Perlunya Kesiapan Dalam Berpacaran

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T390A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kita dapat melewati fase ketertarikan dan mendapatkan banyak kecocokan dalam masa berpacaran, namun bila kita tidak memiliki kesiapan untuk menikah, tidak seharusnya kita menikah. Berikut ini ada beberapa hal yang termaktub di dalam aspek kesiapan, yaitu kesiapan batiniah, emosional, dan jasmaniah.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Sekarang tibalah kita pada bagian akhir dari pembahasan tentang tugas yang mesti diselesaikan pada masa berpacaran. Kita dapat melewati fase ketertarikan dan mendapatkan banyak kecocokan, namun bila kita tidak memiliki kesiapan untuk menikah, tidak seharusnya kita menikah. Berikut ini akan ada beberapa hal yang termaktub di dalam aspek kesiapan.

(1) Kesiapan batiniah. Kita mesti datang kepada Tuhan membawa relasi kita kepada-Nya dan meminta pimpinan-Nya. Kita pun harus peka melihat apa yang terjadi di dalam relasi kita dan memohon Tuhan untuk memberikan hikmat kepada kita untuk menilai kesiapan relasi ini masuk ke dalam pernikahan. Saya percaya Tuhan menunjukkan kehendak-Nya lewat Firman-Nya, lewat anak-anak-Nya, dan lewat situasi yang yang kita alami.

Sebagai Bapa yang sayang kepada anak-anak-Nya, Ia tidak ingin kita terjerumus ke dalam lembah masalah. Itu sebabnya Ia akan memperingati kita supaya kita bisa melihat bahwa relasi ini bukanlah relasi yang diberkati-Nya. Sebaliknya, bila Ia menilai bahwa ini adalah relasi yang dikehendaki-Nya, maka Ia pun akan memberkatinya. Jadi, kunci untuk melihat apakah relasi ini berada dalam kehendak Tuhan adalah dengan bertanya kepada diri sendiri, Apakah Tuhan berada di dalam relasi ini dan memberkati relasi ini? Kita mesti dapat melihat bahwa Tuhan bekerja di dalam relasi kita lewat pelbagai cara. Kita harus dapat menyaksikan bahwa Tuhan hadir di dalam relasi ini. Sewaktu kita mengalami pimpinan Tuhan di dalam kita menjalani relasi ini, barulah kita dapat dengan pasti berkata bahwa Tuhan beserta dengan kita.

Selain dari itu kita juga harus bisa berkata bahwa Tuhan telah memberkati relasi kita. Sewaktu kita menengok ke belakang, bukan saja kita mesti dapat berkata bahwa Tuhan telah menyertai kita berdua, tetapi Ia pun telah memberkati relasi ini. Tuhan memakai relasi ini untuk menumbuhkan kasih dan iman kita kepada-Nya. Tuhan pun telah memakai relasi ini membawa kita mengenal kuasa Tuhan secara lebih dekat dan riil. Dan, terpenting adalah bukan saja kita sendiri bertumbuh tetapi kita pun melihat bahwa pasangan kita juga telah bertumbuh. Pada akhirnya kita berdua makin dapat melayani Tuhan bersama. Jadi, sebelum kita melangkah masuk ke dalam pernikahan, kita harus yakin bahwa Tuhan telah beserta dan memberkati relasi ini. Kita harus dapat berkata bahwa kita berada di dalam kehendak Tuhan. Ia menghendaki kita menikah, bukan kita memaksakan kehendak kepada Tuhan untuk membolehkan kita menikah. Inilah kesiapan pertama.

(2) Kesiapan emosional. Pernikahan dan kehidupan berkeluarga menuntut kesiapan untuk mengorbankan banyak hal. Sebagai contoh kita harus siap mengorbankan PILIHAN. Sebelum menikah kita dapat mengambil keputusan dan menjatuhkan pilihan sesuai dengan pertimbangan pribadi. Setelah menikah kita mesti mengikutsertakan pasangan--dan nantinya anak--dalam setiap pertimbangan. Kita harus memikirkan bukan saja apa yang terbaik bagi mereka, tetapi juga apa yang menjadi keinginan mereka. Kita juga mesti siap untuk mengorbankan WAKTU. Sebelum menikah kita dapat menggunakan waktu sesuai keinginan dan kebutuhan pribadi. Setelah menikah kita harus bersedia mengorbankan waktu bukan untuk kepentingan dan kebutuhan kita melainkan untuk kepentingan dan kebutuhan pasangan dan anak-anak. Kita pun harus siap mengorbankan BARANG KEPUNYAAN kita. Sebelum menikah kita bebas menggunakan barang kepunyaan kita tetapi setelah menikah kita harus berbagi dengan pasangan dan anak-anak kita. Kadang kita tidak dapat menggunakannya karena pasangan atau anak sedang menggunakannya. Mungkin lebih berat dari semua yang di atas adalah kita harus siap mengorbankan KEBEBASAN. Sebelum menikah kita bebas berbuat apa pun yang kita anggap baik; kita dapat pergi dengan siapa pun dan ke mana pun. Setelah menikah kita mesti siap melepaskan kebebasan itu. Kita harus siap mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban. Kita juga mesti siap mengorbankan PERASAAN. Siapa pun yang ingin menikah harus siap terluka, kecewa, sedih dan sebagainya. Bila kita sayang perasaan dan tidak siap untuk tersakiti, kita tidak siap untuk menikah. Di samping tawa dan cinta, kita harus hidup bersama dengan airmata dan benci. Itulah kenyataan pernikahan yang mesti diterima. Terakhir dan mungkin tersulit adalah kita harus siap MENGURANGI HAK DAN MENAMBAHKAN TANGGUNG JAWAB ke atas bahu kita. Sebagai contoh, sebelum menikah kita mempunyai hak penuh atas tubuh kita namun setelah menikah, pasangan kita juga memiliki hak atas tubuh kita. Sebelum menikah kita mempunyai hak atas uang kita namun setelah menikah pasangan turut mempunyai hak atas uang kita. Bukan saja kita mesti siap mengurangi hak, kita pun harus siap menambahkan tanggung jawab. Setelah menikah kita bertanggung jawab bukan saja atas diri kita, kita pun bertanggung jawab atas pasangan dan anak-anak kita. Kita harus memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Pada waktu pasangan kehilangan pekerjaan, kita harus berusaha untuk mengurangi pengeluaran supaya kebutuhan tercukupi.

Sebagai kesimpulan kita harus siap secara emosional untuk tidak lagi hidup untuk diri sendiri. Bila kita masih ingin hidup untuk diri sendiri sepenuhnya, mustahil kita akan dapat menikah. Pernikahan dan berkeluarga adalah hidup berbagi. Di dalam berbagi kita melepaskan dan di dalam melepaskan, kita menerima. Itulah pernikahan.

(3) Kesiapan Jasmaniah. Berkaitan dengan kesiapan jasmaniah, ada dua hal yang mesti diperhatikan yaitu KESEHATAN dan KEUANGAN. Saya tidak mengatakan bahwa untuk dapat menikah kita senantiasa harus berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Namun saya mesti mengingatkan bahwa kesehatan berdampak besar pada kelangsungan pernikahan. Biaya pengobatan yang besar dan hambatan akibat sakit penyakit, tidak bisa tidak, memberikan tekanan yang besar pada pernikahan. Ada banyak pasangan yang akhirnya mengalami masalah yang berawal dari problem kesehatan. Sekali lagi, saya tidak melarang orang untuk menikah dengan seseorang yang mempunyai masalah fisik. Namun saya perlu mengingatkan bahwa jika kita memutuskan untuk menikah dengannya, kita harus siap menanggung konsekuensinya. Jika tidak siap lebih baik kita mengakuinya. Kesiapan jasmaniah berikut yang mesti dipertimbangkan adalah kesiapan keuangan. Berkaitan dengan soal keuangan, saya kira sikap terbaik adalah bertanggung jawab. Saya mengerti bahwa standar setiap keluarga akan kecukupan tidak sama. Ada orang tua dan adakalanya pasangan itu sendiri yang menuntut penyediaan secara berlimpah. Masalahnya adalah belum tentu pasangan muda dapat memenuhi standar yang telah dicapai oleh orang tuanya. Jadi, sebaiknya kita tidak menetapkan standar kecukupan yang tinggi. Sebaliknya, ada yang bersikap gegabah. Ada yang beranggapan bahwa tidak apa hidup ala kadarnya, terpenting adalah saling mencintai. Sudah tentu saling mencintai adalah penting namun kecukupan juga adalah penting. Begitu banyak pernikahan yang retak akibat masalah keuangan.

Itu sebab sebelum menikah kita harus mempunyai kesamaan harapan akan standar kehidupan yang diinginkan. Dan sebagaimana kita ketahui uang pun terkait dengan persoalan harga diri. Akhirnya masalah uang pun meluas dan mendalam.

Sekali lagi, kita harus menyiapkan pernikahan secara bertanggung jawab. Pastikanlah bahwa kebutuhan mendasar seperti makan, minum, tempat tinggal dan biaya kehidupan bersama tercukupi. Perkirakanlah biaya tambahan seperti kehamilan dan biaya kelahiran anak. Dan hitunglah uang yang dapat ditabung untuk biaya sekolah anak kelak. Saya kira perkiraan penyediaan sampai di sini sudah memadai.