Siapa yang Harus Berubah 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T201A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Berbicara tentang, "Siapa yang harus berubah?" bisa berlangsung semalaman dan itu pun biasanya tidak selesai. Dua hal yang perlu kita pertimbangkan yaitu kematangan dan kejelasan peran. Dengan kematangan dan kejelasan peran, "berubah" tidak lagi menjadi bahan pemikiran atau pemaksaan. Berubah menjadi sealamiah bernapas.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Berbicara tentang, "Siapa yang harus berubah?" bisa berlangsung semalaman dan itu pun biasanya tidak selesai. Pada umumnya kita menuding pasangan sebagai pihak yang perlu berubah sebab bukankah kita merasa berada di pihak yang benar? Itu sebabnya penting bagi kita untuk menempatkan masalah "berubah" ini dalam perspektif berbeda agar kita dapat melakukannya, bukan hanya membicarakannya. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita pertimbangkan.

Kematangan Kita tahu bahwa kesuksesan pernikahan bergantung pada kesediaan masing-masing pihak untuk berubah. Kematangan mempunyai tiga dimensi: luas, dalam, dan tinggi.

  1. Luas. Luas dalam pengertian dapat melihat pelbagai sudut dan tidak terpaku pada satu sudut pandang saja. Inilah bagian dari kematangan yang kerap disebut orang, kematangan berpikir. Jika kita mempunyai kematangan berpikir kita mudah menerima perbedaan dan tidak terlalu bergebu memaksakan kehendak atau pemikiran pribadi pada orang lain.
  2. Dalam. Dimensi Dalam mengacu kepada kesanggupan untuk masuk ke dalam perasaan orang lain. Bukan saja kita sanggup membaca perasaannya, kita pun bisa merasakannya. Dimensi ini menuntut keterbukaan pribadi terhadap perasaan sendiri. Dimensi Dalam berfaedah besar dalam penyelesaian perbedaan karena kematangan ini memudahkan kita mengerti apa yang sesungguhnya orang rasakan.
  3. Tinggi. Dimensi Tinggi merujuk kepada tingkat kerohanian yakni berapa dekat dan serupanya kita dengan Tuhan. Definisi kerohanian saya dasari atas buah Roh sebagaimana diuraikan dalam Galatia 5:22-23 yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasan diri. Dengan kata lain, diri yang matang adalah diri yang sudah diubahkan oleh Roh Kudus dan menghasilkan buah Roh dengan lebatnya.

Jika kita memiliki ketiga dimensi kematangan ini, dapat kita lihat bahwa perubahan untuk pertumbuhan tidak lagi menjadi masalah yang harus diperjuangkan. Kita tidak lagi mementingkan "siapa" yang harus berubah melainkan "apa" yang perlu berubah. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah caranya kita mengembangkan kematangan seperti ini agar perubahan dapat tercipta dengan mulus?

Dimensi luas dari kematangan memang sedikit banyak terkait dengan tingkat kecerdasan. Makin tinggi tingkat kecerdasan, makin mudah kita melihat dari pelbagai sudut. Sungguhpun demikian, kita masih dapat mengembangkan wilayah ini lewat kerendahan hati. Maksud saya, dengan rendah hati kita memohon pasangan untuk memberi penjelasan ulang agar kita dapat memahami akar dan alur pikirnya. Kita pun dapat mengembangkan wilayah ini dengan cara memaksa diri untuk tidak cepat-cepat memutuskan sesuatu sebab besar kemungkinan keputusan itu akan cacat dan tidak utuh.

Berikutnya Dimensi Dalam. Kita bisa memperdalam kematangan dengan cara mendengarkan dengan diam. Tatkala mendengarkan, silakan menengok ke dalam untuk memeriksa perasaan yang tengah dirasakan. Setelah itu, jenguklah perasaan pasangan. Tanyakanlah kepada diri sendiri, apakah yang dirasakannya.

Terakhir Dimensi Tinggi. Kerohanian berangkat dari keinginan berapa besar kerinduan kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Makin besar ketaatan pada Firman-Nya, makin rohanilah kita. Makin dekat dengan Tuhan, makin serupa kita dengan-Nya.

Kejelasan Peran Ada banyak alasan mengapa kita saling menuntut perubahan namun di antara semuanya mungkin ada satu tema yang kerap muncul: peran dan tanggung jawab. Banyak masalah pernikahan bertunas dari akar peran dan tanggung jawab. Misalkan, tanpa kita sadari kita mulai menanam kejengkelan karena melihat suami tidak terlibat dalam mengurus anak. Kita letih dan mengharapkan bantuannya namun ia beranggapan bahwa tugas mengurus anak sepenuhnya jatuh pada pundak kita. Alhasil sewaktu ia meminta hubungan seksual, kita langsung menolak. Suami bingung dan marah atas penolakan kita dan selebihnya dapat kita bayangkan, pertengkaran terjadi.

Ada begitu banyak situasi pernikahan yang serupa dan semuanya berakhir dengan konflik. Untuk menghindar dari konflik sudah tentu diperlukan perubahan dan dalam hal ini, perubahan peran dan tanggung jawab. Tuhan menetapkan suami untuk menjadi kepala istri; itu sebabnya Ia menetapkan istri untuk tunduk kepada suami (Efesus 5:22-23). Lebih lanjut, Tuhan menetapkan bagaimanakah suami seharusnya menjalankan perannya mengepalai istri yakni dengan cara mengasihinya (Efesus 5:25).

Untuk sejenak, saya ingin mengajak saudara untuk memfokuskan pada pemahaman bahwa sesungguhnya Tuhan hanya memberi satu perintah-kepada suami untuk memimpin keluarganya dengan baik (dan "baik" di sini berarti dalam dan dengan kasih). Jika kita melihatnya demikian, saya percaya kita akan lebih dapat memahami peran dan tugas masing-masing dengan lebih mudah. Berangkat dari sudut pandang ini, kita bisa menyetujui bahwa peran dan tanggung jawab suami adalah memimpin istri (dan juga anak-anaknya). Lebih lanjut, kita pun dapat menyepakati bahwa masalah dalam keluarga niscaya timbul bila kepemimpinan goyah atau tidak berfungsi semestinya. Jadi, kepada suami saya menyerukan, "Jangan ragu untuk memimpin!" Inilah peran dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang peka melihat kinerja orang dalam naungannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengasihi orang yang berada dalam naungannya sehingga ia tidak ragu untuk turun tangan dan menolong. Namun pemimpin yang baik tidaklah mengambil alih peran dan tanggung jawab orang yang berada dalam naungan kepemimpinannya. Ia mesti mencarikan jalan keluar namun sebelumnya, ia harus menunjukkan kepeduliannya untuk turun tangan. Sewaktu suami turun tangan, istri harus ulur tangan-menyambut bantuan dan arahan suami.

Kesimpulan "Siapa yang harus berubah?" adalah pertanyaan yang mengundang tarik-menarik dan perdebatan. Kematangan-berpikir, rasa, rohani-membuat tarik menarik luluh sebab fokus utama diri yang matang bukanlah siapa, melainkan apa (yang harus berubah). "Siapa yang harus berubah?" juga mesti ditempatkan dalam perspektif peran dan tanggung jawab suami yang benar. Di dalam naungan kepemimpinan yang sehat, masalah "siapa" (yang harus berubah) beralih menjadi bagaimanakah caranya menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan efektif. Dengan kematangan dan kejelasan peran, "berubah" tidak lagi menjadi bahan pemikiran atau pemaksaan. Berubah menjadi sealamiah bernapas.