Kata kunci: Menjaga prioritas hidup, bergantung pada Tuhan bukan pada orang atau kekayaan, belajar merasa puas dan cukup, menjadi saluran berkat bukan timbunan berkat.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyikapi Kekayaan Dengan Benar" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, di kesempatan yang lalu kita telah berbicara tentang pandangan Alkitab terhadap kekayaan. Saya percaya, di Alkitab tentu ada banyak nasihat-nasihat yang dapat digunakan oleh kita sebagai orang percaya agar kita dapat menjaga hati di tengah kekayaan atau harta milik yang kita punyai dan kita bisa menggunakannya bagi Tuhan.
PG: Betul sekali, Pak Necholas. Kita ini adalah anak-anak Tuhan maka kita mau hidup sesuai dengan panduan firman Tuhan, maka dalam menyikapi kekayaan kita juga mau menimba nasihat-nasihat dari firman Tuhan.
ND: Boleh tahu, Pak Paul, ada apa saja nasihat-nasihat firman Tuhan yang perlu untuk kita ketahui supaya kita dapat menyikapi kekayaan ini dengan benar.
PG: Ada empat nasihat yang bisa saya bagikan, Pak Necholas. Pertama kita harus menjaga prioritas hidup, saya kutip dari Matius 22:37-39, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Jadi kita belajar dari firman Tuhan bahwa prioritas hidup ialah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama kita manusia, bukan mengasihi kekayaan dan kemuliaan. Kalau kita tidak hati-hati, mudah sekali kita akhirnya terseret oleh arus dunia dan mengganti atau menukar prioritas. Didalam 1 Timotius 6:10 rasul Paulus menegaskan "Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang, sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka". Cinta uang adalah akar segala kejahatan dan cinta uang bersumber dari penggantian prioritas hidup. Tuhan dan manusia untuk dicintai, sedang uang dan kekayaan untuk dipakai. Jadi inilah urutan yang benar, jangan sampai kita menggantinya menjadi uang dan kekayaan untuk dicintai, Tuhan dan manusia untuk dipakai. Jadi sekarang kita bisa mengerti bagaimana atau betapa mudahnya kita akhirnya berubah dan menjadi jahat sebab awalnya atau akarnya ialah kita mengganti prioritas. Saya kira memang ada didunia orang yang jahat, yang langsung memikirkan dan mau berbuat jahat tapi kebanyakan sebetulnya tidak dengan sengaja berubah menjadi jahat. Perlahan-lahan berubah menjadi jahat. Awalnya adalah mengganti prioritas, begitu uang dan kekayaan untuk dicintai dan Tuhan dan manusia untuk dipakai, maka kita mulai berubah, perlahan-lahan kita menjadi jahat, maka penting kita menjaga prioritas hidup.
ND: Oleh karena itu di ayat yang tadi Pak Paul kutip dikatakan bahwa mengasihi Tuhan itu sepenuh hati, segenap jiwa dan seluruh akal, bukan separuh-separuh karena ada bahaya yang tadi Pak Paul sampaikan itu.
PG: Betul sekali, Pak Necholas, Tuhan memang mengharuskan kita mengasihi-Nya sepenuh hati. Kita tidak bisa memang mengasihi Tuhan setengah hati, sebab begitu kita berkata kita mengasihi Tuhan setengah hati, kita sebetulnya sudah tidak lagi menempatkan Tuhan terutama dalam hidup kita. Kita sudah membagi hati kita, Tuhan tidak lagi yang terutama. Nah, Tuhan mesti menjadi yang terutama maka kita mesti memang menempatkan Dia di tempat tertinggi itu. Mengasihi-Nya pun harus dengan segenap hati kita.
ND: Tadi Pak Paul juga sempat angkat ayat tentang akar segala kejahatan adalah cinta uang. Saya juga pernah dengar ada orang yang memplesetkan ayat ini menjadi "Karena akar segala kejahatan adalah kurang uang", karena dia merasa bahwa orang yang kurang uang akan cenderung melakukan kejahatan. Bagaimana menurut Pak Paul tentang hal ini?
PG: Sudah tentu ada godaan yang akan harus dihadapi oleh orang yang kekurangan uang yaitu godaan untuk memeroleh uang dengan segala cara, godaan itu ada, tapi kita jangan sampai lupa satu hal kalau kita beruang atau berkelimpahan dengan uang, itu tidak membuat kita imun untuk berdosa atau jatuh kedalam dosa yang bersifat keuangan. Kita tahu bahwa orang yang kaya sama seperti orang yang tidak kaya, berpotensi untuk jatuh didalam dosa yang berkaitan dengan uang. Dari sini kita bisa simpulkan, ternyata banyak uang tidak membuat orang akhirnya berhenti berdosa, justru sebagian orang oleh karena banyak uang, lebih banyak berbuat dosa dengan uang yang banyak itu dan sebagian orang oleh karena tidak banyak uang, justru tidak banyak berdosa karena tidak banyak yang dapat dia lakukan tanpa uang. Kita semua manusia berdosa, tidak bisa kita berkata bahwa, "Oh, kita diperkecualikan karena kita ada uang, orang yang tidak punya akan lebih rentan untuk jatuh kedalam dosa". Tidak ya, kita sama-sama rentan.
ND: Yang saya pahami dari penjelasan Pak Paul, akar dari segala kejahatan itu tidak bergantung dari faktor eksternal, cukup atau kurang uang, tetapi malah faktor internal, apakah kita mencintai uang atau mencintai Tuhan dan manusia.
PG: Betul sekali, betul sekali, Pak Necholas. Jadi akarnya adalah cinta akan uang. Apakah orang yang tidak punya uang atau orang yang susah bisa tetap jatuh kedalam dosa yang sama? Iya, sebab ada orang yang tidak punya banyak uang tapi cinta uang, Pak Necholas. Jadi cinta uang itu bisa menjadi masalah bagi orang yang tidak punya uang, sebaliknya orang yang berkelimpahan, yang diberkati Tuhan dengan kekayaan, bisa justru tidak jatuh kedalam dosa ini sebab meskipun mereka kaya raya, mereka tidak cinta uang, jadi jangan sampai kita keliru, beranggapan atau menyimpulkan pasti orang yang kaya itu mencintai uang, orang yang miskin tidak cinta uang, belum tentu. Ada orang miskin cinta uang dan ada orang kaya tidak cinta uang dan yang menjadi akar kejahatan atau dosa ialah cinta uang itu.
ND: Saya jadi teringat satu ayat yang Pak Paul sempat kutip di pembicaraan kita yang lalu bahwa, "Kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan, karena kalau kita mengabdi kepada Mamon kita tidak akan bisa mengabdi kepada Allah". Kalau kita mengabdi kepada Mamon tentunya kita akan cenderung memang bergantung pada Mamon itu karena Mamon itu selain ia berkuasa, juga dia kelihatan dan bisa menolong kita melakukan banyak hal dan itu membuat orang cenderung terikat pada Mamon.
PG: Betul, ya Pak Necholas. Kita mengerti mengapa banyak orang ingin kaya karena memang kekayaan itu menimbulkan rasa hormat dan kagum, kita tidak bisa menyangkali itu. Orang yang kaya seringkali dipandang, dihargai, dicari, dimintai pendapat, diberikan kepercayaan atau kedudukan dan sebagainya. Maka tidak heran banyak orang akhirnya ingin kaya. Nah, maka kita mesti mengerti akan dinamika kekayaan ini, tapi kita sudah belajar tadi, kita tidak boleh mencintai uang, kita boleh tidak mencari uang? Boleh, tapi jangan sampai kita mencintai sebab begitu mencintai, langsung kita sebetulnya tidak lagi mencintai Tuhan karena Tuhan sudah berkata, tidak bisa kita mencintai Tuhan dan Mamon atau kekayaan. Begitu kita mencintai yang satu, kita tidak mencintai yang satunya. Jadi kalau sampai orang itu cinta uang, kesimpulannya adalah karena memang dia tidak cinta Tuhan atau kalau kita balik, kalau sampai orang tidak cinta Mamon, tidak cinta uang itu karena dia cinta Tuhan, maka orang yang mencintai Tuhan sepenuh hati, tidak akan cinta uang.
ND: Dan tentunya orang yang mencintai sesuatu akan menggantungkan hidupnya pada hal tersebut, kalau kita cinta kepada uang, kita akan terus menggantungkan hidup kita pada uang tersebut.
PG: Betul sekali, maka ini membawa kita pada prinsip yang kedua atau nasihat yang kedua, kita harus bergantung pada Tuhan bukan kepada orang atau kekayaan. Amsal 3:5-6 menasihati, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu". Salah satu wujud pengertian sendiri adalah bersandar pada kekayaan, betapa seringnya kita bersandar pada kekayaan yang kita miliki dan tidak bersandar pada Tuhan yang berkuasa penuh atas hidup kita. Masalah yang terkandung dalam bersandar pada diri sendiri, termasuk kekayaan pribadi adalah pada akhirnya kita terlepas dari Tuhan dan kehendak-Nya. Makin hari makin jauh hati kita dari-Nya dan makin hari, makin kita tidak percaya kepada-Nya. Itu sebab kita mesti memutuskan untuk percaya pada Tuhan dan berserah kepada-Nya dan memilih untuk tidak beriman pada kekayaan. Begitu kita beriman pada kekayaan maka kita sudah menjadi penyembah Mamon, dewa kekayaan. Jadi selalu ingatlah prinsip ini. Uang tidak menyelamatkan, tetapi Tuhan menyelamatkan, jangan sampai kita menukarnya menjadi Tuhan tidak menyelamatkan tetapi uang menyelamatkan.
ND: Bisa dikatakan bahwa kita seharusnya belajar untuk percaya dan menggantungkan hidup bahwa kita ini sebetulnya adalah milik Tuhan dan Tuhan itu pasti akan menjaga kita sehingga kita tidak perlu lagi menggantungkan hidup pada seseorang yang lebih berkuasa atau kekayaan yang kita anggap bisa menolong kita.
PG: Betul, Pak Necholas, salah satu cara yang dapat kita gunakan untuk mengukur apakah kita sudah mulai bergantung pada uang atau kekayaan adalah seberapa takutnya kita kehilangan uang. Makin takut kehilangan uang atau uang kita berkurang, itu menandakan makin besar kebergantungan kita pada uang. Kadang kita berkata, "Saya tidak beriman pada uang, saya beriman pada Tuhan". Bukti atau wujud nyatanya adalah itu, seberapa cemasnya kita sewaktu mengalami penurunan atau kehilangan. Kalau kita begitu takut dan cemas sekali, berarti kita telah bergantung dan sudah kurang bergantung kepada Tuhan.
ND: Di zaman sekarang banyak perusahaan asuransi yang menolong kita agar kita tidak perlu cemas akan masa depan terutama dalam hal finansial. Dari penjelasan Pak Paul yang saya tangkap untuk kita sebagai orang percaya mengambil produk-produk asuransi bisa jadi sebisa mungkin itu adalah sebagai langkah berjaga-jaga bagi kita, tetapi tidak perlu juga sampai berlebihan, karena jika berlebihan boleh dikatakan itu sepertinya kita sampai takut kehilangan uang atau takut kehilangan sandaran kita.
PG: Betul, Pak Necholas. Kita memang perlu belajar dari semut, kata si Pengkhotbah di Amsal, semut mengumpulkan makanannya, maka kita juga perlu menabung atau mengumpulkan makanan. Kita mesti menyadari bahwa kita tidak selalu produktif bisa bekerja, pada waktunya kita akan pensiun, maka kita memang perlu memersiapkan masa depan atau hari tua kita, tapi benar kata Pak Necholas, jangan sampai berlebihan, ada orang yang menimbun, menimbun, menimbun seolah-olah dia akan hidup 200 tahun, karena itu perlu uang sebegitu banyaknya untuk hidup 200 tahun, ya tidak! Dan juga kata Tuhan kepada orang kaya yang bodoh, kalau malam ini nyawamu diambil, apa artinya semua itu? Maka harus memersiapkan, harus, lewat tabungan, lewat asuransi, harus, tapi jangan berlebihan seolah-olah inilah pegangan kita satu-satunya. Seolah-olah tidak ada Tuhan yang akan nanti memelihara hidup kita.
ND: Mesti ada satu kondisi dimana kita merasa bahwa apa yang kita siapkan, apa yang kita tabung, apa yang kita punya itu sudah cukup. Bagaimana Pak Paul, kita bisa merasa bahwa kita sudah cukup, kita sudah puas dengan apa yang sudah kita miliki dan kita bisa bersyukur kepada Tuhan dengan apa yang kita sudah punyai ini.
PG: Ini membawa kita pada nasihat yang ketiga yaitu kita mesti belajar untuk merasa puas dan cukup. Firman Tuhan di 1 Timotius 6 ayat 6 dan 8 meneguhkan, "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar". "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah". Puas dan cukup adalah suatu perasaan yang relatif dalam pengertian tidak sama pada setiap orang, sebab standard puas dan cukup pada setiap orang tidak sama. Tuhan mengajar kita untuk menggunakan standard terendah yaitu ada makanan dan pakaian. Selama kita ada makanan dan pakaian, maka kita puas dan cukup dan kata firman Tuhan, rasa puas dan cukup ini akan memengaruhi ibadah kita secara sangat positif yakni memberi keuntungan atau berkat besar. Dengan kata lain, jika kita tidak merasa puas dan cukup maka ibadah kita akan miskin dan hambar. Sebaliknya bila kita merasa puas dan cukup maka ibadah kita akan diperkaya dan disemarakkan oleh rahmat Tuhan. Atau dapat kita simpulkan, makin kita puas dan cukup, makin kita merasa tidak membutuhkan apapun, kita merasa begitu dipuaskan dan dicukupkan oleh kasih-Nya, kebaikan-Nya, jamahan-Nya dan pimpinan-Nya sehingga kita tidak memerlukan banyak hal lain. Kalau pun kita diberkati dengan kekayaan berlimpah, kekayaan itu tidak akan memuaskan dan mencukupkan karena kita sudah dipuaskan dan dicukupkan oleh Tuhan sendiri.
ND: Makna ibadah yang disebutkan dalam ayat ini, apa ya? Apakah Pak Paul bisa menjelaskan lebih lanjut kalau tadi dikatakan bahwa ketika kita tidak merasa cukup dan tidak merasa puas, maka ibadah kita akan miskin dan hambar.
PG: Ibadah disini sudah tentu bukan hanya secara fisik kita pergi misalkan ke gereja, tapi ibadah disini adalah relasi kita dengan Tuhan. Bagaimana kita menyikapi Tuhan, datang kepada Tuhan. Sikap seperti apa yang kita bawa sewaktu kita menghadap-Nya, sewaktu kita berdoa kepada-Nya, sewaktu kita membaca firman-Nya, sewaktu kita bersekutu dengan-Nya. Nah, ketidakpuasan akan mengganggu relasi kita dengan Tuhan, kira-kira seperti itu yang dikatakan firman Tuhan. Sebaliknya kalau kita puas dan cukup, rasa puas dan cukup ini akan menimbulkan syukur dan syukur itu akan memperindah, memperakrab, mengintimkan kita sewaktu kita datang kepada Tuhan, berelasi dengan-Nya. Ini yang memang menjadi penekanan dari firman Tuhan, Pak Necholas.
ND: Pak Paul, apakah ada nasihat supaya kita juga bisa merasa puas dan cukup dengan apa yang kita sudah miliki ini?
PG: Tanda yang Tuhan katakan adalah selama ada makanan dan pakaian, jadi kalau kita bisa fokus secara konkret, hari ini kita ada makanan, ada pakaian, kalau ada kita berkata, "Saya puas, saya cukup". Nah, kalau kita mau tambahkan hal-hal yang lain, kita bisa berkata juga, "Saya diberikan oleh Tuhan kecukupan dalam hal kesehatan, saya diberikan oleh Tuhan kecukupan dengan kasih sayang dalam keluarga saya, saya diberikan kecukupan dalam hal teman-teman yang mengasihi saya". Makin banyak yang bisa kita syukuri pemberian-pemberian Tuhan, makin kita merasa cukup sehingga akhirnya kita tidak lagi mengejar-ngejar harta kekayaan untuk mencukupi kita.
ND: Dan justru melalui kita, kita bisa menjadi penolong bagi orang lain agar orang-orang disekitar kita ini juga merasakan bahwa Tuhan itu dekat dengan setiap orang.
PG: Betul, Pak Necholas. Ini membawa kita kepada nasihat yang keempat, yang terakhir yaitu kita menjadi saluran berkat, bukan timbunan berkat. 1 Timotius 6:18-19 mengingatkan, "Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik". Mereka itu maksudnya orang kaya. "Menjadi kaya dalam kebajikan suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya". Tidak ada cara yang lebih efektif untuk tidak terikat pada kekayaan selain daripada memberi dan membagi kekayaan itu. Apapun yang kita katakan, untuk meyakinkan orang bahwa kita tidak terikat pada kekayaan tidak akan terbukti sampai kita dapat dan rela membagi dan memberi. Nah, dari ayat ini pun kita belajar bahwa ternyata tujuan Tuhan memberkati kita dengan kekayaan adalah agar kita memberi dan membaginya dengan sesama yang membutuhkan. Tidak pernah tebersit dalam hati Tuhan untuk memberkati kita supaya kita menimbunnya demi kepentingan dan kesenangan pribadi. Tuhan mengaitkan memberi dan membagi kekayaan di dunia dengan mengumpulkan dan menimbun kekayaan di surga. Dengan kata lain, makin besar kita memberi dan membagi kekayaan di dunia, makin besar timbunan kekayaan kita di surga. Sudah tentu kita tahu yang dimaksud dengan kekayaan di surga bukanlah barang dan uang melainkan rahmat dan kasih Tuhan. Inilah prinsip yang mesti kita pegang, Pak Necholas. Makin kita kaya, makin kita mengasihi orang miskin, jangan sampai kita menggantinya menjadi, makin kita kaya makin kita mengasihi orang kaya.
ND: Jadi disini kita perlu melihat bahwa ketika Tuhan memberi kita kekayaan tidak semata-mata itu untuk diri kita, tetapi Tuhan ingin agar kita juga bisa melihat ke sekeliling kita orang-orang yang membutuhkan dan Tuhan ingin kita menjadi saluran berkat yang dari Tuhan.
PG: Betul sekali, Pak Necholas. Sewaktu kita diberkati Tuhan dengan kekayaan, kalau kita mencintai Tuhan dan mencintai sesama, itu benar-benar sesuatu yang alamiah, refleks, kita langsung ingin memberi dan membagi dengan orang lain. Bukannya kita merasa bersalah diberkati, bukan, kita senang, bersyukur diberkati tapi karena kita mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama maka sewaktu kita dilimpahkan berkat, kita langsung segera ingin membaginya. Kita ingin menjadi saluran berkat Tuhan. Inilah yang seharusnya menjadi ciri-ciri kita sebagai anak-anak Tuhan, Pak Necholas. Tidak menimbun harta tapi justru membagikan harta, menjadi saluran berkat bagi orang.
ND: Ya Pak Paul, saya percaya hidup kita akan menjadi begitu indah ketika kita semua bisa bersyukur dan bisa mau melihat penderitaan orang lain juga dan saling berbagi.
Terima kasih banyak, Pak Paul atas apa yang telah disampaikan pada hari ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyikapi Kekayaan Dengan Benar" bagian yang kedua. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.