Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Mengapa Anak Saya Berbeda ? Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sebagai orang tua kita manyadari bahwa tiap-tiap anak itu berbeda, punya keunikannya masing-masing. Tapi kalau keunikan itu begitu mencolok, membuat kita kadang minder, bersalah dan sebagainya. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Sudah pasti tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya lain sendiri. pastilah semua mengharapkan anaknya sama seperti anak lainnya supaya dapat diterima dengan baik. Namun memang Tuhan tidak selalu memberi kita anak yang sama dengan anak lainnya. Kadang Dia justru memberikan kepada kita anak yang berbeda dari anak-anak lain pada umumnya. Misalnya ada anak yang sukar mengikuti pelajaran di sekolah. Atau ada anak yang memunyai keterbelakangan mental. Ini adalah hal-hal yang kadang harus kita terima. Jadi penting bagi kita untuk tahu bagaimana menyikapi hal seperti ini.
GS : Lebih-lebih kalau hal itu di bawah normal, ya Pak. Tapi yang di atas normal pun kadang membuat orang tua kebingungan. Mesti bersikap bagaimana terhadap anak yang di atas rata-rata, Pak Paul ?
PG : Betul. Karena di atas rata-rata pun, misalnya sangat berbakat dalam bidang tertentu, seringkali nantinya menimbulkan masalah, Pak Gunawan. Jadi tidak selalu anak-anak yang di atas rata-rata hidupnya mulus. Karena kadang membuat dia lain dari yang lain.
GS : Iya. Dan dia juga bisa menentang atau berargumentasi dengan orang tuanya yang membuat orang tuanya juga kebingungan, Pak Paul. Tetapi memang kasus yang banyak terjadi adalah yang di bawah rata-rata. Karena keterbelakangan mental atau yang lainnya. Nah, yang akan kita bahas ini, bagaimana kita sebagai orang tua bersikap kalau anak kita berbeda dari yang lain.
PG : Yang pertama, sebagai orang tua kita mesti menerima kenyataan. Artinya, jangan sampai kita menyangkal fakta atau menutupinya. Makin cepat kita mengakui kondisi anak, makin cepat kita dapat menolongnya. Sebagai contoh, bila anak memang tidak memunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran di sekolah reguler. Tindakan terbaik adalah memasukkannya ke sekolah khusus. Jika anak mempunyai masalah bicara, kita harus segera membawanya ke terapis bicara untuk di evaluasi dan menerima perawatan. Kenapa kita melakukan semua ini ? Sebab makin dini tindak perawatan, semakin besar kemungkinan anak akan tertolong. Memang tidak selalu apa yang kita lakukan bisa mengubah anak menjadi anak yang lebih baik, belum tentu memang. Tapi setidaknya dengan kita memberikan perawatan di masa yang dini, mudah-mudahan perkembangan gangguan anak itu bisa diperlambat atau bisa ditekan sehingga akhirnya tidak harus berkembang dengan parah.
GS : Tapi biasanya orang tua terlambat mengetahui hal ini. Jadi pada waktu bayi tanda-tandanya belum terlalu kelihatan. Makin besar makin kelihatan, tapi itu sudah terlambat, Pak Paul.
PG : Memang ada kalanya ada orang tua yang menunggu sampai lama sekali, hingga tidak bisa lagi menyangkali barulah mengakui. Namun sebetulnya orang tua seharusnya sudah mulai melihat ada yang tidak pas, anak saya kok begini ya. Misalnya anak yang autistik, dari kecil diam saja, mengapa dari kecil mainnya sama satu benda saja. Anak ini kalau diangkat mengapa tidak mau melihat wajah saya ya ? Anak ini mengapa jarang mengungkapkan emosinya ya ? Anak yang lain bisa menangis bisa tertawa, mengapa dia diam saja ya ? Mengapa kalau diajak bicara wajahnya diam tidak ada reaksi yang seharusnya ada ? Nah, hal ini seharusnya menjadi tanda bagi orang tua bahwa ada yang kurang pas tentang anak kita. ada anak yang sudah berumur 3-4 tahun, diajak bicara tetap tidak bisa bicara, menjawabnya hanya satu kata dan itu pun tidak sempurna menjawabnya. Nah, kita tidak bisa berkata lagi, Tunggulah, masih umur 4 tahun, tidak apa-apa sampai umur 6 tahun. Nah, kalau kita bawa lebih dini kita bisa melihat ada bantuan yang dapat diterima oleh anak itu.
GS : Seringkali yang menjadi hambatannya yang pertama memang kurang pengetahuan tentang itu, kedua tentang biaya dan mungkin juga rasa malu, Pak Paul. Sehingga tidak membawa anak ini kepada orang yang lebih mengerti.
PG : Saya pernah membaca kisah tentang keluarga Kennedy di Amerika Serikat. Kita tahu keluarga Kennedy di Amerika Serikat yang anak-anaknya pernah menjadi presiden atau menjadi jaksa agung dan sebagainya. Saya pernah baca, sebetulnya salah satu anak perempuan mereka memunyai keterbelakangan mental. Tetapi mereka tidak pernah mau mengakuinya, tidak pernah mau dibukakan kepada orang sehingga anak itu terus disembunyikan. Memang itu yang sering dilakukan oleh orang tua karena malu. Tapi sebetulnya itu lebih merugikan anak tersebut.
GS : Biasanya kalau kecacatan itu berupa fisik bisa langsung kelihatan dan langsung dibantu. Yang cacat secara mental ini yang agak sulit mendeteksinya.
PG : Betul. Kalau memang kita sudah lihat, kita harus berani mengakuinya dan berani untuk menerimanya.
GS : Hal lain yang perlu disikapi oleh orang tua apa, Pak Paul ?
PG : Sebagai orang tua kita harus berhenti menyalahkan pihak lain. Didalam kekecewaan kenapa anak kita begini, kemarahan mudah muncul. Dan di dalam kemarahan kita cenderung mencari kambing hitam. Mungkin kita menyalahkan pasangan, keluarga pasangan atau ada kalanya kita pun menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa terpenting adalah menolong anak dan mengurangi atau mencegah berkembangnya masalah, bukan mencari-cari siapa yang salah. Contohnya, anak dilahirkan dalam kondisi buta. Tidak ada gunanya kita mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas kebutaan yang dibawanya sejak lahir. Membawanya ke terapis khusus adalah tindakan yang mesti dilakukan supaya sejak kecil dia dapat memaksimalkan panca indera yang lain.
GS : Tapi sebagai reaksi awal saya rasa wajar kalau orang bersikap marah dan sebagainya. Tapi kalau berlarut-larut ya tidak betul juga.
PG : Ya, normal kalau kita mencari tahu mengapa anak kita begini. Tapi kalau pun kita tahu ada faktor-faktor bawaan karena keluarga pasangan kita ada begini ada begitu, tapi tetap 'kan tidak mengubah fakta. Kita sudah memilih pasangan kita, anak kita begini, ya kita harus terima. Tidak ada gunanya lagi mengungkit-ungkit siapa yang salah. Yang penting adalah kita menolong anak ini sedini mungkin.
GS : Tapi kadang kemarahan itu dilimpahkan kepada anak yang sudah menderita itu, Pak Paul ?
PG : Ini memang seringkali dilakukan oleh orang tua, meskipun orang tua sadar tidak boleh begitu. Kita justru harus mengkomunikasikan penerimaan kepada anak, bukan kemarahan atau penolakan. Kita harus mengingatkan diri bahwa anak tidak pernah memilih untuk memunyai kelemahan atau kelainan ini. Kenyataan ia menjadi seperti ini dikarenakan faktor-faktor yang tidak selalu dapat diketahui. Jadi jangan memarahi anak karena ia dilahirkan berbeda dan jangan menolaknya atau menunjukkan rasa malu memunyai anak seperti dirinya. Sebagai contoh, anak dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang rendah. Memarahinya tidak akan menambah satu point kecerdasan pun. Jadi terimalah dirinya apa adanya dan carikanlah talenta yang dimilikinya supaya dia dapat membangun jati diri dan keyakinan diri di atas kekuatannya. Memaksanya untuk menguasai sesuatu yang memang tidak dapat dilakukannya justru mengkomunikasikan penolakan kita kepadanya.
GS : Berarti orang tua yang punya anak yang berbeda ini dituntut memunyai kesabaran yang lebih dibandingkan dengan orang tua yang lain ya, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi pada akhirnya kita harus sabar menerima. Jangan sampai kemarahan kita meluap kepada anak itu sendiri atau penolakan kita tujukan kepada dia bahwa kita tidak suka memunyai anak seperti itu. Dalam konseling, kadang saya mendengar kisah seperti itu. Ada orang tua yang tega bicara kepada anaknya bahwa memang saya tidak mengasihi kamu dan memang saya lebih mengasihi adikmu. Jadi luar biasa sekali penolakan yang harus dialami oleh si anak. Hati-hati, anak memang tidak selalu menjadi seperti yang kita harapkan. Dia punya kelemahan-kelemahan tertentu. Tapi harus kita ingat bahwa anak tidak pernah minta kelemahan-kelemahan itu. Tidak pernah memilih kelemahan itu.
GS : Tapi sebaliknya ada orang tua yang justru memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak yang berbeda ini. Bagaimana itu, Pak Paul ?
PG : Iya. Saya mengerti kita memang memiliki insting ibu atau insting ayah yang ingin melindungi anak. Akhirnya kita mau melindungi anak jangan sampai dilukai atau dirugikan oleh anak-anak lain. Langkah pertama adalah memastikan dia tidak dalam keadaan bahaya. Jangan sampai dia diapa-apakan oleh orang. Namun setelah memastikan bahwa dia tidak dalam keadaan bahaya, kita harus belajar merelakannya untuk dapat berhadapan secara langsung dengan tantangan yang mesti dilaluinya. Misalnya, anak tidak dapat bergaul dan cenderung menyendiri. Sebagai akibatnya anak sering dipermainkan teman. Biasanya kita tergoda untuk langsung pergi ke sekolah dan melaporkan perbuatan itu kepada pihak sekolah. Masalahnya adalah jika kita melakukannya itu berarti ia makin terlihat lemah di hadapan teman-temannya. Dan besar kemungkinan dia akan merasa dipermalukan. Jadi sebelum kita melakukan hal itu, sebaiknya kita bertanya dulu kepadanya. Jadi misalnya dia berkata,Jangan,nanti saya malu. Kita ikuti saja. Kita lihat apakah dia bisa hadapi atau tidak. Kalau dia bisa hadapi, silakan. Kalau dia tidak bisa hadapi, kita tanya apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya. Jadi kita coba libatkan dia dalam keputusan seperti itu, karena tetap keputusan itu akan berdampak kepadanya.
GS : Disini orang tua hanya menjaga. Jadi supaya keadaannya jangan tambah parah. Atau bisa dititipkan kepada pengasuhnya, gurunya atau orang yang mendampingi dia, Pak Paul ?
PG : Ya. Misalnya kita minta tolong supaya anak kita diawasi. Tapi anak kita tidak langsung dibela atau anak-anak lain langsung dimarahi. Sekali lagi kita tidak mau anak kita menjadi bahan tertawaan bahwa anak kita itu lemah dan sebagainya. Sebaiknya kita ajarkan kepada anak kita bagaimana menghadapi teman-teman yang seperti itu. Kalau dia tidak bisa dan dia minta kita membantunya barulah kita bantu. Supaya kita bisa melindunginya.
GS : Tapi biasanya kakak-kakak dari anak ini yang memberi bantuan di luar sepengetahuan kita.
PG : Iya. Memang kadang kakak-kakaknya yang membantu. Untuk jangka pendek masalah itu bisa selesai karena kakaknya ikut membantu sehingga anak-anak yang lain tidak berani mengganggu anak kita, namun kita harus pikirkan dampak jangka panjang. Kita tidak mau anak kita sedikit-sedikit meminta bantuan karena sudah terbiasa dilindungi oleh kita.
GS : Disini peran pendidik atau guru itu cukup besar untuk memberitahu kepada anak-anak yang lain atau murid-murid yang lain supaya mengerti bahwa anak ini berbeda dengan yang lain.
PG : Iya. Memang itu sikap anak-anak. Ya memang kita manusia berdosa. Karena seharusnya waktu anak-anak itu melihat bahwa temannya itu lain dan lainnya itu bukan kelebihan tapi kekurangan, respon seharusnya adalah kasihan ya. Tapi kenyataannya malah mempermainkannya, disakiti, diejek dan sebagainya. Sehingga berdampak sangat berat kepada si anak itu sendiri.
GS : Jadi walaupun di rumah tidak diejek dan sebagainya tapi kalau di pergaulan diperlakukan seperti itu 'kan dampaknya juga negatif terhadap anak ini.
PG : Betul. Jadi kita mesti menyadari kalau anak kita memang berbeda, besar kemungkinan nanti dia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya.
GS : Hal lain lagi apa yang harus diperhatikan orang tua ?
PG : Sebagai orang tua kita mesti berani bersikap manusiawi menghadapi tantangan yang besar ini. Kadang kita tergoda untuk menampilkan sisi kuat dan rohani dalam menghadapi tantangan yang berat ini. Padahal kita tidak selalu kuat 'kan ? Jadi jangan ragu meminta dukungan doa dari saudara seiman dan jangan malu mengakui naik turunnya perjalanan hidup ini. Karena ada kalanya orang tidak mengulurkan tangan untuk menolong, karena mereka benar-benar tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Jadi jelaskanlah tantangan dan kebutuhan yang dihadapi, siapa tahu ada yang bersedia membantu. Sewaktu kita bersikap apa adanya, maka orang pun akan lebih berani bertanya akan kebutuhan kita. Sebaliknya, jika kita bersikap kuat dan menutupi fakta, maka orang ragu bertanya atau berbuat sesuatu untuk kita, jadi bersikaplah manusiawi. Karena kita manusia yang tidak selalu kuat. Jangan menampilkan sisi kuat dan rohani terus-menerus. Ini justru akan merugikan kita.
GS : Tapi sekarang sudah banyak komunitas orang tua yang mempunyai permasalahan yang sama, Pak Paul. Misalnya anaknya autis, lalu bergabung dengan orang tua lain yang punya masalah yang sama.
PG : Betul. Itu memang wadah yang sangat baik. Karena di wadah itulah mereka bisa mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan tahu dengan pasti bahwa mereka akan dimengerti. Bukan saja mereka tidak akan dihakimi, tapi memang akan dimengerti. Karena rata-rata semua mengalami peristiwa yang sama.
GS : Tapi juga ada orang yang masih ragu-ragu untuk masuk karena kuatir diceritakan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
PG : Memang itu bisa terjadi dan memang orang itu lupa akhirnya cerita ke mana-mana. Maka kalau memang harus masuk ke kelompok tersebut, pertama-tama kita memang harus berhati-hati, tapi yang utama adalah pimpinan kelompok itu harus selalu menekankan kepada anggota kelompoknya bahwa ini untuk kita simpan sendiri, jangan ceritakan kepada orang lain, jangan membuat mereka takut bercerita di sini.
GS : Biasanya kelompok seperti ini diadakan untuk tujuan apa selain untuk berbagi ? Apakah ada bimbingan lain yang Pak Paul ketahui ?
PG : Biasanya kalau ada pembinaan khusus, bisa didatangkan orang, tapi sebetulnya tujuan utama diadakan kelompok ini adalah pemberian dukungan, Pak Gunawan. Karena dalam konteks mereka bersama-sama, mereka bisa menangis, bisa bercerita, bisa menangis, mereka bisa mendapatkan kekuatan. Dan biasanya mereka bertemu setiap minggu, sebab mereka perlu kekuatan itu setiap minggu, mereka perlu disegarkan kembali. Dan yang kedua, kita memang cenderung akan lebih bisa bercerita kalau kita menemukan bahwa mereka adalah teman senasib. Kadang kita tahu mereka menerima kita, tapi mereka tidak mengalami, tidak senasib, jadi kita rasanya enggan untuk bercerita. Itulah fungsi kelompok seperti itu.
GS : Tapi biasanya yang hadir adalah ibu-ibu, Pak Paul. Jarang ada ayah yang hadir dalam kelompok seperti itu.
PG : Memang ini juga kenyataan. Bahwa para ibulah yang lebih berkepentingan, lebih memprihatinkan masalah anaknya ketimbang ayah. Mungkin ayahnya berkata, Saya sudah sibuk bekerja, biarkan ibu yang menangani semua ini. Tapi sebetulnya ibu juga perlu bantuan dari si ayah. Jadi misal memungkinkan, kedua-keduanya pergi bersama. Jadi inilah bagian dari bersikap manusiawi. Dan ini yang akan menolong orang tua bisa menjalani perjalanan yang panjang ini. Satu hal yang mau saya tambahkan, kepada anak sendiri kita mesti hati-hati dalam bersikap manusiawi. Maksudnya begini, di hadapan anak sedapatnya kita tidak mengeluarkan keluhan. Di depan teman-teman atau kelompok pendukung, silakan. Tapi di depan anak yang bermasalah itu, kita harus jaga jangan sampai keluhan-keluhan. Kamu mengapa begini, kamu bikin saya lelah. Kamu mengapa tidak seperti anak-anak lain. dan sebagainya. Jadi jangan sampai begitu. Tidak apa kita terlihat letih. Memang kita letih maka kita akan terlihat letih, itu tidak apa-apa. Namun tidak perlu kita mengatakannya. Saya letih, lalu dia bertanya kenapa. Dan kita ceritakan hal yang lain bahwa bukan karena dia kita letih. Jadi hati-hati. Juga dalam hal frustrasi, Pak Gunawan. Kita 'kan kadang-kadang frustrasi menghadapi dia. Dalam kondisi seperti itu, tidak apa-apa kita frustrasi terhadap perbuatannya, tapi jangan sebut-sebut kelemahan dirinya ! Jangan berkata, Karena kamu orangnya bodoh, tidak bisa sekolah, saya jadi lelah! atau Kamu sih seharusnya bergaul! jangan sebut-sebut begitu! Kita lelah, frustrasi, ya tidak apa-apa kelihatan. Tapi jangan sebut-sebut karena dia. Sehingga anak tidak merasa, Aduh, saya memang anak yang bukan saja tidak membawa nama harum orang tua, tapi juga membawa beban tambahan kepada orang tua.
GS : Tapi anak-anak yang seperti ini yang berbeda ini, perasaannya 'kan peka sekali. Sekalipun sebagai orang tua tidak pernah mengeluh di hadapannya atau tidak pernah menyalahkan dia, dia sendiri yang merasa bahwa orang tuanya susah karena dia dan itu diungkapkan, Pak Paul. Bagaimana menyikapinya ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang ada kondisi khusus yang membuat si anak kurang peka, misalnya kalau ada keterbelakangan mental, memang membuat anak lebih tidak peka. Tapi gangguan-gangguan lain yang membuat anak berbeda, tetap tidak membuat si anak tidak memunyai perasaan. Dan bisa jadi perasaannya lebih peka dan bisa jadi sebelum orang tua berkata apa-apa, dia sudah merasa bersalah dan menjadi beban bagi orang tuanya. Kita dalam kondisi seperti itu, jaga reaksi kita. jangan sampai keluar keluhan tentang dia. Kita mesti benar-benar menjaga perasaan dia.
GS : Biasanya memang terjadi pada yang memunyai kelemahan fisik. Kalau memang anak ini merasa demikian, apa sikap orang tua ? Apakah harus berbohong, Tidak, saya tidak lelah, saya tidak lelah! Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita katakan, Ya memang akan ada pekerjaan tambahan, itu betul. Tapi kami melakukannya dengan sukacita karena kamu telah menjadi anak yang baik. Itu bagi kami adalah imbalan yang tak ternilai. Kamu telah menjadi anak yang baik. Saya kenal dengan seseorang yang anaknya kerdil. Jadi dalam bahasa Inggrisnya dwarf. Anaknya kecil, tidak sampai satu meter lebih. Kedua orang tua ini adalah orang yang luar biasa cerdas, berpendidikan sangat tinggi, keduanya cinta Tuhan dan luar biasa baik dalam pelayanan. Anak yang pertama tumbuh normal, anak yang kedua ternyata terlahir kerdil. Saya masih ingat saat pertama kali orang tua bercerita kepada kami mereka menangis. Sedih sekali. Tapi mereka terima, mereka besarkan anak itu dengan baik dan mereka tidak pernah mengatakan apa-apa tentang anak itu. Mereka terima. Anak itu bersekolah, sekarang sudah bersekolah di perguruan tinggi yang baik sekali dan menjadi anak yang relatif normal. Kami bertemu dan mengobrol, anak itu biasa. Meskipun dia sadar dia berbeda, tetapi dia tahu dia diterima dengan baik. Itulah yang harus dilakukan oleh orang tua.
GS : Artinya apakah orang tua harus memerlakukan anaknya yang berbeda ini sama dengan anak-anak yang lain ?
PG : Sedapatnya ya, samakan. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dilakukan. Misalkan anak ini memang kecil sekali. Sudah tentu dia tidak bisa bermain basket tidak bisa berolahraga seperti anak-anak yang lain. Itu yang harus bisa diterima oleh anak itu pula. Tapi karena orang tuanya bisa mengarahkan anak itu sehingga bisa mengembangkan kemampuannya di bidang yang lain. Intinya kita sebagai orang tua harus siap hidup bersama masalah anak ini untuk waktu yang sangat panjang. Kalau masalah begini tidak selesai setahun dua tahun dan mungkin akan terus akan ada dalam hidup kita untuk waktu yang sangat panjang. Jadi saran saya, hiduplah hari per hari. Tidak perlu memikirkan masa depan terlalu jauh. Beban hidup hari ini sudah cukup. Jadi tidak cukup kita menambahkannya dengan beban hidup di hari besok.
GS : Tapi orang tua mengkuatirkan kalau nanti orang tua sudah tidak ada, bagaimana dengan anak ini ?
PG : Kalau kita bisa mulai memikirkannya, ya pikirkanlah. Tapi kalau tidak bisa memikirkannya, tidak ada jalan apa-apa, ya jangan. Kita tidak usah memikirkannya terlalu jauh. Kita lewati hari lepas hari, saya yakin akan ada jalan Tuhan yang Dia akan tetapkan.
GS : Jadi apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bagikan ?
PG : Saya akan kutip dari Matius 6:34, Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Tuhan meminta kita untuk tidak memikirkan beban hari besok. Bukan hanya karena ini tidak baik untuk kelangsungan hidup kita, tapi Dia ingin kita tahu dengan pasti bahwa Dia sudah memikirkan dan menangani beban hari esok.
GS : Jadi memang yang diucapkan oleh Tuhan Yesus ini sangat bermanfaat bagi kita, Pak Paul. Seringkali kita menghendaki kesenangan hari ini juga berulang kembali di esok hari. Padahal masih ada sisi kesusahan yang justru banyak mewarnai kehidupan ini.
PG : Betul.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Mengapa Anak Saya Berbeda?. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.