dikuasai oleh ketertarikan yang kuat itu. Maka kalau saya tadi berkata berilah waktu, berilah waktu. Sebab dengan kita memberi waktu, perasaan tertarik yang menggebu-gebu itu akan mulai mereda. Nah, waktu sudah mulai mereda, baru kita bisa melihat kekurangan dia, sifat dia yang kurang kita sukai, kita tidak suka dengan cara hidup yang begini atau begitu. Berarti kita melihat dia secara utuh, objektif dan jernih. Tidak lagi dikuasai oleh ketertarikan. Maka tadi saya tekankan, kita hanya bisa masuk ke tahap kecocokan apabila kita sudah melewati fase ketertarikan ini. Kalau masih dalam fase ketertarikan, emosi menggebu-gebu, kita tidak bisa melihat bahwa kita berbeda, kita mesti bereskan perbedaan kita, kita tidak akan pusingkan hal itu.
GS : Nah, itu harus terjadi bersama-sama antara si pria dan wanita atau bisa berbeda, Pak Paul ?
PG : Bisa berbeda, Pak Gunawan. Ini pertanyaan yang baik sekali. Jadi biasanya ada yang sudah menyadari kita kok berbeda, kita kok tidak cocok, kita kok ada masalah di sini. Ada yang masih 'buta', masih tertarik, masih dibuai oleh perasaan tertarik sehingga menggampangkan, tak apalah, yang penting kita saling mencintai. Nah, justru kalau ada yang lebih sadar, yang lebih sadar itu yang harus mengingatkan kepada pasangannya, Setop! Kita harus tunda, kita harus berhati- hati, jangan terburu-buru. Nah, makanya saya juga tekankan hati-hati dalam berhubungan secara fisik, karena begitu kita terlibat secara fisik atau seksual, sudah, proses yang kita harusnya lalui dalam proses tahap kecocokan itu tidak bisa kita lewati. Karena setiap kali ketemu hanya memikirkan tentang satu hal saja yaitu tentang hubungan seksual. Sudah, proses itu berhenti. Tidak jalan sama sekali. Maka, ini juga kenyataan, Pak Gunawan, kalau orang menikah karena dasarnya karena ketertarikan fisik, sudah berhubungan seksual, apalagi sudah hamil atau mau punya anak, itu hampir dapat dipastikan setelah menikah bermasalah. Ini benar-benar kenyataan, kalau memang dasarnya adalah ketertarikan fisik, sudah terlibat secara fisik, hampir dapat dipastikan bermasalah setelah menikah. Karena memang tidak pernah melewati fase kecocokan itu.
GS : Jadi tugas itu harus ditanggung bersama-sama antara pria dan wanita, Pak Paul ?
PG : Betul sekali ! Tapi saya mengerti betapa sulitnya kalau yang satu tidak mau. Karena sudah terlalu membabi buta. Yang satu yang lebih melek mata sudah melihat ini tidak bisa dan ini tidak cocok, tapi yang satu tidak bisa melihat, nah itu susah memang. Tapi penting, tadi sudah saya katakan dan sekarang mau saya katakan lagi, jaga batas! Sebab begini. Saya juga menyadari atau kita semua tahu ya, kalau sudah terlibat hubungan seksual, yang terjadi adalah yang satu akan menuntut, Tidak bisa, kamu harus bertanggung jawab. Nah, yang melek mata, ya karena sudah terlanjur berbuat, sebetulnya dia melihat relasi ini tidak beres dan kita tidak cocok, tapi karena terlanjur berbuat akhirnya menyerah dan menikah. Nah, akhirnya memang timpang sekali dan setelah menikah relasi itu tumbang.
GS : Tapi ini kelihatannya kontradiksi dengan perbincangan sebelumnya bahwa harus ada ketertarikan secara fisik, Pak Paul ?
PG : Betul. Tadi kita sudah tekankan harus ada ketertarikan secara fisik maupun
emosional dan jangan abaikan, ini adalah hal-hal yang baik dan sehat. Tapi jangan jadikan ini satu-satunya landasan. Ini adalah tahap pertama yang menuntun kita ke tahap berikutnya. Jadi biarkan proses ini berlangsung. Sebab ketertarikan fisik maupun emosional setelah melewati proses waktu dan tidak ada hubungan seksual, dengan sendirinya akan mereda. Tapi begitu masuk ke dalam hubungan seksual, ketertarikan fisik ini tidak kunjung mereda, malah terus menggebu-gebu. Dan ini akan membutakan mata kita untuk melihat masalah yang memang sebetulnya ada di antara kita.
GS : Tapi yang seringkali terjadi sekarang ini adalah pasangan yang belum menikah tinggal serumah, Pak Paul. Dan itu membuat mereka melakukan kontak fisik lebih banyak dan lebih dimungkinkan, Pak Paul.
PG : Ya. Dan kalau sudah begitu, masalah di antara mereka itu tidak akan pernah terselesaikan. Sebab mata hanya tertuju pada kepuasan jasmaniah, dan akhirnya kita hanya menyimpan masalah dan masalah itu semuanya akan keluar setelah kita masuk ke dalam pernikahan.
GS : Jadi, kecocokan dalam hal apa saja yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa yang akan kita bahas, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kecocokan rohani. Nah, kita sekali lagi mau mengingat satu hal yang penting, bahwa tahap kecocokan ini tahap yang panjang, Pak Gunawan. Dan ini memang sulit tidak gampang. Jadi kita mesti benar-benar bekerja keras melihat secara realistic, baik diri kita maupun pasangan kita dan kita harus jujur mengakui bahwa memang ada masalah dan kita tidak bisa bersama-sama atau apa. Jadi ini adalah tahap yang sulit. Kita mau menyadari ini dulu. Coba kita sekarang melihat yang pertama, kecocokan rohani. Ada beberapa hal tentang kecocokan yang mesti kita perhatikan, ya. Pertama, kecocokan rohani yang terurai dalam beberapa komponen. Yang pertama adalah kesamaan iman dalam Kristus, yang kedua adalah kesamaan komitmen kepada Kristus dan yang ketiga kesamaan panggilan hidup bagi Kristus. Sekilas ketiganya tampak terpisah ya, Pak Gunawan. Namun sesungguhnya ketiganya saling terkait. Sebelum saya jelaskan mari kita baca terlebih dahulu ayat yang mendasari pemikiran ini, yaitu 2 Korintus 6:14 Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap ? Dengan jelas dapat kita lihat disini bahwa firman Tuhan mengkategorikan berpasangan dengan orang yang tidak percaya Kristus sebagai pasangan yang tidak seimbang. Sebenarnya kata yang digunakan oleh Paulus disini berasal dari istilah pertanian, Pak Gunawan, yaitu mengikatkan sepasang kerbau di bawah satu kuk, yaitu perangkat yang terbuat dari besi yang ditempatkan di leher kedua hewan supaya keduanya dapat berjalan seiring sewaktu membajak sawah. Singkat kata, tidak seimbang berarti tidak dapat berjalan bersama sehingga tidak dapat membajak sawah. Dan dapat kita bayangkan bahwa dua kemungkinan mengapa dua hewan ini tidak dapat berjalan bersama adalah : (1) Bila salah satu dari keduanya bukan sama-sama lembu atau kerbau, atau (2) Salah satu hewan itu berukuran tubuh jauh berbeda dari yang satunya. Dengan kata lain, penyebab mengapa keduanya menjadi pasangan yang tidak seimbang adalah karena ada perbedaan di antara mereka. Nah, inilah latar belakang penggunaan istilah tidak seimbang yang digunakan oleh Paulus disini. Jadi berpasangan dengan bukan sesama orang yang percaya pada Kristus akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang serius dalam perjalanan hidup bersama. Begitu, Pak Gunawan. Mungkin ada di antara kita yang tidak setuju dan berkata, Bukankah ada banyak pasangan yang tidak seiman yang hidup bersama dengan harmonis ? Sudah tentu pengamatan ini betul, Pak Gunawan. Dalam pengertian ada banyak pasangan yang tidak seiman itu hidup harmonis. Dan ada banyak pasangan yang seiman justru hidup tidak harmonis.
Pada kenyataannya memang keharmonisan rumah tangga dibangun di atas sejumlah faktor bukan hanya faktor rohani. Namun kenyataan bahwa Paulus menekankan bahwa ketidaksamaan iman akan mengakibatkan ketidakseimbangan itu menunjukkan bahwa kesamaan iman adalah suatu hal yang penting. Begitu pentingnya sehingga jika tidak ada maka hal ini akan mengakibatkan gangguan dalam perjalanan hidup bersama.
GS : Pak Paul, kalau kita melihat tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam kecocokan rohani, Pak Paul mengatakan ada kesamaan iman dalam Kristus. Apakah kalau dua-duanya sama-sama Kristen itu sudah cukup, Pak Paul ? Atau iman yang seperti apa lagi ?
PG : Betul sekali yang Pak Gunawan tanyakan. Ternyata memang bukan hanya masalah sama-sama menjadi seorang Kristen itu sudah pasti menjamin kita akan menikmati pernikahan yang sehat dan kuat. Memang tidak. Jadi kita mau gandengkan itu dengan yang lainnya yaitu kesamaan iman dalam Kristus, kesamaan komitmen kepada Kristus dan kesamaan panggilan hidup bagi Kristus. Nah, ketiganya ini kita akan lihat ternyata terkait erat. Kesamaan iman hanya akan menjadi sesuatu yang penting bila kita memiliki komitmen yang dalam kepada Kristus dan mempunyai panggilan hidup yang jelas bagi Kristus. Maksudnya begini, kalau kita tidak memiliki komitmen yang dalam kepada Kristus, kita tidak akan memusingkan soal kesamaan iman. Ya sudah tidak apa-apa. Atau kalau kita juga tidak begitu memusingkan panggilan hidup bagi Kristus, kita mungkin tidak akan memusingkan tentang kesamaan iman ini. Jadi sekali lagi, ketiganya itu terkait erat. Tidak mungkin bagi kita hidup bersama bagi Kristus jika pasangan tidak mempunyai iman yang sama dengan kita, ini keterkaitan. Dan tidak mungkin kita bersama menyerahkan hidup kepada kehendak dan pekerjaan Kristus bila pasangan tidak memiliki kesamaan iman kepada Kristus. Tidak mungkin ! Sekali lagi, bukan saja kesamaan iman yang diperlukan tapi kesamaan komitmen kepada Kristus dan kesamaan panggilan hidup bagi Kristus. Singkat kata, faktor kecocokan rohani mutlak diperlukan bagi kita untuk dapat hidup bersama bagi Kristus dan bersama-sama melayani Kristus. Jika berpasangan dengan yang tidak seiman, kita mungkin masih bisa hidup dan melayani Kristus tapi sudah tentu kita tidak dapat melakukannya bersama-sama. Di dalam hal inilah relasi nikah mengalami kepincangan sebagaimana tadi dikatakan oleh Paulus.
GS : Sekarang 'kan sedang dihimbau agar orang dapat hidup dengan orang yang berbeda, termasuk yang berbeda agama. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Masalahnya kalau kita hanya membicarakan tentang hidup harmonis, bisa ! Kita bisa hidup dengan orang yang berbeda kepercayaan dengan kita secara harmonis. Bisa ! Tapi kalau kita mau menyoroti hidup ini dari kacamata keyakinan kita sebagai seorang Kristen yaitu kita hidup bagi Kristus, memenuhi panggilan-Nya, mengikuti apa yang diajarkan-Nya secara tuntas. Sudah tentu kalau kita tidak seiman dengan pasangan kita, yang bisa melakukan itu hanyalah kita. Dia memang akan memunyai komitmen atau panggilannya sendiri. Contohnya, seorang suami
adalah seorang Kristen, sedangkan istrinya bukan. Misalkan istrinya tidak beragama. Nah, dia tidak akan berkata, Okelah, hari Minggu saya akan pergi ke gereja bersamamu dan anak-anak. Sebab buat dia tidak ada keharusan ke gereja. Buat apa ke gereja ? Dia tidak mau percayai itu semua. Jadi dia akan berkata, Ya kamu saja yang pergi. Nah, apakah di rumah mereka tidak bisa harmonis ? Oh, bisa ! Bisa sekali ! Karena sekali lagi, tiang pernikahan tidak hanya didirikan di atas dasar kerohanian. Tidak ! Namun apakah mereka bisa misalnya hidup bersama bagi Kristus, memenuhi panggilan Kristus ? Tidak bisa. Jadi akan ada hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan bersama-sama sebab mereka berbeda di dalam iman kepercayaannya.
GS : Iya. Dan masalah iman atau kepercayaan itu sifatnya pribadi dan kita sulit untuk mengintervensi iman seseorang.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang kalau kita kebetulan sudah bersama dengan pasangan yang tidak seiman, memang kita tidak bisa memaksakan. Ini sama sekali tidak bisa. Ini sesuatu yang sangat pribadi dan kita juga percaya pada intervensi Tuhan sendiri. Jadi kita hanya bisa berdoa, meminta supaya Tuhan menyatakan diri-Nya kepada pasangan kita supaya nanti dia juga bisa mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Kita hanya bisa berdoa. Dan yang kedua hiduplah seperti yang Tuhan kehendaki supaya kita menjadi sebuah kesaksian yang baik bagi pasangan kita. jangan sampai kita jadi orang yang mengaku-ngaku Kristen tapi tindakan kita tidak berintegritas, tidak bermoral, sering kasar dan sebagainya. Sedangkan pasangan kita yang misalnya tidak berkeyakinan apa-apa tapi hidupnya berintegritas, begitu baik. Nah, kita tidak mungkin bisa berkata kepada dia, Ya, tolong pertimbangkan kepercayaan saya. Dia akan berkata, Buat apa ? Kamu hidup seperti itu. Ini sering saya lihat, Pak Gunawan. Ada orang-orang yang memang tidak percaya tapi hidupnya begitu baik. Jadi memang susah juga untuk dia bisa percaya kepada Kristus kalau melihat hidup kita berantakan, justru hidup kita yang lebih bermasalah.
GS : Di dalam Alkitab seringkali tokoh-tokoh orang beriman itu menikah dengan orang yang tidak seiman, walaupun Tuhan jelas-jelas melarangnya. Bagaimana itu bisa terjadi ?
PG : Yang kita lihat memang Tuhan jelas-jelas melarang. Waktu akhirnya mereka tidak menaati Tuhan, pada akhirnya memang akan ada konsekuensinya. Kita akan melihat satu contoh yaitu Raja Salomo. Sebagai seorang manusia, Raja Salomo mendekati kesempurnaan, sebagaimana dicatat di 1 Raja-Raja 4 - 10, di bawah pemerintahannya Israel menikmati masa kejayaan dan kemakmurannya. Di bawah pemerintahannya, Israel bebas dari peperangan dan malah menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa di sekitarnya. Raja Salomo bahkan dikaruniai hikmat yang melebihi hikmat manusia pada umumnya oleh Allah. Namun sayang, dia menikahi banyak perempuan yang tidak seiman. Mereka adalah perempuan dari bangsa- bangsa yang hidup di sekitar Israel dan menyembah alah lain. Akhirnya tepat seperti firman Allah katakan yang dicatat dalam 1 Raja-Raja 11:2 , Sesungguhnya
mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka. Nah, Raja Salomo, kata Alkitab, mengikuti Asyitoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, Dewa kejijikan sembahan orang Amon dan dia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan seperti Daud, ayahnya. Jadi inilah akhirnya yang terjadi pada Raja Salomo. Dia tidak sepenuh hati mengikuti Tuhan. Ini yang sering terjadi kalau kita berpasangan dengan orang yang tidak seiman. Itu bisa memengaruhi kita sehingga kita tidak lagi sepenuh hati mengikuti Tuhan. Karena akhirnya kita kompromi dan harus tenggang rasa dengan pasangan kita.
GS : Kembali ke contoh Raja Salomo, 'kan diberitahukan bahwa Raja Salomo mempunyai hikmat yang berasal dari Tuhan. Tapi kok sampai dia jatuh pada kesalahan seperti itu, bagaimana Pak Paul ?
PG : Karena rupanya dia mencintai kecantikan, Pak Gunawan. Memang tidak semuanya
itu pilihannya. Karena pada jaman itu upeti-upeti yang diberikan bukan hanya berbentuk barang tapi kadang berbentuk perempuan. Dan yang kedua untuk membangun aliansi antara bangsa atau negara, seringkali dilakukanlah suatu pertukaran dalam pengertian anak perempuan seorang raja diberikan kepada raja yang satunya untuk dinikahi, sehingga ada perjanjian damai antara dua negara ini. Memang itu terjadi. Tidak bisa disangkal, Raja Salomo sebagai seorang pria menghargai dan mencintai kecantikan, jadi besar kemungkinan inilah yang membuatnya menikah dengan begitu banyak perempuan yang tidak menyembah Allah dan jelas konsekuensinya semakin hari dia semakin menjauh dari Tuhan.
GS : Tapi 'kan dia sebagai raja bisa memenuhi panggilan Tuhan untuk memerintah orang Israel ?
PG : Betul. Sebagai seorang raja dia seorang raja yang sangat sukses. Tapi kehidupan pribadinya atau kehidupan rohaninya akhirnya hatinya tidak sepenuhnya tertambat kepada Allah. akhirnya tidak sepenuhnya menyembah Allah. Sebab Alkitab berkata dia akhirnya ikut menyembah allah-allah lain itu karena mau toleransi dengan para istrinya itu.
GS : Jadi kecocokan rohani ini merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam kita membina suatu pernikahan, ya Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kita harus mengakui bahwa kalau kita berpasangan dengan yang
tidak seiman kita akan terbawa arus dan akhirnya kita tidak mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati dan perjalanan hidup bersama melayani Tuhan juga terhenti.
GS : Iya. Dan kecocokan rohani bukan satu-satunya kecocokan yang harus dimiliki, ya
Pak Paul. Masih ada lagi hal-hal yang lain.
PG : Betul. Dan itu akan kita angkat dalam pertemuan kita yang berikutnya.
GS : Terima kasih, Pak Paul, atas perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang- bincang tentang Tugas dalam Berpacaran bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga
Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Perceraian tidak terjadi di masa sekarang ini saja; di masa lampau pun ada pasangan nikah yang bercerai. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah angka perceraian di masa sekarang jauh melampaui masa sebelumnya. Justru di masa di mana ceramah dan buku tentang pernikahan berlipat ganda, di saat itu pulalah angka perceraian terus meningkat. Yang memprihatinkan adalah, perceraian tidak saja menerpa pasangan paro-baya tetapi juga pasangan muda, yang usia pernikahannya masih di bawah lima tahun. Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Singkat kata, ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui--apalagi menyelesaikan--tugas berpacaran. Berikut ini akan dibahas beberapa tugas berpacaran yang mesti diperhatikan dengan saksama guna membangun relasi nikah yang kuat.
Ketertarikan
Pada dasarnya ada tiga hal atau fase yang seyogianya dilalui: (a) ketertarikan, (b) kecocokan, dan (c) kesiapan. Acap kali faktor pertama yang mendekatkan kita dengan pasangan adalah KETERTARIKAN. Pada tahap awal ini biasanya ketertarikan didasari atas dua unsur: JASMANIAH dan EMOSIONAL. Meski tidak selalu, namun pada umumnya kita tertarik dengan penampilannya. Ketertarikan fisik ini dapat diringkas dalam satu kalimat, Dia menarik perhatian saya. Adakalanya sebagai orang Kristen kita merasa enggan atau malu mengakui bahwa kita tertarik kepada penampilan fisik seseorang. Sesungguhnya kita tidak perlu malu sebab hal ini bukan saja tidak salah tetapi justru wajar dan baik. Ingat, pernikahan yang sehat didasari oleh sejumlah faktor; salah satunya kekaguman dan kepuasan jasmaniah.
Selain dari ketertarikan fisik, biasanya yang mendekatkan kita dengan pasangan adalah ketertarikan emosional. Mungkin kesan awal kita adalah, bersama dengannya kita merasa tenang atau merasa ceria atau lebih terarah, dan sebagainya. Singkat kata ketertarikan emosional adalah sebuah perasaan nyaman. Sama seperti ketertarikan fisik, ketertarikan emosional adalah sesuatu yang baik dan wajar. Kenyataan kita merasa tenang, aman, bersemangat atau lainnya, memperlihatkan ada sesuatu tentang dirinya yang memberikan kepada kita perasaan nyaman. Jadi, silakan perhatikan reaksi awal ini dan kenalilah perasaan yang timbul tatkala bersamanya. Jadikan ini salah satu pertanda apakah kita dapat atau tidak meneruskan relasi ini.
Sekarang marilah kita berhenti sejenak. Pada tahap awal ada dua hal yang mesti kita waspadai.
(1) MENGABAIKAN FAKTOR KETERTARIKAN. Misalkan kita menyimpulkan tidak apa tidak ada ketertarikan fisik atau tidak apa mengabaikan perasaan tidak aman atau cemas berada dekatnya. Kita tidak boleh mengabaikan faktor ketertarikan--baik itu fisik maupun emosional--sebab hal ini adalah pertanda awal yang penting. Sebagai contoh, jika sejak awal kita tidak pernah mengagumi penampilan fisiknya--apalagi menikmatinya--besar kemungkinan kita akan membawa respons yang dingin ini ke dalam pernikahan. Dapat diduga, setelah pernikahan kita akan bersikap pasif terhadapnya secara jasmaniah dan hal ini akan merenggangkan relasi pernikahan. Juga, apabila kita merasa takut--atau setidaknya merasa tidak aman, sebaiknya kita mempertimbangkan ulang kelanjutan relasi ini. Jangan abaikan sinyal instingtif ini sebab mungkin saja, ada sesuatu tentang dirinya yang membuat kita tegang dan tidak aman.
(2) MELEBIH-LEBIHKAN FAKTOR KETERTARIKAN. Begitu tertariknya kita kepada penampilannya, sehingga tanpa pikir panjang kita langsung memutuskan untuk menikah dengannya. Mungkin kita berdalih, hal lain pasti bisa beres dengan sendirinya, terpenting adalah kita saling menyukai. Ketertarikan fisik adalah sebuah faktor yang penting namun ada sejumlah faktor lainnya yang mesti diperhatikan untuk membangun sebuah relasi pernikahan yang sehat. Jadi, jangan dasarkan keputusan kita hanya atas dasar ketertarikan fisik.
Adakalanya kita langsung memutuskan untuk menikah hanya atas dasar, dia membuat kita merasa nyaman. Dengan kata lain, kita menyamakan ketertarikan emosional dengan kecocokan. Sebagaimana akan kita lihat, keduanya tidak sama. Jadi, penting bagi kita untuk tidak bertindak gegabah pada tahap awal ini. Jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa kita serasi dan siap menikah. Berilah waktu yang panjang kepada relasi untuk berproses secara alamiah. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Ingatlah bahwa hampir semua perasaan yang muncul pada tahap awal ini sebenarnya adalah bunga dari ketertarikan belaka. Kita harus membawa relasi ini menuju ke tahap selanjutnya yakni tahap kecocokan.
Kecocokan
Faktor kedua setelah ketertarikan adalah kecocokan. Ada dua hal penting yang mesti kita ketahui tentang fase ini.
(1) KITA HANYA DAPAT MASUK DAN MELEWATI FASE KECOCOKAN SETELAH KITA MELALUI FASE SEBELUMNYA YAITU KETERTARIKAN. Dalam pengertian, perasaan kuat yang kita rasakan terhadap penampilan fisiknya dan perasaan nyaman berada di dekatnya mestilah lebih stabil dan tidak lagi meluap-luap. Dengan kata lain, apabila kita masih berada di fase ketertarikan--mengagumi penampilan fisik dan merasakan kenyamanan bersama dengannya secara menggebu-gebu--kita tidak dapat masuk ke fase kecocokan. Alasannya adalah karena kita belum dapat melihat pasangan secara obyektif, utuh dan jernih. Seluruh perhatian kita masih tersedot ke arah penampilan fisik dan mata hati kita masih terfokus pada rasa nyaman yang kita alami bersamanya. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menjaga batas fisik selama berpacaran. Bila kita terlibat secara fisik dengan pasangan, maka tidak bisa tidak, hal ini akan menghambat kita masuk ke tahap kecocokan. Akhirnya kita gagal menyelesaikan tugas berpacaran. Walaupun kita telah berpacaran selama bertahun-tahun, sebenarnya kita tetap masih berada di tahap ketertarikan. Tidak heran masalah mulai bermunculan setelah pernikahan. Kita beranggapan bahwa kita sudah siap menikah karena sudah berpacaran untuk waktu yang lama. Padahal waktu yang lama tidak menjamin bahwa kita sudah melewati fase ketertarikan, apalagi bila kita telah terlibat secara fisik dengan pasangan. Jadi, jagalah batas fisik dan peliharalah kekudusan. Sebab, kekudusan membuka jalan bagi kita masuk ke dalam tahap kecocokan.
(2) Ini adalah FASE YANG TERSULIT DAN TERPANJANG. Pada fase inilah kita mesti bekerja keras melihat diri secara realistik--baik itu diri pasangan maupun diri sendiri--dan menyesuaikan diri dengan satu sama lain agar dapat hidup bersama. Pada akhirnya di fase inilah kita harus menilai secara jujur dan tepat apakah memang kita mempunyai banyak kecocokan yang dapat kita bawa masuk ke dalam pernikahan. Singkat kata, tahap kecocokan adalah tahap di mana relasi akhirnya berdiri dengan tegak dan berjalan maju atau sebaliknya, justru tumbang dan terputus.
Kecocokan Rohani
Ada beberapa hal tentang kecocokan yang mesti kita perhatikan. Pertama adalah kecocokan rohani yang terurai dalam beberapa komponen yaitu (a) kesamaan iman dalam Kristus, (b) kesamaan komitmen kepada Kristus, dan (c) kesamaan panggilan hidup bagi Kristus. Sekilas ketiganya tampak terpisah namun sesungguhnya ketiganya saling terkait. Sebelum dijelaskan, mari kita baca terlebih dahulu ayat yang mendasari pemikiran ini, 2 Korintus 6:14, Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab, persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
Dengan jelas dapat kita lihat di sini bahwa Firman Tuhan mengkategorikan berpasangan dengan orang yang tidak percaya pada Kristus sebagai pasangan yang tidak seimbang. Sebenarnya kata yang digunakan oleh Paulus di sini berasal dari istilah pertanian yakni mengikatkan sepasang kerbau di bawah satu kuk-- supaya keduanya dapat berjalan seiring sewaktu membajak sawah. Singkat kata,, tidak seimbang berarti tidak dapat berjalan bersama sehingga pada akhirnya tidak dapat membajak sawah. Dapat kita bayangkan bahwa dua kemungkinan mengapa kedua hewan ini tidak dapat berjalan bersama adalah (a) bila salah satu dari keduanya bukanlah lembu atau (b) salah satu dari lembu itu berukuran tubuh jauh berbeda dari yang satunya. Dengan kata lain, penyebab mengapa keduanya menjadi pasangan yang tidak seimbang adalah dikarenakan adanya PERBEDAAN di antara mereka. Inilah latar belakang penggunaan istilah tidak seimbang yang digunakan Paulus di sini. Berpasangan dengan bukan sesama orang yang percaya pada Kristus akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang serius di dalam perjalanan hidup bersama.
Mungkin ada di antara kita yang tidak setuju dan berkata, Bukankah ada begitu banyak pasangan tidak seiman yang hidup bersama dengan harmonis? Sudah tentu pengamatan ini betul, dalam pengertian ada banyak pasangan yang tidak seiman hidup harmonis dan ada banyak pasangan yang seiman, justru hidup tidak harmonis. Pada kenyataannya memang keharmonisan rumah tangga dibangun di atas sejumlah faktor, bukan hanya faktor rohani. Namun, kenyataan bahwa Paulus menekankan bahwa ketidaksamaan iman akan mengakibatkan ketidakseimbangan, itu menunjukkan bahwa kesamaan iman adalah suatu hal yang penting. Begitu pentingnya sehingga jika tidak ada, maka hal ini akan menyebabkan gangguan dalam perjalanan hidup bersama. Nah, di sinilah kita melihat keterkaitan erat antara 3 komponen tersebut di atas. Kesamaan iman hanya akan menjadi sesuatu yang penting bila kita memiliki komitmen yang dalam kepada Kristus dan mempunyai panggilan hidup yang jelas bagi Kristus. Sebab, tidak mungkin bagi kita hidup bersama bagi Kristus jika pasangan tidak mempunyai iman yang sama dengan kita. Dan, tidak mungkin kita bersama menyerahkan hidup kepada kehendak dan pekerjaan Kristus, bila pasangan tidak mempunyai kesamaan iman dalam Kristus. Singkat kata, faktor kecocokan rohani mutlak diperlukan bagi kita untuk dapat hidup bersama bagi Kristus dan bersama-sama melayani Kristus. Jika berpasangan dengan yang tidak seiman, kita mungkin masih dapat hidup dan melayani Kristus tetapi sudah tentu, kita tidak dapat melakukannya bersama-sama. Di dalam hal ini relasi nikah akan mengalami kepincangan. Jika kita berpasangan dengan yang tidak seiman, besar kemungkinan kita akan terbawa arus dan akhirnya kita tidak lagi mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati. Perjalanan hidup bersama melayani Tuhan pun terhenti.
Berpacaran Perhatikan Kecocokan I|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T389A|T389A|Pranikah/Pernikahan|Audio|Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui--apalagi menyelesaikan--tugas berpacaran. Salah satu fase yang harus ditempuh dalam proses berpacaran adalah memperhatikan kecocokan, baik kecocokan nilai maupun kecocokan kepribadian.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T389A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu yaitu tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Sebenarnya perbincangan kita kali ini masih merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu tentang Tugas Dalam Berpacaran. Pak Paul juga sudah mengajak para pendengar mengikuti perbincangan itu dengan baik. Namun kali ini kita akan lebih fokus pada perbincangan tentang kecocokan. Pada perbincangan yang lalu kecocokan dari segi rohani sudah kita perbincangkan, tapi masih ada sisi-sisi yang lain dari kecocokan yang perlu kita perbincangkan. Bukankah demikian, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi ada satu lagi kecocokan yang layak diperhatikan pada
masa berpacaran dan itu adalah kecocokan dalam nilai kehidupan atau hal apakah yang penting bagi kita. Sudah tentu tatkala kita menetapkan hal apakah yang penting bagi kita, secara bersamaan kita pun menetapkan hal apakah yang tidak penting bagi kita. Nah, inilah yang perlu diperhatikan pada masa berpacaran, Pak Gunawan, sebab seringkali perbedaan nilai atau perbedaan apakah yang penting atau apakah yang tidak penting menjadi masalah yang akhirnya meretakkan relasi. Saya kira alasannya jelas ya, yaitu nilai kehidupan atau nilai-nilai ini memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan kita, Pak Gunawan.
GS : Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan nilai kehidupan itu, Pak Paul ?
PG : Nilai sebetulnya adalah sebuah persepsi, pandangan atau standar yang kita tetapkan. Lewat standar itulah nanti kita menetapkan apakah itu penting atau tidak penting bagi kita. Sudah tentu masing-masing, baik suami maupun istri, biasanya membawa nilai masing-masing apakah yang penting bagi dirinya.
GS : Yang paling banyak berpengaruh itu nilai-nilai apa saja, Pak Paul ?
PG : Ada tiga, Pak Gunawan, yaitu keluarga, pergaulan dan keuangan. Jadi ini adalah tiga area yang seringkali biasanya nanti menimbulkan masalah di dalam pernikahan kalau nilai-nilai kita dalam ketiga hal ini tidak pas.
GS : Nah, yang mulai saja dengan keluarga. Masing-masing keluarga tentu punya nilai,
Pak Paul. Baik dari keluarga pihak pria maupun keluarga pihak wanita atau dari mereka sendiri 'kan mempunyai nilai ?
PG : Betul. Yang akan coba kita fokuskan adalah hubungan dengan keluarga asal dan hubungan di dalam keluarga kita sendiri. Pada masa berpacaran kita mesti
memerhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Ini penting. kita seringkali berkata, Yang penting 'kan saya dengan dia, bukannya dengan keluarganya. Tapi kalau kita mau mengenal dengan baik siapakah pasangan kita, tidak bisa tidak kita harus melihat keluarganya. Jadi kita harus melihat relasi dengan keluarganya. Misalnya ada yang bersikap tidak peduli dengan keluarga asalnya, ada yang bersikap memerhatikan, dan ada pula yang bersikap mendewakan. Nah, kita akan fokus kepada ketiga reaksi yang biasanya ditunjukkan orang terhadap keluarganya. Ada orang yang tidak peduli karena masa lalu yang tidak menyenangkan, yaitu dalam keluarga yang penuh masalah sehingga dia tidak suka dengan keluarganya. Itu sebabnya hubungan dengan keluarganya itu renggang. Namun ada pula yang tidak peduli karena memang hidup hanya untuk diri sendiri. Jadi kita mau ketahui itu. Kalau memang hubungan dengan keluarganya tidak erat itu kenapa. Kalau memang orang itu hidup untuk diri sendiri ini jauh lebih serius ketimbang dia tidak mau dekat-dekat dengan keluarganya karena banyak masalah. Ada pula yang bersikap mendewakan, Pak Gunawan. Dimana bagi dia keluarga adalah segalanya, benar atau salah pasti dibelanya dan tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Dia sangat erat dengan keluarganya dan mereka pun sangat terlibat dalam kehidupannya. Singkat kata, masing-masing merasa berhak untuk tahu dan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Ada yang bersikap memerhatikan. Dalam pengertian dia memunyai hubungan yang dekat dengan keluarganya namun ia bisa bersikap objektif. Artinya dia tidak bersikap membabi buta membela keluarganya tetapi dia pun tidak bersikap masa bodoh terhadap mereka. Singkat kata, dia adalah orang yang terpisah dan mandiri dari keluarganya tapi sekaligus juga dekat dan menyayangi keluarganya.
GS : Tapi kalau kedua calon ini, baik pria maupun wanita, keduanya memunyai sikap yang tidak peduli kepada keluarganya, 'kan sebenarnya tidak ada masalah, Pak Paul ?
PG : Sekali lagi yang mau kita lihat kenapa sampai tidak peduli dengan keluarganya ?
Sebab itu akan memengaruhi relasinya sendiri dengan keluarganya atau dengan pasangannya. Misalnya, dia orangnya memang egois, tidak pedulian dengan keluarganya. Kalau dasarnya adalah egois, besar kemungkinan ini akan dia bawa ke dalam keluarganya sendiri. Tapi misalkan memang dia menjauh dari keluarganya karena terlalu banyak masalah dan tersakiti oleh keluarganya, nah belum tentu 'kan dia nanti akan bersikap masa bodoh terhadap keluarganya sendiri. Dan yang tadi kita bahas, ada pasangan yang benar-benar mendewakan keluarganya. Nah, ini juga nanti bisa menimbulkan masalah dalam keluarga. Memang tidak semuanya jadi masalah besar bila ada saling pengertian. Tapi kalau keluarganya itu sedikit-sedikit ikut campur tangan dan dia memang memberikan kesempatan itu. Dan ada yang justru lebih percaya kepada keluarganya ketimbang kepada pasangannya sendiri. tidak bisa tidak ini akan menjadi masalah. Nah, sekali lagi kita mau tekankan dalam masa berpacaran lihatlah hal ini.
GS : Saya malah melihat kalau keduanya sama-sama mendewakan keduanya ini bisa gawat, Pak Paul, dibandingkan dengan jika keduanya sama-sama tidak peduli kepada keluarganya !
PG : Iya, betul sekali. Bisa-bisa kedua keluarga besar yang bertarung ! GS : Jadi memang yang baik yang ketiga tadi ya, Pak Paul ?
PG : Betul. Tanpa penjelasan pun bisa kita lihat dari ketiganya adalah memerhatikan keluarga. Salah satu tugas pernikahan adalah membangun keluarga. Dan ini hanya dapat dilakukan jika keluarga asal tidak terlalu mencampuri urusan dalam keluarga sendiri. Sebaliknya kita pun tidak mau pasangan tidak peduli dengan keluarga asalnya sama sekali. Sebab ketidakpedulian ini mungkin sekali akan diembankan kepada kita, maksudnya dia pun akan menuntut kita untuk lepas dari keluarga asal kita. Dia tidak mau peduli dengan keluarganya, dia tidak mau berdekatan dengan keluarganya, tidak mau ada kontak dengan keluarganya. Nah, akhirnya dia menuntut kita berbuat yang sama juga. Kenapa dekat-dekat dengan keluargamu ? Kenapa keluargamu harus tahu ? Sampai-sampai omongan yang biasa pun tidak boleh dilakukan. Ini yang seringkali juga terjadi. Maka dalam masa berpacaran kita harus memerhatikan hal ini. Sebab hubungan dengan keluarga asal berpengaruh besar dalam pernikahan. Jadi jangan sepelekan. Ada begitu banyak data yang dapat kita peroleh tentang siapakah pasangan dan seperti apakah dia nanti dalam pernikahan lewat pengamatan terhadap relasinya dengan keluarga asalnya.
GS : Kalau memang keluarganya terdiri dari keluarga yang cukup besar, artinya si kedua calon mempelai ini punya banyak saudara, masalahnya bisa lebih kompleks lagi, Pak Paul ?
PG : Ya, biasanya begitu Pak Gunawan. Makanya kita tahu kadang kita mendengar nasihat dari para orang tua, kalau menikah jangan menikah dengan orang dari keluarga besar. Karena memang itu salah satu resikonya ya. Kalau terlalu banyak yang terlibat biasanya itu akan merumitkan relasi keluarga.
GS : Tapi kalau anak tunggal pun membawa masalah, Pak Paul.
PG : Iya. Kadang bisa muncul masalah kalau memang gara-gara dia anak tunggal dia mengembangkan karakter yang kurang baik, misalnya sangat egois, tidak mau diganggu dan sebagainya.
GS : Selain faktor keluarga, hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?
PG : Selain dari faktor keluarga asal, kita juga mau melihat nilai yang dikandungnya berkaitan dengan seberapa pentingnya keluarga yang akan dibangunnya bersama dengan kita. Sama dengan di atas, ada orang yang memang tidak memedulikan keluarga. Artinya, nanti setelah dia menikah, memang dia bukan orang yang menempatkan keluarga di posisi yang penting. Ada yang mendewakan keluarga, ada yang memerhatikan keluarga pula. Coba kita lihat. Jika kita bertanya kepada pasangan, apakah engkau memerhatikan keluarga, sudah tentu dia menjawab saya mementingkan keluarga. Namun seperti yang kita ketahui ada banyak ayah atau ibu yang tidak mementingkan keluarga. Mereka mungkin sibuk mengejar ambisi pribadi, atau mereka mungkin lebih menikmati menghabiskan waktu dengan
teman di luar ketimbang dengan keluarga sendiri. Nah itu yang pertama. Kedua, ada pula orang yang mendewakan keluarganya nantinya. Mereka sangat protektif dengan keluarganya sehingga tidak ada seorangpun yang boleh mengkritik keluarganya. Sudah tentu pernikahan dan keluarga yang seperti itu akan menjadi pernikahan dan keluarga yang tertutup. Akhirnya kita tidak akan terbuka terhadap komentar dari luar sama sekali dan ini berarti kita pun menjadi orang seperti itu, sukar dikritik. Jadi sekali lagi yang baik adalah sikap yang memerhatikan keluarga tapi tidak mendewakan keluarga. Dengan kata lain, kita tahu keluarga itu penting namun keluarga bukan segalanya dan bukan yang terpenting dalam hidup.
GS : Iya. Memang di dalam hubungan ini kita tidak sendirian. Kita hidup di tengah- tengah masyarakat, dimana kita bergaul dengan mereka selain dengan keluarga kita sendiri. Nah, sejauh mana pergaulan ini memunyai nilai tertentu yang harus kita sepakati sebelum memasuki pernikahan, Pak Paul ?
PG : Ternyata penting, Pak Gunawan. Jadi dalam masa berpacaran kita mesti melihat
nilai yang dianut oleh pasangan kita dalam menentukan pergaulannya. Saya mau jelaskan. Sebenarnya tanpa kita sadari dalam diri kita masing-masing terdapat sebuah sistem nilai yang menentukan siapakah yang akan kita anggap teman. Sebagaimana kita tahu kita adalah mahluk sosial yang memerlukan teman. Jadi kita adalah perpanjangan pergaulan kita dan sebaliknya teman adalah perpanjangan diri kita. Di dalam masa berpacaran kita harus mulai melihat apakah pasangan memunyai kesamaan nilai dalam memilih teman. Saya berikan contoh. Pada umumnya kita bertemu dengan pasangan dalam lingkup pergaulan yang sama, misalnya di gereja atau di sekolah. Oleh karena kita bertemu dalam lingkup sosial yang sama kita pun langsung berasumsi bahwa pasangan memunyai nilai yang sama dalam menentukan pertemanan. Masalahnya adalah belum tentu demikian. Kenyataan dia dan kita berada dalam satu lingkup sosial yang sama belum tentu mencerminkan nilai sosial yang sama. Misalkan kita bertemu dengan pasangan kita di gereja atau di sekolah. Kita tidak selalu berkesempatan memilih teman pribadi lepas pribadi sebab di gereja atau di sekolah, mereka masuk ke dalam kehidupan kita satu paket bersama kegiatan yang kita lakukan. Misalnya kita adalah anggota Paduan Suara. Nah, dalam Paduan Suara itu kita bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Namun sesungguhnya bila kita diberi kesempatan memilih, belum tentu kita mau bergaul dengan semuanya dalam kapasitas teman. Oleh sebab itu dalam masa berpacaran kita perlu memerhatikan dengan jernih sistem nilai yang ada dalam diri pasangan. Tangkaplah sistem nilai itu dari perkataannya sewaktu mengomentari seseorang. Lihatlah siapakah yang sungguh- sungguh diajaknya untuk pergi bersama dan siapakah yang terpaksa diajaknya. Perhatikanlah siapakah yang menjadi fokus perhatiannya, yang dihormatinya dan siapakah yang tidak. Jadi kita mau melihat dengan jeli, sebetulnya siapakah atau apakah sistem nilainya di dalam pergaulan itu. Karena kalau memang tidak sama, susah sekali kita membangun kehidupan sosial bersama-sama.
GS : Seringkali kita dikaburkan atau dikacaukan bahwa kalau kita punya kesukaan yang sama, baik itu di gereja, di sekolah, atau bahkan di tempat kerja, kita anggap nilainya sudah sama, Pak Paul.
PG : Betul. Padahal belum tentu ya, Pak Gunawan. Sebelum kita lanjutkan ke bagian berikutnya, saya mau mengatakan sesuatu. Mohon diperhatikan, saya tidak mengatakan bahwa kita harus memunyai sistem nilai yang persis sama dalam memilih teman. Tidak ya. Tidak apa kita berbeda. Yang terpenting adalah masih ada ruang yang lumayan besar dimana kita dapat berbagi teman pergaulan. Jadi saya tidak mengatakan bahwa semua teman pasangan haruslah dapat kita terima sebagai teman kita pula dan sebaliknya dia harus menerima semua teman kita. Namun sekali lagi, perbedaan itu haruslah kecil dan kesamaannya haruslah besar. Sebab kalau tidak demikian, mustahil untuk kita dapat hidup di dalam suatu lingkup sosial yang sama.
GS : Memang betul, Pak Paul. Sebenarnya kita memaksakan calon pasangan kita untuk akrab seperti kita dengan teman atau sahabat-sahabat kita, Pak Paul dan itu yang membuat masalah.
PG : Iya. Memang kita harus memberikan ruang bahwa kita belum tentu bisa akrab dengan teman-teman pasangan kita dan dia pun belum tentu bisa akrab dengan teman-teman kita. namun sedapat-dapatnya perbedaan teman itu kecil. Jangan sampai hampir semua temannya tidak kita sukai dan hampir semua teman kita tidak dia sukai. Kalau begitu bukan saja nantinya dalam kehidupan sosial kita tidak bisa berbagi hidup. Tapi sebetulnya kalau perbedaannya begitu besar, itu menunjukkan bahwa kita dan pasangan sebetulnya juga sangat berbeda. Tadi sudah saya singgung, kita memilih teman sesuai dengan diri kita, teman adalah perpanjangan diri kita. Jadi kalau pasangan kita tidak suka dengan semua teman kita, sebetulnya dia juga tidak begitu suka atau tidak begitu cocok dengan kita.
GS : Pertemanan itu sering kali dipengaruhi oleh kesukaan atau hobi yang dimiliki oleh masing-masing. Kalau hobinya bertentangan itu juga akan sulit bagi mereka untuk bisa akrab, Pak Paul ?
PG : Betul ! Memang kita tidak mengatakan hobinya harus sama. Tidak! Tapi mesti ada cukup banyak minat yang sama.
GS : Selain pergaulan, nilai apa lagi yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Ini yang sering jadi bahan masalah, yaitu keuangan, Pak Gunawan. Ada begitu banyak hal yang mesti diputuskan yang berkaitan dengan uang. Tidak heran, masalah uang akhirnya menjadi ladang subur pertengkaran bila kita tidak memiliki kecocokan nilai dalam hal uang. Itu sebabnya dalam masa berpacaran kita mesti memerhatikan hal ini dengan seksama. Coba saya jelaskan. Pada umumnya sebagai anak Tuhan kita sampai pada kesimpulan bahwa : (a) uang adalah penting, tetapi (b) uang bukanlah segalanya. Ini yang biasanya kita yakini ya. Masalahnya di dalam kenyataannya ternyata penerapannya tidak semudah itu ! Sebagaimana kita ketahui, uang adalah sarana semata untuk membeli sesuatu. Disinilah letak masalahnya. Ternyata kita tidak selalu seia sekata dalam hal ini, yaitu membeli apa
dan untuk apa. Dengan kata lain, masalahnya adalah pengeluaran uang itu sendiri. Misalnya ada yang tidak mementingkan rumah atau kendaraan, tetapi mementingkan pendidikan anak. Rumah dan kendaraan boleh kelas dua tetapi sekolah anak mesti kelas satu. Mungkin kita setuju dengan pasangan bahwa rumah dan kendaraan boleh kelas dua, tetapi kita tidak setuju dengan sekolah harus kelas satu. Buat kita pendidikan anak tidak apa kelas dua selama dia dapat menikmati masa sekolahnya. Disini dapat kita lihat sebetulnya baik kita maupun pasangan sama-sama memikirkan kepentingan anak, yaitu masa depannya, namun kita tidak sepaham. Penyebabnya adalah kita mementingkan kepentingan yang berbeda. Jadi, pasangan memfokuskan pada pengasahan otak anak, sedangkan kita memfokuskan pada pertumbuhan jiwa anak. Sudah tentu menyekolahkan anak di sekolah kelas satu akan menuntut biaya yang lebih besar dan ini berarti penghasilan kita akan harus bertambah. Dan bukan hanya penghasilan mesti bertambah, kita pun mungkin harus mengatur ulang pengeluaran uang sesuai dengan prioritas ini. Mungkin uang untuk mendukung orang tua kita terpaksa dipangkas, mungkin uang untuk jajan di luar diperketat dan mungkin ada yang terpikir untuk mengurangi uang persembahan. Jadi berdasarkan contoh ini, kita bisa melihat betapa kompleksnya perihal uang ini. Jadi tidak heran dampak ketidakcocokan nilai menyangkut uang juga berdampak besar. Itu sebabnya penting dalam masa berpacaran kita mesti mulai memerhatikan nilai yang terkandung di dalam diri pasangan. Jangan sampai kita mengabaikan hal ini.
GS : Biasanya justru dalam masa berpacaran, justru orang kurang memerhatikan hal ini.
Menyepelekan, seolah-olah uang itu tidak ada artinya, Pak Paul. Apapun ya mereka lakukan. Tapi nanti setelah menikah bisa berubah.
PG : Betul. Sebab dalam masa berpacaran, pengeluaran uang hanya untuk makan, nonton, jalan-jalan. Itu saja ! Memang sangat terbatas. Tapi begitu menikah, ada seribu satu macam hal yang harus diputuskan yang berkaitan dengan uang. Belum lagi misalnya ada hal-hal lain yang bisa memperkeruh masalah. Misalnya, ada yang berlatar belakang susah sehingga sekarang bertujuan dan berikhtiar keras untuk hidup senang, jadi mesti mendapatkan uang lebih banyak lagi. Atau ada yang terbiasa hidup senang sehingga terlalu menggampangkan uang. Atau ada yang terbiasa hidup keras sehingga sukar bermurah hati, jadi akhirnya ini menambah kompleks masalah uang dalam keluarga.
GS : Dalam hal ini sebenarnya bisa dibicarakan bersama dan dari sini kita bisa tahu bagaimana penilaiannya tentang uang itu.
PG : Betul. Jadi memang kita mesti lebih berinisiatif menanyakan misalkan kita mengalami hal ini, yang mana yang harus kita tentukan atau bagaimana. Jadi mulai masa berpacaranlah kita membicarakannya.
GS : Dalam hal uang, apakah ada pedoman yang bisa kita dapatkan dari Alkitab, Pak
Paul ?
PG : Ada. Kita 'kan terbiasa berpikir bahwa kita harus mencari uang. Sebenarnya bukan uang yang harus kita cari melainkan Kerajaan Allah beserta kebenarannya.
Sebagaimana dicatat di dalam Matius 6:33, Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah beserta kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jadi perspektif yang benar adalah kita bekerja dan memaksimalkan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. uang adalah imbalan dari kita bekerja semata. Jadi sekali lagi, hidup bukan untuk mencari uang. Kita hidup untuk mencari Kerajaan Allah beserta kebenarannya. Dan Allah berjanji bukan hanya Dia akan mencukupi tetapi Dia juga akan menambahkan. Apabila kita mencari Kerajaan Allah beserta kebenarannya maka nilai kita pun akan berubah. Kita tidak akan terpaku lagi pada apa yang penting bagi kita, melainkan kita akan terpaku pada apa yang penting bagi Tuhan dan kerajaan-Nya. Akhirnya pengeluaran uang pun akan dilandasi atas apa yang penting bagi Kerajaan Allah.
GS : Ini sangat berkaitan erat dengan kecocokan nilai rohani seperti yang kita bahas beberapa waktu lalu. Karena tindakan menggunakan uang ini juga tindakan spiritual.
PG : Betul sekali. Memang hubungan kita dengan Tuhan dan seberapa pentingnya Tuhan dan kehendak-Nya di dalam hidup kita akan memengaruhi bagaimana kita akan menggunakan uang kita.
GS : Apakah di Alkitab juga ada suatu contoh konkret tentang bagaimana suami istri menggunakan uang ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Contohnya Ananias dan Safira. Saya harus berkata atau menduga, Ananias dan Safira sebenarnya bermaksud baik. Mereka berniat menjual sebidang tanah dan mempersembahkan uang hasil penjualan tanah kepada Tuhan. Namun setelah melihat uang itu rupanya mereka berubah pikiran. Mungkin mereka mulai memikirkan keperluan yang mereka tengah hadapi. Mungkin mereka memikirkan rencana usaha yang baru yang ingin mereka rintis, atau mungkin mereka merasa sayang melepaskan uang itu. Apapun itu, akhirnya pemikiran itu mengalahkan niat baik memberikan persembahan kepada Tuhan. Mereka tidak jadi memberikan seluruh hasil penjualan tanah. Sayangnya mereka tidak jujur di hadapan Tuhan dan para rasul. Supaya terlihat baik dan konsisten memegang ikrar, mereka berbohong dan mengatakan bahwa jumlah itu adalah seluruh hasil penjualan tanah. Kita tahu akhir hidup mereka, Pak Gunawan. Dapat kita baca dalam Kisah Para Rasul pasal 5, keduanya mati di hadapan para rasul. Tuhan turun tangan dan menghukum mereka yang memerlakukan Tuhan seenaknya. Uang dapat menyatukan orang berbuat dosa dalam kasus ini, suami istri bersatu berbuat dosa. Uang dapat mengubah niat baik dan sistem nilai yang baik. Dua-duanya sebetulnya punya niat dan sistem nilai yang baik, namun berubah begitu melihat uang. Uang pulalah yang menghantarkan suami istri yang harmonis ini ke penghakiman Tuhan.
GS : Jadi ini contoh kesepakatan atau kecocokan suami istri yang salah, lebih-lebih di hadapan Tuhan, ya ?
PG : Iya, Pak Gunawan. Jadi kita dalam masa berpacaran, bukalah mata. Lihatlah seberapa pentingnya sih uang bagi pasangan kita dan apa yang penting baginya.
Sebab apa yang penting baginya itu akan coba dia dapatkan dengan uang juga. Kalau tidak sama, tidak cocok, ya nanti akan susah.
GS : Jadi sampai sekarang pun ada banyak kasus. Ada kasus yang melibatkan suami istri yang sepakat misalnya saja membuat banyak hutang kemudian mereka terbelit dengan masalah itu. Mereka berhutang, itu suatu kesepakatan bukan hanya keputusan dari si suami atau si istri, namun akhirnya mereka harus sama- sama menderita, Pak Paul.
PG : Betul. Sayangnya ini justru sering terjadi. Saya yakin para pendengar kita mungkin tahu pasangan seperti itu, keduanya sepakat untuk menipu karena keduanya sudah mempunyai nilai tapi nilai yang salah di mata Tuhan.
GS : Sebenarnya masih adakah hal lain yang harus diperhatikan tentang kecocokan, Pak
Paul ?
PG : Masih ada, Pak Gunawan. Dan berikutnya adalah kita akan membahas kecocokan kepribadian.
GS : Iya, tapi karena waktunya sudah habis maka perbincangan kali ini kita sudahi dulu dan akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Kami masih akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Hal berikut tentang kecocokan yang layak diperhatikan pada masa berpacaran adalah nilai kehidupan atau hal apakah yang penting bagi kita. Sudah tentu tatkala kita menetapkan hal apakah yang penting bagi kita, pada saat bersamaan kita pun menetapkan hal apakah yang tidak penting bagi kita. Nah, inilah yang perlu diperhatikan pada masa berpacaran. Sering kali perbedaan nilai menjadi masalah yang akhirnya meretakkan relasi. Alasannya jelas: Nilai kehidupan mempengaruhi banyak hal, termasuk (a) keluarga, (b) pergaulan, dan (c) keuangan. Mari kita perhatikan ketiga hal ini dengan saksama.
Keluarga. Yang saya maksud dengan keluarga adalah hubungan dengan keluarga asal dan hubungan di dalam keluarga sendiri. Pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Ada yang bersikap tidak peduli, ada yang bersikap memperhatikan, dan ada pula yang bersikap mendewakan. Ada yang yang tidak peduli karena masa lalu yang tidak menyenangkan namun ada pula yang tidak peduli karena memang hidup hanya untuk diri sendiri. Ada yang bersikap mendewakan, dimana keluarganya adalah segala-galanya baginya. Benar atau salah pasti dibelanya dan tidak seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Ia sangat erat dengan keluarganya dan mereka pun sangat terlibat dalam kehidupannya. Singkat kata, masing-masing merasa berhak untuk tahu dan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Dan, ada yang bersikap memperhatikan, dalam pengertian ia mempunyai hubungan yang dekat dengan keluarganya namun ia bisa bersikap obyektif. Ia tidak bersikap membabi buta membela keluarganya tetapi ia pun tidak bersikap masa bodoh terhadap mereka. Singkat kata, ia adalah diri yang terpisah dan mandiri. Tanpa penjelasan pun kita dapat melihat bahwa dari ketiganya, sikap yang paling baik adalah yang terakhir--memperhatikan keluarga. Salah satu tugas pernikahan adalah membangun keluarga dan ini hanya dapat dilakukan jika keluarga asal tidak terlalu mencampuri urusan dalam keluarga kita sendiri. Sebaliknya, kita pun tidak mau pasangan tidak peduli dengan keluarga asalnya sama sekali sebab ketidakpedulian ini mungkin sekali akan diembankan kepada kita. Maksudnya, ia pun akan menuntut kita untuk lepas secara total dari keluarga asal kita. Jadi, penting bagi kita untuk memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Jadi, jangan sepelekan hal ini. Ada begitu banyak data yang dapat kita peroleh tentang siapakah pasangan dan seperti apakah ia nanti dalam pernikahan lewat pengamatan terhadap relasinya dengan keluarga asalnya.
Jika kita bertanya kepada pasangan, Apakah engkau mementingkan keluarga? sudah tentu ia akan menjawab, Saya mementingkan keluarga. Namun sebagaimana kita ketahui ada begitu banyak ayah atau ibu yang tidak mementingkan keluarga. Mereka mungkin sibuk mengejar ambisi pribadi atau mereka mungkin lebih menikmati menghabiskan waktu dengan teman di luar ketimbang dengan keluarga sendiri. Sebaliknya ada pula orang yang mendewakan keluarganya. Mereka sangat protektif dengan keluarganya sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Sudah tentu pernikahan dan keluarga yang seperti itu akan menjadi pernikahan dan keluarga yang tertutup. Akhirnya kita tidak terbuka terhadap komentar luar sama sekali dan ini berarti, kita pun menjadi orang yang seperti itu--sukar dikritik. Sudah tentu yang baik adalah sikap yang memperhatikan keluarga, tetapi tidak mendewakan keluarga.
Pergaulan. Apakah yang penting atau tidak penting bagi kita akan mempengaruhi pergaulan kita ? Sebenarnya tanpa kita sadari di dalam diri kita masing-masing terdapat sebuah sistem nilai yang menentukan siapakah yang kita anggap teman. Nah, sebagaimana kita ketahui kita adalah makhluk sosial yang memerlukan teman. Kita adalah perpanjangan pergaulan kita dan sebaliknya, teman adalah perpanjangan diri kita pula. Di dalam masa berpacaran kita harus mulai melihat apakah pasangan mempunyai kesamaan nilai dalam memilih teman. Pada umumnya kita bertemu dengan pasangan di dalam lingkup pergaulan yang sama, misalkan di gereja atau di sekolah. Nah, oleh karena kita bertemu di dalam lingkup sosial yang sama, kita pun langsung berasumsi bahwa pasangan mempunyai nilai yang sama dalam menentukan pertemanan. Masalahnya adalah, belum tentu demikian. Kenyataan ia dan kita berada di dalam lingkup sosial yang sama belum tentu mencerminkan nilai yang sama. Sering kali di dalam konteks gereja dan sekolah, kita tidak selalu mempunyai kesempatan untuk memilih teman pribadi lepas pribadi sebab mereka masuk ke dalam hidup kita satu paket dengan kegiatan yang kita lakukan. Misalkan, kita adalah anggota paduan suara. Nah, di dalam paduan suara itu kita akan bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Namun sesungguhnya, bila kita diberikan kesempatan untuk memilih, belum tentu kita mau bergaul dengan semuanya dalam kapasitas teman. Itu sebabnya dalam masa berpacaran kita mesti memperhatikan dengan jeli, sistem nilai yang ada pada diri pasangan. Tangkaplah sistem nilai ini dari perkataannya sewaktu mengomentari seseorang. Perhatikanlah, siapakah yang menjadi fokus perhatiannya dan dihormatinya dan siapakah yang tidak.
Mari kita berhenti sejenak. Mohon diperhatikan bahwa saya tidak mengatakan bahwa kita harus mempunyai sistem nilai yang persis sama dalam memilih teman. Namun, sekali lagi, perbedaan itu haruslah kecil dan kesamaannya haruslah besar. Sebab, jikalau tidak demikian, mustahil bagi kita untuk dapat hidup di dalam lingkup sosial yang sama.
Keuangan. Salah satu sumber konflik dalam keluarga adalah masalah keuangan. Ada begitu banyak hal yang mesti diputuskan yang berkaitan dengan uang. Tidak heran masalah uang akhirnya menjadi ladang subur pertengkaran--bila kita tidak memiliki kecocokan nilai. Itu sebabnya pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan hal ini dengan saksama. Pada umumnya sebagai anak Tuhan kita sampai pada kesimpulan bahwa (a) uang adalah penting tetapi (b) uang bukanlah segalanya. Masalahnya adalah di dalam kenyataannya ternyata penerapannya tidaklah semudah itu. Sebagaimana kita ketahui uang adalah sarana semata--alat untuk membeli sesuatu. Nah, di sinilah letak masalahnya. Ternyata kita tidak selalu seia sekata dalam hal ini: Membeli apa dan untuk apa ? Dengan kata lain, masalahnya adalah pengeluaran uang itu sendiri. Ada yang tidak mementingkan rumah atau kendaraan tetapi mementingkan pendidikan anak. Rumah dan kendaraan boleh kelas dua tetapi sekolah anak mesti kelas satu. Mungkin kita setuju dengan nilai bahwa rumah dan kendaraan kelas dua, tetapi kita tidak setuju dengan sekolah harus kelas satu. Buat kita pendidikan anak tidak apa kelas dua selama ia dapat menikmati masa bersekolahnya. Di sini dapat kita lihat bahwa sebetulnya baik kita maupun pasangan sama-sama memikirkan kepentingan anak--masa depannya-- namun kita tidak sepaham. Penyebabnya jelas: Kita memikirkan kepentingan yang berbeda. Pasangan memfokuskan pada pengasahan otak anak sedang kita memperhatikan pertumbuhan jiwa anak.
Berdasarkan contoh sederhana ini kita dapat melihat betapa kompleksnya perihal uang. Tidak heran dampak ketidakcocokan nilai menyangkut uang juga berdampak besar. Itu sebab penting dalam masa berpacaran kita mulai memperhatikan nilai yang terkandung di dalam diri pasangan. Ada yang berlatar belakang susah sehingga sekarang bertujuan dan berikhtiar keras untuk hidup senang. Ada yang terbiasa hidup senang, sehingga terlalu menggampangkan uang. Ada yang terbiasa hidup keras sehingga sukar bermurah hati.
Kita terbiasa berpikir bahwa kita harus mencari uang. Sebenarnya bukanlah uang yang harus kita cari melainkan kerajaan Allah beserta kebenarannya, sebagaimana dicatat di Matius 6:33, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah beserta kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jadi, perspektif yang benar adalah kita bekerja dan memaksimalkan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Uang adalah imbalan dari kita bekerja semata. Sekali lagi, hidup bukan untuk mencari uang; kita hidup untuk mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya. Dan, Allah berjanji, bukan saja Ia akan mencukupi, tetapi Ia juga akan menambahkan. Apabila kita mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya maka nilai kita pun akan berubah. Kita tidak lagi terpaku pada apa yang penting bagi kita melainkan pada apa yang penting bagi Tuhan dan kerajaan-Nya.
Kecocokan Kepribadian
Sebagaimana tidak ada dua helai daun yang sama, begitu pulalah tidak ada dua manusia yang sama. Ada sejumlah hal yang memisahkan kita dari satu sama lain; salah satu di antaranya adalah kepribadian. Saya mendefinisikan kepribadian sebagai pola sikap dan perilaku yang relatif konsisten. Nah, ada banyak cara untuk menggolongkan kepribadian; untuk pembahasan kali ini saya akan membaginya dalam beberapa kategori berikut ini: (a) santai-serius, (b) bebas-teratur, (c) orientasi pada benda-orientasi pada orang, (d) terbuka-tertutup dan (f) praktis-filosofis.
(a) Santai-Serius. Ada orang yang bawaannya santai. Ia tidak tergesa-gesa dan mengerjakan segalanya sesuai dengan jadwalnya sendiri. Pada umumnya ia tidak terpaku oleh target. Ia tidak berkeberatan gagal mencapai target sebab baginya target adalah buatan manusia. Ia ingin menikmati hidup dan menikmati yang dilakukannya tanpa harus dihantui oleh tuntutan. Salah satu kekuatannya adalah kesabaran namun salah satu kelemahannya adalah kurang berdisplin.
Sebaliknya ada orang yang bawaannya serius. Baginya hidup merupakan sebuah tugas pekerjaan yang mesti diselesaikan. Ia tidak dapat hidup tanpa proyek; ia akan selalu menciptakan proyek baru. Oleh karena keseriusannya ia cenderung tegang dan siapa pun yang berada di dekatnya, akan merasakan ketegangan itu pula. Ia cepat tidak puas dengan hasil pekerjaannya--dan sudah tentu ini berarti, ia pun tidak mudah puas dengan hasil pekerjaan orang lain. Salah satu kekuatannya adalah disiplin hidup dan produktif namun salah satu kelemahannya adalah kurang sabar dan banyak menuntut.
(b) Bebas-Teratur. Ada orang yang bawaannya bebas. Ia cenderung spontan dan sering kali kreatif. Ia belajar lebih banyak dari apa yang dilihat dan didengarnya daripada apa yang dibacanya. Ia tidak terlalu menyukai teori yang rumit dan pembicaraan yang tidak langsung. Ia senang dengan kejelasan dan keterusterangan. Ia bukanlah pemikir dan perancang yang sistematik; sebaliknya, ia adalah seorang pelaku yang cepat mencari jalan keluar praktis dari setiap persoalan. Salah satu kekuatannya adalah sikap apa adanya dan keterbukaannya sedangkan salah satu kelemahannya adalah kadang ia kurang berpikir panjang dan mempertimbangkan dampak perkataan dan perbuatannya pada orang lain, dan sulit untuk diatur. Sebaliknya ada orang yang bawaannya teratur. Semua langkah dipikirkan baik-baik dan ia senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia banyak kekhawatiran sebab ia selalu memikirkan segalanya. Ia senang dengan kerapihan dan sukar menerima ketidakaturan. Ia pun memiliki kecenderungan untuk mengatur dan menata--baik itu lingkungan atau orang di sekitarnya. Ia tidak dapat diburu-buru dan tidak menyukai kejutan. Ia ingin semua direncanakan terlebih dahulu dan ia perlu diberitahukan jauh hari sebelumnya. Tuntutan akan sangat menekannya dan menimbulkan stres dalam dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia bertindak secara sistematik dan baik dalam beroganisasi dan penataan sedangkan salah satu kelemahannya adalah ia cenderung kaku--baik dalam berpikir maupun bertindak--dan kehidupannya cenderung rutin sehingga dapat membuat orang merasa bosan.
(c) Orientasi pada benda-Orientasi pada orang. Ada orang yang bawaannya senang berkutat dengan benda atau obyek, misalkan mesin, barang elektronik, alat seni dan musik, atau data dan angka. Biasanya ia cakap dengan penggunaan tangannya atau kalau ia adalah orang yang menyukai data atau angka, ia pun sanggup duduk berjam-jam mengutak-atik data atau angka. Dapat kita duga, ia tidak begitu menikmati kebersamaan dengan orang--apalagi banyak orang--dan tidak mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengenal apalagi menjalin relasi dengan orang. Baginya mempunyai satu atau dua teman sudah cukup. Salah satu kekuatannya adalah ia cekatan dan cenderung mempunyai keahlian khusus sedangkan kelemahannya adalah ia tidak terlalu mengerti seni berelasi dengan sesama sehingga sering melakukan kesalahan dalam pergaulan. Sebaliknya ada orang yang bawaannya berorientasi pada orang. Ia selalu mencari orang dan ia pun sering dicari orang. Ia senang membuat orang tertawa dan ia pun senang dibuat tertawa. Baginya hidup dengan sesama memberikan energi baru setiap hari. Ia pun menikmati upaya untuk menolong orang dan giat menjalin relasi dan komunikasi. Singkat kata sering kali dalam lingkup sosial ia akan berperan sebagai pemersatu dan pemberi kekuatan. Kehadirannya membuat tali persaudaraan terpelihara. Salah satu kekuatannya adalah ia berempati kuat dan cepat masuk ke dalam kehidupan orang untuk mengerti dan membuatnya diterima, sedang salah satu kelemahannya adalah acap kali ia tertindih oleh beban yang dipikulnya dan akhirnya menuntut orang untuk mengertinya.
(d) Terbuka-Tertutup. Ada orang yang bawaannya terbuka. Apa yang ada di hatinya mudah keluar dan ia pun tidak berkeberatan dikenal seperti apa adanya. Ia juga tidak malu untuk membagikan pergumulan hidupnya dengan sesama dan merasa bebas untuk mengungkapkan perasaannya. Ia berusaha keras agar orang tidak salah paham terhadap dirinya, itu sebabnya ia bersikap dan berperilaku sejelas mungkin. Salah satu kekuatannya adalah biasanya ia tidak berlama-lama menanggung beban stres yang berat sebab ia bersedia terbuka dengan pergumulan hidupnya. Dalam berelasi pun ia cenderung berhasil sebab pada umumnya ia cepat menyelesaikan masalah yang timbul. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia memperlakukan orang seperti dirinya sendiri dan tidak sabar dengan orang yang tidak seperti dirinya. Oleh karena baginya, tidak apa-apa, ia pun mengharapkan yang sama dari orang lain.
Sebaliknya ada orang yang bawaannya tertutup. Segala sesuatu yang keluar dari dirinya harus melewati penyaring yang berlapis. Ia tidak mudah mengungkapkan isi hatinya, apalagi berbagi suka dan duka dengan orang. Ia juga berusaha keras agar orang tidak masuk ke wilayah pribadinya; itu sebabnya, ia berupaya untuk membatasi arus informasi yang keluar dari dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia jarang dan tidak suka menyusahkan orang. Ia menanggung semua sendiri dan tidak mempunyai banyak tuntutan kepada orang lain. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia mengalami kesukaran menyatakan keinginan secara langsung. Karena ia menumpuk kekecewaan, sewaktu akhirnya keluar, ia mudah putus asa dan menyerah.
(e) Praktis-Filosofis. Ada orang yang bawaannya adalah praktis. Cara pikirnya tidak rumit dan ia selalu berusaha menemukan kegunaan dari segala yang dipelajarinya. Jadi, jika sesuatu tidak mempunyai kegunaan yang langsung, ia tidak begitu memperhatikannya. Apa yang menjadi minatnya adalah segala yang tidak bertele-tele. Singkat kata, ia membawa orang kembali berhadapan dengan realitas. Salah satu kekuatannya adalah ia berorientasi pada tindakan konkret. Ia selalu ingin melakukan sesuatu yang nyata dan tidak suka berlama-lama dalam pembicaraan. Salah satu kelemahannya adalah pada akhirnya semua dinilai dari fungsinya. Jika tidak terlihat guna atau fungsinya, dengan mudah ia pun mengesampingkannya. Sebaliknya ada pula orang yang bawaannya filosofis. Orang ini gemar menekuni hal-hal yang dalam dan menikmati berdiskusi dengan orang yang sepertinya. Ia tidak begitu cepat akrab dengan orang sebab ia cenderung hanya tertarik untuk berinteraksi dengan orang yang seperti dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia mempunyai pemikiran yang dalam dan dapat membagi berkat pemahamannya dengan sesama. Salah satu kelemahannya adalah ia cenderung mengisolasi diri dan tidak begitu mempedulikan orang dan kebutuhannya. Tidak bisa tidak, orang di sekitarnya akhirnya sering mengalami kesepian.
Kesimpulan
Satu hal menarik yang dapat kita lihat di sini adalah kebanyakan orang memilih pasangan yang merupakan kebalikannya. Sebagai contoh, orang yang serius cenderung memilih orang yang santai. Orang yang terbuka memilih orang yang tertutup dan orang yang praktis memilih orang yang filosofis. Tidak ada yang salah tentang hal pemilihan ini. Satu hal yang mesti dilakukan adalah menyadari perbedaan di masa berpacaran dan mulai belajar mengungkapkan diri kepada satu sama lain. Setelah itu kita harus berusaha untuk memenuhi pengharapan masing-masing supaya pada akhirnya kita dapat tiba di titik tengah.
Ya, kecocokan kepribadian adalah tugas yang mesti dimulai pada masa berpacaran dan terus dilanjutkan sampai pada masa pernikahan. Sebagaimana dapat kita lihat dalam contoh Isak dan Ribkah, kegagalan menyelaraskan kepribadian memisahkan dua pribadi yang seharusnya menyatu dan membelah keluarga menjadi dua.
Berpacaran Perhatikan Kecocokan II|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T389B|T389B|Pranikah/Pernikahan|Audio|Kendati ada pelbagai penyebab mengapakah pernikahan berakhir di usia dini, namun mungkin sekali penyebab utamanya adalah karena KURANGNYA PERSIAPAN. Ada banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa mengetahui--apalagi menyelesaikan--tugas berpacaran. Salah satu fase yang harus ditempuh dalam proses berpacaran adalah memperhatikan kecocokan, baik kecocokan nilai maupun kecocokan kepribadian.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T389B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu yaitu tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Dan ini merupakan bagian yang kedua, bagian yang pertama sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, dalam perbincangan yang lampau mengenai Berpacaran Perhatikan Kecocokan, Pak Paul mengatakan masih ada lagi hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Kira-kira tepatnya kecocokan dalam hal apa, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah kecocokan kepribadian, Pak Gunawan. Kita telah bahas
kecocokan kerohanian dan kecocokan nilai. Sekarang adalah kecocokan kepribadian. Saya melihat ini salah satu yang sangat penting. Sebab kalau kita tidak cocok dalam hal kepribadian, kita juga akan susah nanti dalam hidup bersama dengan pasangan kita.
GS : Yang disebut kepribadian itu apa, Pak Paul ?
PG : Saya mendefinisikan kepribadian sebagai pola sikap dan perilaku yang relatif konsisten. Maksud saya, sikap kita dan perilaku kita yang ditentukan oleh sebuah pola yang ada dalam diri kita dan pola ini bukannya pola yang berubah-ubah sesuai dengan situasi. Dalam kondisi yang lain pun kita akan menampakkan atau menampilkan reaksi yang sama. Ini yang saya maksud dengan kepribadian.
GS : Apakah ada kaitan antara kepribadian dengan nilai yang dianut oleh seseorang itu? PG : Memang pada dasarnya tidak ada, Pak Gunawan. Jadi apa pun kepribadian kita,
kita bisa memeluk nilai apa pun. Seharusnya tidak berkaitan langsung.
GS : Tapi seolah-olah ada kaitannya secara langsung ya, Pak Paul ? Seperti mengenai sikap kita terhadap uang. Itu 'kan tergantung kepribadian orang itu, bagaimana dia menilai uang itu.
PG : Oke. Saya membedakan kepribadian dengan karakter. Begini saya membedakannya. Kepribadian itu lebih kepada sesuatu yang psikologis. Misalnya ada orang yang lebih santai, ada orang yang lebih serius. Nah, itu saya kategorikan dalam kategori kepribadian. Tapi orang yang lebih tamak itu karakter. Lebih serakah, lebih egois, itu bagi saya bukan kepribadian tapi sebuah karakter. Ini berdosa.
GS : Kepribadian macam apa saja yang bisa kita bahas, Pak Paul ?
PG : Oke. Jadi disini ada kepribadian SANTAI - SERIUS, BEBAS - TERATUR, ORIENTASI PADA BENDA - ORIENTASI PADA ORANG, TERBUKA - TERTUTUP, dan PRAKTIS - FILOSOFIS. Memang ini bukan daftar yang lengkap, tapi saya kira cukup untuk kita gunakan untuk bisa menilai pasangan kita.
GS : SANTAI - SERIUS ini seperti apa, Pak Paul ?
PG : Begini, Pak Gunawan. Ada orang yang bawaannya santai. Dia tidak tergesa-gesa dan mengerjakan segalanya sesuai dengan jadwalnya sendiri. Pada umumnya dia tidak terpaku oleh target. Dia tidak keberatan gagal mencapai target sebab bagi dia target adalah buatan manusia. Kalau kita simpulkan, falsafah kehidupannya pokoknya mengalir sajalah, begitu. Dia ingin menikmati hidup dan menikmati yang dilakukannya tanpa harus dihantui oleh tuntutan. Jadi salah satu kekuatannya adalah kesabaran. Namun salah satu kelemahannya adalah kurang berdisiplin. Sebaliknya ada orang yang bawaannya serius, Pak Gunawan. Bagi dia hidup adalah sebuah tugas yang mesti diselesaikan. Dia tidak dapat hidup tanpa proyek. Dia akan selalu menciptakan proyek-proyek baru. Oleh karena keseriusannya, dia cenderung tegang dan siapa pun yang berada di dekatnya akan merasakan ketegangan itu pula. Dia cepat tidak puas dengan hasil pekerjaannya dan itu pula kenapa dia tidak mudah puas dengan hasil pekerjaan orang lain. Salah satu kekuatannya adalah disiplin hidup dan produktif. Namun salah satu kelemahannya adalah kurang sabar dan banyak menuntut.
GS : Kalau ada pasangan yang memunyai kepribadian seperti itu, yang satu santai yang satunya serius, apakah ini akan menyulitkan mereka ?
PG : Sudah tentu akan menyulitkan. Tapi apakah mereka tidak akan bisa bersatu ?
Tidak ! Artinya kalau dalam masa berpacaran kita sudah kenali ini, di masa berpacaranlah kita mencoba untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Yang santai yang mesti lebih belajar lebih berdisiplin, lebih ada target. Yang tidak bisa santai, serius terus, tolonglah turunkan standarmu, tolonglah lebih mengerti orang, tolonglah lebih sabar. Justru ini tugas, ini PR, yang mesti dimulai dalam masa berpacaran.
GS : Tapi sebenarnya dalam hal kecocokan kepribadian ini tidak terlalu banyak masalah yang harus mereka selesaikan, Pak Paul ?
PG : Kalau orang itu santainya ekstrem atau seriusnya ekstrem, memang lebih susah untuk dicocokkan. Tapi kalau perbedaannya lebih tipis, lebih gampang disatukan. Biasanya sebagai seorang konselor pranikah kalau saya melihat kasus ekstrem ini saya akan memberitahukan. Ini rasanya akan sulit sekali. Karena betapa pun berusaha keras menyesuaikan, jaraknya terlalu besar. Kalau mau diteruskan, ini resiko untuk bermasalah sangat tinggi.
GS : Kalau yang BEBAS - TERATUR itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Ada orang yang bawaannya bebas, cenderung spontan dan seringkali kreatif. Dia belajar lebih banyak dari yang dilihat dan didengarnya daripada dari apa yang dibacanya. Dia tidak terlalu menyukai teori yang rumit dan pembicaraan yang tidak langsung. Dia senang dengan kejelasan dan keterusterangan. Dia bukan pemikir
dan perancang yang sistematik, sebaliknya dia adalah seorang pelaku dan cepat mencari jalan keluar praktis dari setiap persoalan. Salah satu kekuatannya adalah sikap apa adanya dan keterbukaannya. Sedangkan salah satu kelemahannya adalah dia kadang kurang berpikir panjang dan kurang memertimbangkan dampak perkataan dan perbuatannya terhadap orang lain dan sulit untuk diatur. Dan sebaliknya ada orang yang bawaannya teratur, semua langkah dipikirkan baik- baik, senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan, dia banyak kekuatiran sebab dia selalu memikirkan segalanya. Dia senang kerapian dan sukar menerima ketidakteraturan. Dia pun memiliki kecenderungan untuk mengatur dan menata baik itu lingkungan atau orang di sekitarnya. Dia juga tidak dapat diburu-buru dan tidak menyukai kejutan. Dia ingin semua direncanakan terlebih dahulu dan dia ingin diberitahukan jauh-jauh hari sebelumnya. Tuntutan akan sangat menekan dia dan menimbulkan stres di dalam dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia bertindak atau berbuat secara sistematik dan baik dalam berorganisasi dan penataan. Sedangkan salah satu kelemahannya adalah dia cenderung kaku, baik dalam berpikir maupun bertindak dan kehidupannya cenderung rutin, sehingga dapat membuat orang merasa bosan.
GS : Seringkali orang merasa tertantang menikahi orang yang berbeda kepribadian seperti ini. Yang satu bebas, yang satu teratur. Alasannya adalah saya mau belajar sesuatu. Kalau dia mau belajar sebenarnya 'kan tidak terlalu bermasalah, Pak Paul?
PG : Betul. Dalam teorinya kita berkata pas, saling melengkapi. Yang satu bebas yang satu teratur. pas. Tapi pada kenyataannya untuk bisa benar-benar pas itu butuh waktu yang panjang. Karena, contohnya, orang yang teratur itu akan makan hati untuk waktu yang lama. Dia ingin semua teratur dan rapi, sedangkan yang bebas itu semuanya berantakan. Dia ingin semuanya direncanakan, sedangkan yang bebas ? Sedikit-sedikit ada ide yang baru. Kejutan lagi buat dia, kejutan lagi buat dia. Akhirnya dia ngomong kepada yang bebas Tolong kamu begini, tolong kamu begitu. Eh, dilakukan lagi, dilakukan lagi. Artinya tidak bisa diatur. Ya memang itu ciri dari orang yang bebas, susah diatur. Jadi biasanya perlu waktu yang panjang dan diawal-awalnya tidak bisa tidak seringkali akan bentrok. Tapi kalau keduanya mau dengan serius mengorbankan dirinya dan mengalah, keduanya harus bisa mengalah, akhirnya memang bisa hidup bersama, Pak Gunawan. Tapi sekali lagi makin ekstrem dua sifat itu, makin susah digabungkan.
GS : Contoh ketidakcocokan lain yang perlu diperhatikan menjelang pernikahan, apa
Pak Paul ?
PG : Kepribadian BERORIENTASI PADA BENDA dan kepribadian BERORIENTASI PADA ORANG. Ada orang yang bawaannya senang berkutat dengan benda atau objek. Misalkan mesin, barang elektronik, alat seni dan musik, data dan angka. Jadi biasanya orang ini cakap dengan penggunaan tangannya atau kalau dia adalah seorang yang menyukai data atau angka, dia pun sanggup duduk berjam-jam mengutak-atik data atau angka. Dapat kita duga, dia tidak begitu menikmati kebersamaan dengan orang, apalagi banyak orang. Dan tidak memunyai
kebutuhan yang besar untuk mengenal apalagi menjalin relasi dengan orang. Bagi dia memunyai satu atau dua teman sudah cukup. Salah satu kekuatannya adalah cekatan dan cenderung mempunyai keahlian khusus. Sedangkan kelemahannya dia tidak terlalu mengerti seni berelasi dengan sesama, sehingga seringkali melakukan kesalahan dalam pergaulan. Sebaliknya ada orang yang bawaannya berorientasi pada orang. Dia selalu mencari orang, dia pun sering dicari orang. Dia senang membuat orang tertawa dan dia pun senang dibuat tertawa. Baginya hidup dengan sesama memberi energi baru setiap hari. Dan dia pun menikmati upaya menolong orang dan dia menjalin relasi dan komunikasi. Singkat kata, seringkali dalam lingkup sosial dia akan berperan sebagai pemersatu dan pemberi kekuatan. Kehadirannya membuat tali persaudaraan terpelihara. Salah satu kekuatannya adalah dia berempati kuat dan cepat masuk ke dalam kehidupan orang untuk mengerti dan membuatnya diterima. Sedangkan salah satu kelemahannya adalah acapkali dia ditindih oleh beban yang dipikulnya karena akhirnya menuntut orang untuk mengerti dirinya.
GS : Disini ada orang yang mengatakan bahwa berorientasi kepada orang itu lebih penting daripada berorientasi pada barang atau pada angka seperti yang tadi Pak Paul katakan. Sebenarnya apakah bernilai seperti itu ?
PG : Sudah tentu mesti ada keseimbangan. Karena begini, Pak Gunawan. Ada orang yang benar-benar senang berkecimpung dengan orang sehingga hanya mengurusi orang saja dan akhirnya melalaikan tanggung jawabnya di rumah, tidak mengurus keluarga dan anak-anaknya. Ada orang yang begitu. Yang lebih baik adalah keseimbangan. Sama juga dengan orang yang memang berorientasi pada benda. Benda terus yang diotak-atik. Bicara dengan orang tidak bisa lama, tapi mengurus benda bisa sampai berjam-jam. Nah itu juga tidak sehat. Jadi mesti ada penyesuaian sehingga dia belajar untuk mengerem diri, belajar memaksa diri untuk bicara dengan orang dan sebagainya. Kalau keduanya menikah dan keduanya tidak mau berubah, misalnya yang satu berorientasi pada orang dan yang satu berorientasi pada barang dan keduanya tidak mau berubah mencari jalan tengah, ya tidak bisa bersatu.
GS : Tapi dalam pernikahan memang sangat dibutuhkan relasi. Jadi lebih diutamakan yang relasinya bisa terjalin dengan baik daripada mengurusi barang-barangnya. Tapi kalau memang ekstrem ya jadi masalah, ya Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Yang lain lagi apa, Pak Paul ?
PG : Berkepribadian TERBUKA dan berkepribadian TERTUTUP. Kita lihat yang berkepribadian terbuka dahulu. Orang yang berkepribadian terbuka, apa yang ada di hatinya mudah keluar dan ia pun tidak keberatan dikenal orang seperti dia apa adanya. Dia juga mau membagikan pergumulan hidupnya dengan sesama dan merasa bebas untuk mengungkapkan perasaannya. Dia berusaha keras agar orang tidak salah paham terhadap dirinya. Itu sebabnya dia bersikap dan berperilaku sejelas mungkin. Salah satu kekuatannya adalah biasanya dia tidak berlama-lama
menanggung beban stres yang berat, sebab dia bersedia terbuka dengan pergumulan hidupnya. Dalam berelasi pun dia cenderung berhasil, sebab pada umumnya dia cepat menyelesaikan masalah yang timbul. Nah, salah satu kelemahannya adalah kadang dia memerlakukan orang seperti dirinya sendiri dan tidak sabar dengan orang yang tidak seperti dirinya yang terbuka itu. Oleh karena bagi dia tidak apa-apa, artinya tidak mengapa orang kenal dan tahu perasaannya, akhirnya dia pun mengharapkan orang sama seperti dia. Nah sebaliknya, ada orang yang bawaannya tertutup. Segala sesuatu yang keluar dari dirinya harus melewati penyaring yang berlapis. Dia tidak mudah mengungkapkan isi hatinya apalagi berbagi suka dan duka dengan orang. Dia juga berusaha keras agar orang tidak masuk ke wilayah pribadinya. Itu sebab dia berusaha membatasi arus informasi yang keluar dari dirinya. Salah satu kekuatannya adalah dia jarang dan tidak suka menyusahkan orang. Dia menanggung semua sendiri dan tidak memunyai banyak tuntutan kepada orang lain. Salah satu kelemahannya adalah kadang dia mengalami kesulitan menyatakan keinginannya secara langsung. Dan karena dia terus menumpuk-numpuk kekecewaaan, dia tidak suka mengeluarkannya, sewaktu akhirnya kekecewaannya keluar, biasanya dia langsung putus asa dan menyerah. Ini kelemahan dia.
GS : Kalau orang yang berbeda kepribadian ini sampai menikah, percekcokan yang sering terjadi dalam bentuk apa ya ?
PG : Misalnya yang terbuka ini melihat ada yang mengganggu pikiran pasangannya, lalu dia bertanya. Tapi pasangannya yang tertutup tidak mau bicara. Bukannya tidak mau bicara tapi memang susah untuk bicara. Jadi yang terbuka itu marah. Yang terbuka itu berkata, Kamu kok tidak mau percaya padaku, kamu tahu aku ini pasanganmu. Yang tertutup akan berkata, Saya bukannya tidak mau, tapi memang tidak bisa ! Saya orangnya tidak bisa langsung mengeluarkan isi hati saya. Jadi akhirnya yang terbuka merasa, kamu kok tidak bisa percaya dan sebagainya. Nanti kalau dia mengalami masalah dia akan berkata, Sudahlah, saya cerita kepada orang lain sajalah. Sebab pasangan saya sendiri tidak memercayai saya. Jadi kadang masalah seperti itu muncul. Atau yang klasik adalah, yang tertutup karena sukar menyatakan keinginan atau pikirannya, diam-diam saja. Yang satu tidak mengerti apa yang diharapkan oleh pasangannya, terus berbuat ini dan itu. Yang tertutup pun marah. Tapi yang terbuka akhirnya berkata, Kamu tidak bilang sama saya. Kamu diam saja. Kalau tidak suka atau tidak mau ya bicaralah. Akhirnya marah. Harusnya kamu mengerti saya, kata yang tertutup. Kamu 'kan sudah kenal saya sejak lama. Tapi kalau kamu tidak bicara ya saya tidak tahu! Nah, kira-kira seperti itulah pertengkarannya kalau tidak bisa cocok.
GS : Iya. Itu memang menyulitkan atau menjadi duri dalam pernikahan itu sendiri ya, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Dan belum lagi misalnya yang terbuka itu mengharapkan pasangannya juga terbuka dalam menyatakan perasaan kasih atau kemesraannya. Yang terbuka butuh itu, Pak Gunawan. Yang tertutup tidak butuh itu, dia diam-
diam saja. Nanti yang terbuka merasa tidak puas. Saya tidak diperhatikan ? Kok kamu tidak bisa memberi perhatian kepada saya? jadi akhirnya muncul masalah lagi.
GS : Ini biasanya pada masa berpacaran, orang akan berkata nanti kalau sudah menikah dia akan berubah. Saya akan ajari dia seperti saya. Nah ini yang sulit, Pak Paul.
PG : Iya. Biasanya begitu. Nanti bereslah, nanti bisa dibicarakan. Tapi kenyataannya kalau sudah menjadi bagian dari kepribadian kita memang tidak gampang untuk kita ubah. Kita sudah terbiasa. Itu sudah jadi pola. Pola kita berelasi, pola kita bereaksi, pola kita berpikir, pola kita berperilaku. Ini tidak mudah kita ubah.
GS : Apakah masih ada lagi, Pak Paul, tentang kecocokan dan ketidakcocokan ini ?
PG : Ada satu lagi yaitu kepribadian PRAKTIS dan kepribadian FILOSOFIS. Ada orang yang bawaannya adalah praktis, Pak Gunawan. Cara pikirnya tidak rumit dan dia selalu berusaha menemukan kegunaan dari segala yang dipelajarinya. Jika sesuatu tidak memunyai kegunaan yang langsung, dia tidak begitu mempedulikannya. Misalnya orang ini mendengarkan khotbah kemudian aplikasi langsungnya kurang, dia tidak suka. Dia baca buku, kok buku tidak jelas tujuan dan kegunaannya, dia tidak mau baca lagi. Jadi dia benar-benar berorientasi pada fungsi, ada gunanya apa tidak. Kalau tidak berguna, tidak mau memerhatikan. Singkat kata, yang menjadi minatnya adalah segala yang tidak bertele-tele. Dia tidak suka omongan berbunga panjang-panjang, dia maunya to the point. Orang seperti dia biasanya membawa orang kembali kepada realitas, karena dia langsung. Salah satu kekuatannya adalah dia berorientasi pada tindakan konkret. Dia selalu ingin melakukan sesuatu yang nyata dan tidak suka berlama-lama dalam pembicaraan. Salah satu kelemahannya pada akhirnya semua dinilai dari fungsinya. Jika tidak terlihat guna atau fungsinya, dengan mudah dia mengesampingkannya. Sebaliknya ada orang yang bawaannya filosofis, gemar menekuni hal-hal yang dalam dan menikmati berdiskusi dengan orang yang sepertinya, tidak cepat akrab dengan orang, sebab dia cenderung hanya tertarik berinteraksi dengan orang yang seperti dirinya. Salah satu kekuatannya adalah dia memunyai pemikiran yang dalam dan dapat membagi berkat pemahamannya dengan sesama. Salah satu kelemahannya adalah dia cenderung mengisolasi diri dan tidak begitu mempedulikan orang dan kebutuhannya. Tidak bisa tidak orang di sekitarnya merasa kesepian. Jadi kalau dia tidak berubah, dia seperti itu terus dalam pernikahan, pasangannya akan mengeluh, Bosan. Sepi hidup denganmu. Karena kamu tidak peduli sama saya, tidak memikirkan saya. Benar-benar bisa duduk berjam-jam untuk membaca buku, tapi untuk mengajak dengan saya tidak mau. Begitu.
GS : Tapi kalau kedua orang ini menjadi satu pasangan suami istri yang bisa saling melengkapi dan bekerja sama, ini 'kan bisa jadi kekuatan tersendiri, Pak Paul ?
PG : Seyogyanya demikian. Memang dalam masa berpacaran, kalau sudah menyadari bahwa yang satu praktis dan yang satu filosofis, ya mesti sering coba komunikasi lagi. Yang praktis juga belajar untuk toleransi pada yang filosofis yang butuh waktu untuk membaca, untuk sendirian. Tapi sebaliknya yang filosofis juga harus
bisa mengerti bahwa yang praktis itu juga butuh untuk bicara, butuh berdiskusi dan secara langsung tidak mau bertele-tele. Ini perlu disesuaikan pada waktu mereka masih berpacaran.
GS : Yang Pak Paul jelaskan tadi selalu ada positif dan negatifnya. Apakah hal itu menunjukkan bahwa memang manusia ini tidak sempurna ?
PG : Ya. Tepat sekali, Pak Gunawan! Jadi kita yang misalnya mau mencari pasangan itu jangan mengharapkan pasangan kita sempurna, selalu tahu, selalu mengerti. Tidak ya. Jadi akan selalu ada hal-hal yang mesti kita sesuaikan. Dan desain Tuhan, nanti olah karena kita menyesuaikan, kita bertumbuh. Kalau sama sekali kita tidak menyesuaikan berarti kita tidak memunyai kesempatan untuk bertumbuh.
GS : Orang tidak mutlak pada satu sikap seperti itu, maksud saya percampuran dari berbagai macam sikap itu ada dalam diri seseorang.
PG : Betul! Ini pengamatan yang baik. Memang saya hanya menguraikan supaya lebih jelas saja. Dalam prakteknya kita bisa merupakan kombinasi dari beberapa pasangan itu.
GS : Iya. Disini apa yang Alkitab katakan, Pak Paul ?
PG : Satu hal yang menarik yang dapat kita lihat disini, kebanyakan orang memilih pasangan yang merupakan kebalikannya. Contohnya orang yang serius memilih yang santai. Orang yang terbuka memilih yang tertutup. Orang yang praktis memilih orang yang filosofis. Tidak salah ! Satu hal yang mesti dilakukan adalah menyadari perbedaan di masa berpacaran dan mulai belajar mengungkapkan diri kepada satu sama lain. Setelah itu kita harus berusaha memenuhi pengharapan masing-masing supaya pada akhirnya kita bisa tiba di titik tengah. Saya coba bahas satu kasus di Alkitab. Salah satu pasangan di Alkitab yang tampaknya tidak begitu berhasil menyelaraskan perbedaan kepribadian mereka adalah Ishak dan Ribkah. Pada akhirnya perbedaan itu menetes turun ke anak-anak mereka, Esau dan Yakub, menyebabkan mereka ikut terpisah satu sama lain. Kita tahu Esau dan Yakub tidak dekat. Puncak dari perbedaan itu adalah ketika Ribkah menyuruh anaknya, Yakub, untuk memperdaya ayahnya sendiri, yaitu Ishak, untuk mendapatkan berkat warisan. Kita lihat disini, Pak Gunawan, kecocokan kepribadian adalah tugas yang mesti dimulai pada masa berpacaran dan terus dilanjutkan pada masa pernikahan. Sebab kalau tidak, pastilah pernikahan kita itu akan retak dan bukan hanya kita yang retak, seperti kasus Ishak dan Ribkah, anak- anaknya juga ikut retak.
GS : Untuk Ishak dan Ribkah, kepribadian seperti apa yang nampak di dalam diri mereka, Pak Paul ?
PG : Tampaknya memang Ishak orang yang terbuka. Dia 'kan orang yang praktis.
Berburu keluar tidak mau di dalam dan sebagainya. Sedangkan rupanya Ishak orang yang berorientasi pada benda, makanya dia senang dengan binatang berburu. Saya kira Ribkah adalah orang yang berorientasi pada orang. Makanya anaknya, Yakub, juga cakap berelasi dengan orang. Jadi yang satu pada benda,
satu pada orang. Yang satu praktis dan yang satu mungkin lebih filosofis. Jadi rupanya itu tidak pernah bisa disatukan dalam pernikahan mereka.
GS : Sebenarnya upaya pada waktu berpacaran untuk mengetahui hal itu bisa lewat pergaulan atau lewat percakapan, Pak Paul ?
PG : Biasanya, makanya sebelum kita berpacaran dengan seseorang, kita amati dia dulu. Kira-kira apakah dia tipe kepribadian yang bisa cocok dengan kita, setelah itu barulah kita mulai. Setelah kita mulai, kalau kita memang temukan adanya perbedaan, kita mesti coba komunikasikan dan selesaikan. Sampai titik tertentu kalau tetap tidak bisa dan semakin besar bedanya, mungkin itu adalah waktu untuk kita berkata, Rasanya tidak bisa diteruskan.
GS : Iya, terima kasih banyak Pak Paul. Saya percaya ini akan mejadi berkat bagi pasangan yang sedang bersiap-siap untuk menikah.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Berpacaran Perhatikan Kecocokan. Dan ini merupakan perbincangan bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Hal berikut tentang kecocokan yang layak diperhatikan pada masa berpacaran adalah nilai kehidupan atau hal apakah yang penting bagi kita. Sudah tentu tatkala kita menetapkan hal apakah yang penting bagi kita, pada saat bersamaan kita pun menetapkan hal apakah yang tidak penting bagi kita. Nah, inilah yang perlu diperhatikan pada masa berpacaran. Sering kali perbedaan nilai menjadi masalah yang akhirnya meretakkan relasi. Alasannya jelas: Nilai kehidupan mempengaruhi banyak hal, termasuk (a) keluarga, (b) pergaulan, dan (c) keuangan. Mari kita perhatikan ketiga hal ini dengan saksama.
Keluarga. Yang saya maksud dengan keluarga adalah hubungan dengan keluarga asal dan hubungan di dalam keluarga sendiri. Pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Ada yang bersikap tidak peduli, ada yang bersikap memperhatikan, dan ada pula yang bersikap mendewakan. Ada yang yang tidak peduli karena masa lalu yang tidak menyenangkan namun ada pula yang tidak peduli karena memang hidup hanya untuk diri sendiri. Ada yang bersikap mendewakan, dimana keluarganya adalah segala-galanya baginya. Benar atau salah pasti dibelanya dan tidak seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Ia sangat erat dengan keluarganya dan mereka pun sangat terlibat dalam kehidupannya. Singkat kata, masing-masing merasa berhak untuk tahu dan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Dan, ada yang bersikap memperhatikan, dalam pengertian ia mempunyai hubungan yang dekat dengan keluarganya namun ia bisa bersikap obyektif. Ia tidak bersikap membabi buta membela keluarganya tetapi ia pun tidak bersikap masa bodoh terhadap mereka. Singkat kata, ia adalah diri yang terpisah dan mandiri. Tanpa penjelasan pun kita dapat melihat bahwa dari ketiganya, sikap yang paling baik adalah yang terakhir--memperhatikan keluarga. Salah satu tugas pernikahan adalah membangun keluarga dan ini hanya dapat dilakukan jika keluarga asal tidak terlalu mencampuri urusan dalam keluarga kita sendiri. Sebaliknya, kita pun tidak mau pasangan tidak peduli dengan keluarga asalnya sama sekali sebab ketidakpedulian ini mungkin sekali akan diembankan kepada kita. Maksudnya, ia pun akan menuntut kita untuk lepas secara total dari keluarga asal kita. Jadi, penting bagi kita untuk memperhatikan relasi pasangan dengan keluarga asalnya. Jadi, jangan sepelekan hal ini. Ada begitu banyak data yang dapat kita peroleh tentang siapakah pasangan dan seperti apakah ia nanti dalam pernikahan lewat pengamatan terhadap relasinya dengan keluarga asalnya.
Jika kita bertanya kepada pasangan, Apakah engkau mementingkan keluarga? sudah tentu ia akan menjawab, Saya mementingkan keluarga. Namun sebagaimana kita ketahui ada begitu banyak ayah atau ibu yang tidak mementingkan keluarga. Mereka mungkin sibuk mengejar ambisi pribadi atau mereka mungkin lebih menikmati menghabiskan waktu dengan teman di luar ketimbang dengan keluarga sendiri. Sebaliknya ada pula orang yang mendewakan keluarganya. Mereka sangat protektif dengan keluarganya sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik keluarganya. Sudah tentu pernikahan dan keluarga yang seperti itu akan menjadi pernikahan dan keluarga yang tertutup. Akhirnya kita tidak terbuka terhadap komentar luar sama sekali dan ini berarti, kita pun menjadi orang yang seperti itu--sukar dikritik. Sudah tentu yang baik adalah sikap yang memperhatikan keluarga, tetapi tidak mendewakan keluarga.
Pergaulan. Apakah yang penting atau tidak penting bagi kita akan mempengaruhi pergaulan kita ? Sebenarnya tanpa kita sadari di dalam diri kita masing-masing terdapat sebuah sistem nilai yang menentukan siapakah yang kita anggap teman. Nah, sebagaimana kita ketahui kita adalah makhluk sosial yang memerlukan teman. Kita adalah perpanjangan pergaulan kita dan sebaliknya, teman adalah perpanjangan diri kita pula. Di dalam masa berpacaran kita harus mulai melihat apakah pasangan mempunyai kesamaan nilai dalam memilih teman. Pada umumnya kita bertemu dengan pasangan di dalam lingkup pergaulan yang sama, misalkan di gereja atau di sekolah. Nah, oleh karena kita bertemu di dalam lingkup sosial yang sama, kita pun langsung berasumsi bahwa pasangan mempunyai nilai yang sama dalam menentukan pertemanan. Masalahnya adalah, belum tentu demikian. Kenyataan ia dan kita berada di dalam lingkup sosial yang sama belum tentu mencerminkan nilai yang sama. Sering kali di dalam konteks gereja dan sekolah, kita tidak selalu mempunyai kesempatan untuk memilih teman pribadi lepas pribadi sebab mereka masuk ke dalam hidup kita satu paket dengan kegiatan yang kita lakukan. Misalkan, kita adalah anggota paduan suara. Nah, di dalam paduan suara itu kita akan bertemu dan bergaul dengan banyak orang. Namun sesungguhnya, bila kita diberikan kesempatan untuk memilih, belum tentu kita mau bergaul dengan semuanya dalam kapasitas teman. Itu sebabnya dalam masa berpacaran kita mesti memperhatikan dengan jeli, sistem nilai yang ada pada diri pasangan. Tangkaplah sistem nilai ini dari perkataannya sewaktu mengomentari seseorang. Perhatikanlah, siapakah yang menjadi fokus perhatiannya dan dihormatinya dan siapakah yang tidak.
Mari kita berhenti sejenak. Mohon diperhatikan bahwa saya tidak mengatakan bahwa kita harus mempunyai sistem nilai yang persis sama dalam memilih teman. Namun, sekali lagi, perbedaan itu haruslah kecil dan kesamaannya haruslah besar. Sebab, jikalau tidak demikian, mustahil bagi kita untuk dapat hidup di dalam lingkup sosial yang sama.
Keuangan. Salah satu sumber konflik dalam keluarga adalah masalah keuangan. Ada begitu banyak hal yang mesti diputuskan yang berkaitan dengan uang. Tidak heran masalah uang akhirnya menjadi ladang subur pertengkaran--bila kita tidak memiliki kecocokan nilai. Itu sebabnya pada masa berpacaran kita mesti mulai memperhatikan hal ini dengan saksama. Pada umumnya sebagai anak Tuhan kita sampai pada kesimpulan bahwa (a) uang adalah penting tetapi (b) uang bukanlah segalanya. Masalahnya adalah di dalam kenyataannya ternyata penerapannya tidaklah semudah itu. Sebagaimana kita ketahui uang adalah sarana semata--alat untuk membeli sesuatu. Nah, di sinilah letak masalahnya. Ternyata kita tidak selalu seia sekata dalam hal ini: Membeli apa dan untuk apa ? Dengan kata lain, masalahnya adalah pengeluaran uang itu sendiri. Ada yang tidak mementingkan rumah atau kendaraan tetapi mementingkan pendidikan anak. Rumah dan kendaraan boleh kelas dua tetapi sekolah anak mesti kelas satu. Mungkin kita setuju dengan nilai bahwa rumah dan kendaraan kelas dua, tetapi kita tidak setuju dengan sekolah harus kelas satu. Buat kita pendidikan anak tidak apa kelas dua selama ia dapat menikmati masa bersekolahnya. Di sini dapat kita lihat bahwa sebetulnya baik kita maupun pasangan sama-sama memikirkan kepentingan anak--masa depannya-- namun kita tidak sepaham. Penyebabnya jelas: Kita memikirkan kepentingan yang berbeda. Pasangan memfokuskan pada pengasahan otak anak sedang kita memperhatikan pertumbuhan jiwa anak.
Berdasarkan contoh sederhana ini kita dapat melihat betapa kompleksnya perihal uang. Tidak heran dampak ketidakcocokan nilai menyangkut uang juga berdampak besar. Itu sebab penting dalam masa berpacaran kita mulai memperhatikan nilai yang terkandung di dalam diri pasangan. Ada yang berlatar belakang susah sehingga sekarang bertujuan dan berikhtiar keras untuk hidup senang. Ada yang terbiasa hidup senang, sehingga terlalu menggampangkan uang. Ada yang terbiasa hidup keras sehingga sukar bermurah hati.
Kita terbiasa berpikir bahwa kita harus mencari uang. Sebenarnya bukanlah uang yang harus kita cari melainkan kerajaan Allah beserta kebenarannya, sebagaimana dicatat di Matius 6:33, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah beserta kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Jadi, perspektif yang benar adalah kita bekerja dan memaksimalkan potensi yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Uang adalah imbalan dari kita bekerja semata. Sekali lagi, hidup bukan untuk mencari uang; kita hidup untuk mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya. Dan, Allah berjanji, bukan saja Ia akan mencukupi, tetapi Ia juga akan menambahkan. Apabila kita mencari kerajaan Allah beserta kebenarannya maka nilai kita pun akan berubah. Kita tidak lagi terpaku pada apa yang penting bagi kita melainkan pada apa yang penting bagi Tuhan dan kerajaan-Nya.
Kecocokan Kepribadian
Sebagaimana tidak ada dua helai daun yang sama, begitu pulalah tidak ada dua manusia yang sama. Ada sejumlah hal yang memisahkan kita dari satu sama lain; salah satu di antaranya adalah kepribadian. Saya mendefinisikan kepribadian sebagai pola sikap dan perilaku yang relatif konsisten. Nah, ada banyak cara untuk menggolongkan kepribadian; untuk pembahasan kali ini saya akan membaginya dalam beberapa kategori berikut ini: (a) santai-serius, (b) bebas-teratur, (c) orientasi pada benda-orientasi pada orang, (d) terbuka-tertutup dan (f) praktis-filosofis.
(a) Santai-Serius. Ada orang yang bawaannya santai. Ia tidak tergesa-gesa dan mengerjakan segalanya sesuai dengan jadwalnya sendiri. Pada umumnya ia tidak terpaku oleh target. Ia tidak berkeberatan gagal mencapai target sebab baginya target adalah buatan manusia. Ia ingin menikmati hidup dan menikmati yang dilakukannya tanpa harus dihantui oleh tuntutan. Salah satu kekuatannya adalah kesabaran namun salah satu kelemahannya adalah kurang berdisplin.
Sebaliknya ada orang yang bawaannya serius. Baginya hidup merupakan sebuah tugas pekerjaan yang mesti diselesaikan. Ia tidak dapat hidup tanpa proyek; ia akan selalu menciptakan proyek baru. Oleh karena keseriusannya ia cenderung tegang dan siapa pun yang berada di dekatnya, akan merasakan ketegangan itu pula. Ia cepat tidak puas dengan hasil pekerjaannya--dan sudah tentu ini berarti, ia pun tidak mudah puas dengan hasil pekerjaan orang lain. Salah satu kekuatannya adalah disiplin hidup dan produktif namun salah satu kelemahannya adalah kurang sabar dan banyak menuntut.
(b) Bebas-Teratur. Ada orang yang bawaannya bebas. Ia cenderung spontan dan sering kali kreatif. Ia belajar lebih banyak dari apa yang dilihat dan didengarnya daripada apa yang dibacanya. Ia tidak terlalu menyukai teori yang rumit dan pembicaraan yang tidak langsung. Ia senang dengan kejelasan dan keterusterangan. Ia bukanlah pemikir dan perancang yang sistematik; sebaliknya, ia adalah seorang pelaku yang cepat mencari jalan keluar praktis dari setiap persoalan. Salah satu kekuatannya adalah sikap apa adanya dan keterbukaannya sedangkan salah satu kelemahannya adalah kadang ia kurang berpikir panjang dan mempertimbangkan dampak perkataan dan perbuatannya pada orang lain, dan sulit untuk diatur. Sebaliknya ada orang yang bawaannya teratur. Semua langkah dipikirkan baik-baik dan ia senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia banyak kekhawatiran sebab ia selalu memikirkan segalanya. Ia senang dengan kerapihan dan sukar menerima ketidakaturan. Ia pun memiliki kecenderungan untuk mengatur dan menata--baik itu lingkungan atau orang di sekitarnya. Ia tidak dapat diburu-buru dan tidak menyukai kejutan. Ia ingin semua direncanakan terlebih dahulu dan ia perlu diberitahukan jauh hari sebelumnya. Tuntutan akan sangat menekannya dan menimbulkan stres dalam dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia bertindak secara sistematik dan baik dalam beroganisasi dan penataan sedangkan salah satu kelemahannya adalah ia cenderung kaku--baik dalam berpikir maupun bertindak--dan kehidupannya cenderung rutin sehingga dapat membuat orang merasa bosan.
(c) Orientasi pada benda-Orientasi pada orang. Ada orang yang bawaannya senang berkutat dengan benda atau obyek, misalkan mesin, barang elektronik, alat seni dan musik, atau data dan angka. Biasanya ia cakap dengan penggunaan tangannya atau kalau ia adalah orang yang menyukai data atau angka, ia pun sanggup duduk berjam-jam mengutak-atik data atau angka. Dapat kita duga, ia tidak begitu menikmati kebersamaan dengan orang--apalagi banyak orang--dan tidak mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengenal apalagi menjalin relasi dengan orang. Baginya mempunyai satu atau dua teman sudah cukup. Salah satu kekuatannya adalah ia cekatan dan cenderung mempunyai keahlian khusus sedangkan kelemahannya adalah ia tidak terlalu mengerti seni berelasi dengan sesama sehingga sering melakukan kesalahan dalam pergaulan. Sebaliknya ada orang yang bawaannya berorientasi pada orang. Ia selalu mencari orang dan ia pun sering dicari orang. Ia senang membuat orang tertawa dan ia pun senang dibuat tertawa. Baginya hidup dengan sesama memberikan energi baru setiap hari. Ia pun menikmati upaya untuk menolong orang dan giat menjalin relasi dan komunikasi. Singkat kata sering kali dalam lingkup sosial ia akan berperan sebagai pemersatu dan pemberi kekuatan. Kehadirannya membuat tali persaudaraan terpelihara. Salah satu kekuatannya adalah ia berempati kuat dan cepat masuk ke dalam kehidupan orang untuk mengerti dan membuatnya diterima, sedang salah satu kelemahannya adalah acap kali ia tertindih oleh beban yang dipikulnya dan akhirnya menuntut orang untuk mengertinya.
(d) Terbuka-Tertutup. Ada orang yang bawaannya terbuka. Apa yang ada di hatinya mudah keluar dan ia pun tidak berkeberatan dikenal seperti apa adanya. Ia juga tidak malu untuk membagikan pergumulan hidupnya dengan sesama dan merasa bebas untuk mengungkapkan perasaannya. Ia berusaha keras agar orang tidak salah paham terhadap dirinya, itu sebabnya ia bersikap dan berperilaku sejelas mungkin. Salah satu kekuatannya adalah biasanya ia tidak berlama-lama menanggung beban stres yang berat sebab ia bersedia terbuka dengan pergumulan hidupnya. Dalam berelasi pun ia cenderung berhasil sebab pada umumnya ia cepat menyelesaikan masalah yang timbul. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia memperlakukan orang seperti dirinya sendiri dan tidak sabar dengan orang yang tidak seperti dirinya. Oleh karena baginya, tidak apa-apa, ia pun mengharapkan yang sama dari orang lain.
Sebaliknya ada orang yang bawaannya tertutup. Segala sesuatu yang keluar dari dirinya harus melewati penyaring yang berlapis. Ia tidak mudah mengungkapkan isi hatinya, apalagi berbagi suka dan duka dengan orang. Ia juga berusaha keras agar orang tidak masuk ke wilayah pribadinya; itu sebabnya, ia berupaya untuk membatasi arus informasi yang keluar dari dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia jarang dan tidak suka menyusahkan orang. Ia menanggung semua sendiri dan tidak mempunyai banyak tuntutan kepada orang lain. Salah satu kelemahannya adalah kadang ia mengalami kesukaran menyatakan keinginan secara langsung. Karena ia menumpuk kekecewaan, sewaktu akhirnya keluar, ia mudah putus asa dan menyerah.
(e) Praktis-Filosofis. Ada orang yang bawaannya adalah praktis. Cara pikirnya tidak rumit dan ia selalu berusaha menemukan kegunaan dari segala yang dipelajarinya. Jadi, jika sesuatu tidak mempunyai kegunaan yang langsung, ia tidak begitu memperhatikannya. Apa yang menjadi minatnya adalah segala yang tidak bertele-tele. Singkat kata, ia membawa orang kembali berhadapan dengan realitas. Salah satu kekuatannya adalah ia berorientasi pada tindakan konkret. Ia selalu ingin melakukan sesuatu yang nyata dan tidak suka berlama-lama dalam pembicaraan. Salah satu kelemahannya adalah pada akhirnya semua dinilai dari fungsinya. Jika tidak terlihat guna atau fungsinya, dengan mudah ia pun mengesampingkannya. Sebaliknya ada pula orang yang bawaannya filosofis. Orang ini gemar menekuni hal-hal yang dalam dan menikmati berdiskusi dengan orang yang sepertinya. Ia tidak begitu cepat akrab dengan orang sebab ia cenderung hanya tertarik untuk berinteraksi dengan orang yang seperti dirinya. Salah satu kekuatannya adalah ia mempunyai pemikiran yang dalam dan dapat membagi berkat pemahamannya dengan sesama. Salah satu kelemahannya adalah ia cenderung mengisolasi diri dan tidak begitu mempedulikan orang dan kebutuhannya. Tidak bisa tidak, orang di sekitarnya akhirnya sering mengalami kesepian.
Kesimpulan
Satu hal menarik yang dapat kita lihat di sini adalah kebanyakan orang memilih pasangan yang merupakan kebalikannya. Sebagai contoh, orang yang serius cenderung memilih orang yang santai. Orang yang terbuka memilih orang yang tertutup dan orang yang praktis memilih orang yang filosofis. Tidak ada yang salah tentang hal pemilihan ini. Satu hal yang mesti dilakukan adalah menyadari perbedaan di masa berpacaran dan mulai belajar mengungkapkan diri kepada satu sama lain. Setelah itu kita harus berusaha untuk memenuhi pengharapan masing-masing supaya pada akhirnya kita dapat tiba di titik tengah.
Ya, kecocokan kepribadian adalah tugas yang mesti dimulai pada masa berpacaran dan terus dilanjutkan sampai pada masa pernikahan. Sebagaimana dapat kita lihat dalam contoh Isak dan Ribkah, kegagalan menyelaraskan kepribadian memisahkan dua pribadi yang seharusnya menyatu dan membelah keluarga menjadi dua.
Perlunya Kesiapan Dalam Berpacaran|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T390A|T390A|Pranikah/Pernikahan|Audio|Kita dapat melewati fase ketertarikan dan mendapatkan banyak kecocokan dalam masa berpacaran, namun bila kita tidak memiliki kesiapan untuk menikah, tidak seharusnya kita menikah. Berikut ini ada beberapa hal yang termaktub di dalam aspek kesiapan, yaitu kesiapan batiniah, emosional, dan jasmaniah.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T390A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Perlunya Kesiapan Sebelum Pernikahan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini masih seputar tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam berpacaran yang akan menuju ke pernikahan. Kita sudah membahas tentang perlunya ketertarikan dan perlunya kecocokan, tetapi kita akan bicara tentang kesiapan. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Pada dasarnya ada tiga kesiapan yang mesti kita perhatikan. Yang pertama adalah kesiapan batiniah, kedua adalah persiapan emosional dan ketiga adalah persiapan jasmaniah. Kita langsung fokus pada yang pertama yakni kesiapan batiniah. Yang saya maksud adalah sebetulnya kesiapan rohaniah. Kita mesti datang kepada Tuhan, membawa relasi kita kepada-Nya dan minta pimpinan-Nya. Kita mesti peka melihat apa yang terjadi dalam relasi kita dan memohon Tuhan memberikan hikmat kepada kita untuk menilai kesiapan relasi ini masuk ke dalam pernikahan. Saya percaya Tuhan menunjukkan kehendak-Nya lewat firman-Nya, lewat anak- anak-Nya, dan lewat situasi yang kita alami. Kenapa ? Sebab Dia adalah Bapak. Dia Bapak yang sayang kepada kita anak-anak-Nya. Dia tidak ingin kita terjerumus dalam lembah masalah. Itu sebabnya Dia akan memeringatkan kita supaya kita bisa melihat bahwa relasi ini bukanlah relasi yang diberkati-Nya. Sebaliknya bila Allah Tuhan kita menilai bahwa ini adalah relasi yang dikehendaki-Nya, maka Ia pun akan memberkatinya. Jadi kunci untuk melihat apakah relasi ini berada dalam kehendak Tuhan adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, apakah Tuhan berada dalam relasi ini dan memberkati relasi ini ? Kita mesti dapat melihat bahwa Tuhan bekerja dalam relasi ini lewat berbagai cara. Kita harus dapat menyaksikan bahwa Tuhan hadir dalam relasi ini. Sewaktu kita mengalami pimpinan Tuhan dalam menjalani relasi ini, barulah kita dapat dengan pasti berkata bahwa Tuhan beserta dengan kita. Dan ini adalah sebuah kesiapan batiniah yang mesti kita dapatkan.
GS : Ini suatu kesiapan yang penting dan mutlak harus ada terutama bagi kita orang yang beriman. Tetapi biasanya pasangan merasa pokoknya sudah dapat orang yang seiman itu sudah cukup. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau kita sudah memilih yang seiman adalah hal yang baik, jadi kita tidak sembarangan dalam memilih pasangan hidup. Namun belum tentu yang
seiman itu yang cocok buat kita. Jadi kita harus tetap jalani. Jangan sampai kalau kita sudah mendapatkan yang seiman seolah-olah menstempel pasti cocok. Tidak! Tetap harus kita jalani dan kita lihat apakah Tuhan berkarya di dalam relasi kita ini. Apakah Dia sungguh-sungguh menuntun dan memberkati relasi ini. Jikalau misalnya kita melihat kita lebih sering berkelahi daripada hidup damai sejahtera. Hubungan kita dengan Tuhan bukannya makin dekat malah makin menjauh. Kok sepertinya kita lebih jarang berbakti, lebih jarang melayani Tuhan. Nah, semua itu adalah pertanda yang harus kita awasi, bahwa mungkin sekali ini bukan relasi yang Tuhan kehendaki.
GS : Tapi biasanya dalam masa berpacaran kita menganggap bahwa ini memang sudah kehendak dan rencana Tuhan bagi kita, makanya kita dipertemukan, begitu Pak Paul.
PG : Makanya kita tidak bisa hanya melihat satu sisi saja. Tapi kita harus benar-benar
meneliti selama ini apakah relasi ini merupakan relasi yang sungguh-sungguh Tuhan berkati. Apakah iman kita dan kasih kita kepada Tuhan bertumbuh ? Apakah Tuhan memakai relasi ini untuk mengenal kuasa Tuhan dengan lebih dekat dan nyata ? Jadi yang terpenting adalah bukan saja diri kita yang bertumbuh tapi kita juga melihat pasangan kita juga bertumbuh. Pada akhirnya kita berdua makin dapat melayani Tuhan bersama. Ini penting, Pak Gunawan, sebab hidup ini tidak selalu berjalan lurus. Saya ingat sekitar tujuh tahun setelah kami menikah, kami pindah ke Malang, ke Indonesia. Perpindahan tempat, perubahan sosial, perubahan jadwal kehidupan, benar-benar memberikan tekanan tambahan kepada relasi kami. Jadi saat itu kami adalah orang tua muda dengan tiga orang anak berusia 5 tahun, 3 tahun dan 1 tahun. Akibatnya saya dan istri mulai sering dilanda konflik. Saya masih ingat dalam satu kondisi yang frustrasi saya mulai bertanya-tanya, apakah saya keliru memilih istri ? Tidak bisa tidak pertanyaan itu muncul. Namun, tiap kali saya bertanya, saya diingatkan bahwa ketika kami berpacaran kami selalu meminta pimpinan Tuhan dan kami melihat Tuhan sungguh-sungguh memimpin relasi kami. Dengan kata lain, saya tidak bisa menyangkal melihat campur tangan Tuhan yang jelas. Ini menjadi seperti jangkar, pegangan saya melewati masa transisi yang sarat konflik itu. Jadi sebaliknya Pak Gunawan, kalau saya melihat ke belakang dan tidak berkata bahwa Tuhan campur tangan, saya meminta Tuhan memimpin saya dan saya melihat Tuhan memberkati relasi kami, kalau saya tidak bisa bilang begitu, besar kemungkinan pada waktu saya mengalami konflik, saya akan goncang. Saya mungkin akan bertanya-tanya, Ini benar kehendak Tuhan apa tidak ? Mungkin ini bukan kehendak Tuhan. Jadi sekali lagi kalau kita mau menikah kita mesti memiliki kesiapan batiniah. Kesiapan yang ada dalam roh dan hati kita bahwa ini adalah relasi yang Tuhan kehendaki dan Tuhan berkati. Nah, ini akan menjadi bekal yang kuat dalam kita nanti mengarungi pernikahan kita.
GS : Ada sepasang muda-mudi yang tengah berpacaran. Sampai berpacaran sekian tahun lamanya, kemudian si wanita mengatakan ini bukan kehendak Tuhan untuk
mereka menikah. Tapi si pria berkata bahwa ini kehendak Tuhan ! Nah, bagaimana mencari titik temunya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu yang wanita dan yang pria itu keduanya harus memaparkan kenapa baginya ini kehendak Tuhan dan mengapa baginya ini bukan kehendak Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, menurut saya yang penting kita melihat kondisi relasi itu. Kalau memang kita harus memanggil orang ketiga misalnya seorang konselor atau hamba Tuhan dan akhirnya orang ketiga itu berkata relasi ini bukan relasi yang sehat, banyak konflik dan sebagainya, mungkin kita harus melihat hal itu. Kita tidak bisa berkata konflik adalah pertanda bahwa Tuhan tidak menyetujui relasi ini. Tapi konflik setidak-tidaknya harus membuat kita berhati-hati. Dan kalau kita tidak bisa menyelesaikan konflik malah muncul lagi konflik yang sama, dan kalau ini berlangsung untuk waktu yang panjang, disitu kita harus bertanya- tanya apakah ini pertanda dari Tuhan apakah kita tidak bisa meneruskan relasi ini. Kalau memang kita sudah coba selesaikan, kita minta bantuan orang menyelesaikan, tapi tidak bisa selesai malah terus muncul konflik-konflik yang sama, nah mungkin ini adalah tanda dari Tuhan. Jadi sekali lagi, Tuhan tidak selalu bicara dengan jelas kepada kita lewat firman-Nya. Kadang lewat kondisi realitas relasi kita itu sendiri. jadi Tuhan memberikan kepada kita hikmat. Jika kita melihat relasi ini kok lebih banyak berkelahinya dari pada berdamainya, berarti kalau saya menikah ini yang harus saya lalui, ya lebih baik jangan dipertahankan.
GS : Tapi pertanyaannya, kalau mereka seiman, yang diimaninya sama, mereka sama- sama melayani Tuhan, kenapa yang satu bisa punya keyakinan ini kehendak Tuhan untuk putus, tapi yang satu berkeyakinan ini kehendak Tuhan untuk lanjut ?
PG : Memang kita ini manusia seringkali tidak bisa terlepas dari unsur kepentingan pribadi, Pak Gunawan. Saya ingat waktu saya kuliah, dalam persekutuan kami ada seorang pria yang menyukai seorang teman wanita. Kami adakan persekutuan doa dan setelah persekutuan doa, pria ini menghampiri teman wanita ini dan berkata,
Tadi dalam doa Tuhan berfirman kamulah pasangan saya. Teman wanita ini orangnya bijaksana, dia bercerita kepada saya bahwa waktu itu dia menjawab pria ini begini, Kalau itu memang adalah suara Tuhan, Dia pasti akan berbicara juga kepada saya. Akhirnya dia tidak menolak juga tidak mengiyakan, dia hanya berkata saya akan tunggu apakah nanti Tuhan juga berbicara kepada saya. Dan ternyata memang tidak, tidak ada suara Tuhan! Akhirnya mereka tidak jadi, dan akhirnya mereka masing-masing memunyai keluarga. Yang saya hargai adalah, teman pria saya ini beberapa waktu setelahnya mengakui langsung kepada wanita itu, Maaf, saya menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia. Sebab sesungguhnya ini adalah daging saya. Memang saya menyukai kamu. Jadi saya langsung mengaitkan bahwa itu adalah suara Tuhan padahal itu adalah suara saya sendiri yang memang menyukai kamu. Jadi maaf, saya tidak berani berkata begitu lagi. Kalau memang sampai ada pasangan yang seorang berkata lain dari pasangannya, ada dua kemungkinan. Yang mau memertahankan karena memang mencintai akan berkata ini suara Tuhan. Dan yang satunya yang mungkin juga bukan hanya karena
ada banyak konflik tapi bisa jadi dia sendiri sudah berubah pikiran, cintanya sudah berkurang atau bagaimana dan dia tidak mau lagi, dia jadi memakai nama Tuhan. Dalam kondisi seperti itu kita tidak bisa pastikan karena memang hanya Tuhan yang tahu. Saya hanya akan lihat relasi itu sendiri. Kalau satu sudah tidak mau, ya lebih baik jangan. Apakah itu kehendak Tuhan atau tidak, saya tidak tahu pasti, tapi saya kira Tuhan juga akan mengerti bagaimana bisa meneruskan relasi dengan seseorang yang jelas-jelas sudah tidak mau lagi berada dalam relasi ini. Jadi dalam kondisi itu ya lebih baik jangan.
GS : Jadi memang ini suatu kesiapan mutlak dan sangat penting. Selain kesiapan batiniah atau rohani, kesiapan apa lagi yang perlu kita miliki, Pak Paul ?
PG : Kita mesti memiliki kesiapan emosional, Pak Gunawan. Pernikahan dan kehidupan berkeluarga menuntut kesiapan untuk mengorbankan banyak hal. Saya dan Pak Gunawan sama-sama sudah menikah, kita tahu ada banyak pengorbanan. Misalnya kita harus siap mengorbankan pilihan. Sebelum menikah kita dapat mengambil keputusan dan menjatuhkan pilihan sesuai dengan pertimbangan pribadi. Setelah menikah kita mesti mengikutkan pasangan dalam keputusan kita. Dan kalau kita memunyai anak, kita juga sedapat-dapatnya melibatkan anak dalam setiap pertimbangan. Jadi kita harus memikirkan apa saja yang terbaik bagi mereka tapi juga apa yang menjadi keinginan mereka. Jadi kalau kita mau menikah, kita mesti siap dengan hal mengorbankan pilihan. Tidak bisa pokoknya kita ikuti pilihan pribadi. Harus selalu memertimbangkan kepentingan semuanya. Kalau kita tidak siap, ya jangan menikah.
GS : Artinya seseorang yang mau menikah ini dituntut untuk bisa menyangkal dirinya sendiri, Pak Paul ?
PG : Itu adalah istilah yang sangat baik, Pak Gunawan. Betul sekali ! Memang Tuhan meminta kita untuk berani menyangkal diri, tidak lagi mendahulukan pilihan atau kehendak pribadi. Kalau kita memang memiliki ego yang terlalu kuat, mau apa harus dapat, ini akan menyusahkan orang, sebab pernikahan bukan suatu penjajahan. Pernikahan adalah sebuah persatuan dimana dua orang menjadi satu.
GS : Selain untuk mengorbankan pilihan, artinya kita mengalah dalam memilih, yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah kita juga mesti siap mengorbankan waktu. Sebelum menikah kita dapat menggunakan waktu sesuai keinginan dan kebutuhan pribadi. Kita mau bangun jam berapa terserah saja. Setelah menikah, kita harus bersedia mengorbankan waktu bukan untuk kepentingan dan kebutuhan kita melainkan untuk kepentingan dan kebutuhan pasangan dan anak-anak. Misalnya kita selalu berkata, Saya harus buang waktu karena harus mengantarmu, karena harus mengurus anak ! berarti kita tidak rela ya mengorbankan waktu. Jadi barangsiapa hendak menikah dia harus siap mengorbankan waktu. Dan memang kadang- kadang rasanya memang seperti membuang waktu. Tapi itu memang bagian dari pernikahan. Kalau kita orang yang tidak bisa sedikit pun melihat bahwa tidak apalah membuang waktu demi kepentingan pasangan, kita susah masuk dalam
pernikahan dan kita akan menyusahkan pasangan dan anak-anak kita. Kita mesti siap mengorbankan waktu.
GS : Bagaimana dengan hak milik kita, apakah itu juga perlu dikorbankan ?
PG : Pasti, Pak Gunawan! Kalau kita ini orang yang tidak bisa berbagi barang, kalau sudah milik pribadi akan kita simpan dan orang lain kita larang menyentuhnya, orang lain tidak boleh pakai, kita tidak bisa menikah. Kalau kita mau menikah kita harus siap berbagi. Kadang-kadang kita juga mesti siap barang kita rusak dipakai oleh anak kita. Misalnya kita punya barang elektronik. Kita harus siap bila anak kita pasang ini, itu dan akhirnya rusak. Ya sudah tidak apa-apa. Kita tetap harus beritahu dan jaga, tapi kalau tetap kejadian ya mesti kita terima. Jadi kita yang mau menikah harus siap mengorbankan barang pribadi kita.
GS : Tapi dalam pernikahan ada semacam perjanjian, barangmu barangmu, barangku
barangku, sehingga dibuatlah suatu daftar kepemilikan. Bagaimana ini, Pak Paul ? PG : Saya pikir kalau kita mau menikah ya kita harus bersedia untuk berbagi. Tidak bisa
ini eksklusif barang saya, itu eksklusif barangmu. Kalau kita menyatu tapi dengan konsep barangku barangmu, ini bukanlah sebuah penyatuan tapi sebuah kemitraan belaka seperti perusahaan. Seperti P.T. (Perseroan Terbatas) yang masing-masing punya sahamnya. Dalam pernikahan kita meleburkan diri, dua menjadi satu. Jadi kita mesti siap berbagi.
GS : Tapi ada juga yang memang sepakat. Ada barang-barang yang memang khusus milik masing-masing, ada barang-barang yang boleh digunakan bersama-sama. Saya rasa wajar-wajar juga.
PG : Ada kalanya dalam kasus khusus, misalnya ada dua orang yang sudah paro baya, anak-anak sudah besar, pasangannya sudah meninggal dunia, masing-masing hidup sendirian, lalu keduanya bertemu dan memutuskan untuk menikah. Akhirnya sebelum mereka menikah, mereka membuat surat perjanjian tentang apa yang menjadi hak dan harta masing-masing. Itu bisa saya mengerti. Kenapa ? Sebab dalam kasus ini, mereka nanti harus mewariskan kepada anak-anak. Sudah tentu itu terpisah dengan keluarga yang satunya. Anak-anaknya memang memunyai hak atas harta warisan dari orang tua kandungnya. Jadi dalam kasus ini saya pikir tidak apa-apa. Namun dalam kasus dimana kedua orang memang menikah dari muda, tapi kalau dari awal sudah membagi-bagi seperti itu, saya takut nantinya yang satunya akan merasa sedikit banyak terhina. Sebab biasanya dalam kasus seperti itu melibatkan satu pihak yang sangat kaya, dan yang kurang kaya akan merasa belum apa-apa sudah diwajibkan untuk tanda tangan seperti ini. Jadi sudah melukai perasaannya.
GS : Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk emosional ini apa, Pak?
PG : Kita harus siap mengorbankan kebebasan. Sebelum menikah kita bebas berbuat apa pun yang kita anggap baik. Kita bisa pergi dengan siapa pun dan kemana pun. Nah, setelah menikah kita mesti siap melepaskan kebebasan itu. Kita harus siap mengikatkan diri dalam sebuah relasi pertanggungjawaban. Jadi kita tidak bisa berkata saya masih mau hidup bebas, kumpul dengan teman-teman, mau pulang
jam berapa pun terserah saya. Ada yang begitu, Pak Gunawan, pasangan nikah yang menganggap masih lajang, hidup semaunya. Ya tidak bisa ! Kebebasan itu harus dikurangi.
GS : Itu juga bisa menyangkut tentang emosi pasangan kita atau diri kita sendiri.
Bagaimana mengenai perasaan, Pak Paul ?
PG : Betul ! Kalau kita mau menikah kita juga harus siap mengorbankan perasaan.
Maksudnya siapa pun yang mau menikah harus siap terluka, kecewa, sedih dan sebagainya. Kalau kita sayang perasaan dan tidak siap untuk tersakiti, kita tidak siap untuk menikah. Saya tahu kita tidak mau sengaja menyakiti, tapi pada kenyataannya kita akan saling menyakiti. Jadi walaupun kita tidak mau mengecewakan pasangan, akhirnya kadang-kadang kita mengecewakan pasangan. Dengan kata lain, disamping tawa dan cinta, kita harus hidup bersama dengan air mata dan kadang-kadang dengan benci juga. Itulah kenyataan yang mesti kita terima. Sekali lagi, kita mesti siap mengorbankan perasaan juga.
GS : Kalau kita bahas panjang lebar tentang hal ini, ini 'kan menyangkut tentang hak
dan kewajiban masing-masing, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kita bisa simpulkan, kalau namanya siap secara emosional adalah siap untuk mengurangi hak dan mesti siap menambahkan tanggung jawab. Jadi kalau kita menikah berpikir pokoknya saya mau menambah hak dengan menikah. Ya tidak bisa ! Atau berpikir saya mau menikah supaya saya bisa mengurangi tanggung jawab, itu juga tidak benar ! Kita mesti siap mengurangi hak dan menambahkan tanggung jawab. Sebagai contoh, sebelum menikah kita punya hak penuh atas tubuh kita, namun setelah menikah, pasangan juga memiliki hak atas tubuh kita. Sebelum menikah kita punya hak atas uang kita, namun setelah menikah pasangan turut memunyai hak atas uang kita. Kita tidak boleh berkata ini uang saya, kamu tidak boleh menyentuhnya. Nah itu tidak benar ! Karena keduanya harus melebur menjadi satu. Namun bukan hanya siap mengurangi hak, kita juga harus siap menambahkan tanggung jawab. Setelah menikah, kita bertanggungjwab bukan saja atas diri kita tetapi juga atas pasangan dan anak- anak. Kita harus memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Jadi inilah yang harus kita lakukan sebagai pasangan. Sebelum menikah kita harus siap secara emosional, kita harus siap mengurangi hak kita dan kita harus siap menanggung lebih banyak tanggung jawab.
GS : Inti atau kesimpulan dari kesiapan emosional itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Kita harus siap untuk tidak lagi hidup untuk diri sendiri, itu intinya. Bila kita masih ingin hidup untuk diri sendiri sepenuhnya, mustahil kita dapat menikah. Sebab pernikahan dan berkeluarga adalah hidup berbagi. Di dalam berbagi, kita melepaskan dan di dalam melepaskan kita justru menerima. Itulah pernikahan yang Tuhan kehendaki.
GS : Di awal Pak Paul menyatakan ada tiga hal yang perlu disiapkan sungguh-sungguh.
Hal yang ketiga itu apa, Pak Paul ?
PG : Selain kesiapan batiniah dan emosional, kita juga harus mempunyai kesiapan jasmaniah. Saya ingin fokuskan pada dua hal, yaitu kesehatan dan keuangan. Mohon dimengerti, saya tidak mengatakan bahwa untuk dapat menikah kita senantiasa harus berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Tidak! Namun saya mesti mengingatkan bahwa kesehatan berdampak besar pada kelangsungan pernikahan. Jadi biaya pengobatan yang besar dan hambatan akibat sakit penyakit, tidak bisa tidak memberikan tekanan besar kepada pernikahan. Ada banyak pasangan yang akhirnya mengalami masalah yang berawal dari problem kesehatan. Namun saya tidak melarang orang untuk menikah dengan seseorang yang memunyai masalah fisik. Namun saya perlu mengingatkan bahwa jika kita memutuskan untuk menikah dengan dia, kita harus siap menanggung konsekuensinya. Jika tidak siap, lebih baik kita mengakui apa adanya.
GS : Sekarang ini sudah lazim pasangan menjelang menikah memeriksakan kesehatannya ke laboratorium atau ke dokter. Ini bermanfaat sekali, Pak Paul ?
PG : Saya kira, ya. Kita memastikan bahwa pasangan kita sehat. Misalnya ketahuan ada masalah serius dan memerlukan pengobatan, mungkin kita bisa menunda dulu. Kita fokuskan pada kesembuhannya dahulu. Atau karena sekarang kita tahu dia memunyai penyakit seperti itu dan kita jujur tidak siap untuk menghadapinya, lebih baik kita berkata apa adanya. Misalkan ada orang yang siap, ya tidak apa- apa. Saya tahu ada orang yang tahu bahwa suaminya tidak akan hidup panjang karena penyakit yang dideritanya, tapi memang dia mencintai suaminya dan keluarganya mendukung, ya mereka tetap menikah. Walau tidak lama setelah menikah memang suaminya ambruk lagi, sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kadang hal seperti itu terjadi. Kalau siap, tidak apa-apa. Kalau tidak siap, lebih baik jujur apa adanya. Daripada menikah kemudian tidak bisa memegang janjinya, bahkan lari atau bagaimana, itu 'kan lebih melukai pasangan kita.
GS : Kadang penyakit itu tidak muncul sebelum pernikahan, tapi setelah pernikahan, Pak Paul.
PG : Kalau itu terjadi kita harus memegang janji nikah kita. Dalam sehat dan dalam sakit kita akan mendampingi pasangan kita.
GS : Selain memertimbangkan kesehatan, hal lain dalam kesiapan jasmaniah ini apa,
Pak Paul ?
PG : Kesiapan keuangan, Pak Gunawan. Berkaitan dengan keuangan, saya kira sikap terbaik adalah bertanggung jawab. Saya mengerti bahwa standard setiap keluarga akan kecukupan itu tidak sama. Ada orang tua dan ada kalanya pasangan itu sendiri yang menuntut penyediaan berlimpah. Masalahnya adalah belum tentu pasangan muda dapat memenuhi standard yang telah dicapai oleh orang tuanya. Jadi sebaiknya kita tidak menentukan standard kecukupan yang terlalu tinggi. Sebaliknya, saya juga mengingatkan ya, hati-hati ! Karena ada orang yang memang bersikap kurang hati-hati, Pak Gunawan. Ada yang beranggapan bahwa tidak apa hidup ala kadarnya yang penting saling mencintai. Saya mengerti cinta itu penting tapi kecukupan juga penting. Jadi sebelum menikah sebaiknya kita memunyai
kesamaan harapan akan standard kehidupan yang diinginkan. Jangan sampai terdapat jurang perbedaan yang besar. Sebab bila itu terjadi hampir dapat dipastikan, uang akan menjadi masalah yang kerap diungkit-ungkit. Kuncinya adalah siapkanlah pernikahan dengan bertanggungjawab. Pastikan kebutuhan mendasar seperti makan, minum, tempat tinggal dan biaya kehidupan bersama akan tercukupi. Kalau memungkinkan perhitungkan adanya biaya tambahan, seperti nanti kalau hamil, biaya kelahiran anak dan apakah bisa kita tabung uang untuk biaya sekolah anak dan sebagainya. Kalau itu bisa kita siapkan, saya kira barulah kita siap untuk menikah secara keuangan juga.
GS : Minimal di antara mereka sudah ada yang memunyai penghasilan tetap, ya Pak
Paul ?
PG : Betul sekali. Dan bukan hanya tetap tapi juga memang bisa mencukupi kebutuhan mendasar itu.
GS : Sehubungan dengan perbincangan kita ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Lukas 14:28-30 berkata, Sebab siapakah diantara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Ini nasihat yang baik dari
Tuhan Yesus. Jadi apa pun yang menjadi kondisi kita, kita nantinya harus siap. Kalau tidak siap untuk menikah sebaiknya jangan dipaksakan.
GS : Lebih baik ditunda atau dibatalkan daripada hancur-hancuran setelah pernikahan, ya Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Perlunya Kesiapan Sebelum Pernikahan. Dan ini merupakan bagian dari pembicaraan mengenai Tugas Dalam Berpacaran. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e- mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Sekarang tibalah kita pada bagian akhir dari pembahasan tentang tugas yang mesti diselesaikan pada masa berpacaran. Kita dapat melewati fase ketertarikan dan mendapatkan banyak kecocokan, namun bila kita tidak memiliki kesiapan untuk menikah, tidak seharusnya kita menikah. Berikut ini akan ada beberapa hal yang termaktub di dalam aspek kesiapan.
(1) Kesiapan batiniah. Kita mesti datang kepada Tuhan membawa relasi kita kepada-Nya dan meminta pimpinan-Nya. Kita pun harus peka melihat apa yang terjadi di dalam relasi kita dan memohon Tuhan untuk memberikan hikmat kepada kita untuk menilai kesiapan relasi ini masuk ke dalam pernikahan. Saya percaya Tuhan menunjukkan kehendak-Nya lewat Firman-Nya, lewat anak-anak-Nya, dan lewat situasi yang yang kita alami.
Sebagai Bapa yang sayang kepada anak-anak-Nya, Ia tidak ingin kita terjerumus ke dalam lembah masalah. Itu sebabnya Ia akan memperingati kita supaya kita bisa melihat bahwa relasi ini bukanlah relasi yang diberkati-Nya. Sebaliknya, bila Ia menilai bahwa ini adalah relasi yang dikehendaki-Nya, maka Ia pun akan memberkatinya. Jadi, kunci untuk melihat apakah relasi ini berada dalam kehendak Tuhan adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, Apakah Tuhan berada di dalam relasi ini dan memberkati relasi ini? Kita mesti dapat melihat bahwa Tuhan bekerja di dalam relasi kita lewat pelbagai cara. Kita harus dapat menyaksikan bahwa Tuhan hadir di dalam relasi ini. Sewaktu kita mengalami pimpinan Tuhan di dalam kita menjalani relasi ini, barulah kita dapat dengan pasti berkata bahwa Tuhan beserta dengan kita.
Selain dari itu kita juga harus bisa berkata bahwa Tuhan telah memberkati relasi kita. Sewaktu kita menengok ke belakang, bukan saja kita mesti dapat berkata bahwa Tuhan telah menyertai kita berdua, tetapi Ia pun telah memberkati relasi ini. Tuhan memakai relasi ini untuk menumbuhkan kasih dan iman kita kepada-Nya. Tuhan pun telah memakai relasi ini membawa kita mengenal kuasa Tuhan secara lebih dekat dan riil. Dan, terpenting adalah bukan saja kita sendiri bertumbuh tetapi kita pun melihat bahwa pasangan kita juga telah bertumbuh. Pada akhirnya kita berdua makin dapat melayani Tuhan bersama. Jadi, sebelum kita melangkah masuk ke dalam pernikahan, kita harus yakin bahwa Tuhan telah beserta dan memberkati relasi ini. Kita harus dapat berkata bahwa kita berada di dalam kehendak Tuhan. Ia menghendaki kita menikah, bukan kita memaksakan kehendak kepada Tuhan untuk membolehkan kita menikah. Inilah kesiapan pertama.
(2) Kesiapan emosional. Pernikahan dan kehidupan berkeluarga menuntut kesiapan untuk mengorbankan banyak hal. Sebagai contoh kita harus siap mengorbankan PILIHAN. Sebelum menikah kita dapat mengambil keputusan dan menjatuhkan pilihan sesuai dengan pertimbangan pribadi. Setelah menikah kita mesti mengikutsertakan pasangan--dan nantinya anak--dalam setiap pertimbangan. Kita harus memikirkan bukan saja apa yang terbaik bagi mereka, tetapi juga apa yang menjadi keinginan mereka. Kita juga mesti siap untuk mengorbankan WAKTU. Sebelum menikah kita dapat menggunakan waktu sesuai keinginan dan kebutuhan pribadi. Setelah menikah kita harus bersedia mengorbankan waktu bukan untuk kepentingan dan kebutuhan kita melainkan untuk kepentingan dan kebutuhan pasangan dan anak-anak. Kita pun harus siap mengorbankan BARANG KEPUNYAAN kita. Sebelum menikah kita bebas menggunakan barang kepunyaan kita tetapi setelah menikah kita harus berbagi dengan pasangan dan anak-anak kita. Kadang kita tidak dapat menggunakannya karena pasangan atau anak sedang menggunakannya. Mungkin lebih berat dari semua yang di atas adalah kita harus siap mengorbankan KEBEBASAN. Sebelum menikah kita bebas berbuat apa pun yang kita anggap baik; kita dapat pergi dengan siapa pun dan ke mana pun. Setelah menikah kita mesti siap melepaskan kebebasan itu. Kita harus siap mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban. Kita juga mesti siap mengorbankan PERASAAN. Siapa pun yang ingin menikah harus siap terluka, kecewa, sedih dan sebagainya. Bila kita sayang perasaan dan tidak siap untuk tersakiti, kita tidak siap untuk menikah. Di samping tawa dan cinta, kita harus hidup bersama dengan airmata dan benci. Itulah kenyataan pernikahan yang mesti diterima. Terakhir dan mungkin tersulit adalah kita harus siap MENGURANGI HAK DAN MENAMBAHKAN TANGGUNG JAWAB ke atas bahu kita. Sebagai contoh, sebelum menikah kita mempunyai hak penuh atas tubuh kita namun setelah menikah, pasangan kita juga memiliki hak atas tubuh kita. Sebelum menikah kita mempunyai hak atas uang kita namun setelah menikah pasangan turut mempunyai hak atas uang kita. Bukan saja kita mesti siap mengurangi hak, kita pun harus siap menambahkan tanggung jawab. Setelah menikah kita bertanggung jawab bukan saja atas diri kita, kita pun bertanggung jawab atas pasangan dan anak-anak kita. Kita harus memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Pada waktu pasangan kehilangan pekerjaan, kita harus berusaha untuk mengurangi pengeluaran supaya kebutuhan tercukupi.
Sebagai kesimpulan kita harus siap secara emosional untuk tidak lagi hidup untuk diri sendiri. Bila kita masih ingin hidup untuk diri sendiri sepenuhnya, mustahil kita akan dapat menikah. Pernikahan dan berkeluarga adalah hidup berbagi. Di dalam berbagi kita melepaskan dan di dalam melepaskan, kita menerima. Itulah pernikahan.
(3) Kesiapan Jasmaniah. Berkaitan dengan kesiapan jasmaniah, ada dua hal yang mesti diperhatikan yaitu KESEHATAN dan KEUANGAN. Saya tidak mengatakan bahwa untuk dapat menikah kita senantiasa harus berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Namun saya mesti mengingatkan bahwa kesehatan berdampak besar pada kelangsungan pernikahan. Biaya pengobatan yang besar dan hambatan akibat sakit penyakit, tidak bisa tidak, memberikan tekanan yang besar pada pernikahan. Ada banyak pasangan yang akhirnya mengalami masalah yang berawal dari problem kesehatan. Sekali lagi, saya tidak melarang orang untuk menikah dengan seseorang yang mempunyai masalah fisik. Namun saya perlu mengingatkan bahwa jika kita memutuskan untuk menikah dengannya, kita harus siap menanggung konsekuensinya. Jika tidak siap lebih baik kita mengakuinya. Kesiapan jasmaniah berikut yang mesti dipertimbangkan adalah kesiapan keuangan. Berkaitan dengan soal keuangan, saya kira sikap terbaik adalah bertanggung jawab. Saya mengerti bahwa standar setiap keluarga akan kecukupan tidak sama. Ada orang tua dan adakalanya pasangan itu sendiri yang menuntut penyediaan secara berlimpah. Masalahnya adalah belum tentu pasangan muda dapat memenuhi standar yang telah dicapai oleh orang tuanya. Jadi, sebaiknya kita tidak menetapkan standar kecukupan yang tinggi. Sebaliknya, ada yang bersikap gegabah. Ada yang beranggapan bahwa tidak apa hidup ala kadarnya, terpenting adalah saling mencintai. Sudah tentu saling mencintai adalah penting namun kecukupan juga adalah penting. Begitu banyak pernikahan yang retak akibat masalah keuangan.
Itu sebab sebelum menikah kita harus mempunyai kesamaan harapan akan standar kehidupan yang diinginkan. Dan sebagaimana kita ketahui uang pun terkait dengan persoalan harga diri. Akhirnya masalah uang pun meluas dan mendalam.
Sekali lagi, kita harus menyiapkan pernikahan secara bertanggung jawab. Pastikanlah bahwa kebutuhan mendasar seperti makan, minum, tempat tinggal dan biaya kehidupan bersama tercukupi. Perkirakanlah biaya tambahan seperti kehamilan dan biaya kelahiran anak. Dan hitunglah uang yang dapat ditabung untuk biaya sekolah anak kelak. Saya kira perkiraan penyediaan sampai di sini sudah memadai.
Kasus-kasus Khusus Dalam Berpacaran|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T390B|T390B|Pranikah/Pernikahan|Audio|Semua orang tua dan semua pasangan pastilah berharap bahwa masa berpacaran akan berlangsung secara mulus sampai pada bangku pelaminan. Namun, pada kenyataan tidaklah selalu demikian.Kadang ada saja masalah yang timbul yang memerlukan perhatian dan tindakan khusus.Berikut dipaparkan beberapa kasus yang membutuhkan perhatian khusus, salah satunya adalah Long Distance Relationship.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T390B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Kasus-kasus khusus dalam Berpacaran. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang cukup banyak topik yang kita bicarakan tentang berpacaran, Pak Paul.
Tapi selalu ada celah atau bagian-bagian yang luput dibicarakan. Kali ini kita mau mengangkat sebuah perbincangan tentang kasus-kasus khusus dalam berpacaran. Apa saja kasus itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu semua orang tua, semua pasangan berharap pada masa berpacaran dapat berjalan mulus sampai bangku pelaminan, namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Ada saja masalah yang timbul yang perlu perhatian dan tindakan khusus. Jadi kita coba angkat beberapa kasus yang sering terjadi. Yang pertama adalah kasus khusus berpacaran jarak jauh. Kita tahu sekarang perkenalan bisa terjadi secara online. Tidak jarang berpacaran pun dilakukan secara online atau jarak jauh. Sudah tentu pertemuan tatap muka menjadi terbatas. Sebagai akibatnya, pengenalan terhadap pasangan juga berkurang. Setidaknya ada tiga hal yang saya ingin kita perhatikan untuk kita pertimbangkan sebelum kita memutuskan menjalani relasi jarak jauh. Yang pertama adalah berpacaran jarak jauh berpotensi menciptakan kesan dan akhirnya kesimpulan yang tidak tepat. Oleh karena kita hanya bertemu sekali-sekali, maka perasaan senang dan cinta berkemungkinan besar tetap tinggi dan tidak sempat turun ke level yang lebih realistik. Bahaya terbesar disini adalah kita langsung memutuskan untuk menikah atas dasar saya tetap cinta, senang kalau ketemu dia. Mungkin kita katakan hubungan kita baik-baik saja dan cinta kita sangatlah kuat. Masalahnya adalah kesan dan kesimpulan itu belum tentu benar karena berdasarkan hanya pada perjumpaan sesekali itu. Ini berbahaya karena bisa menciptakan kesan dan akhirnya kesimpulan yang tidak tepat.
GS : Tapi bagaimana kalau mereka intens berkomunikasi walaupun secara online, Pak
Paul ?
PG : Saya tetap tidak setuju. Ini membawa kita pada poin berikutnya, sebab bagaimanapun berpacaran jarak jauh, kendati intens berkomunikasi, tidak memberi ruang yang cukup untuk mengenal pasangan secara menyeluruh. Pada akhirnya apa yang kita ketahui tentang pasangan sepenuhnya berasal dari penuturannya semata. Kita tidak dapat memastikannya karena memang kita tidak
berkesempatan melihatnya secara langsung. Nah, hal ini berarti aka nada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan setelah menikahinya. Masalahnya adalah penyesuaian ini bisa ringan, tapi juga bisa berat. Jadi kadangkala barulah tahu barulah melihat dengan mata kepala sendiri setelah bersama-sama. Jadi pacaran jarak jauh seringkali tidak memberikan kesempatan kepada kita mengenal pasangan dengan lebih menyeluruh.
GS : Apa lagi kesulitannya kalau kita berpacaran jarak jauh, Pak Paul ?
PG : Membuat kita mengalami kesulitan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah bersama-sama. Maksudnya, karena tidak bersama-sama jadi kalau ada masalah, kita tidak berkesempatan mendiskusikannya, mencarikan solusinya bersama-sama. Alhasil setelah menikah, barulah kita berkesempatan mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah bersama-sama dan mengambil keputusan bersama-sama. Nah, masalahnya adalah oleh karena kita tidak begitu paham, maka besar kemungkinan kita akan jatuh bangun belajar memutuskan persoalan dan mendamaikan konflik bersama-sama. Kesimpulannya, pasangan yang berpacaran jarak jauh harus berjuang keras menyelaraskan diri satu sama lain. Saya mengerti tidak semua harus seperti itu namun menurut saya resiko ini tidaklah kecil. Jadi saya menganjurkan, sebelum memutuskan menikah, hendaklah pasangan yang berpacaran jarak jauh menyempatkan diri untuk tinggal dalam satu kota untuk satu kurun waktu supaya perkenalan dapat berlanjut dan berkembang.
GS : Tapi biasanya ini menyangkut pekerjaan, Pak Paul. Masing-masing bekerja di kota yang berbeda.
PG : Makanya memang agak susah juga. Tapi sekali lagi kita mesti pertimbangkan.
Apakah ini sesuatu yang rela kita resikokan ? Ini 'kan komitmen seumur hidup. Kalau memang hal ini kita anggap penting, ya sudah salah satu mengalah, misalkan meninggalkan pekerjaannya, pindah ke kota tersebut. Namun yang sekarang sering terjadi adalah pertemuan online, Pak Gunawan. Kita tahu sekarang media sosial menjadi kegandrungan anak-anak muda. Mereka berkenalan secara online. Akhirnya sudah menganggap kenal baik karena sudah kenal sudah bisa berbincang, sudah bisa face time atau muka dengan muka, pakai Skype dan sebagainya. Itu sudah dianggap berpacaran. Tidak! Itu tidak sama. Kita memang harus mengenal, hidup satu kota, sehingga benar-benar bisa mengamati dengan lebih menyeluruh. Ada ini terjadi, ada itu terjadi. Sebagai contoh, hal yang sederhana. Ada orang yang tahu pasangannya itu beremosi tinggi gara-gara pergi bersama. Naik mobil tidak bisa didahului orang. Dia pasti marah, dia harus kejar dan maki-maki orang itu. Orang lain tidak bisa berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, dia langsung mengamuk. Itu 'kan tidak mungkin terlihat kalau kita hanya bertemu dengannya sekali-sekali dan lebih sering bicara secara online.
GS : Apalagi kalau orangnya pandai menyembunyikan emosinya, akan sulit sekali menghadapi orang seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Kasus khusus berikutnya apa, Pak Paul, selain berpacaran jarak jauh menimbulkan masalah.
PG : Kehamilan, Pak Gunawan. Kendati sudah menjaga batas, adakalanya anak-anak Tuhan tetap jatuh ke dalam dosa perzinahan yang mengakibatkan kehamilan. Apakah yang mesti diperbuat ? Biasanya yang terpikir adalah menggugurkan kandungan. Dengan kata lain, berupaya menyelesaikan masalah dengan cara menghilangkannya. Saya percaya sesungguhnya kita semua tahu bahwa mengaborsi janin bukanlah tindakan yang menyenangkan hati Tuhan. Sebab bagaimana pun anak adalah pemberian Tuhan dan seorang manusia. Jadi jangan melakukannya. Pilihan kedua adalah langsung menikah karena sudah hamil. Apabila relasi berpacaran itu memang sudah mencapai titik kematangan yang baik atau cocok, pilihan menikah adalah pilihan yang baik. Namun jika tidak, misal baru berkenalan, baru saling mengenal, ini bukan pilihan yang baik. Begitu banyak pernikahan yang dirundung masalah karena keduanya masuk ke dalam pernikahan di dalam ketidak siapan. Akhirnya relasi yang belum matang itu menjadi ladang subur bertumbuhnya masalah. Acapkali sekurangnya satu pihak yang akan merasa terpisah, gara-gara hamil jadi harus menikah. Alhasil bukan kebahagiaan yang dicicipi melainkan konflik dan penyesalan. Sekali lagi bila pernikahan bukan pilihan yang sesuai, tindakan terbaik adalah memelihara janin sampai kelahiran.
GS : Kalaupun pilihan kedua yaitu mereka akan menikah, yang dipilih di antara keluarga itu, ketika kehamilan masih sangat muda tapi sudah diketahui positif, atau menunggu beberapa saat untuk mencari titik temunya ?
PG : Saya kira dari awal, Pak Gunawan. Begitu diketahui ada kehamilan, harus segera dilihat dan dievaluasi, sesungguhnya apakah mereka siap menikah atau tidak. Jangan sampai kita asal menutupi aib makanya menikah. Saya mengerti sebagai orang tua kita bisa merasa malu dan sebagainya. Tapi kita mesti melihat jauh. Sebab begitu banyak pernikahan yang dirundung masalah gara-gara tidak siap menikah tetapi harus menikah karena sudah mengandung. Terlalu banyak masalah dan kasihan anak-anaknya nanti akan menjadi korban, harus melihat orang tuanya terus bertengkar. Sebaiknya kalau memang hamil, kita harus lihat apakah siap atau tidak. Kalau tidak siap, kedua orang tua harus bertekad berkata, lebih baik jangan dulu, tunda. Biarkan anak ini melahirkan bayinya. Kalau kita merasa malu, coba singkirkan dulu. Saya tahu ada beberapa tempat yang menampung orang-orang yang hamil di luar nikah. Biarkan tinggal di sana sampai anak itu lahir, setelah itu baru diputuskan apakah memang siap menikah. Kalau memang tidak siap, lebih baik anak itu diserahkan untuk diadopsi daripada memaksakan menikah di dalam ketidaksiapan.
GS : Tapi itu seolah-olah si pria itu bebas, tidak ada tanggung jawabnya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu jika itu yang diputuskan, misalnya anak itu akan dititipkan dimana selama masa kehamilan, pihak pria harus ikut andil, ambil bagian dalam bidang keuangan dan sebagainya. Dan kalau memang harus diserahkan, keduanya harus
siap sedia menyerahkan anak itu untuk diadopsi. Saya mengerti adakalanya anak itu usianya terlalu muda untuk memunyai anak, tidak sehat ya, tidak baik dipaksakan menikah. Tapi serahkan saja untuk diadopsi. Jangan tergesa-gesa memaksakan anak untuk menikah.
GS : Memang yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi kehamilan itu. PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Kasus khusus yang lain, apa Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah kekerasan, Pak Gunawan. Kadang pada awal berpacaran kita belum dapat melihat sisi kekerasan pada pasangan kita. namun setelah melewati kurun waktu barulah kita melihatnya. Mungkin kita melihat pasangan memukul atau membanting barang. Melihat pasangan memunyai kecenderungan yang tinggi untuk meledak. Dan mungkin kitapun telah menjadi korban kekerasannya. Apa yang mesti kita lakukan ? Langkah pertama, kita mesti melihat pasangan secara utuh. Dalam pengertian apakah memang secara keseluruhan dia adalah orang yang bertemperamen keras dan labil. Bila ya, hal ini perlu dipertimbangkan dengan serius. Namun bila tidak, besar kemungkinan reaksi kekerasannya merupakan cetusan frustrasi karena tidak dapat berkomunikasi dengan kita, tidak dapat membuat kita mengerti, atau tidak dapat membuat kita menerima perkataannya. Singkat kata, kita perlu melihat apakah kita memang berandil dalam memicu reaksi kekerasannya. Apabila kita mendapati bahwa memang dia dibesarkan dalam kekerasan dan cenderung mengeluarkan reaksi keras dan sangat mudah terpicu, nah saya harus menyarankan agar pertunangan atau pernikahan ditunda. Masalah ini perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum keputusan untuk menikah dibuat.
GS : Tapi kekerasan ini tidak harus fisik. Kadang lewat kata-kata yang tajam, bukankah itu juga perlu dipertimbangkan ?
PG : Sangat-sangat perlu dipertimbangkan, Pak Gunawan. Betul, ada orang yang mungkin tidak memukul, tapi kalau memaki luar biasa kasar dan luar biasa menghinanya. Ini hal yang tidak sehat, bukan saja kepada pasangannya yang menjadi korban, tapi besar kemungkinan ke anak-anak. Karena orang yang sering memaki itu nantinya bukan hanya memaki pasangannya, tetapi juga anak- anaknya. Ini juga perlu kita perhatikan. Tentu kalau memungkinkan, dia menjalani bimbingan atau apa sehingga bisa diselesaikan. Kalau dia menolak, ini masalahnya! Atau dia berkata, saya tidak bermasalah atau malah menyalahkan kita sebagai pemicu kemarahannya, saya harus berkata lebih baik relasi ini diputuskan. Terlalu sering saya mendengar pengakuan dari korban kekerasan bahwa sesungguhnya benih kekerasan itu sudah tampak pada masa berpacaran. Biasanya si pelaku itu meminta maaf, berjanji untuk tidak melakukannya tapi kemudian mengulangnya lagi. Lebih baik jangan, resikonya terlalu besar.
GS : Sekalipun dia berkata, Saya bertobat tidak akan melakukan itu lagi, begitu Pak
Paul ?
PG : Betul. Sebab misalkan ini baru terjadi sekali dan dia benar-benar menyesali, bertobat dan tidak mau melakukannya lagi, kita harus berikan kesempatan. Namun
kalau dia mengulangnya kembali, saya kira itu lebih dari cukup. Apalagi kalau memang kita belajar dan mengetahui bahwa dia dari latar belakang yang penuh dengan kekerasan. Itu berarti kecenderungannya melakukan kekerasan itu tinggi sekali. Kalau kita tetap mencintai dia, mau bersama dia, tunda pernikahan. Minta dia menjalani bimbingan sehingga masalahnya bisa selesai dulu. Kalau masalahnya tidak selesai, lebih baik jangan.
GS : Apakah masih ada kasus khusus yang lain di dalam berpacaran ini, Pak Paul ?
PG : Ada, yaitu yang saya simpulkan dalam satu istilah Penemuan Hal Baru. Ini kasus khusus. Tidak jarang setelah menjalani relasi berpacaran kita menemukan hal-hal yang baru tentang pasangan yang tadinya tidak terlihat. Contohnya, kita baru menyadari bahwa dia adalah orang yang sangat kikir. Itu ada, Pak Gunawan ! Semua dihitung. Tidak mau keluar uang sama sekali. Kita baru tahu setelah kita pacaran dengan dia. Atau kita baru melihat betapa terikatnya dia kepada keluarga asalnya. Semua harus diputuskan bersama-sama, tidak bisa pergi ke mana-mana kalau dipanggil oleh orang tuanya atau kakaknya atau adiknya. Mereka begitu dekat dan yang dinomorsatukan adalah keluarganya, bukan kita. Itu bagi saya adalah hal yang perlu kita perhatikan. Atau, ternyata dia dililit hutang dan sering berhutang tanpa menunjukkan sikap bertobat. Gampang sekali pinjam uang, nanti tidak bisa bayar, pinjam lagi, tidak bisa bayar lagi. Atau kita menemukan bahwa dia adalah seorang pecandu pornografi atau penjudi. Singkat kata, semua yang muncul ke permukaan adalah masalah karakter atau perilaku yang buruk. Apakah yang harus diperbuat kalau semua itu muncul sewaktu berpacaran ?
GS : Tapi kadang-kadang itu juga disebabkan cara pandang kita terhadapnya, persepsi kita memandangnya. Ada orang pada waktu berpacaran, yang kikir tadi, semasa pacaran orang ini dianggap sebagai orang yang hemat, yang sangat teliti dengan keuangan. Juga yang tentang keluarga asal tadi, dikatakan ini orang yang berbakti kepada orang tuanya. Tapi setelah menikah, hal yang sama dilakukan tapi diberi label yang berbeda, kikir atau terlalu dekat dengan orang tua.
PG : Ya, saya mengerti memang batas antara hemat, bijaksana, serta kikir itu kadang batasnya tipis. Batas antara berbakti kepada orang tua dan tidak bisa hidup mandiri lepas dari orang tua, batasnya juga tipis. Jadi dalam masa berpacaran, kalau kita sudah melihat hal-hal itu, kita memang harus bertanya kira-kira kita siap atau tidak bersama dengan dia dengan gaya hidupnya yang seperti itu. Ada orang yang berkata tidak apa-apa dia orang yang begitu kikir, tidak pernah beli barang baru, selalu pakai barang yang lama sampai hancur atau rusak baru diganti. Uang juga dijatah dan jatahnya sangat sedikit sekali setiap minggu untuk keperluan rumah tangga. Ada orang yang siap, ya tidak apa-apa. Kalau kita sadar kita tidak bisa hidup seperti itu, lebih baik kita arahkan dan lihat apakah bisa ada persetujuan. Kalau tidak bisa sampai pada titik temu lebih baik jangan daripada dipaksakan.
GS : Jadi apa yang harus kita perbuat jika menghadapi pasangan yang seperti ini, Pak
Paul ?
PG : Hal pertama, kita mesti ingat bahwa kita sama-sama orang berdosa dan tidak lepas dari kelemahan. Karena itu langkah pertama bukan memutuskan relasi melainkan memberikan pengampunan. Misalkan pasangan kita mengakui atau kita akhirnya menangkap basah dia suka berjudi. Sebelumnya kita tidak tahu, lalu ketahuan dia suka judi bola atau judi online. Langkah pertama adalah memberikan peringatan dan memberikan pengampunan kalau dia meminta pengampunan. Setelah itu yang juga harus kita berikan adalah kepercayaan bahwa dia tidak akan berbuat hal yang sama lagi. Namun sebelum kepercayaan diberikan, dia harus memerlihatkan pertobatan terlebih dahulu. Ia harus dapat menunjukkan penghentian semua perbuatan tersebut untuk suatu masa yang panjang. Misalnya setidaknya selama dua atau tiga tahun. Misalkan dia biasa berjudi, selama dua- tiga tahun dia harus benar-benar membuktikan dia berhenti berjudi. Dia pengguna pornografi, dia harus berhenti dan membuktikan selama dua - tiga tahun dia tidak lagi melakukannya. Apabila selama masa yang panjang itu dia benar-benar berhenti, barulah kepercayaan itu bisa diberikan kembali. Sungguhpun demikian, Pak Gunawan, saya tetap harus mengingatkan bahwa pada umumnya sesuatu yang telah menjadi bagian hidup untuk waktu yang lama, tidak mudah hilang. Kalau pun hilang, kemungkinan untuk kembali itu besar. Jadi kita tetap harus membuka mata lebar-lebar memintanya untuk hidup dalam relasi pertanggungjawaban, baik dengan kita maupun dengan seorang rohaniwan.
GS : Jadi itu sesuatu yang sudah mendarah daging. Judi, pornografi dan sebagainya itu Pak Paul. Hampir mustahil kita mengubah orang seperti itu, kecuali Tuhan sendiri yang mengubah orang seperti itu.
PG : Iya. Memang tampaknya kita kejam. Kita sudah memberikan maaf, eh dia berbuat lagi. Kita ampuni, eh dia berbuat lagi. Lalu akhirnya kita menyerah dan memutuskan dia. Mungkin orang berkata, Kamu kejam. Kamu sepertinya menganggap diri lebih suci daripada dia. Saya pikir intinya adalah apakah kita siap menanggung perbuatannya itu setelah kita menikah nanti ? Kalau kita memang mengakui kita tidak akan sanggup hidup dengan seorang yang berjudi, misalkan kita pernah mendengar seorang penjudi bisa menghabiskan semua harta benda keluarga dan kita berkata, Saya tidak mau hidup seperti itu. Tidak apa- apa! Tidak berarti kalau kita putuskan kita orang yang kurang rohani atau apa, sebab sekali lagi ini menyangkut masa depan kita dan nantinya anak-anak kita.
GS : Ini merupakan masalah bagi hubungan kita atau bisa juga menyangkut orang lain di sekitar kita, Pak Paul ?
PG : Biasanya kalau kita berbicara tentang masalah-masalah tadi, yaitu kikir, terlalu terikat pada keluarga asal, berutang, berjudi dan sebagainya, sudah tentu bukan hanya kita tapi nantinya juga akan berkaitan dengan yang lainnya. Coba kita fokuskan dengan lebih seksama lagi tentang masalah-masalah ini, supaya kita lebih memiliki pengertian apakah kita sanggup hidup dengan resiko ini. Ada dua golongan yang bisa saya kategorikan, yaitu karakter dan kecanduan. Dua-duanya susah sekali untuk berubah. Suatu kita membicarakan tentang karakter,
sesungguhnya kita juga tengah membicarakan tentang kebiasaan hidup. Bukankah segala sesuatu yang dilakukan berulang kali pada akhirnya menjadi karakter kita ? Dan bukankah jikalau itu sudah menjadi karakter, kita akan terus melakukannya berulang kali ? Jadi karakter berhubungan erat dengan kebiasaan. Menurut saya masalah seperti egois, kikir, suka berbohong, suka berutang, semua termaktub dalam karakter yang akhirnya mewujudkan diri dalam wujud perilaku atau kebiasaan. Saya harus mengatakan betapa seringnya saya menghadapi kasus seperti ini dalam konseling pernikahan. Dan betapa banyaknya pernikahan yang akhirnya retak dan bermasalah karena didera oleh permasalahan karakter pada salah satu individu. Baik si suami maupun si istri. Dengan kata lain, keegoisan, kekikiran, ketidakjujuran, kebiasaan berutang, itu menghancurkan pernikahan dan keluarga. Dan tidak jarang masalah itu berkembang menjadi masalah yang lebih luas, seperti masalah berutang berkembang menjadi masalah penipuan. Mulanya ya hanya berutang, tidak ada maksud menipu. Lama-lama jadi penipuan. Masalah kekikiran berubah menjadi masalah perbuatan merugikan orang dan memanfaatkan orang. Itu sebabnya kita harus berhati-hati bila kita menemukan masalah karakter. Tapi masalah kecanduan juga bukan masalah sepele. Berjudi, kecanduan alkohol, pemakaian narkoba, adalah problem yang mengakar sehingga seringkali keinginan untuk lepas tidak kuasa untuk menahan hasrat. Akhirnya masalah kecanduan berkembang menjadi masalah karakter. Contoh, berjudi membuat orang berbohong supaya tetap dapat melakukannya. Yang lebih serius ada yang memeras dan mencuri untuk membiayai kecanduannya. Jadi kalau kita menemukan hal-hal itu dalam masa berpacaran, kita harus dengan serius membahasnya dan memertimbangkan ulang relasi kita.
GS : Memang tidak ada satupun manusia yang sempurna dan bebas dari masalah- masalah. Tapi kalau kita sudah tahu kalau masalah itu ada, ya lebih baik kita menghindari saja.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Dalam hal ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang bisa menjadi bimbingan bagi kita semua ?
PG : Amsal 19:14 berkata, Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang. Tetapi istri
yang berakal budi adalah karunia Tuhan. Disini firman Tuhan membandingkan
dua hal, yakni mendapatkan rumah dan harta dan mendapatkan pasangan hidup.
Perbedaan di antara keduanya adalah, mendapatkan rumah dan harta dapat dilakukan dengan kemampuan manusia, sedangkan mendapatkan pasangan hidup yang sesuai, yang bijaksana tidak dapat dilakukan dengan kemampuan manusia. Singkat kata, mendapatkan pasangan hidup yang baik memerlukan campur tangan Tuhan sendiri. itu sebabnya Amsal menyimpulkannya dengan kata karunia Tuhan. Jadi kita tidak boleh bergantung pada kesanggupan manusia dalam mencari pasangan hidup. Kita mesti datang kepada Tuhan, mohon pimpinan-Nya. Tugas kita adalah mengerjakan bagian kita semasa berpacaran dan nanti Tuhan akan memerlihatkan kondisi sesungguhnya dan menyatakan kehendak-Nya kepada kita
lewat peristiwa demi peristiwa yang kita alami, lewat firman-Nya yang berbicara kepada kita.
GS : Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan ini. Semoga perbincangan ini menjadi berkat dan bermaaf bagi para pendengar kita, khususnya yang dalam masa berpacaran. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kasus- kasus Khusus dalam Berpacaran. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Semua orang tua dan semua pasangan pastilah berharap bahwa masa berpacaran akan berlangsung secara mulus sampai pada bangku pelaminan. Namun, pada kenyataan tidaklah selalu demikian. Kadang ada saja masalah yang timbul yang memerlukan perhatian dan tindakan khusus. Berikut akan dipaparkan beberapa kasus yang membutuhkan perhatian khusus.
Berpacaran Jarak Jauh
Pada masa sekarang di mana perkenalan dapat terjadi secara on-line, tidak jarang berpacaran pun dilakukan secara on-line, alias jarak jauh. Sudah tentu waktu pertemuan tatap muka menjadi terbatas dan sebagai akibatnya pengenalan terhadap pasangan juga berkurang. Setidaknya ada tiga hal yang mesti menjadi pertimbangan sebelum kita memutuskan untuk menjalani relasi jarak jauh.
(1) Berpacaran jarak jauh berpotensi menciptakan kesan dan akhirnya kesimpulan yang tidak tepat.
(2) Berpacaran jarak jauh tidak memberi kita ruang yang cukup untuk mengenal pasangan secara menyeluruh.
(3) Berpacaran jarak jauh membuat kita sulit mengembangkan keteramplan memecahkan masalah bersama-sama. Alhasil setelah menikah barulah kita berkesempatan mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah bersama-sama dan mengambil keputusan bersama-sama. Masalahnya adalah oleh karena kita tidak begitu paham maka besar kemungkinan kita akan harus jatuh bangun belajar memutuskan persoalan dan mendamaikan konflik bersama-sama. Itu sebabnya pada umumnya pasangan yang berpacaran jarak jauh harus berjuang keras menyelaraskan diri satu sama lain. Jadi, sebaiknya sebelum memutuskan menikah, hendaklah pasangan yang berpacaran jarak jauh menyempatkan diri untuk tinggal satu kota supaya perkenalan dapat berlanjut dan berkembang.
Kehamilan
Kendati sudah berusaha untuk menjaga batas, adakalanya anak-anak Tuhan tetap jatuh ke dalam dosa perzinahan yang mengakibatkan kehamilan. Apakah yang mesti diperbuat? Biasanya hal pertama yang terpikir adalah menggugurkan kandungan. Dengan kata lain berupaya menyelesaikan masalah dengan cara menghilangkannya. Saya percaya sesungguhnya kita semua tahu bahwa mengaborsi janin bukanlah tindakan yang menyenangkan hati Tuhan. Sebab, bagaimanapun anak itu adalah pemberian Tuhan. Jadi, janganlah melakukannya. Pilihan kedua biasanya adalah langsung menikah. Apabila relasi berpacaran itu memang sudah mencapai titik kematangan dan kecocokan, sudah tentu pilihan ini adalah pilihan yang baik. Namun jika tidak, pilihan ini bukanlah pilihan yang baik. Pada akhirnya relasi yang belum matang dan belum cocok itu menjadi ladang subur bertumbuhnya masalah. Dan, acap kali akan ada sekurangnya satu pihak yang merasa terpaksa menikah. Alhasil bukan keharmonisan dan kebahagiaan yang dicicipi melainkan konflik dan penyesalan. Bila pernikahan bukan pilihan yang sesuai, tindakan terbaik adalah memelihara janin sampai kelahiran. Untuk mengurangi ketertekanan, kita dapat memindahkan anak kita ke tempat yang lain sampai melahirkan. Dan, jika memang pilihan untuk menikah tetap bukan yang terbaik, kita dapat menyerahkan bayi itu untuk diadopsi oleh pasangan lain yang merindukan dan siap untuk mempunyai anak tetapi belum dikaruniakan anak. Singkat kata, janganlah kita menyelesaikan masalah dengan cara menciptakan masalah lain yang jauh lebih besar.
Kekerasan
Kadang pada awal berpacaran kita belum dapat melihat sisi kekerasan pada pasangan kita namun setelah melewati suatu kurun, barulah kita menyaksikannya. Mungkin kita melihat pasangan memukul atau membanting barang; mungkin kita melihat kecenderungan yang tinggi untuk meledak. Dan mungkin kita pun menjadi korban kekerasannya. Apakah yang mesti dilakukan?
Langkah pertama adalah kita mesti melihat pasangan secara utuh, dalam pengertian, apakah memang secara keseluruhan ia adalah seorang yang bertemperamen keras dan labil. Bila ya, sudah tentu perlu dipertimbangkan dengan serius. Namun bila tidak, besar kemungkinan reaksi kekerasannya merupakan cetusan frustrasi karena tidak dapat berkomunikasi dengan kita atau membuat kita mengerti atau menerima perkataannya. Apabila kita mendapati bahwa memang ia dibesarkan dalam kekerasan dan cenderung mengeluarkan reaksi keras serta sangat mudah terpicu, saya menyarankan agar pertunangan atau pernikahan ditunda. Masalah ini perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum keputusan untuk menikah dibuat. Kita mesti menyikapi masalah kekerasan secara serius bukan saja karena perlakuan itu membahayakan keselamatan kita pribadi, tetapi juga anak-anak. Tidak jarang anak-anak pun menjadi korban kekerasan. Atau, kalaupun tidak, mereka terekspos kekerasan yang berdampak buruk pada pertumbuhan diri mereka.
Penemuan Hal Baru
Tidak jarang setelah menjalani relasi berpacaran, kita menemukan hal-hal yang baru tentang pasangan, yang tadinya tidak terlihat. Sebagai contoh kita baru menyadari bahwa ia adalah seorang yang sangat kikir. Atau, kita baru melihat betapa terikatnya ia pada keluarga asalnya. Atau, ternyata ia dililit utang dan sering berutang, tanpa menunjukkan sikap bertobat. Atau, kita menemukan bahwa ia adalah pecandu pornografi atau penjudi. Singkat kata, semua yang muncul ke permukaan adalah masalah karakter atau perilaku yang buruk. Sudah tentu kita perlu menyadari bahwa kita pun adalah sesama orang berdosa dan tidak lepas dari kelemahan. Itu sebab langkah pertama bukanlah memutuskan relasi melainkan memberikan pengampunan. Setelah pengampunan, ada satu lagi yang mesti diberikan yaitu kepercayaan. Namun sebelum kepercayaan diberikan, ia mesti memperlihatkan pertobatan terlebih dahulu. Ia harus dapat menunjukkan penghentian semua perbuatan tersebut untuk suatu masa yang panjang, misalkan setidaknya selama dua atau tiga tahun. Apabila pada masa yang panjang itu ia berhenti melakukan perbuatan yang buruk itu, barulah kepercayaan dapat dipulihkan kembali. Sungguhpun demikian, saya tetap harus mengingatkan bahwa pada umumnya sesuatu yang telah menjadi bagian hidup untuk waktu yang lama tidak mudah untuk hilang. Jadi, kita tetap harus membuka mata lebar-lebar dan memintanya untuk hidup dalam relasi pertanggungjawaban, baik dengan kita maupun rohaniwan.
Pada dasarnya ada dua jenis masalah yang mesti kita perhatikan sebab keduanya tidak mudah lepas atau berubah yaitu KARAKTER dan KECANDUAN. Sewaktu kita membicarakan tentang karakter, sesungguhnya kita juga tengah membicarakan tentang kebiasaan hidup. Masalah kecanduan juga bukan masalah sepele. Berjudi, minum alkohol, dan pemakaian narkoba adalah problem yang mengakar sehingga sering kali keinginan untuk lepas tidak kuasa untuk menahan hasrat. Dan, tidak jarang masalah kecanduan akhirnya berkembang menjadi masalah karakter. Kesimpulan : Amsal 19:14 berkata, Rumah dan harta adalah warisan nenek moyang tetapi istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan. Di sini Firman Tuhan membandingkan dua hal yakni (a) mendapatkan rumah dan harta, dan (b) mendapatkan pasangan hidup. Perbedaan di antara keduanya adalah mendapatkan rumah dan harta dapat dilakukan dengan kemampuan manusiawi sedangkan mendapatkan pasangan hidup yang sesuai, tidak bisa dilakukan dengan kemampuan manusiawi.
Mendapatkan pasangan hidup yang baik--yang berakal budi atau berhikmat--memerlukan campur tangan Tuhan sendiri.
Krisis Ekonomi dan Keluarga|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T391A|T391A|Keluarga|Audio|Kesulitan finansial biasanya merubah gaya hidup kita. Dan dengan adanya uang pun bisa menambah kemesraan dalam hubungan suami istri. Misalnya membelikan hadiah-hadiah kecil dan sebagainya.|3.2MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T391A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara TELAGA. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Krisis Ekonomi dalam Keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, apakah betul bahwa masalah perceraian itu bukan hanya disebabkan oleh hadirnya pihak ketiga atau karena kurang intimnya mereka berdua, tetapi ada faktor ekonomi atau faktor finansial.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, waktu saya studi dulu sebagai mahasiswa, saya pernah membaca sebuah hasil riset yang memperlihatkan justru penyebab pertama mengapa orang bercerai (ini memang di Amerika) yaitu karena faktor keuangan. Jadi menarik sekali sebab saya menduga sebelumnya bahwa penyebab pertama orang bercerai misalkan adalah ketidakcocokan atau perselingkuhan, ternyata bukan, penyebab pertama adalah masalah keuangan. Dan gara-gara masalah keuangan rupanya relasi suami-istri menjadi retak dan akhirnya membuat mereka tidak bisa lagi hidup bersama.
GS : Tetapi itu kalau terjadi di Amerika bukankah itu mereka berkelebihan di dalam segi
keuangan atau materi, Pak Paul?
PG : Seharusnya memang seperti itu, tapi rupanya ada yang memang hidup di luar kemampuan atau ingin hidup di luar penghasilan yang mereka dapatkan atau bisa jadi juga karena adanya pemberhentian hubungan kerja pada tahap tertentu di dalam hidup mereka, sehingga akhirnya mereka mengalami kesulitan keuangan, sudah membeli rumah harus membayar cicilan bulanannya dan sebagainya. Sudah beli mobil harus membayar dan sekarang tidak ada uang karena diberhentikan kerja, rupanya hal-hal ini semua yang menjadi penyebab mengapa mereka bercerai.
GS : Berarti faktor finansial ini peranannya cukup besar di dalam menentukan kelangsungan sebuah rumah tangga, Pak Paul?
PG : Ternyata sangat besar Pak Gunawan, jadi benar-benar bisa kita katakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyangga rumah tangga. Dan kalau kita perhatikan baik- baik memang adakalanya ini yang sering kita saksikan yaitu rumah tangga mulai mengalami masalah, mulai sering cekcok karena keuangan makin sulit. Hal-hal yang tadinya mereka bisa beli, mereka sudah rencanakan tapi akhirnya mereka tidak bisa lakukan atau jalani. Akhirnya pemotongan-pemotongan atau pengurangan-pengurangan yang harus mereka lakukan itu menimbulkan masalah di dalam keluarga mereka.
GS : Tapi biasanya kalau sejak awal, artinya pasangan suami-istri menikah itu memang sudah
dalam keadaan yang tidak terlalu berkecukupan di dalam finansial mereka masih bisa menyesuaikan diri. Masalahnya terjadi kalau mereka tadinya berkelimpahan kemudian tiba-tiba kehilangan mata pencaharian seperti yang tadi Pak Paul katakan.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi dalam soal krisis ekonomi ini sesungguhnya ada dua faktor besar yang mesti kita perhatikan baik-baik, yang pertama adalah yang tadi Pak
Gunawan sudah sebut. Yaitu krisis ekonomi memaksa suami-istri untuk mengubah gaya hidup mereka. Tadinya mereka bisa berpiknik sebulan sekali, sekarang tidak bisa lagi, tadinya seminggu sekali bisa keluar makan dan sebagainya sekarang tidak bisa lagi. Nah, rupanya perubahan gaya hidup itu akhirnya menimbulkan stres dalam keluarga, dan kita mesti ingat juga bahwa perubahan gaya hidup itu sering kali menuntut pemotongan atau penghilangan hal-hal yang bersifat rekreasi, karena yang bersifat hakiki atau yang pokok misalnya makanan, adanya tempat tidur, rumah dan sebagainya itu akan kita coba cukupi dan kita prioritaskan. Yang kita cenderung langsung korbankan atau kita coret dari daftar kita adalah hal-hal yang bersifat rekreasi. Jadi tampaknya itulah salah satu penyebab stres dalam keluarga tatkala mereka mengalami masalah ekonomi, mereka kehilangan kesempatan untuk ber-rekreasi. Mereka tidak bisa lagi menyegarkan jiwa mereka dengan melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan.
GS : Ternyata mengubah pola hidup seperti itu menjadi sangat sulit sekali Pak Paul?
PG : Sangat sulit sebab pertama-tama sesuatu yang telah terbiasa dilakukan yang akhirnya menjadi bagian atau menjadi salah satu aktifitas keluarga. Nah, waktu kita tidak bisa lagi melakukannya berarti ada yang terhilang dan karena terbiasa, waktu terhilang kita merasakan ada yang tidak nyaman dalam hidup kita ini. Hari Sabtu malam biasanya kita pergi misalkan makan, menonton film, sekarang tidak bisa lagi, kita akhirnya terpaksa hanya diam di rumah atau jalan-jalan di sekitar rumah kita, masalahnya adalah kita tidak terbiasa dengan jalan-jalan atau hanya diam di rumah. Sebab ini biasanya hari
atau waktu bagi kita untuk santai, nah berarti perubahan gaya hidup itu sudah menimbulkan ketidaknyamanan, sudah menimbulkan ketidakseimbangan lagi. Dulu tekanan yang masuk berapa banyak, tapi dikeluarkannya berapa banyak karena ada aspek rekreasi itu. Sekarang tekanan yang masuk sama bahkan bertambah kalau adanya kesulitan keuangan namun penyaluran atau pengeluarannya sedikit, karena kita tidak bisa lagi melakukan rekreasi atau hal-hal yang biasa kita lakukan untuk mengendorkan saraf-saraf kita itu.
GS : Padahal tuntutan-tuntutan yang bersifat rekreatif yang menyenangkan kita, itu biasanya bertambah-tambah terus dari hari ke hari atau bulan ke bulan.
PG : Biasanya demikian sebab bukankah semakin bertambahnya tekanan hidup semakin kita
juga membutuhkan rekreasi untuk bisa menyegarkan jiwa kita itu, nah sekarang tidak bisa lagi kita lakukan itu. Makanya hasil akhirnya adalah terjadilah ketidakseimbangan dan ini yang akhirnya menimbulkan stres dalam keluarga.
GS : Jadi dampak negatif krisis ekonomi terhadap keluarga itu apa saja Pak Paul?
PG : Yang berikutnya adalah ini Pak Gunawan, stres dalam rumah tangga, tadi saya sudah
singgung perubahan gaya hidup menimbulkan stres. Nah, sekarang apa dampak stres ini pada keluarga. Stres akan langsung menekan relasi suami-istri, sebab biasanya relasi suami-istri itu setelah melewati masa tertentu mereka mulai menemukan titik equilibrium. Pada awal pernikahan mereka harus mencocokkan diri, menyesuaikan dengan gaya hidup yang berbeda, akhirnya setelah beberapa tahun mulailah mereka menemukan celahnya bisa hidup bersama dalam keadaan yang relatif damai. Sekarang masalahnya adalah timbul stres karena masalah keuangan. Berarti apa, berarti mereka dituntut untuk bisa tanggap atau menghadapi tekanan yang baru ini. Kadang-kadang pasangan suami-istri tidak siap untuk menghadapi tekanan yang baru ini akhirnya tekanan keuangan muncul, mereka tidak siap menghadapinya, dua-dua mudah marah, dua-dua pendek sabar, dua-dua menyalahkan, nah apalagi kalau memang keluarga ini
sudah mulai bermasalah sejak awalnya, tekanan ekonomi makin memperburuk relasi mereka. Atau memang di masa lampau seseorang misalkan si suami atau si istri pernah mengambil keputusan yang salah dalam soal keuangan. Dalam keadaan stres karena krisis ekonomi, mudah sekali pihak yang merasa dirugikan meledak, menyalahkan pihak yang dianggap merugikan. Kalau saja kamu dulu tidak memutuskan investasi ini kita pasti masih mempunyai cadangan uang, kalau dulu kamu tidak membeli ini kita pasti masih ada uang, kalau kamu tidak memutuskan berhenti dulu dan memulai bisnis yang baru kamu pasti tidak mengalami ini. Nah, akhirnya muncullah sikap-sikap menyalahkan, karena apa, kita stres. Dalam keadaan stres kita ingin meluapkan kemarahan kita dan salah satu obyek kemarahan yang paling mudah kita temukan adalah kesalahan pasangan.
GS : Pak Paul, masalah krisis ini bisa menimpa siapa saja, baik pasangan yang baru menikah
atau sudah 10 tahun menikah, nah apakah saran Pak Paul terhadap pasangan suami-istri ini supaya bisa mengantisipasi atau mengatasi masalah krisis-krisis ini?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah sebagai pasangan muda memang dari awal pernikahan mereka harus mempunyai kesamaan nilai-nilai dalam soal uang, dalam soal harta. Nah, ini penting sekali karena kalau ada krisis ekonomi, perbedaan nilai (values) akan sangat mempengaruhi berapa kuat atau bertahannya mereka dalam menghadapi krisis ekonomi itu. Saya berikan contoh, misalkan si suami atau si istri mempunyai nilai moral yang sangat mementingkan uang, jadi benar-benar melihat uang itu sebagai status di mata masyarakat dan di matanya sendiri. Tanpa uang mereka merasa dirinya itu tidak berharga, jadi harus ada uang dan sebagainya. Dan itu terkait juga dengan pekerjaannya, pekerjaannya adalah segala-galanya bagi dia, menomorsatukan pekerjaan di atas apapun. Kalau seseorang mempunyai nilai hidup seperti ini, kalau mengalami krisis ekonomi dia yang paling mudah hancur. Kalau pasangan yang satunya tidak mempunyai atau mempunyai nilai yang berbeda dari yang satunya, sudah tentu mereka akan saling menyalahkan, akan saling menyerang. Nah, waktu krisis ekonomi terjadi perbedaan nilai ini akan makin meledak, makin membesar. Karena yang sangat bergantung pada nilai-nilai moneter, pada nilai-nilai keuangan dia akan terpukul paling hebat. Dia akan ambruk, tidak mempunyai harga diri, tidak mau keluar, tidak mau bergaul dengan siapapun, nah yang satunya karena lebih bebas dari uang merasa tidak apa-apa kita tetap ke gereja, bertemu orang, tidak usah merasa malu ditanya orang. Nah yang satu tetap memaksa keluar, yang satu memaksa masuk ke dalam, mereka akan lebih mudah terlibat dalam pertengkaran. Maka tadi saya katakan penting sekali kita menyelaraskan nilai dalam hidup kita berdua. Tapi langkah yang kedua juga sangat penting yaitu jangan kita meletakkan nilai hidup pada keberadaan uang, pada harta benda, pada status yang kita peroleh dari pekerjaan kita. Dari awal biasakan diri untuk bisa terlepas dari hal-hal seperti ini, karena apa, karena kita mesti ingat bahwa benda-benda ini, status-status ini tidak selalu ada di dalam hidup kita. Ini adalah hak Tuhan untuk memberi, adalah hak Tuhan untuk kadang-kadang mengambilnya kembali.
GS : Memang masalahnya di situ Pak Paul, bagaimana kita itu bisa mempunyai konsep pola pikir seperti yang tadi Pak Paul katakan. Sering kali kita justru dalam bekerja malah
terikat dengan pekerjaan, dengan hasil yang kita peroleh.
PG : Itu yang sering terjadi Pak Gunawan, dan saya bisa memahaminya. Sesuatu yang sudah kita geluti tahun demi tahun kalau sampai kita harus lepaskan itu akan sangat merobek
diri kita, karena kita sudah lekat, kita sudah menyatu, waktu diambil tidak bisa tidak kita akan kehilangan bagian dari diri kita itu dan ini memang sangat berat. Itu sebabnya ada sebagian orang yang sewaktu kehilangan pekerjaan, tidak mau bertemu orang, tidak merasa ada kepercayaan diri untuk menghadapi temannya atau sanak saudaranya dan lebih mau mengurung diri di rumah atau di kamarnya. Bahkan ada yang dalam keadaan seperti itu misalkan itu suami tidak terlalu mau berhadapan dengan istrinya. Memang secara umum, ini adalah pengamatan yang dilontarkan oleh seorang penulis Kristen yang bernama C.S. Lewis dia berkata bahwa dalam menghadapi stres pria cenderung berdiam diri, dalam menghadapi stres wanita cenderung membuka diri alias berbicara. Jadi ini saja sudah bisa menimbulkan problem, yang satu ingin berdiam diri, yang satu ingin berbicara membicarakan masalah ini. Apalagi kalau ada lagi masalah-masalah lain yaitu perbedaan-perbedaan nilai-nilai hidup wah itu makin memperkeruh masalah.
GS : Pak Paul, apakah mungkin ada cara lain untuk mengatasi masalah ini?
PG : Ada Pak Gunawan, nah ini memang berkaitan juga dengan relasi kita dengan anak-anak.
Karena stres ekonomi tidak bisa tidak akan mempengaruhi kehidupan anak-anak dan sering kali orang tua bisa bertengkar gara-gara soal anak. Waktu uang berkelimpahan, anak-anak membeli apa kita masih bisa mengaturnya dengan relatif mudah, mudah kenapa, sebab kita bisa berkata ya nanti kita belikan, ya kamu perlu ini nanti kami akan sediakan untukmu. Tapi waktu uang menjadi masalah, kita menjadi tidak bisa membelikan yang anak butuhkan sedangkan anak membutuhkannya. Nah, adakalanya kita
panik, dalam keadaan panik kita marah, kita akhirnya menyalahkan pasangan kita. Atau kita menyalahkan anak kita Kamu minta ini lagi, kamu minta ini lagi, kamu tidak tahu kondisi kami, nah masalahnya anak-anak memang perlu. Misalkan untuk membeli baju seragam, ada acara di sekolah di mana mereka diwajibkan ikut dan harus membayar, nah hal seperti itu susah dihindari. Nah, orang tua memarahi si anak, si anak tidak bisa berbuat apa-apa juga di sekolah. Kalau tidak ikut dia akan kena sanksi, kalau dia beritahukan terus-terang kepada guru, dia akan malu. Mungkin orang tua memaksa anak untuk berkata kamu ceritakan kondisi orang tuamu, nah dia malu dia akan merasa tertekan. Akhirnya apa yang terjadi anak bisa bermasalah, anak akhirnya malas ke sekolah, anak akhirnya tidak mau berbicara dengan orang tua, orang tua makin frustrasi melihat anaknya kok begini, makin suka marah lagi kepada anak-anaknya dan akhirnya rumah tangga tambah kocar-kacir. Maka untuk mengantisipasi dari awal kita mesti sering-sering berbicara kepada anak, juga dalam soal uang. Mengajarkan nilai- nilai yang benar tentang uang. Memang uang itu bukan sesuatu yang harus kita genggam erat-erat, bukan segala-galanya dalam hidup tapi kita mesti mengajar anak menghargai uang, kita harus mengajar anak memakai uang dan menyimpan uang. Mempunyai nilai yang benar dalam penentuan beli atau tidak barang yang dikehendaki dan sebagainya. Dan juga setelah semua ini kita lakukan, pada waktu krisis berlangsung kita mesti mempunyai keterbukaan dengan anak, kita mesti katakan dengan baik-baik bahwa duduk masalahnya bukannya kami tidak mau, bukannya kami tidak peduli, kami memahami kondisimu yang juga susah, kami tahu kamu juga akan sulit berkata jujur kepada gurumu tapi inilah kondisi kami, kami harus memberitahukan kepada kamu apa adanya. Misalkan juga kita mengajak anak untuk sering-sering bersama dengan kita berdoa, misalkan doakan papa yang tidak mempunyai pekerjaan sekarang ini, jadi kita libatkan anak dalam penanggulangan krisis ini. Dalam keadaan stres, mudah sekali kita malah mencerai- beraikan keluarga kita karena sikap-sikap kita yang makin menajam, meruncing, nah kita
mesti menjaga duri-duri jangan sampai kita menusuk-nusuk orang di sekitar kita. Dengan anak-anak juga seperti itu, kita libatkan mereka dalam proses penanggulangannya.
GS : Pak Paul, di dalam menanggulangi stres, katanya ada suatu bentuk yang bisa menolong kita misalnya dengan mendengarkan musik, ini mungkin pola rekreatif yang tidak terlalu mahal Pak Paul, dengan mendengarkan radio kita bisa mendengarkan musik-musik, apa memang betul begitu?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, nah ada hal yang relatif simpel yang bisa dilakukan dan tidak
terlalu memakan biaya besar. Yaitu memanfaatkan musik, kalau tidak bisa membeli kaset dengarkan radio, banyak stasiun yang menawarkan lagu-lagu kesukaan kita, kita dengarkan. Nah, ada sebuah buku Pak Gunawan yang berjudul Music as Medication, musik sebagai obat. Dalam buku ini diperlihatkan betapa berkhasiatnya musik dalam
kesejahteraan jiwa manusia. Kalau kita menyenangi musik dan musik itu bisa berbicara kepada kita wah......kita adalah orang yang diuntungkan oleh musik. Musik mempengaruhi suasana hati Pak Gunawan, kita mungkin belum bisa menjawab persoalan kita, kita mungkin belum bisa mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan, kita mungkin masih belum mempunyai uang untuk membayar uang sewa rumah kita, nah meskipun masalah belum bisa terpecahkan tapi suasana hati kita bisa kita ubah atau bisa kita ringankan dengan cara mendengarkan musik, yang bisa menghibur dan meringankan perasaan kita akhirnya suasana hati kita lebih ringan. Nah, sekali lagi saya tekankan memang masalah belum selesai tapi yang penting detik ini, saat ini untuk mungkin beberapa jam suasana hati kita tidaklah seberat sebelumnya. Apa dampaknya, o.....sangat besar terhadap anak, terhadap suami, terhadap istri, terhadap orang lain, kalau suasana hati kita ringan berarti kita bisa bersikap lebih baik kepada mereka. Sehingga kita bisa menanggulangi stres ini bersama-sama dengan lebih baik pula.
GS : Dan mungkin juga bisa melibatkan mereka dengan mendengarkan musik, menyanyi sama- sama atau memainkan alat musik yang sederhana misalnya gitar, tapi bisa menciptakan suasana riang.
PG : Betul sekali, dan itulah yang dibutuhkan oleh jiwa kita yakni rekreasi, penyegaran. Kita tidak bisa mendapatkannya melalui aktifitas rekreasi yang biasanya dulu kita lakukan, sekarang kita mendapatkannya melalui musik. Relatif sederhana, sangat murah tetapi sangat mujarab.
GS : Bagaimana dengan kalau kita jalan-jalan ke tempat-tempat yang tidak membutuhkan pengeluaran besar, Pak Paul?
PG : Ini juga sangat baik Pak Gunawan, jadi kita bisa berjalan bersama, ngobrol bersama, itu relatif sudah bisa mengurangi ketegangan kita dengan kita berjalan, menggerakkan tubuh, itu sudah bisa mengendorkan saraf-saraf kita yang tegang. Nah, yang paling penting adalah jangan saling menyalahkan itu pencobaan yang harus kita lawan, godaannya besar sekali. Dalam keadaan krisis apalagi krisis ekonomi kita menyalahkan pasangan kita atau anak kita.
GS : Kalau begitu apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menolong para pendengar
khususnya yang sedang menghadapi masalah krisis ekonomi, Pak Paul?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah firman Tuhan yang kita tahu
diucapkan oleh Tuhan Yesus. Datanglah kepadaKu, hai kamu yang letih dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Ini janji Tuhan Yesus, Dia akan memberikan kelegaan. Terus kemudian di Perjanjian Lama, Mazmur
125:1, Orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya. Waktu Daud lari dari Saul firman Tuhan mencatat, Daud menguatkan dirinya di dalam Tuhan. Dalam kesulitan-kesulitan inilah yang dilakukan oleh orang-orang percaya, mereka datang kembali dan datang kembali kepada Tuhan. Kita percaya Tuhan tidak akan membiarkan kita, Dia akan mempedulikan kita, itu janji Tuhan dan Tuhan tidak berbohong.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini. Tentunya perbincangan ini akan
sangat berguna baik bagi mereka yang tidak sedang mengalami krisis ekonomi, mudah- mudahan juga tidak terjadi tetapi kalau pun suatu saat terjadi saya rasa para pendengar kita jauh lebih siap menghadapi itu. Dan bagi para pendengar yang saat-saat ini sedang dilanda krisis ekonomi di dalam kehidupan keluarga, kita juga ikut berdoa agar mereka bisa cepat dipulihkan oleh Tuhan dan bisa cepat keluar dari situasi yang
sulit ini. Sekali lagi banyak terima kasih Pak Paul dan juga terima kasih untuk para pendengar sekalian Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang krisis ekonomi dalam keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.