Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan bersama-sama berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengampuni Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, mengenai mengampuni diri ternyata banyak orang kesulitan untuk melakukannya. Mengampuni orang lain sulit, mengampuni diri sendiri juga tidak mudah. Padahal kita kadang-kadang merasa bersalah dan merasa dihantui terus menerus dengan kesalahan itu, Pak Paul.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ada orang yang susah mengampuni orang lain tapi terlalu mudah mengampuni diri sendiri, sebaliknya ada orang yang sangat-sangat susah mengampuni diri sendiri tetai sangat mudah mengampuni orang lain.
Pada kesempatan ini yang kita akan lihat adalah orang yang mengalami kesukaran mengampuni dirinya sendiri.
GS : Kesalahan-kesalahan macam apakah, yang sebenarnya sulit untuk bisa diampuni Pak Paul?
PG : Biasanya memang kesalahan-kesalahan itu relatif Pak Gunawan. Karena memang setiap orang mempunyai standar nilainya masing-masing. Jadi mana yang kita anggap serius, mana yang kita angga tidak serius kadang-kadang berbeda-beda, tapi kita bisa merangkumkan beberapa karakteristik atau penyebab mengapa kita susah mengampuni diri atau dengan kata lain mengapakah kita terus merasa bersalah.
Nah sekurang-kurangnya ada 4 yang akan saya bagikan. Yang pertama adalah sering kali kita itu susah sekali mengampuni diri sendiri karena kita masih merasa perlu menghukum diri kita, perasaan bersalah yang kita rasakan itu sebetulnya merupakan bentuk penghukuman diri. Nah sampai kapankah kita akan berhenti merasa bersalah, ya sampai kita itu merasa kita telah menghukum diri kita dengan pas, cukuplah menghukum diri, barulah kita akan berhenti. Jadi saya ulang lagi adakalanya kesulitan kita mengampuni diri sebab kita menganggap kiat masih perlu menghukum diri dan kita menghukum diri sendiri lewat perasaan bersalah itu.
ET : Jadi merasa bahwa yang sudah dilakukan ini begitu besarnya, sehingga saya harus menghukum diri saya, begitu Pak Paul?
PG : Betul, sebab ini memang sesuatu yang tertanam dalam diri kita Bu Esther, sejak kecil orangtua kita mendisiplin kita atau menghukum kita tatkala kita melakukan kesalahan. Jadi sejak keci sudah tertanam konsep dalam diri kita bahwa kesalahan itu harus dibayar dengan penghukuman.
Tatkala kesalahan itu tak terbayarkan lunas oleh hukuman, kita merasa seharusnyalah kesalahan itu terus bersarang, tidak lepas dengan mudahnya. Nah itu sebabnya konsep ini akhirnya terus menghantui kita jadi kita menganggap kita masih perlu menghukum diri sendiri dan tidak boleh dengan mudah bebas dari rasa bersalah ini. Nah sebetulnya konsep ini sendiri bagian dari kodrat keadilan yang kita miliki sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan gambar Allah. Memang keadilan adalah kesalahan perlu dibayar dengan hukuman inilah keadilan. Saya kira inilah yang juga tertanam dalam diri kita dan akhirnya menyebabkan kita tidak mudah mengampuni diri sendiri.
GS : Bentuk menghukum diri sendiri itu, contohnya seperti apa Pak Paul?
PG : Dalam kasus yang kita bicarakan ini perasaan jijik dengan diri, perasaan benci dengan diri, memaki, mengkritik diri sendiri, menuding-nuding, menuduh-nuduh diri sendiri, menghina-hina dri sendiri, nah itu kira-kira yang biasanya kita lakukan.
GS : Itu menyangkut emosinya, Pak Paul? Misalnya ada seseorang yang bersalah terhadap anaknya sampai anaknya sakit atau bahkan meninggal Pak Paul. Nah orang ini menghukum dirinya dengan tidak mau bermasyarakat Pak Paul. Jadi dia tinggal di rumah, dia tidak mau lagi tahu dengan lingkungannya, jadinya dia bukan cuma menghukum dirinya, tapi juga menghukum orang yang ada di sekelilingnya Pak Paul.
PG : Dengan kata lain dalam upaya kita menghukum diri, tanpa sengaja atau mungkin kita sadari atau tidak kita sadari, kita itu membawa dampak negatif bagi orang-orang yang dekat dengan kita.Itu betul sekali, jadi upaya-upaya itu sering kali berdampak, dan dampaknya sering kali buruk.
Misalkan gara-gara kita terus merasa menghukum diri, kita menjadi mudah marah, mudah meledak dengan orang-orang di sekitar kita, atau kita depresi berat sehingga akhirnya kita itu tidak bisa berfungsi, lumpuh dalam kehidupan ini. Nah sudah tentu yang akhirnya menderita adalah orang-orang di sekitar kita. Yang saya juga ingin lanjutkan yang tadi Pak Gunawan katakan adalah tentang bahwa ini sebetulnya merupakan perasaan meskipun tuduhan itu dilakukan oleh pikiran kita namun yang menggerogoti adalah perasaan. Nah ini membawa kita kepada point yang berikutnya Pak Gunawan yaitu perasaan bersalah itu mengikuti kita sebab perasaan memang lebih sulit berubah dibanding pikiran atau persepsi kita. Maksudnya begini, kita sebetulnya sudah dapat memahami bahwa seharusnya kita tidak perlu lagi merasa bersalah karena Tuhan telah mengampuni kita namun pemahaman ini tidak serta merta mengubah perasaan kita. Kita tahu apa yang benar, kita tahu apa yang Tuhan sudah katakan, dan janjikan untuk kita yang telah berdosa bahwa dia akan mengampuni tetapi pemahaman atau pengetahuan ini tidak serta merta mengubah perasaan bersalah kita. Dan memang begitulah kodratnya atau yang harusnya terjadi. Sering kali perasaan itu datangnya belakangan, berubahnya belakangan; pikiran boleh berubah tapi perasaan masih di belakangnya kita, masih harus menyusul sebelum akhirnya berubah.
ET : Jadi apakah artinya kalau memang misalnya ada orang yang seperti itu Pak Paul? "Iya, saya tahu Tuhan sudah mengampuni saya tapi........."(masih ada tapinya), jadi kita dorong dia untuk terus dengan pikirannya itu dulu untuk lama-lama menghidupi perasaannya?
PG : Betul, jadi dengan kata lain meskipun perasaannya itu membuntuti datangnya belakangan, berubahnya belakangan. Namun harus dilawan dengan pikiran, pikiran yaitu bahwa Tuhan sungguh-sunggh telah mengampuni kita.
Ini membawa kita ke penyebab berikutnya Ibu Esther yaitu kenapa kita terus menerus dihantui oleh rasa bersalah, sebab saya kira salah satu penyebabnya ialah kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan telah mengampuni kita. Jadi sering kali kita meragukan janji Tuhan itu, benarkah Tuhan mengampuni kita, benarkah Tuhan sama sekali tidak akan membalaskan perbuatan kita, benarkah Tuhan tidak lagi menghitung-hitung perbuatan dosa kita. Nah itu yang sering kali menggerogoti kita. Jadi kita tidak sungguh-sungguh percaya Tuhan telah mengampuni kita. Itu sebabnya pikiran atau pemahaman bahwa Tuhan telah mengampuni kita kalau tidak kokoh atau tidak kuat akhirnya memang tidak bisa melawan perasaan bersalah itu karena kurang kuat. Jadi akhirnya yang menang adalah perasaan bersalah lagi. Maka kalau kita ingin memenangkan perkelahian atau pertempuran melawan rasa bersalah, kita memang mesti mempunyai keyakinan yang kokoh, yang didasari bukan atas perasaan, tapi atas fakta. Faktanya adalah firman Tuhan sudah mengatakan bahwa kalau kita mengaku dosa kita, maka Tuhan akan mengampuni kita. Nah itu fakta yang tidak bisa kita gugat, sudah pasti benar karena itu adalah janji Tuhan.
GS : Biasanya seseorang yang sudah meragukan pengampunan Tuhan itu mengalami suatu musibah yang lain Pak Paul, entah karena tingkah lakunya dan itu makin menguatkan dia bahwa Tuhan tidak mengampuni dia, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi terulangnya perbuatan dosa atau kesalahan yang sama makin membuat kita meyakini bahwa kita memang sejelek itulah, kita seburuk itulah dan Tuhan pun akan etih mendengarkan doa-doa, permintaan maaf kita itu.
Tuhan mungkin sudah muak mendengarkan suara kita yang berseru-seru meminta pengampunan. Jadi betul sekali Pak Gunawan apa yang telah kita lakukan kalau kita lakukan lagi memang akan makin membuat kita terpuruk. Jadi sebetulnya kita bisa katakan bahwa sampai titik tertentu sebetulnya perasaan bersalah itu mesti ada, diperlukan dan sehat, tidak benar kalau kita itu berkata o... saya tidak mau merasa bersalah dan tidak perlu merasa bersalah, apapun yang saya lakukan Tuhan sudah ampuni dan akhirnya masuk lagi ke dalam lubang dosa yang sama. Itu tidak sehat, jadi saya juga tidak setuju kalau orang berkata kita harus 100% bersih dari rasa bersalah. Tidak, kalau kita memang melakukan kesalahan atau perbuatan dosa seyogyanyalah kita merasa bersalah sebab merasa bersalah ini bisa menjadi lampu peringatan yang mencegah kita jatuh ke dalam lubang dosa yang sama.
ET : Kalau begitu kira-kira batasannya bagaimana Pak Paul, antara rasa bersalah yang memang semestinya dengan yang sudah seharusnya tidak kita miliki?
PG : Rasa bersalah harus ada sebagai reaksi atas perbuatan kita, namun rasa bersalah itu tidak semestinya menjauhkan kita dari Tuhan. Rasa bersalah seyogyanya membawa kita lebih dekat pada thta anugerah Tuhan karena kita tahu kita bersalah, kita berdosa dan kita memerlukan anugerah Tuhan untuk mengampuni kita.
Jadi rasa bersalah seharusnya membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Kalau rasa bersalah membuat kita lari dari Tuhan; seperti yang dilakukan oleh Yudas setelah dia menjual Tuhan, dia merasa bersalah dan dia menyesali perbuatannya akhirnya dia menggantung diri, dia menjauhkan diri dari Tuhan bukannya malah mendekatkan diri kepada Tuhan. Berbeda dengan Petrus, dia tahu dia salah bahwa dia menyangkal Tuhan, tapi dia terus mengikuti Tuhan sampai ke rumah imam besar pun dia ikuti. Tuhan sudah katakan bahwa dia akan lari, memang dia lari ketakutan tapi dia terus mengikuti Tuhan, dia memang jatuh ke dalam dosa. Tapi waktu Tuhan menatap dia, dia menangis, dia menyesali perbuatannya, dia tahu dia salah; namun kita tahu bahwa dia tetap mencoba mendekati Tuhan kembali. Jadi saya kira batasnya itu, jangan sampai rasa bersalah itu justru menjauhkan kita dari Tuhan.
GS : Memang secara naluri kalau kita bersalah itu mencoba menghindar dengan orang yang kepadanya kita berbuat salah.
PG : Mungkin untuk sejenak atau waktu sementara, kita malu bertemu dengan Tuhan karena kita telah berdosa, saya kira itu bisa dimaklumi. Namun seyogyanyalah hanya sementara, sebab kalau teru-menerus alias permanen; yang menang adalah iblis.
Iblis akan bersorak-sorai dan berkata: "O.....saya berhasil, mematahkan relasi antara kita dengan Tuhan."
GS : Mungkin ada alasan yang keempat seperti tadi Pak Paul katakan?
PG : Yang saya maksud alasan keempat adalah bahwa memang rasa bersalah itu diperlukan. Jadi sampai titik tertentu rasa bersalah itu selayaknyalah ada dan selayaknya memang kita itu tidak mersa baik dengan terlalu cepat.
Itu sebabnya kadang-kadang kita masih terus merasa bersalah. Sekarang kita akan masuk ke point berikutnya yaitu bagaimanakah kita dapat mengampuni diri. Nah kita telah membahas mengapakah kita terus merasa bersalah, sekarang kita melihat bagaimana kita dapat mengampuni diri. Ada empat hal yang saya akan bagikan, yang pertama adalah kita harus melihat dan mengaku dosa atau kesalahan yang telah kita perbuat apa adanya. Maksud saya adalah janganlah kita mengecilkan atau membesarkan dosa. Firman Tuhan di
I Yohanes 1:9 berkata: "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." Nah yang ingin saya garis bawahi di sini adalah mengaku dosa. Bagaimanakah mengampuni dosa? Langkah pertama adalah mengampuni diri sendiri itu dimulai dengan melihat jelas apa yang kita lakukan. Kecenderungan kita adalah mendistorsi, mengecilkan atau membesarkan perbuatan kita. Tidak demikian tapi lihatlah apa adanya, apa yang telah kita lakukan; apakah kita telah berbohong, menipu orang, apakah kita telah mengambil yang bukan milik kita, apakah kita telah merugikan orang, apa yang telah kita lakukan, kerugian apakah yang ditimbulkan oleh karena perbuatan kita. Apa yang kita katakan sewaktu kita menipu orang, apa yang kita lakukan sewaktu kita berkhianat; jangan kita menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah yang berbeda untuk mengurangi kadar perbuatan kita. Nah kalau mau mengampuni diri, lihatlah perbuatan kita apa adanya.
ET : Rasanya ini memang berkaitan erat dengan bagaimana penanaman nilai-nilai itu dalam keluarga Pak Paul? Selain itu juga norma masyarakat sekitar begitu?
PG : Betul sekali ada pengaruhnya. Jadi kalau memang kita itu dibesarkan dalam rumah yang jelas mempunyai nilai-nilai rohani yang sehat, yang baik; kita memang lebih bisa melihat perbuatan kta dengan jelas.
Sebaliknya kalau kita dibesarkan dalam lingkungan di mana nilai-nilai rohani itu tidak jelas, mungkin sekali kita akan juga mengalami kesulitan melihat kadar dosa kita dengan tepat. Jadi betul sekali lingkungan atau keluarga di mana kita dibesarkan akan mempengaruhi kejelian dan ketepatan kita melihat perbuatan dosa kita itu. Bagi orang-orang tertentu menipu adalah hal yang sangat biasa dan tidak usah merasa bersalah. Bagi orang-orang tertentu menyikut orang lain demi kepentingan pribadi adalah hal yang sangat dibenarkan, karena memang mereka tidak mempunyai standar nilai yang tepat. Jadi memang kita perlu memiliki standar nilai yang tepat. Namun adakalanya meskipun kita telah memiliki standar nilai yang tepat, namun kita itu tidak nyaman melihat perbuatan kita yang salah itu. Jadi kita mengotak-atik atau mengecilkan atau membesar-besarkannya sehingga tidak melihat dengan tepat. Mengampuni diri harus diawali dengan mengakui dan melihat perbuatan kita apa adanya.
GS : Itu dibutuhkan kejujuran, sering kali kita sulit untuk jujur terhadap diri sendiri.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, ini memang perjuangan untuk bisa jujur dengan diri sendiri. Kita itu susah jujur dengan orang lain, susah jujur dengan Tuhan, namun salah satu masalah kita adaah susah jujur dengan diri sendiri.
Perlu kedewasaan untuk bisa jujur dengan diri sendiri.
GS : Kalau sudah begitu kita sudah berupaya untuk jujur dengan diri sendiri, tapi lingkungan itu tidak mendukung. Entah dia bisa mengatakan tidak apa-apa atau sebaliknya memberatkan, itu mempersulit kita untuk mengampuni diri kita sendiri.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, maka dalam kondisi seperti itu kita harus maju ke langkah yang kedua yaitu kita harus melihat apa yang Firman Tuhan katakan, itu standar dan tolok ukur kita. Kta mesti percaya bahwa Tuhan sungguh-sungguh telah mengampuni dosa kita.
Firman Tuhan di
Roma 5:8 berkata: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa." Jadi jelas Tuhan telah mati untuk dosa-dosa kita, Tuhan telah mencucurkan darahNya untuk membayar segala perbuatan dosa kita itu. Jadi kita harus percaya Tuhan sudah megnampuni. Nah ini jangan sampai kita kompromikan. Adakalanya lingkungan akan berkata: "Tidak, kamu tidak diampuni, dosa kamu tidak terampuni karena melebihi batas." Ada lingkungan yang akan membesarkan dosa tapi ada juga lingkungan yang mengecilkan dosa. "O.......itu hal kecil, semua orang melakukannya." Tidak demikian, kita kembali kepada Firman Tuhan, dosa itu apa dan yang kedua apa yang Tuhan lakukan kepada kita yang berdosa sewaktu kita mengaku dosa kita kepada Tuhan; Dia berkata Dia akan ampuni. Kalau begitu kita terima standar itu, Tuhan mengampuni dosa sewaktu kita mengaku dosa kita itu.
ET : Kadang-kadang memang ada kalangan rohani yang begitu sangat menekankan bahkan pada anak-anak kecil, bahwa karena kamu melakukan itu kamu akan dihukum Tuhan. Karena ketidaksempurnaan kam ini, kamu akan dihukum Tuhan; harus yang terbaik, kalau tidak sempurna ya dikaitkan dengan penghukuman.
Ini bagaimana Pak Paul?
PG : Seperti tadi sudah saya singgung, sejak kecil memang kita dibesarkan dengan konsep bahwa kesalahan harus dibayar dengan penghukuman. Pada akhirnya konsep itu tertanam dalam diri kita, nmun setelah kita makin dewasa kita itu membentuk sebuah gambar diri, konsep diri tentang siapa kita.
Kita itu mengetahui kita punya kelemahan tertentu tapi kita tahu juga bahwa kita mempunyai kebaikan tertentu. Ini menjadi sebuah keseimbangan, sebuah gambar diri dalam hidup kita yang seimbang. Dan misalkan kita melihat diri kita lumayan positif, meskipun tidak sempurna. Waktu kita melakukan perbuatan yang benar-benar besar, melanggar hati nurani kita, melanggar norma-norma yang telah kita yakini biasanya kita itu akan merasa diri kita itu begitu jelek, begitu buruk. Dengan kata lain ketidaksempurnaan yang telah kita sadari sekarang harus kita definisi ulang. Sebab ketidaksempurnaan itu ternyata lebih berat lagi, lebih besar lagi daripada yang sebelumnya kita ketahui. Inilah yang berat dan inilah yang menyebabkan mengapa sebagian kita sulit untuk mengampuni diri. Kita hanya bisa mengampuni diri bila kita berhasil mengintegrasikan ketidaksempurnaan kita itu ke dalam gambar diri kita. Kita harus mengakui bahwa "Ya, saya telah berbuat sejahat ini dan yang berbuat itu adalah saya dan sekarang saya tidak seperti yang dulu saya pikirkan, gambaran saya itu sekarang harus berubah. Sekarang saya harus integrasikan, saya harus masukkan catatan kejelekan saya itu ke dalam konsep diri saya yang baru ini." Nah sekali lagi ini yang akhirnya menyulitkan kita untuk mengampuni diri. Sebab kita sering kali melawan, kita resisten terhadap gambar diri yang baru yang lebih buruk ini; kita tidak bisa menerimanya. Saya kira itulah sebabnya kita mencoba untuk menghukum diri, seolah-olah kita ingin membayar perbuatan dosa kita dengan hukuman itu. Dengan harapan tersirat bahwa setelah kita bayar hukuman dosa itu, diri kita yang semula akan kembali atau muncul lagi atau akan baik seperti dulu lagi. Ternyata tidak demikian, sebab kita tidak bisa membayar atau menebusnya. Jadi kita harus menerima bahwa diri kita tidaklah seperti dulu; ada kecacatan yang baru yang sekarang melekat pada diri kita. Firman Tuhan mengingatkan kita di
I Yohanes 1:8, "Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita". Firman Tuhan mengingatkan bahwa kita orang berdosa dan meskipun kita berusaha tidak berdosa karena itu yang Tuhan minta, tapi kadang-kadang kita jatuh lagi, nah waktu kita jatuh kita harus terima bagian kejatuhan itu dan masukkan itu ke dalam diri kita sekarang ini apa adanya.
GS : Berarti harus ada perubahan di dalam diri orang itu mengenai pola pikirnya dan sebagainya, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, dan ini memang langkah yang berikutnya dan terakhir bagaimana mengampuni diri yaitu kita harus berubah. Apapun yang kita katakan kalau kita tidak berubah, kitaakan tetap sulit untuk mengampuni diri.
Sebab kita masih melihat yang sama pada diri kita yaitu yang jelek itu masih tetap kita lakukan, maka susah untuk mengampuni diri. Saya akan kutib dari
Efesus 4:22-24, "Bahwa kamu berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu harus meninggalkan manusia lama, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah." Semakin berubah semakin akhirnya mudah bagi kita untuk mengampuni diri, sebab kita pun melihat bahwa kita telah berubah. Tapi kalau kita tidak berubah terus kita buru-buru mengampuni diri, itu adalah tipuan berikutnya terhadap diri sendiri yang akhirnya melestarikan rasa bersalah itu.
GS : Mungkin orang yang sudah menjalani hukuman karena kesalahannya, misalkan dipenjara, dia akan lebih mudah mengampuni dirinya karena dia merasa bahwa dia sudah membayar kesalahannya, Pak Paul?
PG : Dan ini memang adalah bagian dari konsep keadilan yang memang tertanam dalam diri kita. Kita telah berbuat salah, kita telah membayarnya dan kita merasa lebih lega. Tapi sekali lagi kit kembali lagi pada Firman Tuhan, masalah rasa bersalah di satu pihak memang masalah manusia, namun di pihak lain ini masalah rohani.
Karena yang hanya dapat benar-benar menghapus bersih rasa bersalah adalah Tuhan. Karena kita tahu bahwa kita itu berdosa terhadap Tuhan, pada akhirnya atau ujung-ujungnya kita berdosa kepada Tuhan. Memang dalam tindakan nyatanya kita merugikan atau melukai orang, namun ujungnya adalah kita berdosa terhadap Tuhan. Maka pada akhirnya kita harus berdamai dengan Tuhan dan Dialah yang telah berjanji bahwa Dia akan mengampuni dosa kita, maka kepadaNyalah kita datang.
GS : Kadang-kadang itu timbul perasaan-perasaan, ingatan-ingatan yang seolah-olah menuduh kita, nah ini kadang-kadang kita sulit mengatasinya?
PG : Kita terima, kita katakan: "Tuhan, waktu saya mengingat perbuatan saya, saya merasa malu, saya merasa bersalah lagi." Tapi setelah kita akui kita kembali kepada Firman Tuhan yng sudah menjanjikan pengampunan itu.
Dia adalah setia dan adil dan akan mengampuni segala dosa kita. Kita percaya itu, itu fakta dan itu adalah janji dari mulut Tuhan sendiri dan Tuhan tidak pernah memberikan janji yang bohong.
GS : Apakah menceritakan kesalahan itu kepada orang lain yang dekat, itu akan menolong dia untuk bisa mengampuni dirinya sendiri?
PG : Akan menolong Pak Gunawan, jadi ada baiknya kita juga memberanikan diri mengaku kepada sesama kita, kepada seseorang yang kita anggap rohani dan dapat memahami kita. Nah kepadanyalah kia datang mengaku perbuatan kita, itu akan juga menolong kita melihat masalah atau perbuatan kita dengan lebih jernih, sekaligus menanamkan rasa pertanggungjawaban.
Sehingga lain kali kalau kita berbuat dosa yang sama kita akan merasa jauh lebih malu karena kita tahu sudah ada orang yang kita ceritakan.
GS : Beberapa orang sampai memutuskan untuk bunuh diri, karena dia tidak bisa lagi menanggung rasa bersalah pada dirinya sendiri.
PG : Jangan sampai membunuh diri, dan dia harus berkata betul saya tidak bisa melakukan ini yaitu mengampuni diri tapi Tuhan sudah mengampuni saya. Maka yang saya harus lakukan adalah memint Tuhan mengampuni diri saya melalui diri saya juga.
Jadi terus meminta Tuhan menolong diri kita agar kita bisa mengampuni, sebab Tuhan sudah mengampuni dan itu adalah yang terpenting.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk penghiburan dan penjelasan ini, juga Ibu Esther terima kasih. Saya percaya ini menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengampuni Diri." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.