Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Pulih dari LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender)". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DI : Pak Sindu, beberapa waktu yang lalu kita sudah bicara tentang LGBT. Sekarang kita mau melihat bagaimana orang yang ingin mengalami pemulihan dari LGBT. Mungkin Pak Sindu bisa menceritakan bagaimana bisa seseorang yang ingin pulih dari Gay, Bisexual, Transgender atau Lesbian dapat betul-betul lepas dari LGBT ini ?
SK : Memang untuk hal ini membutuhkan proses yang sifatnya multidimensi, Pak Daniel. Kalau saya sebut, dibutuhkan sebuah proses atau terapi psiko sosio spiritual. Dari kata psiko yakni psikologis, jadi perlu menyentuh sisi faktor psikis atau emosi orang tersebut. Sosio berarti menjelaskan adanya faktor sosial, menyentuh faktor relasi orang tersebut dengan orang-orang lain. Jadi, dia perlu memerbaiki atau merestorasi segi relasi. Yang ketiga adalah sisi spiritual. Memang sisi spiritualitas, sisi kerohanian, sisi kedalaman relasi dengan Tuhan itu juga menjadi hal penting yang perlu disentuh dan orang tersebut mengalami pemulihan dan pertumbuhan. Dengan pendekatan psiko sosio spiritual ini maka pemulihan dari kondisi LGBT ini akan bisa lebih mengakar, mengokoh, dan buahnya bisa dinikmati.
DI : Pak Sindu, mengapa dalam proses pemulihan itu harus menyentuh psiko, sosio dan spiritualnya ? Mengapa hal ini sangat penting ?
SK : Ya karena manusia kompleks. Kalau mau ditambahkan, ada lagi segi fisik. Tapi untuk konteks LGBT ini tidak ada hubungannya dengan gangguan fisik, tidak ada distorsi fisik. Memang lebih banyak faktor psikologis atau kejiwaannya, segi relasinya dengan orang-orang lain dalam berkomunitas dan sisi batiniah yang paling dalam yaitu sisi spiritualitas. Jadi, itu menggambarkan keutuhan kemanusiaan.
DI : Sepertinya menunjukkan bahwa manusia ini memang terintegritas dalam psiko, sosio dan spiritual. Seandainya hanya menyentuh psiko dan sosio tanpa menyentuh spiritual, kira-kira bagaimana dampaknya, Pak Sindu ?
SK : Ya kurang utuh. Karena memang dimensi LGBT itu kadang orang mengartikan oh hanya kelainan seks yang bersifat hawa nafsu hasrat seksual atau bersifat medis untuk diberi obat medis, oh otaknya, hanya pendekatan neurologi. Tidak, tidak seperti itu. Ini menyentuh seluruh aspek kemanusiaan yang utuh dan kemanusiaan yang utuh ya sisi spiritualitas. Memang ada pendekatan-pendekatan yang mengabaikan sisi spiritualitas dan itu dilakukan sekian orang, bukan ? Tetapi kalau dalam pelayanan saya secara riil dalam mendampingi dan melayani para klien yang dalam LGBT ini, saya melakukan pendekatan psiko, sosio, spiritual. Karena begini, kemanusiaan kita ini punya satu motor. Ketika motor spiritualitas ini kita optimalkan, itu memberikan sebuah energi yang mendorong besar dari segi pemulihan-pemulihan yang lain yaitu segi kejiwaan dan segi relasinya. Jadi, kalau segi spiritualitas diabaikan ya bisa saja. Tapi ya sebegitulah kekuatan perubahannya.
DI : Bagaimana dengan yang sosio, Pak Sindu ? Maksudnya seberapa besar dampak pemulihan ?
SK : Sosio itu penting karena luka berkaitan dengan LGBT ini sangat erat kaitannya dengan relasi dengan orang lain. Luka karena relasi dipulihkannya juga perlu di dalam relasi.
DI : Kalau begitu secara aplikasi, bagaimana Pak Sindu menangani rekan-rekan yang ada dalam kondisi seperti ini ?
SK : Ya. Saya akan menyebutnya sebagai klien ya. Sebagai posisi pengalaman saya sebagai seorang konselor, setiap klien – termasuk klien-klien yang punya latar belakang pergulatan dengan LGBT – saya minta sebelum bertemu saya pertama kali untuk mengisi sebuah kuesioner. Dari kuesioner itulah saya bisa memiliki gambaran awal dari berbagai segi kehidupan klien tersebut, termasuk pengalaman pola asuh yang diterimanya sebagai anak, pengalaman seksualitasnya, pengalaman emosionalnya maupun keyakinan-keyakinan diri klien berkaitan dengan siapa dirinya dalam relasi dengan orang lain, lawan jenis, ataupun situas-situasi kehidupan yang spesifik. Jadi, ketika saya masuk ke ruang konseling, saya akan melayani mulai dari pergumulan yang dirasakan mengganggu klien ini. Kalau klien ini datang dengan rasa bersalah, rasa terpuruk dengan perilaku homoseksualnya, maka saya akan melayani dari rasa bersalah itu. Jadi, sesuai dengan rasa kebutuhan yang disadari oleh klien tersebut. Kemudian kalau proses saya, saya akan mengajaknya untuk menyampaikan dalam doa bersuara di dalam ruang konseling itu bersama saya, untuk mengakui kesalahan dan dosanya satu per satu. Kemudian setelah dia berdoa mengakui kesalahan dan dosanya, saya akan merespons dengan doa peneguhan tentang karya pengampunan dari Tuhan berdasarkan Surat 1 Yohanes 1:9 dimana dikatakan jika kita telah mengaku dosa, Allah yang setia dan adil akan mengampuni dosa kita, menyucikan kita dari segala kejahatan.
DI : Pengakuan dosa ini memang sangat baik sekali ya. Tapi apakah doa pengakuan dosa itu bersifat umum, Pak Sindu ?
SK : Saya akan minta klien tersebut untuk berdoa secara spesifik untuk setiap dosa dan kesalahan yang dia sadari. Saya juga bisa membantu klien tersebut untuk mengenalinya, termasuk yang berkenaan dengan ikatan pornografi, masturbasi, atau kalau dia sudah melakukan perilaku seksual, dengan siapa saja klien itu telah melakukan praktek seksual atau perilaku seksual, bahkan saya akan minta klien tersebut untuk menyebutkan dalam doa bersuara di ruang privasi konseling itu nama demi nama dengan siapa dia telah melakukan kontak seksual. Menyebutkan secara spesifik dan mengajaknya untuk saya dampingi, saya arahkan berdoa untuk memutus ikatan jiwani, ikatan spiritual yang telah terbentuk lewat hubungan seksual tersebut. Jadi, kalau sudah ada kontak seksual, sebetulnya ada kontak jiwani. Bukankah desain Tuhan, hubungan seksual hanya untuk dalam pernikahan kudus karena dalam hubungan seksual dua menjadi satu. Dua menjadi satu itu bukan hanya imaginer tapi juga secara jiwani, secara spiritual. Maka, hubungan seksual di luar pernikahan itu ada ikatan jiwani, ada ikatan spiritual yang liar. Klien tersebut perlu mengakui dan bersedia memisahkan. Dan saya akan meneguhkan dengan doa pemutusan ikatan jiwani dan ikatan spiritual tersebut.
DI : Ya. Setelah itu, Pak Sindu ?
SK : Umumnya juga rekan-rekan yang dari kalangan LGBT ini memiliki luka dari ayah atau ibu kandung. Maka saya akan mulai masuk pada keterlukaan ini dengan mendampinginya untuk bisa mengangkat ke permukaan keterlukaan yang muncul akibat perlakuan yang buruk ayah atau ibu, atau perlakuan baik ayah atau ibu yang tidak diterima klien itu di masa lalu. Kadang kita katakan, "Sekarang hubungan saya baik kok dengan ayah saya, dengan ibu saya. Dulu memang dia meninggalkan saya bertahun-tahun. Tapi kami sudah baikan sekarang." Itu ‘kan sekarang. Nah, biasanya seperti pernah kita bahas bersama tentang proses pembentukan identitas seksual, justru fase kritisnya, fase fondasinya adalah 12 tahun pertama. Jadi, kerusakan relasi dengan orang tua kandung di 12 tahun pertama itulah yang mencetak struktur jiwa termasuk identitas seksual. Jadi, faktor ini krusial. Jadi, itulah kenapa luka di masa 12 tahun pertama ini perlu diekspos, diakui, dirasakan kembali, disebutkan peristiwa-peristiwa apa yang bisa diingat, perasaan-perasaan yang melekat, akibat-akibat yang muncul, kemudian menyerahkannya kepada Tuhan dengan ujungnya mengambil langkah untuk mengampuni.
DI : Ya. Kalau Pak Sindu boleh menceritakan maksudnya luka dari ayah dan ibu kandung dengan lebih dalam lagi dikaitkan dengan LGBT ini, bagaimana ?
SK : Ya. Terima kasih pertanyaannya, Pak Daniel. Ikatan luka dari ayah dan ibu ini memang berkenaan dengan kebutuhan cinta yang utuh yang seharusnya diterima dari ayah dan ibu kandung tetapi tidak diterimanya, terutama di 12 tahun pertama. Apa itu ? Cinta yang utuh satu sisinya adalah kasih sayang dan sisi yang lain yang terkait erat adalah sisi batasan dan arahan. Kalau kasih sayang itu sifatnya seperti mengulur layang-layang. Minimal ada 4 bahasa kasih sayang, yaitu peneguhan – kata-kata peneguhan, dipuji "kamu hebat", "bapak senang kamu bertanggung jawab", "ibu bangga padamu, kamu sudah berusaha dengan baik", "kamu anak yang cantik", waktu kebersamaan yang dirasakan anak – jadi anak tidak merasakan kesepian, salah satu orang tua bergantian menjaga dan mendampingi anak ini dalam segala aktifitasnya, sentuhan fisik yang sehat – dipeluk, dikecup, ada juga sisi pelayanan yaitu perawatan fisik terutama – "eh, kamu kok kotor, ayo ganti baju. Bapak cucikan bajumu", "sudah makan belum ? Ayo ini waktunya makan. Kamu mau apa ?", "Kamu sakit ya ? Ayo diobati. Ayo ke dokter". Ini bahasa kasih sayang. Ini dibutuhkan. Sisi yang lain adalah batasan dan arahan. "Ayo jujur". Ini pembentukan karakter - "Ayo, sekarang jamnya belajar", "Nah, sekarang boleh bermain". Jadi, ada disiplin, ada pola hidup teratur, ada juga pendidikan seks secara eksternal, secara langsung orang tua mengajar anak secara sistemik sesuai tahap usia perkembangan. Ada juga batasan diet media – "Eit, jam nonton film sudah selesai", atau "sekarang belum waktunya punya gadget. Lebih baik main sama bapak atau ibu, main dengan orang-orang lain bukan dengan media digital. Belum waktunya. Nanti SMP lebih mungkin". Kembali, tangki cinta yang utuh ini butuh diisi. Ketika tidak diisi dengan optimal apalagi diwarnai dengan kata-kata hajaran, kata-kata menyakitkan, hajaran fisik, bahkan mungkin pelecehan seksual, pembanding-bandingan, penolakan – ini memberikan goresan-goresan luka. Apalagi seperti yang pernah kita bahas, identitas seksual sangat ditentukan salah satunya oleh kedekatan ayah secara emosional terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Kalau 12 tahun pertama seorang ayah tidak intim secara emosional punya relasi yang hangat dengan anak laki-lakinya, tidak terjadi proses pembapakan, anak laki-laki ini lebih besar kemungkinannya menjadi lelaki yang suka lelaki atau gay. Anak perempuan juga begitu. Kalau tidak dekat dengan ayah mendapatkan peneguhan-peneguhan positif, rawan, apalagi kalau ayahnya tidak bertanggung jawab melukai ibunya, melukai dirinya dan ibunya lebih banyak curhat kepada anak perempuan, "membuang sampahnya" kepada anak perempuan sehingga akhirnya anak perempuan ini merasa tidak aman dengan laki-laki tapi dia menjadi seperti laki-laki karena mau menjadi pelindung ibunya. Inilah distorsi. Luka ini - di dalam proses konseling mendalam - perlu diangkat ke permukaan, Pak Daniel. Diakui, dirasakan, kemudian secara intentional, secara sukarela, sengaja, sadar, dilepaskan kepada salib Yesus, "Tuhan, saya melepaskan amarah, kebencian, kekosongan yang dulu saya alami di masa-masa dini, masa-masa 12 tahun pertama. Saya ingat masa SD, saya ingat masa TK, saya ingat dulu ayah menampar saya, saya ingat waktu ayah saya sekian tahun meninggalkan ibu saya, saya ingat waktu ibu saya dengan vulgar menceritakan hubungan seksnya dengan ayah saya, ketidakpuasannya tentang ayah. Saya akui sebagai anak saya bingung dan terbebani. Maka di dalam nama Yesus saya mau pindahkan luka-luka ini, ingatan-ingatan negatif, dampak-dampak yang buruk, dalam nama Yesus saya lepaskan, saya pindahkan pada salib Yesus. Yesus juga mati terluka untuk luka-luka yang saya alami di masa anak-anak dengan akibat-akibatnya. Dan di dalam nama Yesus saya mengampuni ayah saya. Saya memaafkan dan mengampuni ibu saya. Ini bagian dari ibaratnya luka itu seperti nanah. Tumor. Tumor yang di dalam ini perlu dikeluarkan. Kita tidak bisa cuma mengisi yang baru tapi yang lama, yang terdistori, yang terlukai ini harus dibuang dulu supaya ada tempat bagi yang baru dan bertumbuh.
DI : Bagaimana dengan luka dari ibu berkaitan dengan ini ? Apa yang perlu dilihat atau disoroti supaya menolong kepada pemulihan ?
SK : Ada ibu-ibu yang terlalu dominan. Ini saling berkaitan ya. Ada kalanya ayah-ayah yang lemah diimbangi oleh ibu-ibu yang dominan. Seharusnya yang lebih banyak bicara tegas memimpin itu sang ayah. Tapi ternyata sang ayah adalah ayah yang pasif, yang diam. Mungkin juga ayah ini lahir dari ayah yang juga pasif atau ayah yang terlalu dominan atau otoriter sehingga dia tumbuh menjadi laki-laki yang tertindas. Akibatnya dia memilih istri yang dominan. Istri yang dominan pun mungkin lahir dari keluarga yang ayahnya pasif. Seperti botol bertemu tutupnya. Nah, situasi yang tidak sehat inilah yang sangat mungkin melahirkan potensi anak-anak yang terluka atau bahkan terdistorsi identitas seksualnya.
DI : Iya. Di satu pihak memang perlu pengampunan ya.
SK : Ya. Pengampunan itu langkah penting. Karena dengan mengampuni, lapis demi lapis keterlukaan ini dikupas. Memang ini bukan langkah satu kali, Pak Daniel. Ibaratnya seperti bawang merah, dikupas satu, dikupas satu, dan ada tempat yang baru yang kosong diisi dengan pemulihan dari Allah. Di tempat yang baru itu, firman Tuhan bisa berakar. Tapi dalam perjalanan mungkin merasakan kembali luka yang sama. Teringat kemarahan, teringat kekosongan, teringat kebencian, tidak apa-apa. Langkah doa yang sama diulangi, dilakukan lagi. Karena sesungguhnya sedang masuk ke lapis yang lebih dalam lagi. Jadi, proses ini bukan proses yang berputar-putar di tempat yang sama tapi seperti kita berjalan mendaki ke Bukit Sion, semakin lama semakin tinggi, semakin mengalami kemajuan yang signifikan.
DI : Apakah mengampuni itu sebatas pada orangtua saja, Pak ?
SK : Termasuk kepada pelaku-pelaku yang mungkin pernah melakukan pelecehan seksual. Orang yang mungkin pernah memerkosa, menyodomi atau mungkin dari awalnya menunjukkan gambar-gambar porno, film-film porno. Atau orang-orang yang menghina melukai perasaan dan hatinya – beberapa ‘kan mengalami bullying. Jadi, orang-orang yang punya latar LGBT ini rata-rata yang saya jumpai itu punya riwayat dibullying. "Kamu terlalu tomboy" atau "kamu terlalu feminin. Banci kamu". Diberi label oleh teman-teman SDnya. Mungkin juga gurunya. Mungkin guru olahraga, "Kamu kok lemas, lembeng (bawel / suka menangis) seperti wanita. Tunjukkan kelaki-lakianmu." Nah, ini bisa menambah luka yang sesungguhnya fondasinya dari ayah dan ibu. Dan yang lain-lain ini menambahi. Itu juga perlu melakukan proses pengupasan luka-luka seperti bawang merah, diserahkan kepada salib Kristus, dipindahkan, dipisahkan dari jiwanya dan ujungnya adalah mengambil langkah iman memaafkan atau mengampuni.
DI : Iya. Kata-kata yang salah seperti itu memang sangat merusak identitas seorang anak ya, Pak Sindu.
SK : Ya.
DI : Setelah pengakuan dosa, apa yang perlu dilanjutkan, Pak Sindu ?
SK : Tadi kita melihat pengakuan dosa dan pemberian pengampunan dosa, maka langkah berikutnya adalah pemberian identitas baru di dalam Kristus. Jadi, setelah luka dan dosa itu dipisahkan dari jiwanya, dikosongkan dari jiwanya, maka hal yang baru perlu diisi manusia baru. Manusia lama ditanggalkan, manusia baru perlu dikenakan. Yaitu dengan mengundang Allah Bapa sebagai ayah dan ibu sejati untuk mengisi tangki cinta utuh yang tidak terisi di masa lalu. Masa lalu tidak dapat diubah, Pak Daniel. Tapi masa lalu bisa ditebus di dalam anugerah Tuhan, mengundang secara pribadi, "Bapa di surga, saya undang Engkau pada saat ini masuk dalam hati saya menjadi ayah dan ibu sejati. Saya masih punya ayah dan ibu di dunia ini tetapi di dalam nama Yesus engkau adalah ayah dan ibu sejati." Karena apa ? Allah Bapa punya sisi maskulin dan feminin. Kelaki-lakian atau kewanitaan kita di dunia ini sesungguhnya inspirasi modelnya itu ada dalam diri Allah. Dia punya sisi kebapakan, punya sisi keibuan. Jadi, proses yang dulu tidak kita terima, pengasuhan yang baik dari orang tua kita, di dalam nama Yesus kita minta Bapa menebusnya, menguduskannya dan mengisi masa lalu itu, bahkan masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian proses pengasuhan oleh orang tua ini tidak berhenti tapi dikuduskan, diisi, ditebus dan dilanjutkan oleh karya Bapa sorgawi. Jadi, ada relasi yang intim, personal. Dan sejak itu kita bisa dengan nyaman dan mantap menyebut diri: "Aku adalah laki-laki. Anak laki-laki kesayangan Bapa." Atau "Aku adalah anak perempuan kesayangan Bapa surgawi. Ini menjadi titik awal perjalanan baru peneguhan secara psikis, emosi, maupun secara spiritual. Ini terintegrasi di dalamnya. Perjalanan yang baru.
DI : Cukup dengan berdoa saja, Pak Sindu ?
SK : Biasanya saya akan melayani dengan membuka 1-2 teks firman Tuhan, mengajak klien tersebut menggali secara sederhana, sehingga fondasinya bukan perkataan saya semata tapi ada dasar firman. Bahkan saya akan memberi tugas sesuai kapasitasnya, membaca buku tertentu supaya bisa direnungkan, diresapi, sejalan dengan prinsip firman itu melekat pada dirinya.
DI : Apakah cukup dengan 1-2 kali konseling pribadi saja ?
SK : Ini memang sebuah proses yang terus menerus ya, Pak Daniel. Biasanya di awal mungkin seminggu sekali. Setelah menemukan pola bisa dua minggu sekali. Ini mengalir sesuai dengan proses kehidupannya. Karena ini seperti bawang merah, ada banyak lapis demi lapis, ada banyak dimensi kehidupan di tengah pekerjaannya atau sekolahnya, proses pengambilan keputusan, tanggapan-tanggapan dari peristiwa-peristiwa, pikiran, perasaan, relasi orang per orang, itu bisa memunculkan ada hubungannya dengan isu gambar diri yang baru dan gambar diri yang lama yang terus menerus ditanggalkan. Ini akan kita layani. Karena kita kembali pada pasal pertama, tentang orang tua, pengakuan dosa. Ini bukan langkah sia-sia tapi langkah sistemik yang mengakar, mengokoh.
DI : Apa cukup dengan konseling pribadi saja untuk pemulihan LGBT ini ?
SK : Memang tidak cukup, Pak Daniel. Tidak cukup. Memang sangat perlu ditopang komunitas baru. Prinsipnya: dilukai komunitas, dipulihkan komunitas. Lewat orang tua dan keluarga baru di dalam Kristus.
DI : Apa dalam hal ini gereja, Pak Sindu ?
SK : Ya. Gereja lokal inilah desain Allah untuk pemulihan bagi semua keterlukaan apalagi berkenaan isu LGBT. Gereja yang sehat adalah gereja yang juga merangkul sisi emosi, sisi keterlukaan, merestorasi, menyediakan kasih karunia dan kebenaran sekaligus menopang menerima teman-teman yang LGBT yang mau dipulihkan ini untuk dia diteguhkan identitasnya. Dia belajar peran yang baru sebagai laki-laki dari para laki-laki yang cukup sehat di gereja. Dia belajar menjadi perempuan yang sehat dari para perempuan, wanita-wanita, ibu-ibu yang ada di gereja. Terjadi pembapakan dan pengibuan ulang di dalam gereja, komunitas yang terus menerus dipulihkan dan bertumbuh.
DI : Apakah ada komunitas alternatif seperti yang Pak Sindu maksudkan ?
SK : Kadang gereja memang masih gagap dengan isu LGBT ini, Pak Daniel. Maka bersyukur di Indonesia sudah ada komunitas alternatif bernama Pancaran Anugerah. Mereka melayani berdasarkan isu jati diri, relasi dan seksualitas. Pemuridan mereka punya model yang sistemik. Jadi, kalau para pendengar ingin tahu lebih lanjut, silakan buka pancarananugerah.org. Disana mereka punya program-program pemuridan yang sangat baik. Saya sangat mendukung program ini untuk bisa diadopsi dan dikembangkan di gereja lokal masing-masing untuk menolong banyak orang yang bergumul dengan isu jati diri, relasi dan seksualitas dan diantaranya berkenaan dengan LGBT.
DI : Apakah sebenarnya orang ini bisa sembuh total dari LGBT ya ?
SK : Ini pertanyaan yang sama, apakah seseorang yang dulunya pecandu narkoba, perokok berat sejak kecil, peminum minuman keras, kecanduan pornografi dan punya keterikatan buruk dengan hal-hal lainnya sejak kecil, apakah bisa sembuh total ? Jawabannya sama terhadap isu LGBT. Kesembuhan yang benar-benar total boleh dikatakan tidak ada. Karena jiwa kita sudah terdistorsi, sudah mengalami – kalau saya sebut dengan tajam – cacat jiwa. Tetapi dengan anugerah Tuhan, lewat proses pemulihan yang mengakar, mendalam dan sistemik membuat isu-isu itu lebih menjadi godaan. Tidak lagi menguasainya, dia punya kuasa yang baru untuk menjalani gaya hidup yang sehat. Dan gaya hidup sehat inilah gaya hidup dalam komunitas tubuh Kristus. Dia punya mentor, dia punya rekan-rekan sebaya dimana dia bisa terbuka, ada rasa aman, ada pertanggungjawaban, diperiksa dan dia siap untuk memberikan pertanggungjawaban, ada perlindungan, ada komitmen hidup rohani dimana manusia lama itu sudah semakin banyak ditanggalkan, dia punya semangat yang baru untuk hidup baru. Ini yang akan menjaganya untuk tidak mudah jatuh, baik dalam isu miras, isu narkoba, isu pornografi, termasuk isu LGBT.
DI : Mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Sindu bagikan untuk kita semua ?
SK : Saya bacakan dari 2 Korintus 12:9, "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." Ayat 10 bagian terakhir, "Sebab jika aku lemah maka aku kuat." Di dalam nama Yesus, isu LGBT di dalam diri kita maupun isu-isu yang lain, itu adalah kelemahan. Ketika sudah dibersihkan dari dosa, dari luka. Kerentanan masih ada. Tetapi ketika kita mau hidup dalam komunitas tubuh Kristus, hidup di dalam terang Kristus, maka kelemahan ini akan justru menjadi kekuatan. Kita semakin mengundang Tuhan, mengundang tubuh Kristus hadir di dalam jiwa dan hidup sehari-hari kita. Ini adalah kabar baik. Dari yang pahit akan muncul madu. Dari sesuatu yang melukai, muncul sebuah kekuatan untuk memberkati. Maka mari kita rangkul saudara-saudara kita yang LGBT dalam proses pemulihannya. Dan mari yang punya pergumulan LGBT jangan menutup diri, carilah pertolongan. Ada anugerah, ada pengharapan.
DI : Terima kasih banyak, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Pulih dari LGBT". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.