Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Stres: Baik atau Buruk ?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada umumnya orang menganggap stres itu buruk dan merusak dirinya. Tetapi sebenarnya apakah ada stres yang baik, Pak Paul ?
PG : Ternyata ada stres yang baik, Pak Gunawan. Memang tidak semua stres berdampak buruk pada diri kita. Ada seorang ahli dalam bidang stres di awal abad ke-20 namanya Hans Selye. Dia berpendapat tidak semua stres berpengaruh buruk. Menurutnya sebagian stres justru berpengaruh baik sebab stres dapat meningkatkan kreatifitas, produktifitas, serta daya tahan mengatasi masalah. Itu sebabnya dia menelurkan sebuah istilah yaitu eustress. Kita tahu kata stres bermakna stres dan eu bermakna baik. Jadi eustress berarti stres yang baik, untuk membedakannya dari stres lainnya.
GS : Kalau stres yang buruk namanya apa?
PG : Stres yang buruk disebut stres atau distress, yaitu stres yang memang menekan kita.
GS : Perbedaannya baru kelihatan beberapa waktu terlihat hasilnya terhadap orang itu ? Bertambah baik atau bertambah buruknya ‘kan butuh waktu.
PG : Betul. Dari soal kadar juga membedakan. Kalau stres itu tidak terlalu berat, masih bisa ditangani, stres itu justru akan lebih menggairahkan kita, memberi kita kesempatan untuk mengembangkan kemampuan menahannya. Tapi kalau stres itu berat sekali, pada umumnya kita akan berkata itu adalah sebuah stres yang buruk yang memang harus ditangani.
GS : Tapi daya tahan seseorang ‘kan berbeda-beda, Pak Paul ? Buat yang satu ini stres yang baik, tapi ternyata buat orang lain buruk walaupun masalahnya hampir sama, Pak Paul.
PG : Betul. Makin kita terlatih menghadapi stres, akhirnya kebanyakan stres menjadi stres yang baik buat kita karena kita bisa menghadapinya dan justru itu lebih memberikan tantangan untuk kita menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Tapi kalau kita tidak terbiasa menghadapi stres, maka stres sekecil apapun akan berdampak buruk bagi kita. Akhirnya kita makin lemah bukan makin kuat.
GS : Iya. Jadi apa dampaknya terhadap diri kita, Pak Paul ?
PG : Nanti kita akan lihat, Pak Gunawan, ternyata stres itu bisa berdampak sangat buruk kepada jiwa kita dan juga kesehatan kita. Saya juga mengutip satu penelitian yang dilakukan oleh Walter Bradford Cannon, pada tahun 1942 dia mempublikasikan hasil penelitiannya. Dia seorang periset bidang fisiologi di Harvard Medical School. Cannon mengaitkan stres dengan ketakutan dan dengan kesehatan. Obyek penelitiannya adalah kematian sejumlah orang muda di Amerika Selatan, Afrika, Australia, Selandia Baru, Haiti dan di beberapa kepulauan di Samudra Pasifik. Menurut orang-orang di sekitar, orang-orang ini mati akibat santet. Tapi Walter Cannon tidak sependapat. Menurut hematnya, mereka mati karena ketakutan yang mencekam. Jadi, dia selidiki prosesnya. Akhirnya dia mendapatkan informasi bahwa pada umumnya seorang dukun akan menyiarkan berita bahwa dia menyantet seseorang. Begitu orang tersebut mendengar bahwa dia sudah disantet, orang itu akan ketakutan. Masalahnya menjadi lebih parah karena begitu mendengar berita penyantetan, maka orang di sekitar akan pergi meninggalkan orang yang disantet itu. Sebab mereka takut kalau-kalau mereka terkena juga. Alhasil orang yang disantet harus hidup sendirian dan itu berarti dia harus menghadapi ketakutannya sendirian. Walter Cannon menemukan bahwa orang-orang ini dalam hitungan hari akhirnya mati. Terlepas apakah kita memercayai kuasa santet atau tidak, lewat penelitian ini Walter Cannon berupaya memperlihatkan adanya kaitan yang erat antara pikiran, kesehatan dan keefektifan hidup. Penelitian demi penelitian mengkonformasi kaitan antara ketiga faktor ini, Pak Gunawan. Sekarang kita ketahui, misalnya bahwa hidup dalam tekanan atau stres meningkatkan asam lambung yang akhirnya menimbulkan gangguan pencernaan. Kita tahu bahwa stres berpotensi mengeraskan dinding pembuluh darah yang berpotensi menimbulkan penyumbatan. Kita tahu penyumbatan bisa mematikan atau setidaknya melumpuhkan. Kita pun tahu dalam kondisi tertekan, kita tidak dapat berpikir jernih dan cepat. Kita sering lupa dan kadang merasa lumpuh sampai-sampai tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sederhana. Kita pun cenderung bingung dan tidak dapat mengambil keputusan. Singkat kata, keefektifan kita menurun drastik. Masalahnya adalah selama kita hidup kita harus menghadapi stres. Tidak bisa tidak. Jika demikian apa yang harus kita perbuat ?
GS : Yang akan dibicarakan ini adalah apa yang harus kita perbuat. Menangkal stres itu rasanya tidak mungkin, Pak Paul, karena setiap hari kita harus berhadapan dengan kondisi-kondisi yang mengakibatkan stres. Belum lagi gaya hidup kita sendiri bisa menambahi stres kita. kalau sudah begini, apa yang harus kita perbuat, Pak Paul ?
PG : Pertama, kita harus mengubah paradigma, Pak Gunawan. Bukan menghindar atau menghilangkan stres melainkan menghadapi stres. Pak Gunawan sudah singgung bahwa dalam hidup kita harus berhadapan dengan stres. Jadi, kita tidak bisa menghindar, kita juga tidak bisa menghilangkan, ya kita hadapi saja stres itu. Apa artinya menghindar ? Menghindar berarti membangun struktur kehidupan dimana sedapat mungkin kita hidup jauh dari stres. Mungkin kita menolak untuk terlibat dalam persoalan hidup orang lain, mungkin kita melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain dan menyalahkannya bila terjadi kesalahan. Dengan cara itu kita menghindar dari stres. Tapi kita tahu ini tidak benar. Atau kita mau menghilangkan stres. Artinya apa ? Sewaktu berhadapan dengan stres, kita lari atau menggunakan cara tidak sehat untuk tidak menghadapinya. Mungkin kita menyangkal keberadaan masalah atau kita mengecilkan keparahan masalah. Ada kalanya kita menunda penyelesaiannya karena kita berharap masalah akan selesai dengan sendirinya. Kadang kita berusaha mengendalikan situasi atau orang sehingga pada akhirnya orang lainlah yang harus mengatasi permasalahan kita. Baik menghindar maupun menghilangkan hanyalah alat bantu sementara. Pada akhirnya kita mesti menghadapi stres hari ini sebab jika tidak kita harus berhadapan dengan stres yang lebih besar esok hari. Terlebih penting lagi adalah menghindar dan menghilangkan tidak menumbuhkan kesanggupan dan ketahanan kita menghadapi stres. Kita makin lemah dan makin mudah luluh diterpa stres. Sebab itu kita mesti melatih diri untuk menghadapi stres. Untuk suatu kurun waktu, memang hidup menjadi tidak nyaman, tapi akhirnya kita akan jadi lebih kuat, cakap dan bijak.
GS : Banyak orang yang mencoba menghindari stres ini, Pak Paul. Dia tidak langsung menghadapinya sebab dia tahu ini menguras banyak energi. Salah satu tempat pelarian itu adalah agama. Seseorang yang memeluk satu agama, termasuk agama Kristen, apakah bisa dikategorikan sebagai orang yang menghindari stres ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Ya kita namanya berlindung tapi sebetulnya jadi lari dari kenyataan, lari dari persoalan hidup, lari dari stres. Tuhan tidak pernah mau kita lari dari kenyataan atau dari persoalan hidup. Itu sebabnya Tuhan selalu berjanji Dia menyertai kita. Dia tidak berkata, "Kamu tidak harus hadapi. Saya yang akan hadapi dan selesaikan semuanya." Tidak. Kita lihat contohnya sewaktu umat Israel dipimpin Tuhan keluar dari Mesir masuk ke tanah perjanjian tanah Kanaan, mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang menolak keberadaan mereka. Apakah Tuhan melenyapkan bangsa-bangsa itu tanpa orang Israel harus berperang melawan mereka ? Tidak. Mereka tetap harus berperang. Sewaktu Daud menghadapi Goliat, apakah begitu Daud berdiri, Goliat langsung terkapar mati karena serangan jantung ? Ya tidak. Daud harus berhadapan dengan Goliat, harus melemparkan katapelnya. Kita lihat disitu suatu prinsip bahwa Tuhan tidak mau membuat kita kerdil, tidak dewasa dan kekanak-kanakan. Kita mesti tetap menghadapi. Namun Dia berjanji menyertai kita. kadang-kadang kita juga harus melewati kesulitan, bukannya dibebaskan dari kesulitan. Kita harus melewati kesulitan. Itu sebab Mazmur 23 juga berkata kita kadang harus melewati lembah bayang-bayang maut. Jadi, hidup tidak selalu di padang rumput atau di tepi air yang mengalir.
GS : Tapi ada satu bagian di Alkitab yang mengatakan Tuhan akan berdiam untuk kamu dan kamu diam saja, Pak Paul ?
PG : Ada. Betul. Memang ada waktu-waktu Tuhan melakukan bagiannya secara supernatural. Sewaktu bangsa Israel berperang melawan musuhnya juga ada waktu Tuhan langsung bertindak. Tuhan mengirimkan malaikat-Nya dan membunuh bangsa-bangsa itu. Tapi itu perkecualian. Jarang sekali Tuhan berbuat begitu. Sepanjang ingatan saya, Tuhan hanya melakukan itu hanya 1 kali, Pak Gunawan. Tuhan membunuh bangsa-bangsa itu sebelum bangsa Israel berperang melawannya. Tapi pada umumnya mereka tetap harus berperang. Seperti Daud, dia tetap harus berhadapan dengan Goliat dan tetap harus melemparkan katapelnya kepada Goliat.
GS : Memang lebih banyak ayat Alkitab yang mendorong kita untuk berani menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Tuhan janji Tuhan akan mendampingi dan menyertai kita.
PG : Betul. Contohnya adalah ketiga kawan Daniel. Bukankah ketika mereka dihadapkan dengan dapur api, sampai detik itu mereka menolak menyembah patung. Apakah api dapur api itu tiba-tiba mati ? Apakah tiba-tiba terjadi gempa bumi sehingga dapur api itu berantakan sehingga tidak bisa digunakan untuk membakar mereka ? Tidak. Mereka tetap harus masuk ke dapur api itu. Tapi di dapur api itu Tuhan mengirimkan malaikat sehingga mereka tidak terbakar sama sekali. Jadi, inilah konsep yang benar. Kita mesti menghadapinya.
GS : Ya. Berikutnya apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Dalam menghadapi stres kita harus mengurainya menjadi kompenen yang kecil-kecil. Misalkan persoalan dengan lembaga, lembaga itu besar, diurai menjadi persoalan dengan individu tertentu. Kadang orang berkata, "Saya tidak suka kepada lembaga tersebut." Lembaga ‘kan sesuatu yang abstrak. Untuk menghadapi stres, kita mesti bisa menunjuk, "Sebetulnya saya punya masalah dengan Si A." atau ketidak sukaan kita dengan sistem kerja diurai menjadi ketidaksetujuan dengan kebijakan tertentu. Daripada kita berkata, "Aduh, saya tidak suka peraturannya. Sistem kerjanya begini." Itu abstrak dan terlalu umum. Sebaiknya kita spesifik dan berkata, "Kebijakan yang ini yang saya tidak setujui." Contoh lain, ketidakbahagiaan dalam rumah tangga diurai menjadi penolakan terhadap perilaku pasangan yang mengganggu daripada kita secara umum berkata, "Saya tidak bahagia ! Pasangan saya seperti ini, saya tidak bahagia." Lebih baik kita spesifik bicara perilaku pasangan yang manakah yang memang mengganggu kita. daripada kita mengatakan pasangan kita buruk. Pada waktu kita mengurai permasalahan yang menekan menjadi komponen yang lebih kecil dan spesifik, kita akan lebih dapat menghadapinya. Raksasa masalah sekarang berubah menjadi kaki, tangan dan bagian-bagian kecil lainnya dari masalah. Ini akan mengurangi stres. Selain dari itu, kita pun lebih dapat melihat permasalahan dalam bingkai yang utuh. Mungkin kita akan menemukan situasi tidak seburuk yang kita kira, Pernikahan kita tidak sekelam yang kita rasakan dan tempat dimana kita bekerja tidak sejahat yang kita pikir. Singkat kata masih ada hal-hal lain yang baik. Nah, perspektif ini akan membantu kita menghadapi masalah dan kita tidak lagi tertindih oleh stres.
GS : Iya. Masalahnya kalau kita sedang stres, kita sulit mengurai masalah besar menjadi komponen-komponen yang lebih kecil yang bisa kita lihat dengan lebih jelas, Pak Paul. Seolah-olah kemampuan kita habis untuk memilah-milah masalah. Kita hanya menemukan masalah besarnya saja.
PG : Betul. Kadang-kadang kita sudah tertindih ya dengan masalah itu sehingga mata kita tidak bisa lagi melihat yang kecil. Pokoknya masalahnya besar. Kadang-kadang kita memang perlu bantuan orang. Kita ajak bicara, kita ceritakan kita menghadapi masalah, "Bisa tidak tolong saya mengurai persoalan ini menjadi komponen yang lebih kecil supaya saya bisa menghadapinya satu demi satu?" Kadang-kadang kita memang harus meminta pertolongan orang, Pak Gunawan.
GS : Memang menghadapinya tidak perlu sekaligus ya, Pak Paul. Mana yang perlu ditangani lebih dulu itulah yang diselesaikan ?
PG : Betul. Ini penting sekali untuk kita lakukan sebab kalau tidak, kita cenderung belum apa-apa sudah kewalahan dan panik akhirnya sudah lumpuh, tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
GS : Iya. Sebenarnya di dalam kondisi stres kalaupun kita tidak menemukan orang yang dapat dimintai pertolongan, kita harus selesaikan sendiri, apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Kalau kita tidak bisa lagi menyelesaikannya, tidak tahu bagaimana menghadapinya, dan orang-orang tidak bisa menolong kita, jadi yang paling baik adalah kita menenangkan diri dulu. Kita tenang. Misalkan kita perlu istirahat ya kita istirahat. Jangan lupa datang kepada Tuhan, kita minta Tuhan menolong kita. Dalam suasana tenang seperti itu seringkali kita bisa mulai melihat dengan lebih jelas. Ini dibuktikan juga oleh banyak riset, Pak Gunawan. Ternyata sewaktu kita sedang istirahat, sebetulnya otak kita bekerja dengan lebih cepat, dengan lebih baik, dengan lebih efektif sehingga tidak jarang setelah kita istirahat justru kita menemukan jalan keluarnya. Tetapi kalau kita terus berhadapan, terus menerus mencari jalan keluar, akhirnya tambah pusing, kita tambah kewalahan. Ada baiknya kita hentikan, kita berkata, "Saya sekarang tidak bisa mikir lagi. Pokoknya saya akan berdoa dan minta pertolongan Tuhan. Saya akan istirahat dulu." Nah, dalam saat-saat itu seringkali kita akan menemukan jalan keluarnya.
GS : Itu lebih mudah dilakukan kalau stres ini berasal dari instansi di luar rumah kita atau di luar keluarga. Tapi kalau itu terjadi di dalam keluarga jadi agak sulit, Pak Paul.
PG : Betul. Itu berarti masalah ada di depan mata terus-menerus kita, Pak Gunawan. Kalau seperti itu tidak ada salahnya kita berkata kepada istri atau suami kita, "Saya mau keluar dulu sebentar." Kita pergi 1-2 jam menyendiri di tempat yang tenang, kita tidak bertemu orang, tidak usah berbicara dengan siapa-siapa. Nah, dalam saat seperti itu kita berdoa dan biasanya kita akan bisa melihat dengan lebih jernih.
GS : Ya. Kalau kita dikejar-kejar untuk cepat-cepat menyelesaikan akan menambah beban kita.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Tapi kalau tidak segera diselesaikan jadi menumpuk. Masalah hari ini besok akan lebih berat lagi, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Adakah hal lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah dalam kondisi stres, kita tetap harus melakukan aktifitas rutin seperti sedia kala. Tidak bisa disangkal dalam kondisi stres minat akan berkurang. Jika sebelumnya kita senang berkumpul teman, sekarang tidak. Jika tadinya kita rajin berolahraga, sekarang kita malas melakukannya. Tidak apa menguranginya tapi jangan sampai kita berhenti melakukannya sama sekali. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kita tidak boleh menghilangkan aktifitas rutin. Pertama, aktifitas rutin memberikan kesegaran sehingga mengurangi dampak stres yang melayukan. Kedua, aktifitas rutin memberi kita kesempatan untuk memandang masalah dari sudut berbeda. Tatkala kita beraktifitas, untuk sejenak kita terlepas dari stres dan ini dapat membuat pikiran menjadi lebih jernih. Ketiga, aktivitas rutin menjaga keajegan (teratur; tetap; tidak berubah) hidup. Jika tadinya gara-gara stres, hidup terjungkal balik. Kita tidak lagi mengenali hidup kita yang sekarang, berubah total. Nah, dengan kita terus beraktivitas rutin, kita mengembalikan hidup ke kondisi semula yang kita kenal karena ada hal-hal rutin yang biasa kita lakukan sekarang kita tetap lakukan. Jadi, hidup itu tidak 100% berubah.
GS : Tapi masalahnya memang seolah-olah kita itu kehabisan tenaga untuk melakukan aktivitas rutin itu. Sudah tidak ada gairah lagi, Pak Paul.
PG : Betul. Saya mengerti, Pak Gunawan. Makanya saya singgung, tidak apa-apa dikurangi, tidak apa-apa tidak selama itu. Misalkan kita terbiasa berjalan pagi. Nah, kalau biasanya berjalan kaki 1 jam, sekarang ya tidak apa-apa berjalan pagi setengah jam. Biasanya kita main badminton bisa 2 malam dalam seminggu, sekarang satu malam seminggu itu sudah baik. Jadi, memang ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan seperti dulu lagi, tidak apa-apa, tapi jangan sampai tidak ada sama sekali. Sebab, ternyata itu banyak manfaatnya. Pagi kita berolahraga, tiba-tiba kita merasa lebih segar. Tiba-tiba kita memikirkan jalan keluar. Atau hidup kita kok masih sama, biasanya kita pergi dengan keluarga seminggu sekali meskipun dalam suasana yang sedang penuh stres, kita keluar satu keluarga seminggu sekali. Itu menolong.
GS : Apakah itu tidak berarti memaksakan diri, Pak Paul ?
PG : Harus. Bagaimanapun juga kita memaksa diri untuk tetap melakukan aktifitas rutin itu. Meskipun yang Pak Gunawan katakan itu benar, sudah tidak ada minat lagi.
GS : Iya. Karena kalau kita memaksakan diri seperti itu bisa menimbulkan beban tersendiri buat kita. "Wah saya harus melakukan ini, padahal saya tidak berminat melakukan ini."
PG : Tapi kalau itu aktifitas rutin yang baik, sewaktu kita melakukannya kita akan merasa lebih segar. Sebelumnya mungkin kita memang tertekan, tidak ingin melakukannya tapi harus. Sewaktu kita melakukannya, eh justru lebih segar sehingga pikiran kita lebih terbuka.
GS : Itu dianggap sebagai variasi atau selingan dalam kehidupan ?
PG : Betul sekali, pak Gunawan. Dan ternyata dampaknya sangat besar.
GS : Kuatirnya adalah karena kita tidak berkonsentrasi penuh, misalnya saat jalan-jalan, sambil berjalan kita masih memikirkan masalah yang kita hadapi. Ini ‘kan cukup berbahaya, di jalanan sekarang ini banyak kendaraan yang berjalan cepat-cepat, Pak Paul.
PG : Ini masukan yang baik. Sudah tentu kita mesti hati-hati. Kalau kita tahu kita mungkin bisa mengalami kecelakaan karena kurang hati-hati, pikiran sedang tersita, ya sudah, mungkin kita tidak usah berjalan di jalan yang ramai, kita jalan-jalan di tempat yang biasa saja. Atau kita tidak usah jalan asal keluar rumah, gerak badan, itu sudah cukuplah.
GS : Artinya kita mencoba untuk keluar dari masalah stres yang membebani kita ini, Pak Paul ?
PG : Betul. Aktifitas rutin selain mengeluarkan kita dari situasi sehingga kita bisa melihat dengan lebih jernih, juga penting untuk menghubungkan kita dengan kehidupan dan diri kita yang lama sehingga kita seperti tidak kehilangan diri dan kehidupan kita secara total.
GS : Kalau aktifitas rutin menjaga keajegan hidup itu yang seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya kita biasa pergi dengan keluarga seminggu sekali. Sekarang sedang menghadapi masalah dan tidak ingin bepergian. Biasanya kita bermain badminton, sekarang tidak mau main badminton, tiba-tiba hidup kita berubah total sehingga kita tidak kenal lagi hidup kita. Ini tidak sehat dan membuat kita lemah bukannya kuat. Tapi kalau kita melakukan apa yang biasa kita lakukan, kita mengenali inilah diri kita dan akhirnya kita tidak terlalu tertekan.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menjelaskan mengenai topik ini, Pak Paul ?
PG : Di Yesaya 38 kita bisa membaca kisah tentang Raja Hizkia, raja Israel yang tadinya sakit dan hampir mati tetapi kemudian menerima kesembuhan dari Allah. Berikut adalah cuplikan rasa syukurnya yang saya ambil dari Yesaya 38:12 dan 17. "Pondok kediamanku dibongkar dan dibuka seperti kemah gembala (12). Sesungguhnya penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku. Engkaulah yang mencegah jiwaku dari lobang kebinasaan. (17)" Saya kira ketika kita sedang menghadapi stres mungkin merasa seperti Raja Hizkia. "Pondok kediamanku dibongkar dan dibuka seperti kemah gembala" artinya habis. Tetapi Tuhan menolong Raja Hizkia, menyembuhkannya dari sakitnya, makanya dia berkata, "Sesungguhnya penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku. Engkaulah yang mencegah jiwaku dari lobang kebinasaan." Jadi, ini kesimpulannya, Pak Gunawan. Sebesar apapun stres yang kita hadapi, Tuhan lebih besar lagi. Jadi, pada waktu kita harus berhadapan dengan stres, jangan lupa untuk menghadap Tuhan.
GS : Memang kalau kita mengamat-amati terus masalah stres kita, memang itu kelihatan besar ya. Tapi kalau kita mengalihkan pandangan kita dan memandang kepada Tuhan, ternyata Tuhan jauh lebih besar dari segala permasalahan yang kita hadapi.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Stres: Baik atau Buruk ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.