Pola Asuh Merendahkan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T564A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pola asuh merendahkan anak berdampak pada perkembangan jiwa anak, penilaian diri yang rendah menimbulkan kepercayaan diri yang rendah pula, gunakan kata-kata yang membangun dan positif, berikan pujian yang berdasar dan jangan sungkan bagi orangtua untuk meminta maaf bila memang telah melakukan kesalahan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Mungkin sulit untuk kita membayangkan ada orangtua yang merendahkan anak; malangnya, dalam kenyataannya memang ada. Di sini saya tidak tengah membicarakan tentang orangtua, yang dalam keadaan marah melontarkan perkataan yang merendahkan anak. Misalnya, karena kesal kepada anak yang lalai membereskan tempat tidurnya meski telah diperingati berulang kali, kita berkata, "Dasar anak tidak berguna!" Sebagai manusia yang tidak sempurna adakalanya kita lepas kendali dan mengeluarkan perkataan yang tidak semestinya. Di sini saya membicarakan tentang orangtua yang pola asuhnya adalah merendahkan anak. Dengan kata lain, merendahkan anak adalah bagian dari interaksi orangtua dan anak yang konstan, yang terus berulang. Misalnya, orangtua terus membandingkan diri anak dengan anak lain yang berprestasi lebih baik, "Kamu tidak sepandai dia!" Sewaktu anak menunjukkan prestasi yang baik, orangtua berkata, "Ujian seperti ini mudah; semua anak pasti mendapat nilai yang baik." Inilah pola asuh merendahkan anak yang saya maksud. Tidak bisa tidak, pola asuh ini berdampak pada perkembangan jiwa anak. Berikut kita melihat dampak dari pola asuh ini.

Pertama, Anak Mengembangkan Penilaian Diri yang Rendah. Pada dasarnya kita membangun penilaian diri dari pengamatan orang terhadap apa yang kita perbuat. Makin sering kita menerima tanggapan positif, makin positif pulalah penilaian diri kita. Sebaliknya, makin negatif pengamatan orang, makin negatif pula penilaian diri kita. Bila kita sering dibandingkan dengan orang dan lewat perbandingan kita divonis kurang, maka perlahan tapi pasti kita pun akan mengembangkan penilaian diri yang negatif. Jadi, bila pola asuh orangtua bersifat merendahkan, alhasil anak akan mengembangkan penilaian diri yang rendah pula.

Penilaian diri yang rendah menimbulkan kepercayaan diri yang rendah pula. Sebagaimana kita ketahui kepercayaan diri adalah kepercayaan akan kesanggupan diri; jadi, sesungguhnya kepercayaan diri tidak mengukur kesanggupan itu sendiri. Bisa saja kita sanggup mengerjakan sesuatu tetapi karena kita tidak memunyai kepercayaan diri, alias tidak percaya bahwa kita memunyai kesanggupan itu, maka pada akhirnya kita menilai diri kurang. Dari sini dapat kita lihat pola asuh orangtua yang merendahkan anak akan membuat anak kehilangan kepercayaan diri. Walau anak sanggup dan dapat mengerjakan sesuatu dengan baik, namun karena sudah telanjur meyakini bahwa ia tidak mampu, maka pada akhirnya ia tidak berani melakukannya.

Ada orangtua yang merendahkan anak karena pergumulan pribadinya. Bila kita memunyai penilaian diri yang rendah, besar kemungkinan kita menerapkan pola asuh anak yang merendahkan pula. Ada pula orangtua yang merendahkan anak oleh karena memiliki banyak kepahitan dalam hidup. Orangtua seperti ini berusaha memerbaiki tahap dan kualitas kehidupannya, dan salah satu sarananya adalah anak—menjadikan anak pendongkrak harga diri. Itu sebab orangtua seperti ini sulit menerima anak apa adanya; alhasil, begitu pencapaian anak tidak seperti yang diharapkan, keluarlah kata-kata yang merendahkan anak.

Golongan ketiga adalah orangtua yang merendahkan anak karena kebutuhannya untuk merasa sedikit lebih baik. Misal, ia mengatai anak bodoh terus menerus sebab sesungguhnya ia merasa diri bodoh dan sering mengalami kegagalan. Sewaktu ia merendahkan anak, ia merasa sedikit lebih baik dan membuat dirinya tampil cerdas di hadapan anak. Apa pun faktor penyebabnya, satu hal yang pasti adalah, pola asuh merendahkan anak menghancurkan diri anak.

Kedua, Anak Mengembangkan Perilaku Kompensasi.

Oleh karena terus menerima tanggapan negatif dari orangtua, akhirnya anak mengembangkan perilaku tertentu untuk menutupi kekurangan diri. Misal, karena merasa diri bodoh, maka anak menghindar dari lingkungan akademik dan lari ke bidang olahraga. Ini adalah kompensasi yang positif. Sayangnya tidak semua perilaku kompensasi bersifat positif; ada pula yang bersifat negatif. Sebagai contoh, karena merasa diri tidak bisa apa-apa dan tidak berguna, maka anak terjun ke dunia narkoba dan segala jenis perilaku bermasalah. Ia berpikir, bukankah ia tidak berguna, jadi, tidak apa bila ia mati. Tidak ada orang yang menangisi kematian anak yang tidak berguna.

Ketiga, Anak Mengembangkan Keterikatan yang Tidak Sehat dengan Orangtua.

Pola asuh yang merendahkan sering kali terus mengikuti anak hingga ke usia dewasa. Pada masa bersekolah dan berkuliah, ia terus bergumul dengan penilaian diri yang rendah. Atau bila anak telanjur mengembangkan perilaku kompensasi, perilaku itu terus menjadi bagian hidup si anak hingga di usia dewasa. Di dalam pergaulan dan akhirnya dalam pernikahan, pola asuh merendahkan terus mewarnai kehidupan anak. Singkat kata, anak tidak pernah dapat sepenuhnya lepas dari pengaruh buruk perlakuan orangtua yang merendahkan.

Seyogianya anak mengembangkan diri yang bebas dari pengaruh orangtua, dalam pengertian, ia dapat memilih untuk menerima atau menolak pengaruh orangtua pada dirinya. Anak yang menerima pola asuh merendahkan biasanya mengalami kesulitan untuk memisahkan diri dari pengaruh orangtua yang negatif. Dan, ini layak disayangkan sebab pada akhirnya anak tidak pernah dapat bertumbuh menjadi dirinya sendiri. Ia selalu dililit oleh pengaruh orangtua.

Nasihat Firman Tuhan

Amsal 10:21 berbunyi, "Bibir orang benar menggembalakan banyak orang . . . ." Pola asuh yang sehat adalah pola asuh yang membangun, di mana lewat perkataan yang positif dan bijak, orangtua menggembalakan anak sehingga cukup makan dan minum secara rohani dan terlindung dari yang jahat. Tuhan memercayakan anak kepada kita, bak domba kepada gembala. Kita harus berusaha menjadi gembala yang baik, salah satu caranya adalah mengatakan perkataan yang membangun, bukan menghancurkan anak.