Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam perbincangan kami kali ini kami beri judul "Mengapa Susah Mengalah". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam berinteraksi dengan rekan kita kadang-kadang memang terjadi hal-hal yang tidak enak dan sebagainya. Bagaimanapun juga kita sempat tersudut di dalam pembicaraan itu, tetapi kecenderungan terus membela diri walaupun sudah tahu misalnya salah atau kurang tepat memberikan argumentasi. Nah ini sebabnya apa Pak Paul?
PG : Ada 3 penyebabnya, Pak Gunawan, yang pertama saya sebut rintangan ego. Rintangan ego maksud saya secara alamiah kita adalah makhluk yang mementingkan diri. Waktu berkata kita adalah maklukyang mementingkan diri, itu berarti kita cenderung mendahulukan kepentingan pribadi.
Jadi mengalah yakni mendahulukan kepentingan orang merupakan sesuatu yang melawan kodrat manusiawi kita. Jadi sebetulnya secara alamiah manusia pada waktu datang ke dunia, dari bayi, kecenderungan pertamanya adalah mementingkan diri sendiri setelah itu baru kita mementingkan orang lain. Nah jadi benar-benar kita melihat rintangan ego ini cukup berperan besar, membuat kita sulit mengalah karena kita harus melawan diri kita sendiri.
GS : Jadi ada orang yang egonya katakan kuat, tetapi ada juga yang tidak terlalu menonjol ya, Pak Paul?
PG : Betul dan itu akan mempengaruhi, misalnya seseorang dibesarkan dalam keluarga di mana semua yang diinginkan dituruti. Anak seperti ini akan mempunyai ego yang menggelembung, ego yang mengglembung seperti ini akan lebih merintangi dia untuk mengalah.
Kebalikannya kalau ada seorang anak dibesarkan dalam rumah yang penuh dengan tekanan-tekanan, anak ini dipaksa untuk menuruti kehendak orang lain meskipun dia tidak setuju harus dia lakukan. Paksaan-paksaan yang berlebihan seperti ini akan mengecilkan ego, sehingga dia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan apa yang dia inginkan, apa yang dia sungguh-sungguh setujui, apa yang sungguh-sungguh dia sukai. Karena tidak berani maka egonya tidak merintangi dia dan cenderung dia akan mengalah terus-menerus. Namun ini adalah kasus mengalah yang tidak sehat, karena dia sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk mencetuskan keinginannya itu.
GS : Tetapi selain ego itu, apakah ada hal lain Pak Paul yang membuat orang bersikap seperti itu?
PG : Penyebab kedua kenapa kita ini susah mengalah, saya sebut rintangan orang lain. Yang saya maksud adalah begini, kita ini menginginkan pengakuan dari orang dan mengalah dianggap sebagai keklahan.
Jadi waktu kita mengalah kita berpikir orang melihat kita sebagai orang yang kalah, jarang orang akan (dalam pikiran kita ya) akan melihat kita sebagai orang yang mulia. Justru kecenderungannya adalah waktu kita ditantang kemudian kita tidak berani untuk menanggapi tantangan itu, orang akan melihat kita sebagai orang yang lemah sehingga kalah. Oleh karena orang rindu untuk mendambakan pengakuan orang, anggapan bahwa kita orang yang kuat dan sebagainya. Pengakuan itu tidak kita dapatkan kalau kita mengalah, jadi karena itulah yang kita butuhkan pengakuan-pengakuan dari orang yang akhirnya kita lebih mementingkan diri, susah mengalah supaya kita mendapatkan pengakuan orang.
GS : Ada lagi yang teman-temannya malah membakar-bakar sehingga membuat suasana menjadi lebih panas "Tidak apa-apa lawan saja" dan sebagainya. Lalu dia yang tadinya sudah siap sebetulnya untuk mengalah, malah menjadi marah lagi.
PG : Betul, ini sering terjadi dalam lingkungan teman-teman di mana memang teman-temannya itu mempunyai standar jangan sampai mengalah. Waktu dia memutuskan untuk mengalah, dia menjadi orang yag tidak populer dan akan kehilangan pengakuan dari teman-temannya.
Ini banyak terjadi terutama di kalangan para remaja misalnya, sebetulnya mereka mau mengalah tapi karena takut dinilai teman-temannya bahwa dia seorang yang lemah akhirnya dia tidak mau mengalah.
GS : Di lingkungan kita itu ada banyak etnis tertentu, kadang-kadang kelihatan dari salah satu etnis tertentu itu memang sukanya mengalah, orangnya tidak terlalu meledak-ledak dan sebagainya. Tapi di lain pihak ada juga satu golongan yang rasanya tidak mau kalah kalau sedang bicara.
PG : Point yang bagus sekali Pak Gunawan dan itu adalah butir yang ketiga penyebab kenapa kita ini susah mengalah, saya sebut rintangan budaya. Jadi ada budaya-budaya tertentu yang menyuburkan asa mengalah, itu betul sekali.
Yang mulia adalah mau mengalah dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Tapi ada budaya-budaya lain yang justru menyuburkan sikap tidak mengalah, nah budaya-budaya tertentu itu akan berkata kalau mengalah engkau berarti pengecut, nah orang yang pengecut dikeluarkan dari budayanya. Daripada harus menanggung malu karena dianggap pengecut dan dikeluarkan dari budayanya, terpaksalah akhirnya dia menyuburkan sikap tidak mau mengalah, demi tetap bisa diterima sebagai bagian dari budaya itu.
GS : Jadi itu sifatnya anak melihat tingkah laku orang tuanya dan lingkungannya ya, Pak?
PG : Salah satu lingkungannya termasuk orang tuanya, sanak saudara, orang-orang di sekitarnya dan termasuk yang kita sebut kisah-kisah, legenda-legenda yang diteruskan dari satu generasi ke genrasi berikutnya.
Bahwa si ini, kakek kita, buyut kita dan sebagainya orang yang begini, tidak bisa diperlakukan semena-mena oleh orang bahwa keluarga kita dari dulu begini. Nah itu tradisi-tradisi atau budaya-budaya yang akhirnya diteruskan satu generasi ke berikutnya yang makin menyuburkan sikap tidak mau mengalah.
GS : Jadi sebenarnya itu masalah pandangan terhadap mengalah ya, Pak Paul?
PG : Betul. Jadi pandangan terhadap sikap mengalah berpengaruh besar terhadap keputusan kita bersedia mengalah atau tidak.
(2) GS : Lalu kalau begitu bagaimana seharusnya kita itu bersikap, Pak Paul?
PG : Kita akan kembali ke firman Tuhan. Nah saya akan ambil dari Filipi 2:1-11 saya akan petik ayat 4 terlebih dahulu di sini. "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kpentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga."
Kalau boleh saya ringkaskan yang Tuhan minta adalah kita mulai berpikir komunal, bahwa kita ini hidup dalam satu komunitas, dalam satu lingkungan masyarakat dan Tuhan meminta kita menjaga kelestarian lingkungan ini, masyarakat di mana kita tinggal. Nah untuk bisa menjaganya kita harus memperhatikan kepentingan bersama, jadi kita tidak hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Berpikir komunal adalah sesuatu yang juga tidak mudah dan tidak alamiah buat kita, Pak Gunawan. Sebab apalagi kita yang hidup di kota besar makin hari makin dikondisikan untuk tidak berpikir komunal, kita lebih dikondisikan untuk berpikir individual. Apa yang baik buat saya, apa yang penting buat saya dan saya tidak akan terlalu memikirkan orang lain, pokoknya saya dulu orang lain ya urusan orang itu. Nah firman Tuhan sangat menekankan pola pikir komunal yaitu pikirkan orang, kepentingan orang kita lihat dan mencoba membantu. Jadi untuk bisa mengalah kita harus mulai mengubah pola pikir kita dari individual ke komunal.
GS : Dalam hal memperhatikan pikiran atau pendapat orang lain pasti tetap masih punya prinsip. Jadi kita sendiri harus punya pandangan sendiri yang kalau menurut kita benar ya harus kita pertahankan ya, Pak?
PG : Betul, jadi tidak berarti karena kita berpikir komunal kita akan kehilangan jati diri kita sendiri. Apa yang kita anggap benar kita kompromikan selalu demi keutuhan ikatan persaudaraan di alangan kita, itupun tidak benar.
Jadi ada kasus-kasus, ada panggilan-panggilan tertentu di mana kita harus tegas membela apa yang benar, menegur yang salah dan sebagainya. Namun di luar soal seperti dosa benar/salah saya kira Tuhan meminta kita berpikir komunal, memikirkan kepentingan bersama
GS : Selain itu apa Pak Paul yang ada di Filipi pasal yang ke-2 itu?
PG : Saya akan bacakan ayat yang ketiga, yaitu "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." Nah ini hal yang sulitya, bagaimanakah kita bisa menganggap orang lain itu lebih utama daripada diri kita sendiri, tapi ini yang Tuhan minta.
Kalau kita berkata kita bukan yang utama, melainkan orang lain. Kita seolah-olah menomorduakan diri dan ini yang sulit buat kita karena kita butuh penilaian orang yang positif bahwa kita itu nomor 1, kita yang utama. Tuhan meminta kita untuk bersikap mandiri artinya bebas dari penilaian orang, apapun yang menjadi penilaian orang tentang diri kita karena kita mengalah jangan kita hiraukan. Ini memang tidak mudah, tapi ini yang Tuhan minta. Bersikaplah mandiri dalam hidup, kalau kita perlu mengalah kita harus mengalah, meskipun itu harus mengorbankan kepentingan pribadi kalau memang ini yang Tuhan tuntut kita harus lakukan.
GS : Ya di dalam hal mandiri, bagaimana kita bisa membawakan diri dalam satu komunal yang seperti itu padahal ada hal-hal yang memang sama sekali kita tidak cocok, Pak Paul? Memang sulit untuk kita, bukan dosa cuma kita sulit untuk bisa menyesuaikan diri. Karena mungkin latar belakang, perbedaan-perbedaan lain. Dalam hal seperti itu kalau kita membaur terus lalu dikatakan seperti bunglon, kita ini tidak punya pendirian dan sebagainya.
PG : Dan kalau memang kita tidak punya pendirian karena ego kita terlalu kecil, kita hanya turuti orang, saya kira itu tidak sehat. Jadi penting juga kita mengerti apa yang kita percaya, apa yag kita yakini sebagai yang benar, kita bisa juga berani untuk mengutarakan pendapat kita.
Saya kira itu sikap-sikap yang sehat, karena kalau kita hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh lingkungan kita tidak akan mempunyai diri dan pada akhirnya orang lain pun tidak akan menghormati kita. Nah kembali lagi pada sikap mandiri yang tadi saya sebut kita ini (tadi sudah saya singgung) merindukan penilaian yang positif dari orang dan adakalanya mengalah justru dilihat negatif oleh lingkungan kita. Nah Tuhan meminta kita untuk tidak memusingkan penilaian orang, tidak takut orang menilai kita lemah atau pengecut. Karena memang penilaian kita itu tidak tergantung pada manusia tapi pada Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki kita mengalah ya kita akan mengalah. Misalkan dalam contoh suami-istri, betapa susahnya kadang-kadang sebagai suami atau istri meminta maaf atau mengajak bicara setelah pertengkaran. Entah mengapa kita mempunyai anggapan siapa yang mengajak bicara adalah pihak yang menyadari kesalahannya dan mengajak bicara adalah sinyal bahwa dia itu telah mengaku salah. Tidak tahu kenapa, siapa yang mengajarkan, tapi itu yang kadang-kadang kita lakukan dan yang kita yakini. Akhirnya kita enggan untuk memulai bicara setelah pertengkaran.
GS : Mungkin itu kebiasaan sejak kecil Pak Paul, anak-anak waktu bertengkar juga saling tidak menyapa.
PG : Dan menyapa adalah suatu sinyal bahwa saya memang salah, akhirnya dalam pertengkaran kita saling mendiamkan daripada memulai percakapan, kita lebih senang bersunyi-sunyian dengan pasangan ita.
Nah sekali lagi yang sebetulnya terjadi adalah kita tidak mau pasangan kita menganggap kita yang salah, kita inilah yang sekarang menyesali perbuatan kita, belum tentu kita yang salah tapi kenapa kita tidak mengambil inisiatif memulai pembicaraan dengan pasangan kita. Yang Tuhan minta bersikaplah mandiri, jangan terlalu diikat oleh anggapan-anggapan orang di sekitar kita, lakukanlah apa yang Tuhan panggil kita untuk lakukan.
GS : Dalam hal katakan mau menyapa dulu atau mau bicara lebih dulu seperti tadi, apa perlu didahului dengan kata-kata misalnya saya mengajak kamu bicara ini bukan berarti saya salah?
PG : Kalau memang terlalu mengganggu ya harus diawali dengan kata-kata seperti itu boleh juga, kalau bisa sebaiknya jangan. Karena kata-kata seperti itu justru akan memicu kemarahan pasangan kia, belum apa-apa kita sudah berkata: "Saya mengajak bicara kamu bukan karena saya merasa salah ya" Akhirnya pasangan kita merasa buat apa saya menanggapi lebih baik tidak.
Jadi lebih baik tidak mengatakan hal seperti itu, langsung saja mengajak bicara misalnya.
GS : Tetapi memang dalam diri sendiri itu percaya bahwa sebenarnya kita bukan yang salah, Pak Paul?
PG : Betul, kita tahu memang kita tidak salah dan sering kali Pak Gunawan dalam pernikahan memang masalahnya bukan salah atau benar, perbedaan-perbedaanlah yang menimbulkan pertengkaran dan peredaan tidak berarti siapa yang salah, siapa yang benar di situ.
GS : Jadi di situ timbul masalah bagaimana cara kita mengungkapkan sebenarnya keinginan kita atau isi hati kita kepada pasangan atau kepada orang lain. Sejauh itu mereka bisa terima, saya rasa tidak akan timbul image bahwa kita kalah.
PG : Betul, jadi kalaupun muncul image bahwa kita kalah ya tidak apa-apa. Waktu firman Tuhan berkata: "Anggaplah kepentingan orang lebih penting daripada kepentinganmu, anggaplah orang lai lebih utama daripadamu."
Ya kita 'kan rasanya secara manusiawi tidak rela orang menilai kita kok nomor 2, orang lain nomor 1, kita tidak rela, nah Tuhan mau kita membebaskan diri dari penilaian-penilaian manusia.
GS : Hal yang lain dari Filipi 2 itu apa, Pak?
PG : Yang berikutnya adalah sesuai dengan tadi yang kita baca firman Tuhan meminta kita mempunyai gaya hidup tertentu, gaya hidup melayani yaitu gaya hidup mendahulukan orang lain. Nah, sekali agi ini bukanlah hal yang mudah, kadang-kadang kita jatuh kepada satu ekstrim atau ekstrim yang satunya.
Kita mendahulukan kepentingan kita, masa bodoh dengan kepentingan orang lain atau karena kita dari kecil tertekan terus-menerus dan tidak pernah merasa OK menginginkan sesuatu, jadi akhirnya kita senantiasa mendahulukan kepentingan orang. Nah untuk menyeimbangkan keduanya memang susah, tapi yang Tuhan minta di sini adalah kita sadari apa yang kita inginkan karena firman Tuhan juga berkata jangan hanya mementingkan kepentinganmu tapi juga kepentingan orang. Tuhan tidak berkata salah kalau kita ini memikirkan kepentingan pribadi, tidak apa-apa kita memikirkan kepentingan pribadi, asal kita mementingkan kepentingan orang. Dan ini yang Tuhan minta, bagaimanakah kita bisa menolong orang lain agar merekapun bisa mendapatkan yang mereka inginkan, inilah gaya hidup melayani yang Tuhan tanamkan kepada kita.
GS : Ya memang sering kali orang jatuh kepada ekstrim yang satu atau yang lain. Jadi terlalu memperhatikan orang lain sampai dirinya sendiri tidak diurusi atau terlalu mengurusi dirinya sendiri sampai dia tidak punya waktu untuk memperhatikan orang lain, bahkan orang yang serumah dengan dia pun tidak peduli sama sekali.
PG : Betul, jadi sikap-sikap ini sekali lagi saya mau tekankan bukan sikap-sikap yang alamiah sesuai dengan kodrat manusiawi kita. Untuk bisa mengalah itu benar-benar memerlukan pertolongan ilai, pertolongan Tuhan sendiri.
Maka di dalam
Filipi 2 ini pada akhirnya Paulus mengajak para penerima surat Filipi untuk melihat kepada Tuhan Yesus. Sebab Dialah contoh kita, teladan kita, nah dikatakan di sini Dia atau Tuhan Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Tuhan Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa." Kita melihat di sini Yesuslah Tuhan kita, model atau contoh, Dia merendahkan diri dari awalnya Dia sudah datang ke dunia dengan mengosongkan diriNya, Dia Allah tapi menjadi manusia. Jadi sikap merendahkan diri adalah sikap Tuhan yang dicontohkan kepada kita. Nah saya mempunyai prinsip begini, Pak Gunawan, kalau kita ini menghadapi benturan atau dihadapkan dengan situasi di mana kita ditantang, barulah kita memikirkan saya perlu mengalah atau tidak...... Sebabnya kenapa? Sebab kita ini adalah orang yang susah untuk ditantang, kalau ditantang kita cenderung akan menanggapi tantangan itu dan melawannya. Karena waktu kita ditantang yang kita pertaruhkan adalah harga diri kita dan kebanyakan kita akan melakukan segala hal untuk mempertahankan harga diri itu. Jadi saran saya adalah sebelum terjadi apa-apa, sebelum ada situasi yang menantang kita atau apa, kita sendiri harus sudah mengambil keputusan, bahwa saya akan merendahkan diri, bahwa saya adalah anak Tuhan dan Tuhan merendahkan diri maka sebagai anak Tuhan, saya pun akan mencontoh Dia merendahkan diri. Kalau itu sudah menjadi keputusan kita dan jati diri kita, siapa diri kita itu, waktu muncul situasinya kita tidak perlu pikir 2, 3 kali, kita langsung berkata OK saya akan mengalah, bukan karena saya takut atau bukan karena saya itu tidak bisa berbuat apa-apa, tapi karena memang saya dipanggil Tuhan untuk tidak menanggapi tantangan itu, tapi untuk mengalah.
GS : Jadi di situ kita mengubah persepsi kita sendiri tentang mengalah. Yang tadinya kita semacam dibentuk sejak kecil bahwa mengalah itu kalah, lalu dengan pandangan seperti yang tadi, bahwa memang saya mau meneladani sikap Kristus yaitu merendahkan diri, itu akan merubah persepsi kita sendiri.
PG : Betul, dan waktu kita mengubah persepsi terhadap diri kita dan situasi mengalah atau sikap mengalah itu saya kira kita juga akan lebih mudah melakukannya. Tetap susah tapi akan lebih mudahsaya kira.
GS : Jadi kita tahu bahwa mengalah itu sebuah panggilan Tuhan terhadap kita.
PG : Betul, jadi mengalah sudah sangat terkait dengan sifat Kristus, waktu Tuhan ditangkap nah Dia berkata setelah melihat Petrus mengeluarkan pedang dan mencoba untuk melawan. Tuhan berkata: &uot;Apakah Aku tidak mampu memanggil bala tentara sorga, ini 'kan bukan hal yang mustahil, hal yang sangat mungkin Dia lakukan, tapi tidak Dia lakukan.
Sekali lagi Tuhan selalu mencontohkan sikap mengalah seperti itu.
GS : Dengan pernyataan seperti itu ya Pak Paul, sebenarnya seseorang itu menunjukkan kerendahan hatinya atau justru menonjolkan "Lho saya ini sebetulnya bisa ini", jadi menonjolkan kelebihan dia?
PG : Saya kira motivasi memang akan berperan besar di sini, kalau kita mengalah dengan tujuan sengaja untuk menonjolkan diri saya kira tidak tepat. Tapi sekali lagi yang mau saya tekankan adala kalau kita mengalah lakukanlah demi Tuhan.
Sering kali kita akan sulit mengalah demi orang, kita merasa buat apa saya mengalah demi dia, dia orang yang tidak layak menerima sikap mengalah saya ini. Tapi tadi Pak Gunawan sudah tekankan, Tuhan memanggil kita merendahkan diri atau mengalah. Jadi lakukanlah bukan demi manusia tapi demi Tuhan, bahwa ada Tuhan yang mencatat perbuatan kita, mungkin kita tidak akan menjadi orang yang terkenal tidak apa-apa, sebab Tuhan mencatat dalam buku kehidupanNya di surga.
GS : Jadi saya yakin kalau kita punya persepsi yang benar tentang mengalah baik dalam rumah tangga kita, bahkan negara kita ini pasti aman ya, Pak Paul? (PG :Betul sekali). Juga terhindar dari bentrokan atau kemarahan-kemarahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Jadi terima kasih sekali, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Susah Mengalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.