Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Berbicara tentang percaya diri yang dimiliki oleh orang dewasa, anak-anak pun rasanya juga punya rasa percaya diri, persisnya itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Percaya diri pada anak berkaitan sekali dengan tugas-tugas akademiknya, jadi biasanya kepercayaan diri anak itu berkaitan dengan tugas-tugas sekolah. Kalau ia mendapatkan konfirmasi baha dia adalah seorang pelajar yang baik, kemungkinan besar kepercayaan dirinya akan tertopang.
Nah, nanti pada masa-masa yang lebih besar lagi, terutama pada masa remaja kepercayaan diri seorang anak mulai bercabang. Jadi bukan saja pada segi-segi yang bersifat akademik, akan juga bercabang misalnya penampilan fisiknya. Jadi anak-anak yang mempunyai penampilan fisik yang baik dan dihargai oleh teman-temannya akan mengalami dukungan. Yang kedua, cabangnya adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan sosialnya, jikalau ia diterima dengan baik maka harga dirinya pun atau kepercayaan dirinya akan tertopang pula. Jadi kita memang harus menyoroti pada kira-kira fase yang mana dalam pertumbuhan anak. Kepercayaan diri pada mulanya, pertama-tama di SD, biasanya memang sangat berkaitan dengan prestasi akademik anak itu.
(1) GS : Ya memang yang banyak berbicara tentang percaya diri atau PD itu anak-anak remaja, tapi sejak dia belum bersekolah apakah kita di rumah bisa menumbuhkembangkan akan percaya diri anak, Pak Paul?
PG : Sebetulnya kepercayaan diri anak itu sangat bertalian dengan perlakuan orang tua pada si anak pada masa sebelum dia bersekolah. Dengan kata lain, apa yang kita berikan kepada anak-anak i usia-usia misalnya di bawah 5, 6 tahun akan sangat mempengaruhi kepercayaan dirinya sewaktu dia nanti memasuki sekolah.
Yang saya maksud adalah perlakuan orang tua yang penuh kehangatan, itu adalah suatu modal yang akan memberikan si anak kekuatan melangkah keluar dari lingkup rumahnya memasuki tempat yang asing baginya. Semakin seorang anak kuat berakar karena dia tahu dicintai dan diterima apa adanya di rumahnya sendiri, dia seolah-olah akan mendapatkan lebih banyak energi untuk melangkah keluar menghadapi tantangan dan tuntutan dari luar, yakni dalam hal ini teman-teman maupun guru-guru sekolahnya. Kebalikannya kalau si anak mengalami banyak ketegangan dan perlakuan orang tua lebih bersifat kritis, memarahinya atau dia hidup di mana orang tua mempunyai hubungan nikah yang tidak baik atau misalnya rumahnya sangat kacau sekali, terlalu banyak orang dan sebagainya. Anak ini justru tidak mempunyai kekuatan, dia justru merasa lemah meskipun mungkin dia tidak menyadarinya, jadi akhirnya waktu dia melangkah keluar, ke sekolah, dia bukannya berani, tapi justru merasa takut. Rasa takut ini tidak selalu dimanifestasikan dalam bentuk ketakutan, tapi bisa juga dalam bentuk pelampiasan yaitu menjadi lebih nakal, melakukan hal-hal yang negatif yang tidak diinginkan oleh pihak sekolah atau pun keluarganya.
GS : Kadang-kadang ada orang tua yang mungkin karena ingin anaknya punya rasa percaya diri itu sejak kecil, lalu dipaksakan untuk masuk ke ruangan-ruangan yang gelap, melewati lorong yang gelap. Yang terjadi anak ini tidak malah percaya diri, tapi ketakutan seperti yang tadi disinggung Pak Paul.
PG : Betul sekali, anak justru akan menumbuhkembangkan percaya dirinya dalam suasana aman, bukan kebalikannya yaitu dalam suasana yang penuh ketegangan dan ancaman. Memang kadang-kadang oran tua berpikir kalau anak dipaksakan, maka dia akan lebih berani, sebetulnya kalau anak itu dipaksakan dan dia mampu mengalahkan tantangan itu memang dia akan berani.
Sebaliknya kalau anak dipaksakan mengalahkan tantangan itu dan memang dia tidak sekuat itu, dia bukannya dikuatkan. Jadi cara-cara seperti memaksakan anak untuk berdiam dalam ruangan yang gelap seringkali memang membuat anak bisa bertahan dalam kegelapan karena tidak ada jalan keluar. Dia harus berada dalam ruangan yang gelap, lama-lama dia akan menahan dirinya ada dalam ruangan yang gelap. Tapi sesungguhnya yang terjadi adalah dia tidak menghilangkan ketakutannya, dia hanya untuk sejenak mengesampingkannya. Ketakutan itu akan muncul dan mempengaruhi lebih banyak aspek kehidupannya, jadi di luar bukannya menjadi seorang anak yang berani, kebalikannya dia justru menjadi anak yang mempunyai lebih banyak ketakutan. Namun dia belajar untuk menyembunyikan ketakutannya, karena dia tahu ketakutan ini adalah sesuatu yang tidak ditoleransi, misalkan oleh orang tuanya atau lingkungannya. Jadi dia hanya belajar lebih pandai menyembunyikan ketakutannya, tapi sesungguhnya di dalam dirinya yang mengalir dengan deras justru adalah ketakutan dan keragu-raguannya, bukannya kepercayaan diri yang kita dapatkan, kita justru akan menuai keragu-raguan dirinya.
IR : Kalau anak kecil itu sudah dibekali misalnya keterampilan atau les, komputer, bahasa Inggris atau lainnya, apa ini juga merupakan salah satu faktor untuk membekali anak supaya percaya diri, Pak Paul?
PG : Orang tua adakalanya mempunyai anggapan semakin banyak kita membekali anak dengan keterampilan pada usia yang makin dini, maka dampaknya akan makin positif. Misalnya anak akan menumbuhkmbangkan keyakinan diri yang lebih kuat, padahal tidak sama sekali.
Jadi keterampilan-keterampilan yang kita berikan pada anak-anak usia dini, sebetulnya belum mempunyai dampak yang langsung dengan kepercayaan dirinya. Sebab sekali lagi pada usia-usia misalkan 12 tahun, yang jauh lebih berperan adalah kemampuan akademik si anak itu, kalau di sekolah dia mendapatkan nilai yang bagus kecenderungannya adalah dia mulai memupuk kepercayaan dirinya. Keterampilan misalnya berbahasa Inggrisnya, kalau memang berguna dalam pelajaran sekolahnya sudah tentu akan memberikan sumbangsih. Namun sebetulnya tidak secara langsung menumbuhkan kepercayaan dirinya atau kemampuan dia bermain musik atau misalnya berenang sudah tentu akan menjadi hal yang baik, yang positif tapi bukanlah mutlak diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri seorang anak.
GS : Ada juga yang memberikan pujian secara berlebihan dengan tujuan anak itu bangga akan dirinya sendiri, bagaimana itu, Pak Paul?
PG : Pujian sudah tentu adalah hal yang positif, saya boleh ibaratkan pujian dengan vitamin. Tapi kita tahu kebanyakan dosis vitamin pada tubuh kita, bukannya bekerja untuk kebaikan malah mejadi racun bagi tubuh kita.
Kepercayaan diri akan sangat tertolong dan akan bertumbuh dari pujian yang diterima oleh seorang anak, namun pujian dalam dosis yang sepatutnya dan untuk hal yang memang sepatutnya. Jadi hindarkan pujian yang berlebihan dalam pengertian mengidolakan anak, misalkan kata-kata "engkau anak yang tercantik, engkau anak yang tertampan, tidak ada anak lain yang sebagus engkau, tidak ada orang yang bajunya seindah bajumu". Hindarkan perkataan pujian yang memberikan kesan si anak itu terbaik, terbagus dan sebagainya, karena kita tahu itu adalah hal yang memang tidak benar dan tidak realistis. Bahayanya si anak melihat dirinya sebagai yang ter....., yang paling. Waktu dia di luar tidak mendapatkan yang terbaik atau mendapatkan konfirmasi yang terbagus, dia sulit menerima dan dia cenderung menangkap atau menafsir perlakuan orang sebagai penolakan terhadap dirinya. Atau dia merasionalisasi dengan berkata orang-orang yang tidak bisa menghargainya adalah orang-orang yang lebih bodoh darinya. Oleh sebab itulah mereka tidak bisa menghargai kekhususan atau kespesialannya. Jadi sekali lagi hindarkanlah pujian-pujian yang terlalu berlebihan. Berikutnya tentang pujian yang juga harus diwaspadai oleh orang tua adalah jangan terlalu sering memuji anak atas karakteristik yang memang dia sudah miliki dari awalnya, maksudnya lebih bersifat bawaan. Contoh kalau memang dia seorang anak yang pandai, karena memang sudah pandai, sudah tentu sekali-sekali kita boleh dan sebaiknyalah kita mengutarakan bahwa engkau seorang anak yang pandai, namun jangan terlalu sering. Karena kepandaian bukanlah sesuatu yang harus dikerjakan oleh seorang anak, kepandaian adalah sesuatu yang Tuhan berikan kepada seseorang tatkala dia masuk ke dalam dunia ini. Atau kita berkata tubuhmu itu bagus sekali, tinggi, tinggi bukanlah sesuatu yang dia kerjakan, tinggi adalah sesuatu yang dia sudah bawa sejak lahir, matamu bagus sekali, sekali lagi mata adalah sesuatu yang dia sudah bawa sejak lahir. Saya tidak berkata jangan memberikan pujian sama sekali atas hal-hal ini, silakan namun jangan terlalu sering. Yang lebih sering adalah pujian yang dikaitkan dengan usahanya, dengan yang dia lakukan misalnya ulangan bagus, bukannya kita memuji-muji dia pandai tapi kita memuji dia bekerja keras. Jadi dengan kata lain, pujian itu lebih dikaitkan dengan perbuatan, sekali-sekali silakan memuji hal-hal yang berkaitan dengan bawaannya tapi lebih sering kita memuji dia atas perbuatannya. Ini menolong seorang anak untuk menempatkan dirinya dalam perspektif yang lebih benar, jadi tadi yang Pak Gunawan sudah katakan memang sangatlah tepat, anak-anak yang mendapatkan pujian yang berlebihan mempunyai konsep diri yang akhirnya terlalu menggelembung dan menuntut orang memberi pengakuan bahwa dia sebesar itu. Waktu orang tidak mengakui sebesar itu, sehebat itu, dia cenderung menafsirnya sebagai orang menolak dia atau orang-orang tidak bisa menghargai keunikannya, kehebatannya.
IR : Dan anak tersebut dapat dikatakan sombong, ya Pak?
PG : Tepat sekali, dia mudah sekali mengembangkan sifat kesombongan dan saya khawatir sifat itu akan menghambat pertumbuhan sosialnya, sebab anak-anak yang lain enggan berteman dengan anak sperti dia, karena tidak akan bisa akrab dengannya.
Yang berbahaya adalah semakin dia terkucil dari lingkup pergaulan, semakin dia mengembangkan konsep diri yang tidak realistik, yang terlalu menggelembung bahwa orang harus mengerti dirinya, itu yang terjadi pada sebagian anak-anak yang bertumbuh kembang dalam lingkup seperti itu. Jadi mereka setelah mulai remaja akhirnya kesulitan bergaul, menuntut orang untuk bisa memahaminya, mengertinya dan mengalah. Tidak bisa dia mengalah, orang lain yang harus mengalah terus-menerus, orang yang harus memberi jalan di depan. Akhirnya keterampilan pergaulannya akan terganggu, nanti sesudah besar saya khawatir masalah-masalah pribadinya makin lebih merugikannya.
(2) GS : Untuk anak-anak, Pak Paul, bagaimana kita bisa mengenali bahwa anak-anak ini mempunyai rasa percaya diri yang cukup?
PG : Pertama-tama kita harus menjelaskan atau mempunyai perspektif yang jelas tentang yang kita maksud dengan kurang percaya diri. Seringkali Pak Gunawan, kita ini pertama-tama tidak bisa meihat keunikan anak karena tidak semua anak itu sama.
Ada anak yang dari bawaannya adalah anak yang perasa, lebih peka. Artinya waktu dia merasa cemas atau takut, dia lebih merasakan kecemasannya. Nah, kita harus berhati-hati untuk tidak melabelkan anak yang perasa ini sebagai anak yang tidak percaya diri. Otomatis kalau anak ini kurang perasa waktu dia merasa cemas karena misalkan dia harus bernyanyi di depan kelas, dia tidak begitu merasakan kecemasannya dan memang tingkat kepekaannya lemah. Sebaliknya anak yang tingkat kepekaannya tinggi akan jauh lebih merasakan ketegangannya dan dampak negatifnya, dia akan lebih terlumpuhkan oleh ketegangannya itu. Jangan sampai orang tua mengidentikkan itu dengan kurang percaya diri, sebab sekali lagi dua hal ini tidak bisa langsung berhubungan atau berkaitan. Jadi menjawab pertanyaan Pak Gunawan tadi, bagaimanakah kita mengenali anak ini percaya diri atau tidak. Pertama-tama prinsipnya jangan terlalu cepat mengaitkan ini dengan kepercayaan diri. Waktu anak tidak berani menyanyi di depan, jangan terburu-buru menganggap anak kita ini kurang percaya diri. Waktu dia tidak mau disuruh gurunya bermain drama, jangan kita sebagai orang tua tergesa-gesa berkata anak saya ini tidak percaya diri, sekali lagi kita harus lihat tipe anak kita, perasa atau memang kurang perasa. Atau ada anak yang memang merasa memasuki dunia yang baru seperti main drama adalah sesuatu yang sangat-sangat asing buat dia dan dia tidak mengetahui apakah dia bisa atau tidak. Dan kecemasan itu adalah kecemasan yang sangat wajar, jadi sekali lagi ini juga bawaan, ada anak yang senang drama tapi sangat gugup di depan/muka umum. Artinya apa, anak ini memang anak yang lebih, misalkan kita katakan anak yang introvert, anak yang lebih ke dalam, otomatis anak yang introvert tidak nyaman diawasi oleh berapa puluh atau ratusan mata, ini hal yang memang bersifat bawaan. Kita sekarang yang sudah dewasa tahu bahwa tidak semua kita ini berani berbicara di depan umum, ada yang rasanya gugup, ada yang rasanya lebih nyaman, itu memang berkaitan sekali dengan sifat-sifat bawaan kita. Orang yang extrovert akan lebih senang untuk berdiri di depan umum dan menjadi sorotan umum. Orang tua perlu membedakan sifat dan keunikan anak, jangan sampai mengaitkan introvert, sifat introvert dengan kurang percaya diri. Anak yang introvert akan tetap introvert, yang extrovert memang extrovert. Kita tidak harus membuat semua anak extrovert, seolah-olah anak yang extrovert ini yang percaya diri. Jadi kita terima dia, makin kita desak-desak dia supaya menjadi extrovert makin gugup, makin tidak percaya diri.
GS : Berkaitan dengan prestasi anak di sekolah, di bidang akademis ada anak yang sebenarnya mampu, mampu dalam arti kata diberikan soal-soal di rumah dia bisa mengerjakan itu dengan baik. Tapi tiba gilirannya ulangan, ujian atau apa dia selalu gagal, dia lupa semua yang dia pelajari di rumah itu. Apa itu karena rasa percaya dirinya yang kurang atau ada masalah lain yang sedang dihadapi?
PG : Itu bisa terjadi karena beberapa sebab, Pak Gunawan. Yang pertama adalah kemungkinan yang umum, si anak tegang pada waktu mengerjakan ujiannya. Kalau orang tua berkata kenapa harus tegag, mungkin orang tua lupa suasana ujian.
Jika orang tua sedikit saja mengingat-ingat masa ujian, seharusnya orang tua lebih toleran terhadap anak yang tegang pada masa ujian atau ulangan. Bukankah suasana ulangan itu menegangkan, semua tenang tidak ada yang boleh berbicara, si guru terus menatap anak-anak yang sedang mengerjakan tugasnya. Suasana tegang itu memang sangat dihidupkan pada waktu ujian, tidak bisa tidak anak akan merasa takut. Jadi suasana tegang memang bisa memberikan pengaruh, sehingga akhirnya dia lupa dalam ketegangannya. Atau yang kedua, ada anak yang waktu belajar menyimpan informasi di dalam yang kita sebut "short memory"nya. Jadi memory jangka pendeknya, bukan masuk ke dalam memory jangka panjang. Kira-kira besok, misalkan dia belajar sore ini, besok kira-kira berapa belas jam kemudian dia mengambil test-nya, memory jangka pendeknya itu sudah menguap, tidak ada yang tersisa, akhirnya waktu dia mengerjakan ujian dia lupa semuanya. Nah kalau itu memang kasusnya dia harus belajar mencicil, karena dengan sistem cicilan atau tabungan maka informasi tersebut bisa diselipkan dalam memory jangka panjangnya, itu cara yang kedua. Untuk cara yang ketiga yang bisa kita gunakan dengan melatih anak ulangan di rumah. Jadi minta anak siapkan kertas kita berikan waktunya, ayo ulangan sekarang sama Mama atau sama Papa, kita berikan ujian dan minta dia selesaikan. Kita katakan tidak boleh bicara, suasana kita buat lebih sunyi di rumah, nah kita latih dia mengambil ulangan itu di rumah. Jadi bukan saja memberikan penjelasan kemudian dia mengertinya, tapi kita memberikan dia ulangan di rumah. Nah suasana ulangan itu akan lebih menyiapkan dia keesokan harinya pada waktu mengerjakan ulangan di sekolah.
GS : Tapi biasanya anak mengambil jalan pintas dan berkata minta les saja, begitu Pak Paul, pihak orang tua sebenarnya tidak keberatan itu, cuma dia melihat anaknya mampu sebenarnya, itu problemnya.
PG : Sekarang saya kira hampir semua orang tua tidak percaya diri bukan saja si anak, tapi semua orang tua tidak percaya diri dengan menggunakan guru les. Jadi orang tua beranggapan bahwa seandai apapun anak saya, tanpa les tidak akan bisa, harus dileskan.
Jadi seolah-olah les itu menjadi suatu kewajiban yang mutlak, sesuatu hal yang memang harus dimiliki atau bisa diberikan kepada anak-anak yang tidak selalu bisa menyerap pelajaran yang diberikan di sekolah, sehingga memerlukan bantuan ekstra dari guru les. Dan yang lebih sering lagi adalah sebetulnya alasannya orang tua sendiri tidak lagi mempunyai energi atau mempunyai kemampuan memberikan bantuan tersebut kepada anak-anak. Sebab kita ketahui pelajaran sekarang sudah sangat berbeda dengan pelajaran yang kita dulu terima pada masa SD misalnya, jadi kepercayaan diri kita akhirnya kita limpahkan kepada guru les.
IR : Tapi itu juga mengakibatkan anak tidak percaya diri, Pak Paul?
PG : Tidak harus, bisa tidak percaya diri. Dalam pengertian kalau dia akhirnya terlalu bergantung pada guru les, justru itu adalah hal yang negatif, menghambat pertumbuhan dan tanggung jawabsi anak.
Tapi bisa jadi karena dia bisa waktu dia mengambil ujiannya, dia justru makin memiliki kepercayaan dirinya bahwa dia mampu melakukannya. Jadi sekali lagi saya ingin menegaskan kepada anak-anak terutama di SD, prestasi akademik sangat penting dan dapat dikatakan tiang yang menopang kepercayaan dirinya. Pada waktu dia memasuki usia remaja barulah kepercayaan dirinya itu dibangun di atas dua tiang yang lainnya, meskipun prestasi akademik tetap penting. Dua tiang yang lainnya lagi adalah pergaulan sosialnya, dapat diterima atau tidak, dan juga penampilan fisiknya, kalau dia punya penampilan yang baik, dia akan lebih mudah diterima.
GS : Ya itu suatu pokok yang menarik untuk dibahas lebih panjang lebar pada perbincangan yang akan datang. Kalau kita kembali pada rasa percaya diri anak, ada anak TK yang sudah ditunjuk oleh ibu gurunya untuk menjadi ketua kelas, memimpin teman-temannya. Dari situ bisa tumbuh rasa percaya diri juga, Pak Paul?
PG : Bisa, tapi sekali lagi ini sangat bergantung pada tipe si anak. Kalau memang dia dasarnya introvert, meskipun dia diberikan kesempatan memimpin dia tidak terlalu menikmatinya, justru bai dia itu adalah kewajiban yang harus dia kerjakan.
Dia tidak ragu-ragu, tapi juga dia tidak terlalu menikmatinya, justru kalau dia diminta akan cenderung berkata tidak mau. Jadi anak-anak yang pada dasarnya introvert akan menghindarkan diri dari tugas-tugas yang mengharuskan dia berada di tengah-tengah umum. Kalau anak itu memang extrovert, seolah-olah kita akan berkata dia semakin berkembang karena diberikan posisi sebagai ketua kelas atau pemimpin. Tapi sekali lagi saya ingin orang tua memperdalam definisi atau pemahaman akan kepercayaan diri anak, jangan terlalu mudah mengaitkan perilaku atau sikap extrovert dengan kepercayaan diri. Anak yang introvert pun tetap bisa percaya diri, namun sekali lagi karena dia introvert dia tidak memperlihatkan rasa percaya dirinya secara lebih nyata, itu bedanya.
GS : Tapi tetap dapat dikenali ya Pak Paul, bahwa anak yang introvert ini punya rasa percaya diri kalau dilihat dari prestasi akademiknya?
PG : Ya, dari prestasi akademiknya atau perilakunya yang lebih berani untuk mengambil resiko dapat kita gunakan sebagai tolok ukur bahwa dia mempunyai keberanian atau kepercayaan diri. Tapi ekali lagi saya mau memperdalam itu ya Pak Gunawan, jangan sampai kita terlalu mudah mengaitkan, berani ambil resiko dengan kepercayaan diri.
Sebab anak-anak yang introvert cenderung memang tidak terlalu mau ambil resiko, tapi juga tidak berarti dia tidak percaya diri, percaya diri jadinya lebih mengacu kepada apa kebisaannya dan apa ketidakbisaannya, apakah dia mengenali kedua aspek dalam kehidupan dan berhasil menerimanya. Anak yang berhasil menerima keduanya, apa yang dia bisa dan apa yang dia tidak bisa, kita katakan dia adalah anak yang percaya diri.
GS : Tapi kita sebagai orang tua punya tugas untuk menciptakan rasa aman di sekitar anak itu, supaya rasa percaya dirinya tumbuh ya Pak Paul?
GS : Sehubungan dengan perbincangan kita ini, Firman Tuhan mengatakan apa, Pak?
PG : Saya akan membacakan dari Mazmur 49:17-18, "Janganlah takut apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambah, sebab pada waktu matinya semua itu tida dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia."
Tuhan memberikan pesan di sini yaitu milikilah perspektif hidup yang tepat, bahwa kemuliaan seseorang tidaklah bergantung pada kekayaannya. Dengan kata lain, kalau saya boleh terjemahkan dalam konteks yang kita sedang bahas ini, hati-hati sebagai orang tua agar kita tidak menempatkan harta atau hal yang bersifat sangat fisik pada porsi yang terlalu besar, karena justru akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada anak dan akan justru membunuh kepercayaan dirinya, bukan menumbuhkannya. Sekali lagi justru yang penting bagi kepercayaan diri anak adalah perlakuan orang tua yang penuh kasih dan penuh penerimaan.
GS : Terima kasih Pak Paul, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengapa anak saya tidak percaya diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.