Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan Memurnikan Kasih". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, orang menikah itu ‘kan dasarnya kasih. Kasih yang mereka rasakan adalah kasih yang sudah murni, ya saya mencintai dengan cinta yang sejati dan seterusnya begitu. Mengapa kita mengangkat tema bahwa pernikahan itu memurnikan kasih. Apakah kasih itu belum murni, Pak Paul ?
PG : Sesungguhnya sewaktu kita menikah, kasih kita masih belum mencapai kadar yang murni, Pak Gunawan. Sebab kasih kita itu sebetulnya lebih berkiblat pada diri sendiri. Kenapa kita memilih pasangan kita ya memang kita berkata bahwa kita memang mencintai dia. Tapi sebetulnya yang menjadi unsur cinta adalah saya senang dengan dia, dia cocok dengan saya, dia bisa mengerti saya, dia bisa membuat saya merasa hidup terpenuhi dan sebagainya. Jadi ujung-ujungnya adalah saya. Nah, Tuhan mendesain pernikahan supaya cinta itu akhirnya mengalami pertumbuhan sehingga tidak lagi terlalu berkiblat kepada diri sendiri namun berkiblat pada pasangan kita. Karena sebetulnya cinta itu seharusnya berkiblat pada orang yang kita cintai. Tidak ada yang namanya cinta berkiblat pada diri sendiri. namun kita tidak bisa langsung berada pada titik itu. Kita perlu melakukan sebuah proses. Pernikahan adalah alat di tangan Tuhan untuk memproses cinta kita makin hari makin murni.
GS : Tapi memang biasanya di awal-awal pernikahan semangat bergelora, tapi emosi itu menurun. Jadi rasanya tidak seperti di awal-awal pernikahan lagi. Nah kalau ini dimurnikan lagi ‘kan tambah rendah lagi kondisinya, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan. Dalam pernikahan nanti kita akan mengalami peristiwa yang membuat kita benar-benar garuk-garuk kepala dan bertanya kenapa saya memilih dia. Namun dalam kondisi seperti itulah kita dipaksa untuk terus bertahan. Nah, waktu kita memilih bersama dengan dia meskipun sudah tidak lagi bisa menemukan alasannya, dalam kondisi seperti itu barulah cinta mengalami pemurnian. Bahwa sungguh-sungguh saya mengasihi dia bukan karena dia dapat memberi apa yang saya butuhkan tapi saya mengasihi dia sebagaimana adanya dia.
GS : Mungkin karena itu ada beberapa pasangan yang pada awal pernikahannya memilih berpisah karena melihat realita yang tidak sesuai dengan impiannya, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi kalau ada orang yang menikah kemudian dengan cepat berpisah atau bercerai, saya tidak menutup kemungkinan ada hal-hal yang sangat buruk terjadi sehingga mereka tidak bisa lagi bersama-sama. Tapi saya kira kalau tidak ada hal-hal yang sangat buruk terjadi namun melihat pasangan kok tidak seperti yang diharapkan, nah itu memang menandakan cintanya tidak bertumbuh atau memang belum dewasa atau murni.
GS : Bagaimana cara Tuhan memurnikan kasih di dalam pernikahan itu ? Katakan mereka tetap bisa bertahan, Pak Paul.
PG : Ok, yang pertama, Tuhan memurnikan kasih dengan cara membukakan mata kita untuk melihat kekurangan dan kelemahan pasangan. Begini, Pak Gunawan. Sudah tentu sebelum kita menikah kita mungkin sudah tahu apa kelemahan pasangan kita, apa kekurangannya. Tapi sebetulnya itu kita belum sungguh-sungguh mengetahui kelemahan dan kekurangannya sampai kita menikah dengan dia. Dalam kondisi kita sudah menikahlah kita baru lebih disadarkan akan hal-hal pada diri pasangan yang bukan saja sulit untuk kita terima tapi juga mengganggu kita karena kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangannya itu akhirnya berdampak pada kita. Sebagai contoh saja ya, misalnya sebelum kita menikah kita sudah tahu pasangan kita itu tidak mudah mengakui kesalahannya. Nah, setelah kita menikah dengan dia baru kita sadar betapa parahnya masalah itu. Waktu kita konflik dengan dia, aduh, susah sekali dia untuk melihat andilnya dalam masalah, karena dia selalu menyalahkan kita. Nah, dalam konteks seperti ini tidak bisa tidak akhirnya kita frustrasi. Mungkin kita akan berkata, "Saya keliru memilih dia. Dia tidak seperti yang saya pikirkan." Namun justru dalam kesadaran seperti ini juga kita ditantang untuk tetap mengasihi dia. Meskipun cinta kita makin luntur makin luntur, tapi itu jadi kesempatan buat kita untuk berkata, "Ya sudah, meskipun dia seperti ini tapi saya masih bisa melihat ada hal-hal baik tentangnya. Dan dia juga begini begitu kepada saya. Jadi kenapa saya tidak menghargai yang baik-baiknya itu." Nah, waktu kita mengatakan hal seperti itu, cinta itu benar-benar dimurnikan, Pak Gunawan.
GS : Berdasarkan pengalaman Pak Paul, sejak menikah sampai orang matanya terbuka melihat realita, berapa lama setelah mereka menikah, Pak Paul ?
PG : Saya kira secara bertahan dalam waktu 5 tahun orang harus bisa sampai ke titik dimana bisa melihat pasangannya ada adanya. Kecuali ada perubahan situasi yang dapat berdampak pada orang yang dapat membuat mereka berubah. Contohnya waktu kita mengalami kejatuhan. Sesuatu peristiwa terjadi sehingga kita kehilangan segalanya. Peristiwa yang begitu berat dan drastik memang bisa mengubah orang, membuat orang itu menjadi tidak lagi seperti dirinya yang dulu. Tapi kalau misalnya tidak ada peristiwa-peristiwa yang benar-benar berat terjadi, seharusnya dalam waktu sekitar 5 tahun orang sudah saling mengenal dan mengetahui kelemahan dan kekurangan pasangannya.
GS : Tapi untuk saling mengenal itu ‘kan yang terjadi bisa sebaliknya. Yang tadinya kita tidak bisa melihat hal-hal yang positif dalam pasangan kita, setelah 5 tahun justru yang positif-positif ini kelihatan, Pak Paul.
PG : Betul. Kalau memang pernikahan kita seperti itu ya kita makin hari makin mengasihi pasangan kita. jadi perjalanan kita ini lebih gampanglah mengasihi pasangan karena yang kita temukan justru adalah hal-hal yang baik dan positif pada dirinya. Yang memang menjadi kesulitan besar adalah kalau yang kita temukan bukannya hal-hal yang positif itu.
GS : Dan itu lebih sering ditemukan ya.
PG : Ya. Akhirnya kita benar-benar susah mengasihi pasangan. Tapi sekali lagi, di saat kita tidak bisa lagi mengasihi, rasanya sudah tidak ada lagi kasih, tapi kita berkata, "Saya tetap berkomitmen, saya meminta Tuhan untuk mengobarkan kasih saya kepada dia.", Kita datang kepada Tuhan dan berkata, "Saya tidak lagi punya kasih, tapi Engkau punya kasih. Jadi kasihilah dia lewat saya.", nah, pergumulan seperti itu yang akhinya menghasilkan kasih yang murni.
GS : Kesulitannya adalah kalau kita mau memberitahukan hal itu kepada pasangan kita, Pak Paul. Setelah kita menemukan kelemahannya kita bilang, "Kamu kok jadi begini ?" Dia jadi berpikir kasih kita mulai luntur. Bisa terjadi seperti itu, kan ? "Dulu tidak pernah diungkit, sekarang diungkit. Nah, ini gejala mulai tidak mengasihi saya lagi." Begitu, Pak Paul ?
PG : Mungkin sekali juga betul, Pak Gunawan. Waktu kita menemukan pasangan kita ternyata begini begitu, tidak bisa tidak itu akan memengaruhi kadar kasih kita kepada dia. Yang tadinya banyak, sekarang makin sedikit, makin sedikit, makin sedikit. Tapi poinnya adalah justru untuk memurnikan, kasih itu harus dibuat sedikit dulu, harus habis dulu, baru bisa muncul yang baru yang benar-benar murni. Jadi kalau kita pokoknya berlimpah kasih, banyak kasihnya, terus begitu, saya juga kuatir besar kemungkinan kadarnya tidak murni. Besar dan banyak itu belum tentu murni. Nah untuk bisa dimurnikan, kasih yang begitu besar itu harus dibuat kecil dulu.
GS : Tapi sebaliknya, Pak Paul, kalau kita bisa melihat kekurangan pasangan kita, pasangan kita pun bisa melihat kekurangan kita pada saat yang sama, Pak Paul.
PG : Ya. Ini memang dua arah ya. Tuhan memang mengijinkan proses ini terjadi dan memang tidak ada relasi yang sedekat relasi pernikahan. Jadi mesin yang paling efektif untuk memurnikan kasih adalah pernikahan. Akhirnya keduanya dipaksa untuk menumbuhkan kasih dari hampir nol muncul lagi yang baru yang lebih murni daripada yang sebelumnya.
GS : Pak Paul, selain dengan cara melihat kekurangan dan kelemahan kita, apakah ada cara lain yang Tuhan pakai untuk memurnikan kasih ini ?
PG : Yang kedua, Tuhan memurnikan kasih dengan cara menyadarkan kita bahwa pasangan tidak selalu sanggup memenuhi pengharapan dan kebutuhan kita. Setelah masuk ke dalam pernikahan, biasanya barulah kita sadar bahwa pasangan bukanlah sosok yang kita idamkan dan idealkan. Sebagai contoh, kita mengidamkan sosok suami yang tenang supaya kita bisa bernaung di bawah ayomannya. Pada awalnya kita melihat dia sebagai pria yang tenang dan kokoh. Setelah menikah barulah kita sadar bahwa dibalik ketenangannya terdapat kecemasan yang tinggi. Bukannya kokoh dan mengayomi, dia malah sering panik dan bingung tatkala menghadapi masalah sekecil apa pun. Tidak bisa tidak jika kita memunyai pasangan yang tidak sesuai dengan pengharapan, kita akan kecewa. Itu berarti kebutuhan kita tidak dapat dipenuhinya. Tadinya kita mengira dia akan dapat mengisi kebutuhan kita akan ketentraman, ternyata itu tidak dapat dilakukannya. Sekarang kitalah yang malah harus menenangkannya dan menolongnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Nah, pada saat seperti itulah kasih diuji dan dimurnikan. Jika kita terus memilih mengasihinya kendati ia tidak sesuai harapan, maka kasih akan mengalami pemurnian. Kita berhenti menuntut dan berusaha menerima kekosongan dan kekecewaan yang dialami.
GS : Apakah itu karena pengharapan kita terlalu tinggi terhadap pasangan kita, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau pengharapan kita terlalu tinggi maka kita akan lebih cepat kecewa ya karena mendapati pasangan tidak seperti itu. Namun ada kalanya dan mungkin ini yang lebih sering, sebetulnya tuntutan atau pengharapan kita ya normal-normal saja. Seperti contoh yang saya berikan, kita berpikir dia orangnya kokoh dan stabil, berarti dia bisa mengayomi saya. Tapi setelah menikah dengan dia barulah sadar bahwa dia orangnya mudah sekali panik dan cemas, penuh dengan kekuatiran, kalau ada apa-apa mikir terus tidak bisa tidak. Jadi setelah menikah kita sadar, bukan saja dia tidak seperti yang kita harapkan tapi gara-gara dia tidak seperti yang kita harapkan, kita disusahkan olehnya dan kita harus kerja keras dua kali lipat. Karena kita berharap dia bisa menenangkan kita karena kita juga mudah cemas. Sekarang kita sadari dia tidak seperti itu, dia juga penuh dengan kecemasan. Sekarang sudah tidak ada yang menghibur dan menenangkan kita, malah kita yang harus menenangkan dan menghibur dia. Jadi kebutuhan kita tidak dipenuhi malah kita harus bekerja dua kali lebih keras untuk menolong dia. Tidak bisa tidak kondisi seperti ini akan mengguncangkan kita. Sewaktu pengharapan atau impian tidak menjadi kenyataan karena dia tidak seperti itu, biasanya itu akan langsung menguras kasih. Tapi sekali lagi, setelah dikuras apakah bisa muncul yang baru ? Kalau kita bertekad minta tolong Tuhan untuk memberikan kasih itu kepada kita, nah waktu muncul kasih lagi kepada dia, itu benar-benar kasih yang murni.
GS : Apakah itu juga diakibatkan pada waktu pacaran kita tidak mengungkapkan harapan-harapan kita terhadap pasangan kita, Pak Paul ?
PG : Bisa jadi ya. Karena kita malu mengakui kalau kita memunyai kebutuhan seperti itu jadi kita juga tidak pernah mengatakannya kepada pasangan kita. Atau kita merasa tidak perlu lagi mengungkapkan karena kita anggap kita sudah mendapatkannya. Dia orang yang seperti itu, kokoh, stabil, tenang, jadi kita tidak pernah lagi berpikir untuk membicarakan soal itu sebab kita tertarik kepada dia karena kita melihat hal-hal itu pada dirinya.
GS : Tapi ‘kan pada awalnya orang menikah untuk kepentingan dirinya. Jadi lebih egosentris, Pak Paul, sehingga pasangan kita tidak mengerti. Dia sendiri ‘kan juga punya kebutuhan-kebutuhan. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya kita harapkan darinya melalui pernikahan ini, Pak Paul.
PG : Betul. Pada akhirnya karena memang kita masuk ke dalam pernikahan membawa cinta yang kadarnya tidak murni, ya tidak bisa tidak waktu kita mulai menemukan bahwa pasangan kita tidak seperti yang kita harapkan, tidak bisa tidak itu akan menggoncangkan kita. kalau kita bisa melewati fase-fase itu, Pak Gunawan, kita akhirnya melihat sebuah kasih yang bertumbuh dengan begitu bersih dan murninya. Saya sudah melihat itu berkali-kali dalam pelayanan saya, Pak Gunawan. Ada orang yang benar-benar selama bertahun-tahun hanya mengurus suaminya karena suaminya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sakit dan harus dirawat secara purna waktu. Si istri terus merawat dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Nah, waktu saya melihat hal seperti itu benar-benar saya melihat sebuah kasih yang sangat murni, kelihatan sekali itu sebuah kasih yang berbeda. Tuhan memang akan menggunakan pernikahan untuk memurnikan kasih kita.
GS : Terlepas daripada pasangan kita bisa menerima hal itu atau tidak ya, Pak Paul. Seperti yang sakit tadi, mungkin dia merasa ya memang sudah seharusnya pasangan kita merawat kita saat sakit. Tetapi paling tidak ada sesuatu positif yang dialami oleh pasangannya.
PG : Ya. Yang penting, kalau misalkan kita yang sakit dalam contoh ini, kita memang bisa menerima dan bisa menghargai apa yang dilakukan pasangan kita. Makin kita menghargai apa yang dia lakukan, maka dia pun yang mau mengasihi dan merawat kita akan lebih kuat, lebih mau juga untuk menolong dan mengasihi kita meskipun dia tidak lagi mendapatkan banyak dari kita.
GS : Tetapi hal itu ‘kan tidak mungkin terjadi secara spontan. Melalui tahap demi tahap. Mungkin karena sudah tidak ada pilihan lain, pasangannya sakit seperti itu ya siapa lagi yang harus merawat. Akhirnya dia menyediakan waktu untuk merawat. Bukankah begitu, Pak Paul ?
PG : Ya, karena tidak ada pilihan maka dia harus melakukannya. Tapi saya melihat ada orang yang melakukannya karena kewajiban, tapi ada orang melakukannya karena kerelaan. Sewaktu orang melakukannya karena kerelaan maka kasih pada dirinya itu akan mengalami pemurnian yang luar biasa.
GS : Apalagi yang bisa memurnikan kasih ini, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah Tuhan memurnikan kasih dengan cara mengubah garis kehidupan kita setelah pernikahan. Pada umumnya kita masuk ke dalam pernikahan membawa impian tentang apa yang ingin kita capai bersamanya. Mungkin kita ingin menikmati keluarga yang sehat jasmani dan rohani. Mungkin kita dapat bercita-cita untuk dapat melayani Tuhan bersama-sama setelah anak-anak mulai besar. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Misalnya anak pertama mengalami gangguan fisik sehingga tidak bertumbuh secara normal. Anak kedua mengalami gangguan mental sehingga tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Pada akhirnya waktu tersita hanya untuk merawat kedua anak ini. Nah, mungkin pada saat seperti itu kita bertanya-tanya, mengapakah kita mesti mengalami kemalangan-kemalangan ini. Mungkin kita menengok ke pasangan dan memerhatikan latar belakang keluarganya, mungkin pada akhirnya kita menemukan bahwa latar belakang keluarganyalah yang membuat munculnya masalah pada anak-anak kita sekarang. Nah, pada saat seperti itu kita mungkin menyalahkan pasangan bahwa secara langsung atau tidak langsung dia bertanggung jawab atas perubahan garis kehidupan ini. Gara-gara dia maka kita tidak bisa melakukan banyak hal dan harus diam di rumah merawat kedua anak dengan kebutuhan khusus ini. Tapi justru pada saat seperti inilah kasih mengalami ujian dan pemurnian, Pak Gunawan. Kita diperhadapkan dengan dua pilihan: menyalahkan pasangan atau mengasihi pasangan. Apabila kita terus menyalahkan pasangan ya kasih akan pudar dan tergantikan dengan kepahitan. Sebaliknya jika kita memilih mengasihi pasangan, kita akan lebih berbelas kasihan kepada anak-anak dan lebih berserah kepada penetapan Tuhan. Pada akhirnya iman pun akan makin berakar meskipun kita kehilangan kesempatan menjadi seperti apa yang telah kita cita-citakan.
GS : Iya. Mungkin yang lebih mudah adalah menyalahkan pasangan atau orang-orang yang ada di sekelilingnya bahkan menyalahkan Tuhan. Kenapa Tuhan memertemukan kita lalu membiarkan hal-hal seperti itu terjadi. Itu yang lebih sering dilakukan, Pak Paul.
PG : Kita bisa lihat orang yang menyalahkan Tuhan ataupun orang lain, Pak Gunawan, hatinya makin hari makin keruh, makin banyak kepahitan. Tapi orang yang tidak menengok kanan kiri atau tidak lagi menyalahkan Tuhan, justru hatinya makin hari makin penuh dengan kasih sayang dan kasihnya itu akan kita lihat begitu murninya. Saya pernah membaca cerita tentang Christopher Reeve. Dia adalah seorang bintang film yang memainkan peran Superman. Bukan Superman yang terbaru ya tapi yang lebih lama. Dia seorang yang tampan. Kita tahu dia mengalami kecelakaan sewaktu mengendarai kuda sehingga akhirnya dia menjadi lumpuh. Istrinya yang bernama Dana sangat mengasihi dia. Bertahun-tahun merawat suaminya. Meskipun suaminya itu tidak bisa lagi menjadi suami yang berfungsi karena harus di kursi roda, makan dan semuanya lewat alat bantu, bernafas juga memakai alat bantu, tapi dia mengasihi suaminya dengan begitu telaten. Dia rawat suaminya. Makanya kenalannya mengenal dia sebagai wanita yang luar biasa dan penuh kasih sayang. Kita tahu akhirnya Christopher Reeve meninggal dunia. Tak lama setelah itu dokter menemukan kanker pada Dana Reeve. Dan tak lama setelah suaminya meninggal, Dana juga meninggal dunia. Tapi kita bisa melihat orang-orang yang menerima perubahan garis kehidupan dan tidak menyalahkan siapa-siapa, tidak menyalahkan suaminya, tapi terus melimpah kasih sayang. Kita akan melihat kasih mereka menjadi kasih yang sangat murni.
GS : Iya. Tapi ini ‘kan melalui proses yang sangat panjang, Pak Paul. Itu melalui suatu pergumulan yang tidak mudah dijalani oleh seseorang karena dia tidak mengharapkan itu terjadi, Pak Paul.
PG : Betul. Susah sekali ya. Karena memang kecenderungan kita sewaktu kehidupan kita berubah drastik gara-gara pasangan kita, tidak bisa tidak kita mau berontak dan kita marah dan mau menyalahkan orang lain. Misalkan istri Christopher Reeve ini. Bisa saja ‘kan dia menyalahkan suaminya, "Kenapa sih kamu naik kuda!" Bisa saja kan sebelumnya dia sudah memberitahu suaminya, "Sudahlah, berhentilah naik kuda. Bahaya." Tapi dia tidak menyalahkan siapa-siapa, dia terima saja. Nah, justru akhirnya dia menunjukkan kasih yang murni.
GS : Iya. Jadi, pemurnian kasih yang Tuhan lakukan di dalam diri kita itu sebenarnya melalui lembaga pernikahan ini atau bisa lewat lembaga-lembaga yang lain, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya lewat yang lain juga bisa, Pak Gunawan. Karena hidup ini ‘kan juga kadang-kadang harus bertabrakan dengan hal-hal seperti ini yang mengubah kehidupan kita dan sebagainya. Tapi saya kira tidak ada relasi yang sedekat pernikahan maka biasanya dampaknya akan jauh lebih kuat kalau memang kita mengalami dalam pernikahan.
GS : Khususnya pernikahan yang di dalam Tuhan, ya Pak Paul. Kalau di luar Tuhan kadang-kadang orang lebih memilih gampangnya yaitu menghindari proses pemurnian ini dan mencari yang lain. Mulai lagi dengan yang lain.
PG : Iya. Saya ingat seorang yang istrinya penderita tunadaksa bernama Joni Eareckson Tada. Suaminya, Si Ken, sudah tahu bahwa istrinya lumpuh. Jadi dia sudah mengerti dan dia siap menerima kondisi istrinya maka mereka menikah. Tapi dalam perjalanannya dia baru sadar bahwa orang yang lumpuh itu mempunyai tuntutan yang luar biasa banyak. Dan dia mengaku di titik itu dia goyang. Meskipun dia sudah tahu soal istrinya itu perlu banyak sekali perawatan, tapi waktu dia menyadari tuntutan itu jauh lebih besar dari yang dia perkirakan, mula-mula dia goncang. Tapi Tuhan akhirnya memurnikan kasih Ken kepada istrinya sehingga dia sadar dan minta Tuhan memberinya kemampuan dan dia keluar dari kemelut itu makin mengasihi istrinya.
GS : Memang kalau dalam rencana Tuhan di dalam proses pemurnian ini, saya yakin Tuhan akan memberikan kekuatan dan kemampuan kepadanya untuk menjalani proses pemurnian ini. Sehubungan dengan ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bagikan kepada kita ?
PG : Saya bacakan dari Yesaya 26:12, "Ya Tuhan, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami". Jadi kita hanya perlu datang kepada Tuhan, Pak Gunawan dan mengakui keterbatasan kita bahwa kita tidak sanggup mengasihi pasangan kita semurni itu. Nah, biarkanlah Tuhan nanti yang mengerjakannya bagi kita. Tuhan sanggup. Jadi Dia akan mengerjakannya selama kita datang mengakui ketidakbisaan kita, Dia nanti akan melakukan bagian-Nya dan membuat kasih yang tidak ada kembali ada dan bahkan menjadi lebih murni.
GS : Memang pemurnian ini bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani, Pak Paul. Baik pemurnian kasih ataupun pemurnian iman seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang dibakar, dipisahkan dengan logam-logam lainnya, dan itu sangat menyakitkan. Hanya masalahnya kita bergantung pada siapa. Kalau kita bergantung pada kekuatan sendiri, tidak ada yang kuat menjalani dapur pemurnian Tuhan ini, Pak Paul.
PG : Betul. Kalaupun kita tidak mengalami hal-hal yang terlalu tragis, saya kira proses penuaan itu sendiri adalah salah satu sarana untuk memurnikan kasih ya. Karena makin tua, kita juga makin terbatas, pasangan kita makin terbatas, gangguan makin banyak. Akan ada seribu satu macam hal yang membuat kita bisa kehilangan cinta. Tapi justru lewat semua itulah kita makin mencintai dan cinta kita pada pasangan makin murni.
GS : Ya. Kita percaya bahwa para pendengar kita juga ingin supaya kasihnya dimurnikan dengan segala resiko yang pasti harus dijalani juga. Tapi kita yakin dan bersandar pada kekuatan Tuhan. Terima kasih untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan Memurnikan Kasih". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.