Mengapa Selingkuh ?

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T348A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Suatu pernikahan jarang sekali berjalan mulus, selalu saja ada masalahnya. Dan perselingkuhan juga menjadi salah satu penyebab kenapa pernikahan tidak berjalan mulus. Sebenarnya kenapa perselingkuhan itu terjadi? Kita di sini akan membahas perselingkuhan dari tiga sisi, antara lain sisi psikologis, sisi moral dan sisi rohani.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sudah tentu ada sejumlah alasan mengapa orang berselingkuh. Pada umumnya pelaku selingkuh sendiri mengklaim bahwa alasan mengapa ia berselingkuh adalah dikarenakan hilangnya cinta terhadap pasangan. Pertanyaannya, apakah memang benar selalu demikian? Marilah kita melihat alasan yang kerap menjadi penyebab mendasar mengapa orang berselingkuh.

1. Bila dipandang dari sisi psikologis masalah selingkuh adalah masalah kurangnya penguasaan diri. Selingkuh diawali oleh ketertarikan, baik itu ketertarikan terhadap penampakan fisik ataupun ketertarikan terhadap kualitas atau karakter yang ditunjukkan seseorang. Selingkuh terjadi sewaktu kita tidak lagi dapat mengendalikan diri, dalam pengertian, kita terus maju menerobos rambu-rambu peringatan untuk memiliki orang yang terhadapnya kita tertarik. Itu sebabnya bila pada dasarnya kita adalah orang sukar mengendalikan diri, kita akan lebih rentan untuk jatuh ke dalam perselingkuhan pula, sebab perselingkuhan pada hakikinya adalah kegagalan menguasai diri. Singkat kata, jika kita susah untuk menahan diri dari keinginan untuk memiliki segala sesuatu, maka besar kemungkinan kita juga sulit mengendalikan diri dari keinginan untuk memiliki laki-laki atau wanita itu. Jika kita sulit untuk menjaga batas, besar kemungkinan kita melanggarnya dan masuk ke pelukan orang lain. Sayangnya kita tidak selalu siap mengakui bahwa selingkuh adalah masalah pengendalian diri. Sebaliknya kita cenderung bersikeras bahwa kita dapat menguasai diri dengan baik dan bahwa kita menjalin relasi dengan orang lain untuk mengisi kebutuhan tertentu yang gagal dipenuhi oleh pasangan.

2. Bila dipandang dari sisi moral, masalah selingkuh adalah masalah kurangnya kesetiaan. Inti dari kesetiaan adalah bertahan dalam segala suasana hati. Jadi, bila kita kurang setia pada dasarnya kita gagal bertahan dalam segala suasana hati, dengan kata lain, kita akhirnya tunduk pada suasana hati. Jadi, ketidaksetiaan pada hakikinya adalah kegagalan untuk menyangkal diri. Orang yang berselingkuh adalah orang yang terseret oleh keinginannya sendiri dan mengabaikan nurani yang sudah tentu melarangnya untuk berselingkuh. Sayangnya kebanyakan kita sukar untuk mengakui hal ini. Tidak heran ada banyak pelaku selingkuh setelah tertangkap basah, berupaya untuk berkelit dari tanggung jawab dan malah menyalahkan rekan selingkuhnya—seolah-olah ia hanyalah korban tak berdaya. Dan, tidak heran pula ada banyak pelaku selingkuh yang menyalahkan pasangannya sebagai penyebab mengapa ia berlaku tidak setia. Singkat kata, kita enggan untuk mengakui bahwa selingkuh ini merupakan pilihan dan keinginan pribadi. Kita cenderung berusaha untuk meyakinkan diri atau orang lain bahwa sesungguhnya kita adalah orang yang setia. Pertanyaannya adalah, mengapakah kita berusaha untuk berkata bahwa kita sebetulnya setia? Jawabannya sederhana: Kita ingin melihat diri sebagai orang yang baik! Kita tidak rela mengubah konsep diri—bahwa kita tidak setia, tidak taat, dan tidak baik.

3. Bila dipandang dari sisi rohani, masalah selingkuh adalah masalah ketidaktaatan kepada Tuhan. Sesungguhnya pada waktu kita berselingkuh kita mengikrarkan ketidaktaatan kita kepada perintah Allah. Sudah tentu pada saat yang sama kita pun mengatakan bahwa kita tidak begitu peduli dengan Tuhan lagi. Dan, ini hanya dapat terjadi jika kita hidup terpisah dari Tuhan. Kita mungkin beranggapan bahwa kita masih hidup dekat dengan Tuhan namun pada hakikatnya selingkuh hanya dimungkinkan bila kita sudah tidak lagi hidup akrab dengan Tuhan. Tidak mungkin kita hidup dekat dengan Tuhan dan pada saat yang sama terus melakukan dosa. Salah satu cara untuk menilai kedekatan dengan Tuhan adalah lewat seberapa besar keinginan kita untuk bersekutu dengan-Nya. Singkat kata kita baru bisa berkata bahwa kita dekat dengan Tuhan bila kita memiliki keinginan yang kuat untuk bersama-Nya. Sayangnya kebanyakan kita tidak bersedia mengakui fakta ini. Sebaliknya, kita malah menyalahkan Tuhan—kenapa Tuhan tidak menjauhkan kita dari kejatuhan. Kita tidak mau mengakui bahwa sesungguhnya kita telah jauh dari Tuhan sebab, kita ingin dilihat orang sebagai orang yang rohani.

Kesimpulan

Amsal 20:6-7 berkata, "Banyak orang menyebut diri baik hati tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya? Orang benar yang bersih kelakuannya—berbahagialah keturunannya." Tidak ada orang yang suka disebut, jahat. Kita semua ingin dikenal dan mengenal diri sebagai orang yang baik. Namun ukuran kebaikan bukan ditunjukkan lewat perkataan melainkan lewat perbuatan. Salah satunya adalah lewat kesetiaan. Kita harus berupaya menjaga diri namun terlebih penting lagi, kita harus hidup dekat dengan Tuhan kita Yesus senantiasa.