Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini dihadiri oleh Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo, mereka adalah para pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pola pendidikan terhadap anak khususnya di dalam keluarga Kristen. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Ibu Vivian, kami senang sekali Ibu bersama-sama dengan kami pada malam hari ini dan kita akan bersama-sama membicarakan tentang pola pendidikan anak di dalam keluarga Kristen. Saya teringat dengan satu ayat yang menarik di dalam Ulangan 11:19 dan Ibu Ida akan membacakannya untuk kita.
IR : "Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
(1) GS : Sebenarnya ayat itu cukup jelas sekali mengajarkan pada kita bagaimana kita mendidik anak. Tetapi masalah yang sering dihadapi dan juga seringkali menghadapi itu terhadap anak-anak, kalau kita menerapkan ayat firman Tuhan ini secara harafiah ya, mereka itu malah cenderung bosan mendengar "Berkali-kali Papa ini ngomong mesti ada ngutip ayat dan sebagainya itu, itu sebenarnya tanggapan yang seperti itu bagaimana, Bu Vivian?
VS : Saya mempunyai pandangan mendidik anak seharusnya bukan hanya dengan banyak bicara tetapi kalau dalam mendidik anak sebagai orang tua kita banyak meneladani/memberi teladan kepada anak. Jai seandainya kita mengajarkan Firman Tuhan dengan orang tua melakukan sendiri dan memberikan contoh kepada anak dan nanti kalau anak sudah melihat contoh orang tua, lebih mudah orang tua itu mengajarkan kepada anak.
Lalu firman Tuhan diajarkan jadi anak tidak pernah bosan karena melihat contohnya dan teladannya ini berguna.
PG : Jadi maksud Bu Vivian teladan orang tua itu adalah prasyarat sebelum pengajaran bisa disampaikan dengan efektif. Kira-kira maksudnya apa ayat yang telah kita baca tadi Bu Vivian?
VS : Kalau menurut kami yang saya baca di Ulangan 6:4-8,9 di sana kita memang harus mengajarkan anak berulang-ulang dengan apa yang kita katakan dan berulang-ulang mengajarkan, tidk bosan-bosan karena anak tidak akan mengerti satu kali.
Tetapi kalau dari Ulangan ini terjemahan yang lain saya lihat, sebelum orang tua mengajarkan harus ada teladan dulu. Jadi kalau saya melihat firman Tuhan mencantumkan itu sebagai prasyarat.
IR : Jadi bisa dikatakan orang tua jangan bersaksi tapi menyaksikan teladan ya Bu Vivian?
VS : Bersaksi dalam kehidupan ya, setelah itu baru kita bisa ngomong. Kalau tanpa ada kesaksian kehidupan bagaimana apa yang kita katakan anak tidak akan mau mendengarkan.
GS : Mungkin contoh konkret ya Bu Vivian, kalau kita mau mengajarkan anak supaya menurut kata-kata orang tua, bagaimana contoh yang tadi Bu Vivian katakan lewat teladan itu?
VS : Mungkin contohnya bisa katakan firman Tuhan mengajarkan kita sebagai anak Tuhan kita harus hidup suci, jadi kita menurut perintah Tuhan, kita berusaha hidup suci kita berusaha, kalau orangya sudah menikah tidak selingkuh, kita berusaha hidup benar.
Kita taat perintah Tuhan jadi mungkin ada macam-macam godaan tapi kita berusaha untuk menjaga diri. Setelah itu kita bisa mengajarkan anak-anak untuk hidup suci juga.
GS : Maksud saya bagaimana anak itu bisa mengerti atau sampai usia berapa anak itu bisa tanggap terhadap teladan yang kita berikan kepadanya itu.
VS : Saya kira mulai umur kecil itu, mulai sekecil-kecilpun, mulai anak kecil kita ajarkan mereka senantiasa berdoa. Nah kalau anak itu tidak pernah melihat orang tua berdoa anaknya bertanya: &uot;Lho, Papa Mama sendiri tidak berdoa kok menyuruh saya berdoa.'
Jadi mulai kecilpun mereka sudah tahu.
PG : Saya ada satu pertanyaan ini Bu Vivian, saya mencoba menceritakan kisah-kisah Alkitab kepada anak-anak saya dan ada kecenderungan kalau saya mulai berkata sekarang Papa hari ini menceritakn tentang Yusuf.
Reaksi pertama mereka adalah "Sudah tahu, bosan" Saya juga terus terang agak frustrasi juga sebab di pihak yang satu saya menyadari bahwa memang mereka sudah cukup sering mendengar kisah-kisah Alkitab ini. Di pihak lain kita ingin juga mengajarkan tentang firman Tuhan, apakah Ibu juga mengalami masalah yang saya alami itu?
VS : Ya kalau mengajarkan cerita-cerita, mereka mungkin kalau sudah tahap tertentu mereka sudah mengerti, tapi biasanya kalau sudah umurnya lebih besar saya mengajarkan mereka tentang kesaksianhidup.
Jadi kesaksian hidup yang bagaimana yang kita jalankan sesuai firman Tuhan. Misalnya beginilah orang yang dipimpin Tuhan, beginilah orang yang hidup dalam Tuhan. Jadi saya lebih mengajarkan tentang mengaitkan dengan firman Tuhan tapi berhubungan dengan kehidupan yang sebenarnya.
IR : Tapi seringkali anak-anak itu justru melawan Bu Vivian, apa yang kita ajarkan baik itu seringkali tidak mendapat tanggapan, apa karena kedagingan anak-anak itu ya Bu Vivian sehingga seringkali sulit sekali Bu Vivian?
VS : Betul, oleh sebab itu firman Tuhan tadi sudah mengatakan ajarkanlah berulang-ulang.
(2) GS : Di dalam kita mengajarkan berulang-ulang itu timbul kita sendiri yang menyampaikan mungkin juga bosan ya Bu Vivian karena tidak ditanggapi dengan positif. Masalahnya selain tadi Bu Vivian katakan kita harus berikan suatu teladan nyata lewat kehidupan sehari-hari, apakah ada cara lain Bu Vivian, karena terus terang saja mungkin bagian yang paling sulit adalah bagian yang memberikan teladan, kita lebih gampang ngomong daripada meneladani itu dalam bentuk yang konkret, apakah ada cara lain Bu Vivian untuk mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang itu?
VS : Cara lainnya yang mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang mungkin dalam ibadah keluarga bersama-sama membacakan firman Tuhan. Dan mungkin kalau firman Tuhan mengatakan mengajarkan bukan haya dalam rumah tapi juga di luar rumah.
Jadi kalau kita mungkin dalam perjalanan sambil melihat ciptaan Tuhan kita menceritakan. Kalau dalam perjalanan melihat sesuatu kita juga menghubungkan dengan firman Tuhan jadi saya mengatakan dengan kehidupan nyata begitu mengajarkan firman Tuhan.
IR : Juga mungkin dalam menghadapi pergumulan ya.
GS : Ada keluarga yang mengatakan itu 'kan urusannya guru-guru Sekolah Minggu atau guru agama di sekolah, bagaimana tanggapan Bu Vivian dengan pandangan seperti itu?
VS : OK! Saya sering kali menghadapi orang tua yang mengatakan mengajarkan anak firman Tuhan melalui guru Sekolah Minggu, melalui gereja. Tapi selalu saya menanyakan kepada mereka, anak berada i gereja itu berapa kali seminggu.
Seringkali kalau orang-orang biasa ya seminggu sekali. Berapa waktu yang dia ada di dalam rumah, kalau dalam seminggu sekali berapa jam di gereja, lalu berapa waktu yang bersama orang tua di dalam rumah tangga. Jadi kalau kita melihat porsinya yang terbesar seharusnya tanggung jawabnya di mana, di rumah atau di gereja. Karena waktu yang diberikan Tuhan itu yang porsi terbesar di mana.
(3) GS : Ya tapi masalahnya mungkin timbul karena orang tua merasa tidak mampu untuk mengajarkan itu, daripada dia ngajarnya keliru lalu diserahkan ke guru Sekolah Minggu yang memang ada waktu persiapan untuk cerita dan sebagainya. Tapi saya kembali lagi hendak mengatakan bahwa yang paling sulit memang mengajarkan dalam bentuk teladan. Bagaimana orang tua itu harus melatih dirinya?
VS : Orang tua melatih diri dengan menaati firman Tuhan misalnya kemarahan, nah ini saya selalu mengajarkannya kepada anak saya karena dia mengalami kesulitan dalam hal mengendalikan kemarahan nak saya.
Jadi kalau saya mengajarkan dia supaya tidak suka marah, saya sendiri harus menjaga supaya tidak suka marah. Kita harus memaksa diri kita menaati firman Tuhan.
PG : Saya kira, Pak Gunawan dan Ibu Ida, salah satu sumber permasalahannya adalah terletak pada kita-kita ini sebagai hamba Tuhan ya Bu Vivian, yaitu kita cenderung memang memberikan pengajaranmelalui mimbar.
Jadi kita ini sebetulnya di gereja pun tidaklah memiliki kesempatan untuk hidup bersama dengan jemaat dan menjadi contoh konkret buat mereka, akhirnya yang kita lakukan adalah memberikan pengajaran-pengajaran tersebut. Nah, orang tua mendapat contoh tersebut di gereja yaitu bahwa mereka belajar tentang Tuhan melalui pengajaran-pengajaran, akhirnya metode itulah yang mereka ketahui. Pada waktu di rumah, mereka seperti menjadi wakil kita, duta besar kita di rumah ya mereka menjadi pengkhotbah-pengkhotbah buat anak-anak. Sebab mereka memang tidak tahu cara yang tepat atau apakah ada cara lain yang lebih efektif untuk menyampaikan kebenaran Tuhan karena yang mereka kenal hanyalah satu cara itu. Yaitu cara khotbah atau cara pengajaran formal, akhirnya itulah yang mereka lakukan di rumah. Waktu kita misalnya mendorong jemaat untuk mengadakan ibadah keluarga, yang mereka lakukan akhirnya adalah sama seperti di mimbar. Mereka juga menjadikan meja sebagai mimbar mereka dan berkhotbah kepada anak-anak. Jadi mungkin waktu tadi Pak Gunawan bertanya kepada Ibu Vivian, saya berpikir mungkin memang kami ini sebagai hamba Tuhan di gereja perlu memberikan pelatihan-pelatihan yang lebih spesifik kepada orang tua. Jadi orang tua tahu cara-cara kreatif yang mereka dapat gunakan dalam menyampaikan firman Tuhan kepada anak-anak mereka, bagaimana pandangan Ibu?
VS : Ya saya kira betul seperti itu, mungkin ada cara lain kalau tadi bagaimana menyampaikan firman Tuhan. Kalau saya seringnya berbicara secara pribadi, jadi bukannya secara berkhotbah. Jadi ertanya kepada mereka lalu saya menyampaikan firman Tuhan dengan pendekatan pribadi.
GS : Dan itu kelihatan hasilnya Bu?
VS : Ya, ada hasilnya dan demikian juga mereka juga lebih erat dengan orang tua (GS : Lebih akrab dengan kita, berani mengungkapkan isi hatinya dan sebagainya).
GS : Tetapi masalahnya kita itu sebagai orang tua tidak selalu bisa mengontrol diri di hadapan anak. Tadi Ibu katakan mau mengajarkan anak untuk tidak marah. Tetapi terkadang namanya orang itu bisa lepas kendali justru waktu di depan anak. Kalau sampai itu terjadi, apa yang harus kita lakukan terhadap anak kita yang melihat dengan nyata, "Lho ibu atau ayah ini bisa marah ternyata" begitu kalau seandainya itu anak melihat dengan tidak sengaja?
VS : Kita harus mengoreksi diri kita sendiri kalau kemarahan itu dasarnya apa, masalahnya apa. Kalau memang anak yang salah kita boleh memarahi, tetapi kalau memang kita yang salah maka kita hrus mengoreksi diri dan minta maaf pada anak dan kita berusaha untuk lain kali memperbaiki diri.
GS : Ya tapi bukankah itu bisa terjadi berulang-ulang (VS : Ya betul) sehingga anak mulai mengenali akan sifat diri kita. Papa ini ternyata kalau karena sesuatu hal ini, marahnya itu sampai meledak-ledak. Ya memang sudah berusaha untuk tidak begitu, tapi kalau sudah salah satu sifat marah itu seringkali terjadi lalu anak menilai kita seperti itu, jadi negatif penilaiannya.
VS : Jadi orang tua bertobat dululah.
IR : Jadi selalu kembali pada firman ya?
GS : Kembali di dalam pola pendidikan anak ya Bu itu 'kan bukan cuma dari satu sisi, ayah saja walaupun yang kita baca di dalam Perjanjian Lama khususnya itu ditujukan kepada ayah yang lebih terutama. Tapi justru yang kita lihat sekarang ini di dalam kehidupan sekitar kita adalah justru ibu yang pegang peranan di dalam pendidikan anak, bagaimana menurut pandangan Bu Vivian?
VS : Pendidikan anak harus dilakukan kedua belah pihak, ayah dan ibu. Tuhan menciptakan anak ini lahir dari kedua orang tua, jadi maksudnya keduanya harus ikut campur. Memang firman Tuhan mengaakan ayah karena di sini adalah kepala keluarga yang harus bertanggung jawab tetapi yang melaksanakanharus keduanya.
PG : Secara praktisnya ya Bu Vivian misalkan keluarga Ibu sendiri ya, peranan apa yang Ibu lakukan dan peranan apa yang Pak Daud lakukan dalam menyampaikan kepada anak-anak. Tadi Ibu berkata memang dua-dua mempunyai andil yang sama ya?
VS : Mungkin kalau saya lakukan ini hal yang lebih mendetail karena sebagai seorang ibu yang lebih sering bersama anak jadi saya mendetail yang kecil-kecil lebih banyak saya memperhatikan. Kala Pak Daud lebih ke hal yang menyeluruh begitu.
GS : Jadi bukan pembagian tugas yang satu sari uang yang lainnya membina anak seperti itu ya Bu?
VS : Tidak, bersama-sama.
GS : Jadi tetap harus dilakukan bersama-sama.
VS : Ya, kalau sesuatu hal yang saya kurang jelas, saya ragu-ragu saya akan tanya Pak Daud sehingga kita dapat bersama-sama.
GS : Yang seringkali kita hadapi dalam rumah tangga adalah kadang-kadang tidak sepahamnya antara si suami dan istri itu sehingga anak jadi bingung begitu ya Ibu, itu juga untuk hal-hal yang rohani saya katakan. Misalnya Ibu menghendaki anak itu pergi ke Sekolah Minggu atau ke gereja tapi ayahnya bilang: "Tidak apa-apalah sekali-sekali tidak datang," kalau terjadi itu bagaimana Bu?
VS : Itu harus disepakati bersama, keduanya harus sepakat dan harus bicarakan bersama-sama. Seperti kalau seandainya Sekolah Minggu itu untuk keluarga kami itu pasti harus pergi. Satu kali sayaingat tentang anak ini ingin pergi nonton dengan teman-temannya, nonton di bioskop, waktu itu saya berkata" Tidak apa-apa sekali saja Pa, melihat."
Waktu saya mengatakan sekali boleh tapi ayahnya tidak setuju, jadi saya katakan ini terakhir kali, pertama dan terakhir nanti lain kali tidak boleh lagi. Jadi saya mengatakan apa yang ayahnya mau dan kami sepakat.
GS : Tapi 'kan tetap itu berhasil untuk sekali dan yang terakhir.
VS : Ya untuk sekali jadi hanya ingin lihat seperti apa sih gedung itu, jadi diperbolehkan.
GS : Itu kalau sekali dan terakhir Bu. Mungkin bisa dimengerti tetapi yang seringkali yang terjadi kalau ada yang pertama lalu ada yang kedua, ketiga dan seterusnya lalu jadi bingung anak itu.
VS : Kalau berkali-kali anak tanya lagi: "Ma boleh tidak?"; "Dulu apa yang dikatakan Papa, sekali dan terakhir." Jadi kami selalu tegas dan tidak akan mengulangnya lagi.
(4) GS : Khususnya untuk anak-anak yang masih balita yang usianya di bawah 5 tahun, nilai-nilai iman Kristen apa yang perlu ditanamkan kepada mereka?
VS : Untuk anak yang balita mungkin nilai Kristen kasih ya, kasih itu yang penting dan itu tentunya harus orang tua meneladani dulu bagaimana memberikan kasih, mereka tidak akan mengerti tentan kasih kalau tanpa ada dari orang tua mengasihi dulu.
PG : Kalau saya boleh tambahkan kasih dalam wujud membagi ya Bu Vivian, sebab anak-anak terutama yang balita mempunyai sikap egosentrik yang sangat kuat yaitu segalanya berpusat kembali pada diinya.
Apa yang dia inginkan dia harus dapatkan, kalau tidak dia akan marah dan sebagainya. Jadi saya kira kasih Kristiani yang kita ingin tanamkan pada anak akhirnya berwujud dalam kemampuan si anak ya membagi makanan, membagi mainan, sikap seperti itulah yang harus kita tumbuhkan pada diri si anak. Kira-kira begitu ya Bu Vivian (VS : Ya betul).
GS : Tadi kembali lagi didalam pola pendidikan anak balita yang masih di bawah 5 tahun, seringkali yang kita lihat sekarang di gereja itu ada Sekolah Minggu untuk kelompok bermain. Anak-anak yang masih kecil-kecil sudah diikutsertakan. Sebenarnya seberapa efektif itu Bu Vivian di dalam pendidikan menanamkan nilai-nilai iman di dalam diri anak yang masih balita ini?
VS : Saya kira dari orang tua yang saya ajak bicara mereka malah mengatakan mendapatkan banyak berkat anaknya diikutkan Sekolah Minggu meskipun masih kecil. Yang mereka pelajari bukan apa yang ikatakan guru tetapi seringkali melalui nyanyian karena anaknya masih kecil.
Jadi sampai rumah mereka bisa bernyanyi dan memberitakan kesukaannya tentang apa yang mereka terima dari firman Tuhan itu melalui nyanyian dan gambar-gambar, jadi bukan dari apa yang mereka dengarkan.
GS : Itu karena keterbatasan orang tua tidak bisa mengajarkan itu mungkin Bu Vivian, seperti tadi kembali ke pertanyaan saya semula apa tidak orang tua mengambil mudahnya dengan mengikutkan anaknya ke Sekolah Minggu. Karena banyak orang tua berkata tidak ada waktu, tidak punya alat peraga, tidak bisa cerita dengan baik, tidak bisa mengajarkan menyanyi.
VS : Saya kira tetap orang tua harus menggunakan peranan yang penting (GS : Jadi kalau perlu orang tua membeli alat-alat peraga begitu Bu Vivian?) betul, di rumah buku-buku cerita yang bergamba banyak, (GS : Alkitab bergambar) ya, karena tiap hari anak bersama orang tua jadi kalau di rumah anak-anak tiap hari bisa membaca Firman Tuhan dari Alkitab bergambar itu.
GS : Itu mungkin lebih mudah dimengerti. Kalau sekarang anak itu sudah menginjak usia remaja ya Bu Vivian, apakah pola pendidikan itu harus diubah?
VS : Di usia remaja memang lebih sulit, jadi memang kalau menurut kami di usia remaja lebih banyak pendekatan pribadi. Kalau ada masalah khusus kami berbicara, masalah yang dihadapi di luar, kai bicara.
Contoh-contoh yang ini baik, contoh-contoh ini tidak baik. Biasanya pendekatannya seperti itu, saya lebih menghubungkannya pada firman Tuhan.
GS : Tapi kegiatan mereka itu makin banyak juga ya Bu Vivian sehingga komunikasi kita juga seringkali menjadi berkurang, beda kalau masih usia balita kita bisa bawa ke mana kita pergi. Tapi begitu remaja mereka mempunyai acara sendiri-sendiri, mau bertemu saja sulit.
VS : Orang tua yang harus berkorban waktunya, kita harus menyesuaikan dengan jadwal anak. Jadi saya selalu mencari jadwal anak ini kapan pulang dan saya ini selalu berada di sampingnya, misal wktu makan saya berusaha bersama.
PG : Kadang saya mendapatkan keluhan bahwa anak-anak sewaktu menginjak usia remaja cenderung tidak terlalu tertarik lagi pada gereja, pada kebaktian. Akhirnya meskipun mereka datang tetapi datag karena disuruh oleh kita.
Apakah Ibu Vivian juga mendapatkan pengamatan yang sama, bahwa pada waktu anak menginjak remaja minat-minat terhadap hal-hal yang rohani yang dahulu kita tanamkan tiba-tiba sepertinya mulai bergoyang?
VS : Betul, saya kira mereka lebih senang dengan aktifitas yang lain, yang lebih menyenangkan daripada di gereja misalnya (IR : Lebih senang duniawi ya) karaoke, olah raga.
GS : Itu antara lain yang membuat orang tua Kristen jadi frustrasi Bu Vivian, karena sejak kecil sebenarnya sudah ditanamkan/diajarkan dan diharapkan anak itu nurut seperti dulu waktu masih anak-anak. Lalu tiba-tiba berubah anak ini dan kita sebagai orang tua kurang siap menghadapi perubahan itu. Karena merasa usahanya yang sekian tahun sampai 10 atau 11 tahun itu kelihatannya sia-sia dia berhenti, tidak lagi mengajarkan, menanamkan nilai-nilai iman karena merasa hasilnya sama aja dengan mereka yang dulu kecilnya dilepas, bagaimana Bu Vivian?
VS : Kalau menurut saya justru saat yang terpenting untuk mendidik anak itu adalah waktu balita dan waktu remaja. Jadi itu justru kita harus memberikan banyak waktu dengan anak-anak.
IR : Tapi sering anak-anak itu punya acara sendiri.
VS : Itulah kita harus mencari waktu kalau dia ada waktu di rumah langsung kita menyediakan diri.
(5) GS : Untuk ngomong-ngomong dengan dia, untuk bicara tentang firman Tuhan dan sebagainya. Bu Vivian tadi sudah singgung sedikit oleh Pak Paul tentang 'family altar' atau kebaktian di dalam rumah tangga. Menurut Bu Vivian apakah itu harus diadakan secara rutin di tempat yang tepat dengan satu liturgi sederhana yang dilakukan terus-menerus seperti itu Bu Vivian?
VS : Family altar memangnya seharusnya dilakukan tiap hari tapi kalau mungkin dari keluarga yang saya tanya sulit karena teori dengan prakteknya sulit.
GS : Ya pada kenyataan memang sulit, lalu bagaimana mengisi kekosongan itu ?
VS : Kalau memangnya diadakan saya kira bukannya dalam bentuk yang harus, yang mati ya, kita cari bentuk-bentuk pokoknya firman Tuhan itu dinyatakan. Jadi tidak harus seperti liturgi di gereja nak-anak mungkin tidak mau, mungkin waktu berdoa bersama, mendengarkan dari kaset, orang tua yang membacakan, anak yang membacakan ganti-ganti.
Entah bagaimana, Pak Paul?
PG : Jadi memang ada 3 prinsip yang kita bisa ingat untuk mengadakan ibadah keluarga. Yang pertama yang tadi Ibu sudah singgung yaitu kreatifitas, jadi ibadah yang kreatif itu lebih bisa diteria oleh anak-anak.
Dan yang kedua adalah menyenangkan kalau serius dan menjadi ajang tegur-menegur, penyampaian nasihat-nasihat anak-anak cenderung akhirnya tidak begitu menikmati lagi, jadi harus menyenangkan. Dan yang ketiga kalau memungkinkan singkat ya, apalagi waktu anak usia masih lebih kecil singkat jangan bertele-tele atau panjang. Yang saya amati adakalanya ibadah keluarga menjadi ajang orang tua memberikan nasihat-nasihatnya kepada si anak. Akhirnya si anak akan melihat ini sama saja dengan tadi saya dimarahi oleh Mama atau Papa. Jadi akhirnya mereka tidak lagi menantikan untuk ikut dalam ibadah keluarga.
GS : Di dalam melakukan ibadah keluarga tadi Pak Paul, yang kita tahu itu sesuatu yang penting yang tadi saya katakan memang sulit itu ternyata Bu Vivian juga berpendapat sama sulit untuk dilakukan secara rutin, tetapi kita lakukannya menggunakan kesempatan semaksimal mungkin kapan bisa dan mereka berminat dan sebagainya itu, apakah itu juga bisa dilakukan misalnya pada saat kita bepergian ke luar kota dan sebagainya.
VS : Justru kalau untuk keluarga kami ke luar kota itu lebih bisa dilakukan karena kegiatan yang rutin itu tidak ada, justru kami bersama-sama hanya untuk keluarga dan kita bacakan, dan mereka ebih senang.
GS : Karena kadang-kadang acara rekreasi itu bisa mengekspresikan bahwa mereka juga masing-masing punya kegiatan lagi, ayahnya mancing, ibunya masak di dapur, anak-anaknya main di pantai sehingga malam sudah lelah dan bukankah itu tidak ketemu lagi Bu?
VS : Tapi justru tidak ada rutinitas yang lain, karena itulah kita harus mencari waktu (GS : Butuh pengorbanan orang tua) ya.
GS : Dan itu pasti, saya pikir memang seperti ibadah keluarga segala itu perlu dirancang, memang perlu dipersiapkan dari rumah oleh orang tua khususnya bahwa nanti di sana akan ada acara seperti itu. Walaupun anak tidak mengetahuinya lebih dulu sehingga semacam surprise buat mereka tapi lebih mengena begitu Bu? (VS :Betul).
IR : Dan yang mengambil inisiatif untuk memulai itu sebaiknya siapa kira-kira (VS:Orang tua), ya orang tua itu kadang-kadang yang saya sering ketahui itu si ibu ya.
VS : Keluarga kami, bagaimana Pak Paul?
PG : Kebanyakan yang mengadakan ibadah keluarga istri saya, bukannya apa-apa karena memang adakalanya orang telepon saya, saya lagi telepon anak-anak sudah siap untuk tidur jadi istri saya yangmengajak mereka berdoa bersama, tapi harus saya akui istri saya yang berperan besar sekali.
IR : Apa karena suami itu selalu memikirkan pekerjaan karena saya ketahui itu rata-rata si istri yang lebih berperan.
PG : Betul, betul jadi memang seharusnya suami lebih berperan tapi dalam kenyataannya akhirnya istri, mungkin karena soal waktu.
GS : Ya jadi perbincangan ini semakin menarik saja, sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bu Vivian yang berkenan untuk bergabung bersama kami pada acara rekaman Telaga kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar pendidikan anak khususnya di dalam menanamkan nilai-nilai iman Kristen bersama Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.