Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.
Kata kunci: Sumber kejengkelan ialah perbedaan cara penggunaan uang, penggunaan waktu, penggunaan kata; kejengkelan kecil yang terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian akan menimbulkan kebencian yang menggerogoti relasi, menerima masukan pasangan salah satu kunci penyelesaian masalah.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan Dihancurkan Oleh Kejengkelan, Bukan Kebencian". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Seringkali yang kita alami di dalam perjalanan ini, kita itu tersandung bukan pada ‘batu yang besar-besar’ justru pada ‘batu-batu kecil’ yang ada di depan kita, yang tidak kita perhatikan lalu kita jadi tersandung. Demikian juga dengan kehidupan pernikahan kita. Kita terlalu memerhatikan hal-hal yang besar, yang serius rasanya tetapi sebenarnya bukan itu yang menyebabkan kita itu berpisah atau bercerai, tapi justru hal-hal kecil yang terjadi setiap hari dan ini menumpuk sehingga akhirnya menimbulkan perceraian dalam pernikahan. Pandangan seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Seringkali kita beranggapan kalau sampai terjadi perceraian penyebabnya pastilah masalah besar misalkan perzinahan. Kita menduga sebagai akibat masalah besar seperti perzinahan maka timbullah kebencian besar yang akhirnya mengakibatkan perceraian. Pada kenyataannya kebanyakan pernikahan dihancurkan bukan oleh kebencian atau masalah besar seperti perzinahan, melainkan oleh hal-hal kecil yang menjengkelkan yang terjadi terus-menerus. Jadi kita akan mencoba membahas beberapa masalah kecil yang seringkali menimbulkan kejengkelan sekaligus cara untuk mengatasinya.
GS : Iya. Memang hal-hal kecil yang mengganggu hidup pernikahan ini tadi, Pak Paul kalau sudah menumpuk memang bisa mendorong seseorang pada dosa perzinahan itu dan itu yang selalu digunakan sebagai alasan kenapa orang itu bercerai. Di Alkitab sendiri dia katakan, "Hanya ada satu alasan bercerai yaitu berbuat zinah". Jadi awalnya itu bukan karena perzinahan tapi perkara-perkara kecil yang menjengkelkan dan membuat pasangannya marah sehingga hubungan mereka renggang padahal mereka memunyai kebutuhan biologis sehingga terjadilah perzinahan itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi seringkali memang yang menjadi kerikil-kerikil itu adalah hal-hal kecil yang menjengkelkan. Kalau itu terus menumpuk dan tidak terselesaikan akhirnya makin merengganglah hubungan kita dan membuka peluang masuknya orang ketiga dalam pernikahan kita. Itu sebabnya kita mau menyoroti hal-hal kecil ini; kejengkelan-kejengkelan ini. Sebab kalau kita tidak menjaga kejengkelan ini bahkan bisa memecahkan pernikahan kita.
GS : Yang seringkali menjengkelkan itu apa, Pak Paul?
PG : Pertama, penggunaan uang. Betapa seringnya pernikahan hancur gara-gara penggunaan uang. Ada orang yang mencatat setiap pengeluaran dan ada orang yang bahkan tidak ingat bahwa ia telah mengeluarkan uang. Sudah tentu bagi orang yang memerhatikan pengeluaran uang, cara penggunaan uang yang begitu bebas sangatlah mengganggunya. Pada saat dia sibuk memerketat pinggang dan memerhatikan arus pengeluaran, dengan mudahnya pasangannya memakai uang tanpa memikirkan dampaknya. Bila ini terjadi terus-menerus dapat kita bayangkan kejengkelan berkembang dan akhirnya mulai menggerogoti cinta dan respek terhadap pasangan. Jika tidak ada perubahan, besar kemungkinan pernikahan ini hancur.
GS : Iya. Jadi memang perlu dikomunikasikan antara suami-istri itu mengenai penggunaan keuangan ini, Pak Paul. Karena memang betul firman Tuhan mengatakan bahwa cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan jadi memang dari situ akan ada banyak masalah. Tapi kalau dikomunikasikan dengan baik, saya rasa itu bisa diatasi.
PG : Betul. Memang masalah uang ini masalah yang pelik, Pak Gunawan. Jadi kadang-kadang latar belakang yang berbeda dan sebagainya itu memengaruhi. Sudah tentu jadinya diperlukan kepercayaan dan pengertian untuk menyelesaikan masalah ini. Coba saya jelaskan 2 kata ini: kepercayaan dan pengertian. Diperlukan kepercayaan sebab masing-masing harus percaya bahwa pasangannya tidak bermaksud buruk. Yang ketat dengan uang sebenarnya memikirkan masa depan, sedangkan yang longgar dengan uang lebih memikirkan masa sekarang. Yang ketat dengan uang memikirkan kepentingan keluarga sedang yang longgar dengan uang kadang memikirkan kebutuhan orang lain. Jadi karena dia kasihan melihat orang ini butuh akhirnya dia berikan uang, dia pinjamkan uang dan sebagainya akhirnya muncul masalah. Tapi dia memerlukan kepercayaan bahwa pasangan itu sebetulnya tidak ada niat untuk melukai pasangannya atau berniat buruk. Tapi juga diperlukan pengertian. Begini, acap kali orang yang ketat dengan uang dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, dimana setiap pengeluaran berpotensi menimbulkan masalah keuangan yang parah, atau kalau pun ia tidak dibesarkan dalam kondisi minim ia dididik untuk berdisiplin dengan pengeluaran. Itu sebab ia terbiasa dengan pengawasan uang yang ketat. Sebaliknya orang yang bebas dengan pengeluaran uang biasanya dibesarkan dalam kecukupan, dia tidak pernah khawatir akan uang karena kebutuhannya senantiasa tercukupi. Nah, pengertian dibutuhkan untuk memahami bahwa pengaruh masa lalu tidak mudah hilang begitu saja. Jadi sekali lagi diperlukan kepercayaan dan yang kedua pengertian.
GS : Dalam hal kepercayaan ini bukan hanya mengenai uang yang kita gunakan bersama-sama tetapi juga uang yang kita terima. Karena ada juga pasangan yang menyembunyikan sebagian penghasilannya untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa mengkomunikasikan itu kepada istrinya atau suaminya; pada pasangannya. Jadi hal itu mengganggu juga.
PG : Betul. Ini tidak bisa tidak akan membuat pasangannya merasa tidak dipercaya, "Kamu tidak memercayai saya sampai-sampai kamu harus menyimpan uang dengan tidak memberitahukan saya. Seolah-olah kalau saya tahu, saya nanti akan mengambil uangmu". Kalau memang tidak pernah ada bukti pasangan kita itu akan memakai uang, mengambil uang dengan sembarangan memang kita tidak boleh menyimpan uang tanpa diketahui pasangan kita. Tapi saya juga mengerti kalau memang pasangannya itu tidak bisa memegang uang; cepat sekali uang habis dan benar-benar kalau ditanya, "Uangmu kemana ?" dia akan menjawab, "Tidak tahu" karena benar-benar pasangan ini tidak memerhatikan uangnya dipakai untuk apa. Nah, sudah tentu dalam kasus seperti itu tidak apa-apa bagi saya untuk menyimpan. Karena dia tahu kalau dia berikan semuanya kepada pasangannya maka akan habis dan sedangkan dia harus pikirkan kepentingan anak-anaknya atau masa depan dan sebagainya, jadi mulai sisihkan uang tanpa diketahui oleh pasangannya. Kalau dalam kasus seperti itu, saya kira memang dibenarkan.
GS : Yang seringkali terjadi justru kalau uang itu sudah dipegang oleh pasangannya ini untuk keluar lagi sulit. Sehingga suami ini, misalnya, kalau dia mau menggunakan uang itu lagi maka akan sangat dipersulit sehingga si suami tidak memberitahukan penghasilan yang sebenarnya kepada istri.
PG : Ada. Ada orang yang memang kalau sudah masuk uang itu tidak bisa keluar sehingga pasangannya belajar, "Oke lebih baik jangan berikan semuanya". Jadi selain kepercayaan dan pengertian hal lain yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah penggunaan uang adalah pengaturan. Sebaiknya pengeluaran setiap bulan diatur bersama. Sisihkan uang untuk pengeluaran rutin seperti listrik dan air serta keperluan dapur dan transportasi, juga untuk keperluan sekolah serta kebutuhan anak. Sudah tentu sisihkan pula uang untuk persembahan dan untuk tabungan. Dan jangan lupa sisihkan uang jajan bagi masing-masing. Tanyakan kepada pasangan yang longgar dalam penggunaan uang, "Berapa jumlah yang dibutuhkannya sebulan untuk keperluan jajannya?" lalu setelah disepakati berikan uang dan mintalah dia untuk berusaha mencukupi diri sehingga tidak ada alasan minta uang kembali. Jadi saya sarankan, lakukanlah pengaturan bersama dan sepakati bersama dan yang lebih longgar dengan uang setelah minta yang dia butuhkan sebulan maka pergunakan jangan sampai melebihi takaran itu.
GS : Iya. Hal yang kedua selain uang apa, Pak Paul?
PG : Yang seringkali memang membuat kita jengkel adalah penggunaan waktu. Ada yang menggunakan waktu secara efisien dan ada yang menggunakan waktu sepuas mungkin. Sudah tentu orang yang menggunakan waktu secara efisien mungkin jengkel melihat pasangannya yang menggunakan waktu seenaknya. Orang-orang yang menggunakan waktu secara efisien mungkin paling tidak suka melihat orang membuang-buang waktu. Jika kondisi ini tidak berubah, kejengkelan pun berubah menjadi ketidaksukaan. Jadi awalnya kita coba toleransi tapi pasangan kita seolah tidak peduli dengan waktu atau banyak waktu yang terbuang, walaupun kita sudah membicarakannya, sudah mengingatkan namun tidak dipedulikan, maka memang kejengkelan itu akhirnya menumpuk. Maka relasi kita akhirnya semakin merenggang.
GS : Seringkali pasangan itu memang kesulitan kalau sudah berjanji akan pergi ke suatu tempat misalnya ke gereja yang tidak boleh terlambat. Tetapi selalu saja pasangan ini terlambat terus dan ini memang menjengkelkan, Pak Paul.
PG : Betul, betul. Jadi sekali lagi hal-hal kecil seperti inilah, kerikil-kerikil kecil seperti inilah yang akhirnya menghancurkan pernikahan. Saya tahu seberapa seringnya orang mau ke gereja akhirnya ribut karena masalah penggunaan waktu. Ada yang santai saja, "Tidak apa terlambat", tapi ada orang yang tidak mau terlambat jadi selalu maunya sebelum waktu ibadah atau pada waktu yang tepat begitu. Nah, akhirnya ini menjengkelkan sekali. Ada orang yang akhirnya itu tidak mau ke gereja karena dia berkata, "Buat apa saya ke gereja dengan hati yang penuh kemarahan gara-gara kamu seenaknya terlambat tidak apa-apa. Jadi sudah lebih baik saya tidak usah ke gereja supaya saya tidak berdosa di hadapan Tuhan, marah-marah sewaktu berbakti. Sudah. Lebih baik saya di rumah saja". Ini menjadi masalah yang lebih besar. Jadi sekali lagi kita ini sebagai suami dan istri mesti memerhatikan hal-hal kecil seperti itu. Untuk menyelesaikan masalah tentang penggunaan waktu ini sudah tentu diperlukan kerelaan untuk berubah dari kedua belah pihak. Sudah tentu orang yang menggunakan waktunya seenaknya, kurang memertimbangkan perasaan dan kepentingan orang maka ia perlu belajar mengindahkan perasaan dan kepentingan orang. Sebaliknya orang yang menggunakan waktunya secara efisien seringkali susah menikmati kesantaian dan tidak suka melihat orang santai. Ini pun tidak sehat. Jadi saya sarankan sebaiknya keduanya duduk bersama, sepakat untuk membicarakan tentang apa yang dia harapkan dari pihak yang menggunakan waktu secara efisien. Nah, kewajiban pihak yang menggunakan waktu secara santai adalah menyelesaikan tanggung jawabnya. Setelah ia menyelesaikannya ia bebas untuk menggunakan waktunya sesuai dengan keinginannya dan pihak pasangan tidak boleh memersoalkannya. Singkat kata, ia mesti memberi kebebasan kepada pasangan untuk menjadi dirinya apa adanya; santai bukan masalahnya namun pokok masalah ialah tanggung jawab. Selama sudah bertanggung jawab maka tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan.
GS : Iya. Memang dalam hal ini dibutuhkan keluwesan atau fleksibel, tidak boleh terlalu kaku tentang hal ini. Kalau terlalu kaku malah menimbulkan banyak masalah begitu.
PG : Betul. Jadi ada orang yang memang tidak bisa melihat pasangannya itu berdiam diri atau santai, ada itu, Pak Gunawan. Jadi akhirnya si pasangan itu kalau ada istri di rumah dia tidak merasa damai. Dia takut nanti disuruh ini, disuruh itu jadi muncul perilaku-perilaku yang tidak sehat, contohnya dia sengaja pulang lebih malam. Atau dalam rumah dia berusaha menghindar karena dia tahu kalau istrinya melihat dia sedang diam pasti disuruh untuk berbuat sesuatu karena istrinya tidak bisa melihat orang yang santai. Dan seringkali, dalam hal ini, si istri yang tidak bisa santai itu memang dirinya seperti itu juga, dia tidak bisa santai. Dia mesti selalu berbuat sesuatu karena memang itulah yang biasa dilakukannya. Jadi perlu dua-duanya belajar. Pihak yang maunya itu orang jangan santai dan pakai waktu secara efisien, lebih harus fokus kepada tanggung jawab. Selama pasangannya sudah menyelesaikan tanggung jawabnya maka sudah berhenti, biarkan dia berbuat apa saja. Yang penting dibicarakan apa yang menjadi tanggung jawab yang diharapkan untuk dilakukan pasangannya.
GS : Tapi memang yang paling sering terjadi seperti itu, bukan? Kita mengharapkan orang lain seperti kita, seperti yang tadi Pak Paul katakan, karena kita itu terlalu sibuk terus sepanjang hari di rumah dan sebagainya, maka kita berharap juga pasangan kita kalau sudah di rumah akan sibuk seperti kita. Tapi sebaliknya kita yang biasa santai kita berharap, "Kamu santai sedikit, tidak perlu terlalu sibuk seperti itu" ini titik temunya dimana, Pak Paul ?
PG : Jadi yang saya sarankan tadi ialah duduk bersama, berbicara dari hati ke hati dan yang memang memakai waktu efisien mesti jelas meminta apa yang diharapkan olehnya; jelas dia minta ini diselesaikan, dia minta ini dilakukan. Dan pasangan yang memang lebih santai dia akan selesaikan itu, tapi setelah itu jangan lagi nanti, "Tolong tambah ini lagi, tambah ini lagi", ini tidak bisa. Yang penting bicarakan apa itu yang diharapkan oleh pasangan yang memang efisien ini. Ya, sudah tanggungjawab diselesaikan, setelah itu jangan minta-minta atau menuntut-nuntut dia lagi.
GS : Tapi kalau dilihat bahwa setelah dibagi tugas seperti itu ternyata pasangannya masih punya banyak waktu lagi yang luang ‘kan pasti ditambah lagi, Pak Paul ?
PG : Memang sudah tentu masih ada ruangan untuk bernegosiasi. Kalau misalkan masih ada hal yang masih bisa dikerjakan dan itu penting, ada waktu yang masih tersisa, lalu boleh saja untuk menambahkan. Sudah tentu tetapi ada batasnya. Tidak boleh nanti akhirnya ditambahkan lagi, ditambahkan lagi, ditambahkan lagi. Jadi memang yang menuntut banyak itu harus sadar tidak bisa seperti itu. Sebab ini pun juga tidak sehat buat dia. Kita tahu orang yang memakai waktu terus-menerus untuk kerja efisien akan mudah stres, Pak Gunawan; mudah sekali meletus akhirnya. Kepada anak juga begitu, sedikit-sedikit dia akan meledak marah. Akhirnya suasana rumah menjadi tidak enak.
GS : Atau mungkin ini, apa yang dikerjakan itu waktunya diperpanjang supaya tidak mendapat tugas yang lain, kerjanya diperlambat. Dan ini juga tidak sehat di dalam rumah tangga.
PG : Iya. Tidak, jadinya memang tidak ada kejujuran lagi, tidak bisa menjadi diri apa adanya. Jadi harus seolah-olah bersandiwara supaya pasangan itu tidak mempermasalahkan. Jadi sekali lagi perlu kedua-duanya duduk, saling mengerti dan apa yang baik untuk keluarga ini. Seringkali memang masalah ini menurun ke anak-anak, Pak Gunawan. Yang efisien terus akhirnya menuntut anak-anak seperti itu dan akhirnya anak-anak juga mengeluh, tidak nyaman di rumah. Jadi rumah itu akhirnya betul-betul tidak ada damai sejahtera.
GS : Iya. Hal yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah penggunaan kata, ini yang seringkali menimbulkan kejengkelan. Betapa seringnya kita dibuat jengkel oleh perkataan yang dilontarkan pasangan. Walau kita sudah memberitahukan bahwa kita tidak menyukainya, ia tetap saja mengeluarkan perkataan yang sama yang melukakan hati dan menggusarkan kalbu. Akhirnya kita tidak tahan dan mulai membalas. Kita pun mengeluarkan perkataan yang kita tahu akan membuatnya tersinggung atau terluka. Kita sengaja menyakitinya supaya ia sadar. Mungkin kita berdalih bahwa kita tidak bermaksud melukainya, kita beralasan bahwa itulah cara kita berbicara. Atau kita menuduh pasangan terlalu sensitif dan mudah tersinggung. Mungkin semua itu benar, tapi dalam pernikahan kita memang mesti memelajari bahasa yang baru. Kita tidak boleh memertahankan cara lama berkomunikasi. Kita harus memelajari cara yang paling efektif berbicara dengan pasangan.
GS : Iya. Seringkali orang memang mengatakan, "Saya tidak bermaksud melukai hatimu. Dan maksud saya juga bukan seperti yang kamu terima". Tapi ternyata pasangannya sudah terlanjur terluka, Pak Paul oleh perkataan itu yang mungkin buat orang lain tidak apa; terutama untuk pembicaranya tidak apa, pasti. Tapi pasangannya merasa terluka dengan perkataan itu. Itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang tidak selalu orang itu berniat melukai kita. Kadang-kadang memang itu adalah bagian dari kebiasaannya. Ada juga yang akan berbicara dengan nada yang tinggi dan dia berkata, "Saya tidak marah, saya biasa bicara dengan nada tinggi", tapi kebetulan pasangannya berbicara dengan nada yang lebih lembut. Kita tidak bisa berkata, "Inilah cara saya, jadi kamu harus menerimanya", tidak bisa. Kedua-duanya memang harus mengerti mencari penengah. Yang bicaranya terlalu keras dan suaranya terlalu keras juga harus memang belajar untuk menurunkan suara. Yang sensitif yang lebih biasa lembut, cobalah untuk mengerti bahwa walaupun suaranya keras tidak berarti dia sedang marah. Kalau dia tidak yakin dia tidak tahu apakah pasangan sedang marah atau tidak, maka silakan bertanya. Jadi daripada menduga-duga dan akhirnya timbul masalah lebih baik tanya langsung, "Saya hanya ingin memastikan apakah kamu sedang marah sebab suara kamu keras sekarang ini" lalu misalkan berkata, "Tidak, memang tidak marah". Jadi ada baiknya bertanya seperti itu. Ini akan menolong untuk kita mulai belajar bahasa yang baru.
GS : Iya. Tapi pertanyaan, "Apakah kamu sedang marah?" dan dijawab, "Tidak, aku tidak marah" terkadang itu masih dijawab belum setulus hatinya. Sebenarnya dia tetap marah, tapi dia tidak mengakui bahwa dia marah.
PG : Bisa, bisa jadi. Tapi kalau dia sudah berkata, "Tidak, saya tidak marah" berarti itu harus dia tepati perkataannya, walaupun dalam hati misalnya dia jengkel tapi karena dia sudah terlanjur berkata begitu jadi dia harus diam. Mudah-mudahan lama-kelamaan dia belajar bahwa, "Kalau saya berkata saya tidak marah walaupun saya sedang marah, ‘kan saya yang tersiksa. Ya sudah lebih baik saya berbicara apa adanya bahwa saya memang tadi sedang marah", dengan cara itu masalah bisa lebih diselesaikan. Tapi memang yang ingin saya tekankan adalah kita itu mesti belajar bahasa yang baru. Kita tidak boleh berkata, "Ini bahasa saya, ini cara saya" tidak bisa. Kita mesti bersepakat untuk memelajari bahasa yang baru. Tidak persis bahasa suami, tidak persis bahasa istri. Jadi kita ciptakan sebuah bahasa yang baru untuk bisa berkomunikasi dengan lebih efektif.
GS : Iya. Mungkin itu inti lagu, "Ajari Kami Bahasa Kasih-Mu" itu Pak Paul ya, lalu bagaimana selanjutnya?
PG : Iya. Jadi kita juga mesti menerima kemungkinan bahwa pasangan tidak selalu berniat menyakiti hati kita; ini perlu. Kita jangan sedikit-sedikit menuduh, "Kamu ini mau menyakiti hati saya", tidak. Terkadang pasangan bisa lupa. Itu sebab kita belajarlah menoleransi kesalahan-kesalahan seperti itu dan jika memang benar kita ini terlalu peka; mudah sekali merasa tersinggung, tertuduh, tertusuk. Ya sudah, sebaiknya kita berupaya memerkuat perasaan supaya tidak terlalu rapuh. Satu perkataan yang mesti sering keluar dari mulut kita berdua adalah, "Saya minta maaf. Saya tidak akan mengulangi lagi perbuatan ini". Jadi kalau memang pasangan berkata, "Kamu berkata begini menyakiti saya" maka minta maaf. Jangan menjelas-jelaskan, "Saya begini, kamu begini" akhirnya tambah panjang. Sudah, kalau dia berkata perkataan kita menyakitinya maka tutup disitu dengan berkata, "Saya minta maaf. Saya akan berusaha ingat untuk tidak mengatakan itu". Kalau sudah tenang baru kita bisa menjelaskan, "Boleh tidak saya jelaskan, apa yang tadi terjadi ?" jika "Oke, silakan", maka jelaskan, "Tadi maksud saya hanya ini. Saya tidak ada maksud menyerangmu, merendahkanmu atau apa, itu tidak ada. Tapi mungkin kata-kata saya kurang tepat atau saya berbicara dengan nada yang terlalu keras. Jadi kamu merasa saya ini menyerang kamu". Nah, dengan cara itu komunikasi antara kita bisa lebih baik, Pak Gunawan. Sebab sekali lagi kita mau tekankan, kalau kita tidak bereskan hal-hal seperti ini penggunaan kata akhirnya ini menimbulkan kejengkelan demi kejengkelan yang akhirnya bisa menghancurkan pernikahan kita.
GS : Iya. Untuk minta maaf itu biasanya dilakukan oleh pasangan itu tapi hanya sebatas minta maaf. Tapi kalau menyatakan seperti yang Pak Paul usulkan, "...Saya tidak akan mengulangi perbuatan ini", ini biasanya yang sulit untuk diucapkan baik oleh si istri atau si suami, karena ini bisa jadi bumerang, Pak Paul. Kalau sampai dia suatu saat tergelincir lagi di hal yang sama dan mengulangi perbuatannya akan menjadi bumerang, Pak Paul. "Dulu kamu bilang kamu tidak mau mengulangi lagi, tapi nyatanya seperti ini" jadi hanya minta maaf biasanya.
PG : Betul. Kita ini takut berjanji, "Saya tidak akan mengulangi lagi" jadi terkadang kita berkata, "Okelah saya berusaha untuk tidak mengulanginya lagi". Boleh. Tapi memang mesti ada lebih dari permintaan maaf karena begini, Pak Gunawan, kalau kita hanya berkata, "Oke saya minta maaf" tanpa ada embel-embel kita mau berjanji berusaha seringkali itu kita lebih mudah mengulangnya. Tapi kalau kita sudah mengatakan saya akan berusaha tidak melakukannya lagi, kita akan mengeluarkan usaha yang lebih keras untuk tidak mengulangnya; sebab kita telanjur berjanji. Jadi ada baiknya kita mau mengikatkan diri dalam janji itu supaya lebih berhati-hati.
GS : Nah, itu biasanya dituntut oleh pihak yang dirugikan, yang dilukai hatinya; "Sudah jangan mengulangi perbuatannya itu" baru dijawab, "Iya saya usahakan". Tapi dari mulutnya sendiri biasanya jarang diungkapkan hal seperti itu, Pak Paul.
PG : Iya. Jadi kita bisa melihat, Pak Gunawan bahwa pernikahan itu dihancurkan bukan oleh kebencian; jarang-jarang oleh kebencian, yang lebih sering oleh kejengkelan. Jadi kita mestilah berusaha untuk berubah supaya kejengkelan semakin berkurang dalam pernikahan kita.
GS : Karena kejengkelan yang berulang-ulang akan menimbulkan kebencian di dalam diri seseorang.
PG : Bisa. Ataupun kalau tidak sampai benci, kejengkelan itu akan menguras cinta dan respek. Kita akhirnya merasa dingin sekali, tidak ada apa-apa lagi, "Karena kamu terlalu sering menjengkelkan saya".
GS : Jadi tuntunan firman Tuhan apa, Pak Paul ?
PG : Amsal 12:1 mengingatkan "Siapa mencintai didikan mencintai pengetahuan, tetapi siapa membenci teguran adalah dungu". Nah, kita mesti membuka telinga, membuka hati menerima didikan atau masukan dari pasangan kita. Orang yang bersedia mendengar masukan pasangan adalah orang yang mencintai pengetahuan atau hikmat, sebetulnya maksudnya. Tapi orang yang tidak mau mendengarkan bahkan membenci masukan atau teguran, firman Tuhan berkata "….. ia adalah orang dungu". Jadi pernikahan itu dibangun di atas kesediaan untuk mendengarkan dan menerima masukan dari pasangan.
GS : Baik, Pak Paul terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan Dihancurkan Oleh Kejengkelan, Bukan Kebencian". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.