Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak Memberontak ?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Anak disini tentu pengertiannya bukan anak yang masih kecil-kecil, ya Pak Paul ? Karena anak-anak kecil biasanya nurut-nurut.
PG : Betul.
GS : Mungkin ini anak remaja atau anak-anak yang menjelang pemuda, yang seringkali mengadakan pemberontakan terhadap orang tua.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang biasanya orang tua tidak memunyai masalah dengan anak-anak sewaktu masih kecil, tapi mulai menginjak usia 10 tahun ke atas, anak-anak mulai menunjukkan masalah. Kita mau mengajak orang tua untuk melihat ke belakang, apa mungkin ada hal-hal yang mereka lakukan yang kurang pas yang akhirnya membuat anak-anak sulit sekali untuk bisa mematuhi apa yang mereka pinta.
GS : Iya. Seringkali orang tua masih terkenang-kenang dengan manisnya anak sewaktu masih kecil. Anak yang nurut, yang mudah diatur. Tapi kemudian tiba-tiba menentang, melakukan hal yang aneh-aneh. Apa sebenarnya penyebabnya, Pak Paul ?
PG : Saya akan paparkan setidaknya ada lima hal, Pak Gunawan. Yang pertama, seringkali anak-anak memberontak karena kita menerapkan tuntutan yang tidak dapat dipenuhi oleh anak. Sudah tentu kalau kita bicara begini kepada orang tua, orang tua akan berkata, "Tuntutanku realistis, biasa-biasa saja. Tapi mengapa anak-anakku begini ?" Ya, kita memang harus memeriksa diri apakah tuntutan kita itu realistik atau tidak. Dan yang kedua apakah memang tuntutan kita ini yang penting atau yang kurang penting. Nah, coba kita lihat yang realistik. Saya kira kita ini memang tidak ada niat jahat kepada anak. Kita mau anak-anak kita bertumbuh dengan sehat. Tapi kadang-kadang kita terlalu cemas dengan masa depan mereka. Jadi kita mengharapkan mereka melakukan banyak sekali persiapan-persiapan agar masa depan mereka nantinya akan baik. Dalam rangka mempersiapkan anak inilah, akhirnya kita membebankan anak dengan tuntutan-tuntutan. Sebagai contoh, Pak Gunawan, ada orang tua yang mengharapkan anaknya setiap hari les. Bukan saja mata pelajaran tapi juga keterampilan lainnya. Sebab orang tua berkata, "Saya tidak mau anak saya buang waktu. Pulang sekolah, sebelum belajar, harus belajar piano dulu atau belajar apalah. Pokoknya waktu tidak boleh terbuang sama sekali." Sehingga anak-anak itu bisa dikatakan dari buka mata, jam 7 pagi pergi ke sekolah, sampai jam 10 malam, tidak istirahat sama sekali ! Kita saja kerja dari jam 7 sampai jam 10 malam, tidak tahan ! Nah, kadang-kadang orang tua lupa bahwa menyuruh anak sekolah, kemudian les, les lagi, les lagi sampai jam 10 malam belajar, itu sama dengan menyuruh anak bekerja nonstop dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam ! Nah, apakah itu realistik atau tidak ? Ini sesuatu yang mesti kita periksa.
GS : Seringkali orang tua mengatakan, "Anak saya harus lebih baik daripada saya" begitu.
PG : Kadang-kadang kita ini memang mau anak kita baik, mau masa depannya baik. Dan kita mengakui bahwa, "Ya, masa lalu saya kurang baik. Saya kurang ada kesempatan ini." Jadi kita mau limpahkan semua kepada anak. Bahkan kalau kita sedang kesal pada anak, kita berkata, "Waktu saya masih kecil saya tidak punya kesempatan seperti ini. Makanya kamu harus menghargai apa yang saya berikan kepada kamu." Itu baik. Tidak ada salahnya dan saya bisa mengerti maksud orang tua. Tapi sekali lagi, kita mesti tanya apakah realistik atau tidak, mengharapkan anak itu dari pagi sampai malam boleh dikata kerja terus menerus ? Dan yang kedua adalah penting atau tidak penting, Pak Gunawan. Sebab kalau kita tidak hati-hati kita akan menganggap semua hal penting, Pak Gunawan. Jadi mesti belajar inilah, mesti belajar itu, karena semuanya penting. Saya berkali-kali bertemu dengan orang tua yang anaknya dileskan musik, misalnya piano. Dipaksa, dipaksa, dipaksa, banyak yang saya temukan akhirnya setelah dewasa tidak pegang piano ! Sama sekali tidak pegang piano, kenapa ? Memang jiwanya tidak di situ. Tetapi orang yang memang jiwanya di musik, nanti sudah besar dia tetap akan suka musik, akan tetap suka main piano, suka menyanyi. Poin saya adalah akhirnya anak-anak itu harus menderita melakukan hal-hal yang sebetulnya tidak seberapa penting. Nah, jadi kita mesti selalu melihat tuntutan kita, apakah realistik, apakah penting ? Dan apakah memang bisa dipenuhi oleh anak atau tidak. Jadi kita jangan sampai terlalu memaksakan itu kepada anak.
GS : Tapi bagi orang tua semuanya masih realistik, semuanya itu masih penting, Pak Paul. Ukurannya bagi dia. Apa yang jadi tolok ukur bahwa ini memang sudah melampaui dari batas yang wajar ?
PG : Saya tidak punya rumus yang paling pas untuk semuanya ya, Pak Gunawan. Saya harus akui memang kadang-kadang bisa tidak ? Sebetulnya anak itu bisa, mampu dan berbakat, tapi malas ! Itu juga bisa. Jadi orang tua memang kadang-kadang ya harus coba-cobalah, begitu. Misalnya kalau melihat anak itu ada bakat music, kita leskan musik. Lalu dia tidak mau dan sebagainya. Nah mungkin sekali karena dia memang malas, itu bisa juga. Tapi kita juga mesti pikirkan juga waktunya. Kalau memang dia benar-benar repot dari pagi sampai malam sudah mengerjakan ini itu, mungkin meskipun dia suka main musik, tapi gara-gara harus mengerjakan begitu banyak hal, dia tidak mau main musik lagi. Jadi coba kita lihat secara keseluruhan apakah realistik atau tidak, apakah dia memang mampu atau tidak, setelah itu kita coba sesuaikan.
GS : Disitu mungkin peranan suami istri itu penting, Pak Paul. Kalau berdua yang menilai itu bisa lebih berimbang daripada kalau hanya ibu saja atau ayah saja yang menentukan.
PG : Betul. Meskipun saya hendak memberikan catatan, gara-gara hal ini orang tua berkelahi ! Karena si papa mungkin berkata, "Sudahlah jangan dipaksa." Mamanya berkata, "Mesti dipaksa. Dia bisa kok. Saya dulu tidak mau main piano, tapi dipaksa. Nah sekarang saya bisa main piano." Jadi tidak apalah bertengkar sedikit-sedikit tapi jadi ada keseimbangan.
GS : Iya. Hal lain yang menyebabkan anak berontak ?
PG : Anak-anak memberontak kadang-kadang karena merasa diperlakukan tidak adil, Pak Gunawan. Kenapa kok saya dituntut begini, adik saya tidak, kakak saya tidak ? Atau kadang-kadang dia bandingkan juga dengan anak-anak lain. Kok anak-anak lain tidak harus begini ? Kok saya harus begini ? Contoh yang tadi misalnya les ini itu. Nah, mereka mungkin membandingkan, teman-teman saya tidak harus begitu. Pulang sekolah bisa main, bisa menikmati hidup. Kok saya masih terus begini. Nah yang muncul dalam diri anak adalah: tidak adil. Nah, waktu anak merasa diperlakukan tidak adil. Kecenderungannya anak akan memberontak, Pak Gunawan. Dan satu hal lagi yang mau saya tambahkan. Kalau anak melihat kita bersikap adil kepada orang lain, cenderungnya nanti anak memberontak. Orang tua misalnya bersikap tidak adil dengan pegawai kita, anak kita melihat. "Mama kok menekan pegawainya ?" Nah, itu bisa menjadi bahan pemberontakan anak. Sebab anak biasanya memang akan berontak atau tidak suka kalau melihat orang tua bersikap tidak adil. Dan kadang-kadang tidak adilnya antara satu sama lain. Misalnya papa menuntut mama mesti begini begini begini. Anak melihatnya tidak adil. Atau sebaliknya anak melihat mama menuntut papa begini begini begini. Anak melihat, tidak suka. Nah, tinggal tunggu waktu, dia besar, dia berontak.
GS : Iya. Karena orang tua seringkali membuat standard ganda, Pak Paul. Kepada yang satu diberlakukan begini sedangkan kepada anak yang lain diperlakukan lain lagi. Ini bisa membuat anak merasa diperlakukan tidak adil, Pak Paul.
PG : Setuju, Pak Gunawan. Kita memang harus sensitif. Kadang-kadang kita tidak berniat membeda-bedakan anak. Tapi kadang-kadang kita tidak sadar telah membedakan anak. Misalnya kita mau menyuruh anak kita yang kecil. Kita panggil-panggil, "Nak, nak, tolong dong. Mama perlu bantuan kamu." Lalu kepada kakaknya kita berkata, "Tolong dong ambilkan !" Nah, sering terjadi seperti itu. Anak akan merasa kenapa saya diperlakukan seperti itu, adik kok diperlakukan begitu manisnya ? Hal-hal begini kalau menimbun akhirnya membuat si anak memberontak.
GS : Tapi seringkali orang tua memiliki alasan, Pak Paul. Yang lebih besar harus mengalahlah. Yang kecil ini ‘kan masih kecil, masih belum bisa. Mungkin begitu, Pak Paul ?
PG : Kalau anak akhirnya melihat memang adik masih kecil belum bisa, maka lama kelamaan dia akan mengerti. Tapi yang susah diterima anak adalah kalau anak melihat bahwa orang tua memang suka sama si adik. Misalnya si adik itu memang lucu atau memang lebih manis. Kadang orang tua lupa. Karena si anak kecil ini begitu manis, jadi orang tua juga bicara dengan manis. Sedangkan kepada kakaknya yang kurang manis, jadi bicara lebih langsung. Hal-hal ini yang perlu kita perhatikan sebab kalau tidak hati-hati dia akan berontak.
GS : Bagaimana hal itu bisa kita atasi, Pak Paul ? Kita sulit menghindari bahwa kita lebih mencintai yang satu dan kurang mencintai yang lain. Bukan membenci tapi hanya kurang mencintai saja. Tapi perlakuannya jadi beda seperti itu, Pak Paul.
PG : Kita tidak mau munafik, Pak Gunawan. Karena kita ini manusia kita tidak bisa 100% sama. Jujur memang demikian. Meskipun orang tua berkata kami mengasihi semua anak sama tapi tidak bisa disangkal kadang-kadang ada beda. Misalnya, kita dan pasangan kurang begitu harmonis. Anak ini kepala batunya sama seperti pasangan kita. sudah pasti kita akan lebih sering marah kepadanya. Kepada yang satunya karena lebih mirip dengan kita, misalnya lebih sopan, maka kita akan lebih baik kepada dia. Jadi hal-hal ini adalah hal-hal yang perlu kita perhatikan. Nah, kalau misalnya memungkinkan, antara kita dan pasangan kita mesti ada keberanian untuk memberitahukan, "Kamu kok begini kepada dia ? Kamu kok begini terhadap si adik ?" Nah, waktu pasangan kita memberitahukan, cobalah dengar dan periksa. Cobalah koreksi. Sebisa-bisanya jangan sampai terlambat. Sebab kalau sudah remaja, kebanyakan sudah agak terlambat, Pak Gunawan.
GS : Tapi selain itu juga kadang-kadang situasinya berbeda, Pak Paul. Anak yang satu punya kemampuan yang lebih atau kesempatan yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Sehingga mau tidak mau kita harus memperlakukan berbeda. Memang fasilitas atau kemampuan yang dia miliki berbeda satu dengan yang lain.
PG : Betul. Jadi ada hal yang tidak bisa tidak kita harus bedakan. Saya setuju dengan Pak Gunawan. Ada anak-anak yang bisa banyak dan cepat. Ada anak-anak yang bisanya lambat. Tidak bisa tidak, kepada yang cepat itu kita akan lebih melimpahkan tanggung jawab dan kepercayaan. Menyuruh dia ini, melibatkannya dalam ini dan itu. Kepada yang lebih lambat, lebih sedikit. Sebab kita tahu kalau menyuruh dia, yang pertama lambat dan yang kedua kadang-kadang tidak selesai.
GS : Iya. Atau kadang-kadang kondisi fisik anak yang satu itu sakit-sakitan. Jadi kita tidak berani memberikan beban yang terlalu berat. Yang satu sehat, jadi kita dorong untuk belajar sungguh-sungguh, dileskan dan sebagainya. Tapi pemberontakan itu tetap terjadi.
PG : Iya. Bisa, Pak Gunawan. Hal-hal ini memang susah dicegah. Ya mau bagaimana lagi, kita tidak bisa tuntut yang sakit-sakitan. Dan yang sehat lebih kita beri kepercayaan. Atau kebalikannya ! Yang sehat itu karena merasa kita banyak menyuruh dia, dia yang marah. Dia merasa kenapa adiknya dibiarkan, tidak disuruh-suruh. Meskipun kita menjelaskan adiknya sakit, anak kecil mana bisa mengerti ? Nanti sudah besar, akhirnya malah berontak juga. Memang inilah tugas orang tua dan tidak selalu hitam putih ya. Harus ada pergumulannya lah.
GS : Faktor yang ketiga apa, Pak Paul, yang membuat anak memberontak kepada orang tuanya ?
PG : Kita kadang-kadang memperlakukan anak sebagai objek untuk memenuhi impian kita. Kita mau jadi ini mau jadi itu tidak bisa. Sekarang ada anak. Nah, anak kitalah yang kita persiapkan untuk bisa menjadi seperti yang kita inginkan. Misalnya kita dari dulu sekolah tidak begitu bisa. Akhirnya kita tidak sampai sekolah tinggi. Nah, kita benar-benar dorong anak kita, kita motivasi untuk bisa sekolah setinggi-tingginya. Nah, hati-hati. sebab kadang-kadang anak itu akan merasa dia sebagai objek supaya orang tuanya itu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan anak kalau makin besar, dia akan makin cepat menangkap isi hati orang tua. Meskipun mulut kita berkata,"Ini untuk kepentinganmu. Ini bukan buat papa atau mama." Tapi anak akan bisa berkata, "Tidak, ini buat kepentingan mama dan papa kok. Supaya nanti dipuji-puji orang. Sebab kalau saya berbuat apa-apa, sedikit-sedikit papa mama marah. Saya dikatakan membuat malu dan sebagainya." Jadi anak merasa ini demi kepentingan orang tua. Nah, kalau anak sudah mulai merasa, "Saya objek yang digunakan oleh papa mama untuk kepentingan papa mama" biasanya berontak.
GS ; Kalau memang diperlakukan seperti itu memang tidak betul, ya Pak Paul. Tapi kadang ada anak-anak yang orang tuanya memang tahu kalau dia melakukan sesuatu, misalnya pilih jurusan sekolah, bukan karena orang tuanya ingin dia sekolah disitu, tapi orang tuanya tahu anak ini sebenarnya tidak cocok disitu. Ini ‘kan bukan membuat anak sebagai objek tapi hanya mengarahkan. Tapi anak ini bisa salah terima lalu berontak.
PG : Memang bisa. Saya tidak menutup kemungkinan itu meskipun kita sama sekali tidak ada keinginan seperti itu, kita justru mementingkan dia. Bisa. Jadi kesalahpahaman itu bisa terjadi. Nah kalau itu sampai terjadi, ya sudahlah, kita hanya bisa berkata, "Terserah kamu ya. Saya hanya bisa memberitahu kamu menurut saya ini yang paling pas buat kamu. Tapi kalau kamu tidak terima ya sudah." Waktu anak mendengar kita berkata begitu, mudah-mudahan dia bisa yakin bahwa memang ini bukan buat kepentingan kita, kita benar-benar bicara untuk dia makanya kita berkata kalau dia tidak mengikutinya ya tidak apa-apa.
GS : Terutama ini pada anak-anak remaja yang menjelang dewasa, Pak Paul. Dalam memilih teman hidup, ‘kan mereka sudah mulai pacaran dan sebagainya. Orang tua melihat, "Kamu tidak cocok dengan anak ini. Perbedaannya terlalu banyak." Orang tua ‘kan wajib memberitahukan kepada anak, tapi anak ini sudah punya persepsi sendiri tentang pacarnya sehingga dia ngotot harus berpacaran dengan dia. Orang tuanya sendiri pusing, Pak Paul.
PG : Betul. Dalam kasus demikian, kita bicara lagi dan lagi. Kalau misalnya di masa lampau anak itu tahu jelas bahwa mereka tidak diobjekkan oleh orang tua, besar kemungkinan pada saat kita bicara soal pacarnya, dia lebih bisa percaya bahwa memang papa mama tidak menggunakan saya untuk kepentingan mereka tapi memang sedang memikirkan kepentingan saya. Jadi rasa percaya itu sudah ada. Meskipun saya harus akui dalam kasus begitu, meskipun ada rasa percaya orang tua tidak sedang menggunakannya sebagai objek, tapi tetap akhirnya ada pertentangan ya. Karena masa lalu anak itu mau dan bisa menuruti orang tuanya.
GS : Dan orang tua tidak mungkin mengatakan, "Terserah kamu, pokoknya papa sudah memberitahukan, terserah kamu." ‘kan tidak mungkin, Pak? Orang tua jelas tahu itu tidak cocok, tapi dia memaksakan. Prosesnya sebabnya yang lalu. Kalau dia tidak merasa diperlakukan sebagai objek, dia tetap percaya pada orang tua yang bijaksana.
PG : Tapi saya bisa mengerti dalam kasus seperti itu ada kalanya kita sebagai orang tua kalau kita lihat benar-benar hal itu tidak beres, dia akan melakukan kesalahan yang sangat besar jika menikah dengan orang tersebut dan anak juga mengerti ini bukan untuk kepentingan orang tua tapi untuk dia, saya kira tidak apa-apa kita tegas berkata, "Tidak. Tidak ya tidak. Kamu kalau mau jalan terus ya silakan, tapi papa mama tegas bilang tidak. Ini bukan pilihan yang baik, ini akan merusak hidupmu." Jadi, saya kira dalam kasus begitu tidak apa-apa, Pak Gunawan, kita tidak mau goyang ya.
GS : Masih adakah faktor lainnya ?
PG : Masih ada, Pak Gunawan. Yaitu anak-anak cenderung memberontak kalau hubungan kita sebagai suami istri tidak harmonis. Ini memang sering terjadi ya. Karena orang tua sering bertengkar, anak-anak sering mendengar orang tuanya bertengkar, akhirnya dia melawan omongan orang tuanya. Kenapa ? Sebab dalam hatinya itu sudah terlalu banyak kemarahan. Jadi, akhirnya sewaktu orang tua menyuruh ini dan itu, maka dia melawan. Sebetulnya yang dia lawan bukan hal yang dipersoalkan itu. Mungkin sekali sebetulnya dia setuju, tapi apa pun yang orang tuanya katakan ingin dilawannya karena memang dia sudah menyimpan banyak kemarahan melihat orang tuanya bertengkar terus.
GS : Itu berpengaruh atau tidak ? Anak ini lebih condong membela siapa ? Artinya kalau dia membela ibunya, dia akan berontak kepada ayahnya. Kalau dia lebih mengasihi ayahnya, dia akan berontak kepada ibunya. Begitu, Pak Paul ?
PG : Betul seperti itu, Pak Gunawan. Kalau dia melihat ibunya adalah pihak yang dirugikan oleh ayahnya, dia akan lebih banyak berontak kepada si ayah.
GS : Dan terjadi juga sebaliknya ya.
PG : Betul.
GS : Jadi ini faktor suami-istri ya. Kalau antara orang tua dan anak yang lainnya apa terjadi seperti itu ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Misalnya dia melihat orang tuanya menekan adiknya. Kok tidak adil dan marah pada adik. Maka dia bisa marah dan berontak kepada orang tuanya. Bisa, Pak Gunawan, jadi tentang pemberontakan karena ketidakharmonisan, obatnya memang satu yaitu kita sebagai orang tua mesti bereskan hubungan kita dulu. Selama hubungan kita tidak beres, sering rebut, maka susah mengharapkan anak akan tunduk. Susah.
GS : Apalagi kalau anak ini menilai baik ibu maupun ayahnya sama-sama tidak bisa dipercaya, Pak Paul. Ibu dan ayahnya tidak bisa memberikan perlindungan kepadanya, maka pemberontakannya akan lebih hebat lagi.
PG : Betul. Akhirnya dia memberontak kepada kedua orang tuanya dan tidak mau mendengarkan mereka lagi, Pak Gunawan.
GS : Yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir, kalau anak itu memang korban. Artinya kalau orang tua itu memukuli anak, memarahi anak tidak karuan, keras sekali kepada anak, luar biasa kakunya, nah hal-hal seperti itu hampir dapat dipastikan mengkondisikan anak untuk akhirnya berontak kepada orang tuanya. Tinggal tunggu waktu, dia cukup besar, dia akan melawan orang tuanya. Jadi, anak-anak yang memang menjadi korban kekerasan orang tua hampir dapat dipastikan akan berontak.
GS : Ini berbeda dengan kalau dia diperlakukan sebagai objek ?
PG : Beda, Pak Gunawan. Yang sebagai objek anak disuruh ini itu supaya orang tua mendapatkan kesenangan atau penghargaan dari orang lain. Kalau yang ini orang tuanya memang terlalu keras, sering memukul. Nah kebanyakan hal ini menghasilkan anak-anak yang memberontak.
GS : Kalau anak sering dipukuli, pemberontakannya dalam bentuk melarikan diri dari rumah atau tetap di rumah namun melakukan hal yang negatif, Pak Paul ?
PG : Bisa dua-duanya, Pak Gunawan. Ada yang keluar rumah, berkelahi dengan teman-temannya. Ada yang di dalam rumah juga berkelahi dengan siapanya atau bertengkar dengan orang tuanya. Tapi ada satu lagi sebagai korban yang lebih umum, Pak Gunawan. Yaitu begini. Kalau anak merasa dia jadi korban karena kesibukan orang tua. Artinya anak melihat bahwa papa mama lebih memikirkan diri sendiri ketimbang anaknya, repot mengurus urusan-urusannya sendiri, bisnisnyalah atau apanyalah. Sehingga anak-anak merasa, "Ah, papa mama tidak peduli dengan kami. Kami dijadikan korban kesibukan papa mama yang hanya mementingkan diri sendiri." Kalau anak merasa demikian, besar kemungkinan dia akan berontak, Pak Gunawan.
GS : Apakah pemberontakannya itu dalam rangka menarik perhatian orang tuanya ?
PG : Pasti ada. Dan memang dia protes. Dia protes dengan pemberontakannya seolah-olah dia berkata, "Tidak benar. Mengapa papa mama lebih mementingkan yang di luar dan bukannya kami ?" Saya pernah melihat kasus begini. Yang lebih umum, yaitu orang tua memenuhi keinginan kakeknya. Misalkan kakeknya tinggal serumah. Di kala kakek menyuruh ini dan itu, mamanya menuruti dan mengerjakannya, sehingga si anak merasa tersisihkan. "Kok mama lebih pedulikan kakek daripada saya ?" Akhirnya ketika anak mulai besar, dia berontak. Dan kemarahannya kepada orang tuanya yang lebih memperhatikan kakeknya itu. Jadi, hal-hal ini yang penting dan perlu kita perhatikan.
GS : Pak Paul, kalau orang tuanya begitu otoriter, anak ini ‘kan lama-lama patah semangat untuk berontak sendiri ?
PG : Atau kalau tidak, nanti kalau dia bisa berontak maka dia akan berontak. Atau seperti yang Pak Gunawan katakan tadi, kalau dia tidak bisa berontak, dia akan lari. Kadang-kadang akhirnya anak-anak itu akan lari karena merasa dia tidak bisa melawan orang tuanya lagi.
GS : Dan hal itu malah merugikan ya ? Dengan dia lari, masalahnya ‘kan tidak terselesaikan. Hanya ditunda saja, Pak Paul.
PG : Betul. Sekali lagi hal ini kita angkat supaya kita sebagai orang tua bisa mawas dirilah, Pak Gunawan. Penyebab-penyebab ini mungkin ada yang menjadi masalah kita. kalau ada, ya coba kita bereskan supaya anak-anak kita tidak lagi bertumbuh besar dan berontak.
GS : Iya. Tapi di awal tadi kita katakan anak-anak ini bukan anak kecil lagi. Sebenarnya peran anak juga penting. Jika dia merasa diperlakukan tidak adil atau diperlakuan sebagai korban. Dia ‘kan bisa bicara baik-baik kepada orang tuanya sehingga tidak perlu terjadi pemberontakan. Itu maksud saya. Bisa atau tidak, Pak Paul ?
PG : Bisa. Tentu itu seharusnya dilakukan oleh anak. Sebab anak itu sudah punya kehendak dan pilihannya. Dia tidak harus menggunakan cara yang salah untuk melawan orang tuanya.
GS : Iya. Saya percaya bahwa firman Tuhan itulah satu-satunya yang bisa memberikan motivasi atau dorongan baik kepada orang tua maupun kepada anak, Pak Paul. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:21, "Hai Bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu supaya jangan tawar hatinya." Saya kira ini ayat yang baik, bukan saja buat bapak tapi buat ibu juga. Penting kita mendisiplin anak, memperlakukan anak sedemikian rupa, sehingga kita tidak menyakiti hatinya. Sebab kalau kita menyakiti hatinya, dia nanti akan tawar hati. Kita memang tidak lepas dari kesalahan karena kita manusia. Jadi kalau kita sadar kita pernah berbuat salah, tidak ada salahnya kita bicara kepada anak kita bahwa, "Di masa lampau papa atau mama begini. Kami salah, kami minta maaf." Mudah-mudahan rekonsiliasi ini bisa membuat anak berhenti memberontak.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Memberontak ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.