Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama dengan Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Membangun Keintiman". Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membahas tentang membangun keintiman itu bisa lewat kepercayaan yang ditumbuhkan. Nah tetapi apakah hanya kepercayaan itu yang bisa membangun suatu keintiman, apakah ada hal-hal lain?
PG : Salah satu hal adalah melalui pemenuhan harapan atau tuntutan dari pasangan kita. Kalau kita berhasil memenuhi yang diharapkan oleh pasangan kita, kemungkinan kita intim akan jauh lebih bear dibandingkan kalau kita tidak berhasil memenuhi harapannya demikian pula kebalikannya.
Kalau pasangan kita bisa memenuhi kebutuhan kita atau harapan kita maka kemungkinan yang lebih besar adalah kita akan juga merasakan kedekatan dengan dia. Jadi dengan kata lain memenuhi harapan dan tuntutan pasangan merupakan salah satu cara untuk membangun keintiman itu. Tapi (ini saya juga ingin menjelaskan satu konsep yang lain) ternyata keintiman itu sendiri juga melahirkan harapan dan tuntutan yang lain. Nah jadi tidak semua orang yang berkata saya mendambakan keintiman, siap dengan keintiman, itu kesimpulannya. Mengapa? Sebab keintiman menuntut harga, harganya adalah semakin intim semakin lebih banyaklah harapan dan tuntutan yang diembankan pada pasangannya. Saya berikan contoh di sini Pak Gunawan, waktu kita belum menikah, baru berkenalan dengan kekasih kita, baru berkenalan sehari, dua hari dan sebagainya kita tidak menelepon tidak akan menjadi masalah, malam minggu kita tidak datang, tidak akan menjadi masalah, namun begitu kita menyatakan kasih kepadanya dan dia pun juga menyatakan kasih kepada kita maka dibuatlah sebuah komitmen untuk menjelajahi atau untuk mengeksplorasi relasi ini lebih dalam lagi. Nah begitu kita tidak telepon dia marah, begitu pasangan kita juga berbicaranya agak kasar kita marah: "Kenapa kamu tidak mempertimbangkan perasaan saya." Apa yang terjadi? Keintiman telah terbentuk, dan tatkala keintiman terbentuk maka harapan dan tuntutan juga akan keluar. Jadi itu sesuatu yang manusiawi, justru yang tidak manusiawi atau tidak alamiah adalah sudah menikah (jadi berarti seharusnya sudah mulai dekat) namun tidak bisa atau tidak boleh mengeluarkan isi hatinya, meminta atau mengharapkan apa-apa dari pasangannya, nah itu yang tidak alamiah dan itu yang kadang-kadang terjadi dalam pernikahan. Jadi pernikahan yang sehat memang akan banyak tuntutan dan harapan tapi karena mereka intim, mereka memenuhinya juga dengan sukses dengan baik dan tidak merasakan itu sebagai beban lagi, nah itulah ciri-ciri pernikahan yang sehat.
WL : Tapi Pak Paul, harus diakui pada sisi yang lainnya banyak juga pasangan-pasangan yang kita lihat tuntutannya sering kali "berlebihan", sampai pasangannya juga merasa kewalahan. Nah menurut Pak Paul, kira-kira ada atau tidak faktor yang bisa menyebabkan tuntutan dan harapan ini kira-kira bisa terpenuhi?
PG : Ada beberapa Ibu Wulan, yang pertama adalah saya kira kita harus mempelajari prinsip-prinsip ini. Pertama, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika realistik. Artinya apa realitik, sesuai dengan kepribadian pasangan kita.
Nah ini saya jelaskan, adakalanya kita menuntut sesuatu yang sangat berlawanan dengan kepribadian pasangan kita. Nah ini tidak berarti tidak boleh sama sekali, tentu boleh dan akan ada penyesuaian tapi karena kita sadar ini terlalu berbeda dari kepribadiannya maka akan memakan waktu lebih panjang dan kita harus realistik lebih sabar. Sebagai contoh, kalau pasangan kita memang orangnya berantakan, sebelum menikah kita tahu dia berantakan, tidak bisa rapi sama sekali, nah setelah kita menikah dengan dia sekejap kita mengharapkan dia menaruh barang di tempatnya kembali, misalnya menaruh handuk, menaruh sepatu, menaruh sikat gigi dan sebagainya di tempatnya seperti semula dan kita marah-marah, itu akan menjadi masalah. Kenapa menjadi masalah? Sebab kita mengharapkan itu terjadi dengan cepat, dia berubah dia menjadi orang yang lebih rapi. Jadi ingat baik-baik, yang pertama adalah kalau menuntut, lihat baik-baik apakah sesuai dengan kepribadiannya atau tidak, kalau tidak sesuai masih boleh nuntut namun lebih bersabar, yang lebih bisa dipenuhi pasangan kita kalau itu sesuai dengan kepribadiannya.
GS : Mungkin lebih tepat berharap saja Pak Paul, jangan menuntut supaya kita itu tidak terlalu kecewa, cuma berharap saja 'kan tidak apa-apa. Tetapi kalau pengharapan itu berkali-kali tidak terpenuhi lama-lama juga bisa menjadi tuntutan, Pak?
PG : Betul, sebab pengharapan yang dikomunikasikan tidak bisa tidak memang telah menjadi tuntutan. Namun maksudnya pak Gunawan saya pahami yaitu jangan kita ini memaksakan karena semakin memakskan akan semakin kecewa.
Jadi sesuatu yang berlawanan dengan kepribadian lebih sulit untuk dipenuhi itu prinsipnya.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan harapan ini kadang-kadang orang takut untuk berharap karena dikira nanti mementingkan dirinya sendiri saja, nah itu kaitannya bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira itu ketakutan yang memang kadang-kadang muncul tapi seharusnya kita memaafkan diri kita dengan berkata inilah pernikahan, inilah relasi yang intim dan di dalam relasi yang intim ita mempunyai harapan-harapan.
Kita misalkan berharap pasangan kita tidak lagi pergi pulang jam 02.00 malam karena dia sudah menjadi bagian hidup kita dan dia seharusnyalah pulang lebih pagi jangan sampai jam 02.00 malam seperti itu.
GS : Pak Paul, di dalam memenuhi tuntutan itu apakah ada cara-caranya, Pak?
PG : Yang lainnya lagi adalah ini Pak Gunawan, tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi bila jelas. Maksudnya apa, disampaikan secara konkret. Adakalanya kita tapi tidak jelas, tidak konret sehingga tidak bisa dipenuhi oleh pasangan kita.
Contoh yang paling klasik, permintaan istri misalnya kepada suami: "Berilah perhatianmu yang lebih besar kepada keluarga." Nah kadang-kadang si suami itu akan garuk-garuk kepala, dan bertanya, apa artinya memberi perhatian yang lebih besar kepada keluarga. Si istri harus memberikan contoh yang lebih konkret, apa misalkan si suami berkata: "Saya minta engkau lebih menghormati saya." Nah suami juga harus beritahu apa itu menghormati dengan lebih jelas. Misalkan, "waktu saya bicara di depan orang, kamu jangan memotong saya. Memotong saya yang sedang bicara itu membuat saya merasa tidak dihormati olehmu." Atau "waktu marah, matamu jangan melotot kepadaku, sebab waktu engkau melotot engkau menantang saya, engkau artinya tidak hormat kepada saya." Jadi tuntutan atau harapan itu perlu dikomunikasikan secara jelas, semakin jelas semakin lebih besar kemungkinan dipenuhi oleh pasangan kita.
WL : Kalau tidak jelas bisa berbeda konsep Pak Paul ya, jadi si suami berpikir o.....saya sudah memberi perhatian cukup atau tadi contoh menghormati, mungkin dari latar belakang keluarga dia menghormati A, B, C, D sedangkan bagi istri ngomong dengan mata melotot juga memang biasa di keluarganya bukan berarti saya tidak menghormati begitu, jadi bisa terjadi konflik kalau tidak dijelaskan.
PG : Betul, dengan adanya penjelasan barulah misalkan si suami mengerti, OK....waktu istri saya melotot tidak berarti dia sedang tidak hormat kepada saya. Si istri mengerti sekarang, melotot it memicu kemarahannya yang lebih besar, OK...lain
kali kalau marah dia mencoba mengontrol besar kecilnya matanya itu.
GS : Atau sebaliknya pasangan bisa menanyakan kalau itu sesuatu yang tidak jelas, sesuatu tuntutan yang tidak jelas, dia bisa menanyakan kembali kepada pihak pasangannya sebenarnya apa, yang dimaksudkan apa, yang mau diminta apa.
PG : Yang Pak Gunawan katakan sebetulnya sangat sederhana, yaitu bertanya kalau tidak jelas. Tapi ternyata Pak Gunawan, ini salah satu hal sulit yang dilakukan oleh banyak orang, tidak mau bertnya.
GS : Atau malah kadang-kadang kita berpikir wah.......malah kebetulan ini, bukankah ini ada permintaan yang tidak jelas jadi kita tidak wajib untuk memenuhi. Kalau misalnya nanti suatu saat dia marah kita berkata permintaanmu sendiri mungkin kamu sendiri saja tidak tahu apa yang kamu minta.
PG : Jadi kita akhirnya memanfaatkan celah itu.
WL : Kadang-kadang juga pasangan kita waktu kita bertanya mungkin menjawabnya tidak enak, mestinya kamu sudah mengerti saya dong, sudah sekian tahun menikah masa kamu belum kenal saya. Jadi pasangannya tidak berani lagi bertanya untuk kemudian hari.
PG : Betul, itu yang terjadi, Bu Wulan.
GS : Hal yang lainnya apa Pak Paul?
PG : Tuntutan dan harapan akan lebih mudah terpenuhi jika positif, yang artinya apa, bukan dalam bentuk ancaman tapi dalam bentuk permintaan tolong. Permintaan tolong ini menjadi kata-kata yangsulit diucapkan oleh banyak orang, Pak Gunawan dan Ibu Wulan.
Nah ternyata kalau kita bungkus tuntutan kita dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong, pasangan kita lebih mau mendengarkan dan mencoba memenuhinya. Dia akan lebih sengaja tidak mau melakukan jika kita membungkusnya dengan ancaman, kasar misalnya, jadi tolong perhatikan bungkusannya itu apa.
GS : Itu cara mengomunikasikannya Pak Paul.
PG : Betul sekali, jadi dalam bentuk yang positif yaitu permintaan tolong. Gunakanlah kata tolong lebih sering, tolong ini, tolong dong ini saya butuh bantuanmu untuk ini tolong saya, lebih sernglah begitu.
GS : Ada pasangan yang mengatakan: "Karena kami itu sudah intim, sudah akrab buat apa mesti minta tolong, cuma sekaligus ngomong, to the point saja begitu Pak Paul.
PG : Masalahnya kalau tidak dibungkus dalam permintaan tolong, sering kali keluarnya dalam bentuk instruksi. Nah kebanyakan tidak suka orang itu mendengar instruksi dari pasangannya, kalau dariatasannya ya dia terima di tempat pekerjaan.
Dari pasangannya ya kurang begitu suka bentuk-bentuk instruksi itu apalagi kalau disertai ancaman-ancaman, makin tidak suka.
WL : Tapi kenapa Pak Paul, kalau kita dalam pergaulan dengan orang lain bukan konteks keluarga, biasanya kita sangat menjaga etiket, lebih halus, please, thank you itu selalu begitu. Sedangkan kepada orang yang paling dekat dengan kita itu rasanya tiba-tiba hilang kata-kata itu.
PG : Betul, itu sering kali yang kita lakukan karena kita menganggap dia sudah menjadi bagian hidup kita, jadi kita tidak usah lagi berbasa-basi. Tapi justru tidak ya, justru hal-hal kecil sepeti itu tetap berfaedah untuk menjaga relasi dengan pasangan kita.
WL : Rasanya kita dihargai begitu ya.
GS : Tapi saya kenal ada satu pasangan itu Pak Paul, yang mencoba mungkin pernah mendengar saran seperti ini, dia mengatakan kepada istrinya tolong kamu begini.....begini...ya, tapi tanggapan istrinya: "lho sekarang kalau saya tidak mau tolong kamu, mau apa kamu." Jadi dia menanggapinya seperti itu.
PG : Di situ kita langsung harus berkata kepada istrinya kalau kita menjadi suaminya kita berkata kepada istri kita: "Kenapa engkau mengatakan hal seperti itu, apakah engkau sungguh-sunggu berkeberatan melakukannya, kalau berkeberatan kenapa berkeberatan."
Jadi kita mengajak istri kita untuk jujur menyatakan apa masalahnya, keberatannya apa. Kalau dia bilang: "Tidak, saya tidak keberatan, saya hanya ngomong begitu saja supaya kamu tidak sembarangan sama saya." Ya kita bisa berkata: "Tolong, ngomongnya jangan begitu, sebab ngomong seperti itu benar-benar mencoreng muka saya, membuat saya hilang muka." Jadi kita bisa minta begitu langsung.
GS : Nah apakah ada cara lain di dalam memenuhi harapan-harapan, tuntutan-tuntutan ini?
PG : Yang lainnya lagi adalah ini, tuntutan dan harapan akan lebih terpenuhi bila berhadiah. Maksudnya berhadiah itu apa sih, membuahkan hasil yang dihargai, jadi kalau kita mendapatkan pujiankarena kita memenuhi apa yang diharapkan oleh pasangan kita, hasilnya positif yaitu dihargai olehnya, kita makin ingin melakukannya lagi.
Nah sering kali yang terjadi, waktu pasangan kita melakukan hal yang salah, kita bereaksi dengan marah, teguran atau apa, waktu pasangan kita melakukan hal yang benar, kita tidak bereaksi, kita diam saja nah itu yang sering kali menandai relasi kita sebagai suami-istri, ini yang harus kita ubah. Waktu pasangan kita melakukan hal-hal yang baik, cobalah tangkap tidak setiap hari, tidak setiap kali, tapi cukup seringlah kita mengatakan terima kasih, atau sesuatu yang dia coba lakukan tapi tidak sempurna, kita tetap memberi penghargaan pada usahanya, dia telah berusaha. Misalnya pasangan kita membawakan kue ulang tahun, tapi akhirnya kita agak sedikit kesal karena kue yang dia bawa itu bukan kue yang kita suka, nah misalkan seperti itu. Jangan kita marah-marah, justru kita katakan meskipun kuenya tidak sama seperti yang saya harapkan tapi saya menghargai usahamu. Nah sekali lagi pujian seperti itu akan lebih membuat kita ingin melakukan lagi, mengulang lagi dan memenuhi lagi harapan pasangan kita.
GS : Mungkin di situ ada pengertian bahwa seharusnya memang seperti ini, ya sudah ini yang dia harap-harapkan jadi dia tidak mengucapkan terima kasih Pak Paul. Tapi dia mengungkapkan keheranannya itu justru kepada temannya. Katakan istrinya itu biasanya tidak perhatian tapi hari itu sangat perhatian, lalu dia cerita sama teman-temannya, "Aku heran lho, istriku hari ini perhatian sekali sama saya," tapi terhadap istrinya dia tidak berbicara apa-apa.
PG : Itu menandakan memang ya kata-kata pujian itu sangat langka rupanya dalam keluarga tersebut ya. Memang kita harus memulailah, memulai dan waktu pasangan kita bingung kita kok begitu manis ita katakan: "Saya ingin memulai yang baru dan yang baik dalam rumah tangga kita yaitu memberikan pujian, menghargai apa yang telah engkau lakukan," begitu.
WL : Pak Paul, menarik yang Pak Gunawan baru saja ceritakan, saya pernah kenal pasangan yang memang pada sehari-harinya jarang melakukan hal seperti itu, jadi begitu si istri misalkan suatu hari berbuat baik malah suami menjadi curiga, pasti ada maunya dibalik ini, pasti dia minta dibelikan sesuatu yang mahal atau apa begitu, nah itu sering kali terjadi Pak Paul?
PG : Dan tidak apa-apa kalaupun itu terjadi, si istri hanya perlu berkata: "Tidak ada apa-apa dibalik ini semua," dan memang benar-benar dia tidak meminta apa-apa. Nah sekali dua kalisi suaminya masih tidak terbiasa, tapi saya kira tiga empat kali suaminya akan terbiasa.
OK...istrinya memang melakukan ini dengan tulus, tidak apa-apa di belakang ini.
GS : Kadang-kadang kita sebagai suami itu bersyukur atau mengucapkan terima kasih hanya tidak disampaikan secara verbal Pak Paul. Bersyukur istri saya atau apa menjadi lebih baik, tapi tidak diungkapkan secara nyata, karena tidak terbiasa.
WL : Ya, apalagi budaya Timur Pak Paul?
PG : Betul, betul sekali budaya Timur memang seolah-olah dengan pasangan sendiri tidak usah, dengan orang lain saja.
GS : Pak Paul, bukankah membangun keintiman ini sangat penting, apakah ada aspek lain yang bisa membantu pasangan-pasangan suami-istri untuk membangun keintimannya Pak?
PG : Selain dari memenuhi harapan, yang lainnya lagi adalah melalui komunikasi. Komunikasi itu benar-benar alat atau sarana yang penting sekali untuk bisa membawa keintiman ke dalam relasi kita Pak Gunawan, kata komunikasi itu berasal dari akar kata yang sama dengan komunitas, jadi dalam bahasa Yunaninya itu adalah koinonia.
Koinonia itu kita tahu berarti persekutuan. Jadi dengan kata lain tujuan berkomunikasi dapat kita simpulkan adalah keintiman, persekutuan. Memang istilah komunikasi sudah begitu berkembang sehingga sekarang kita memikirkan komunikasi sebagai penyampaian berita. Tapi sebetulnya dari kata koinonia, bersekutu kita bisa menangkap maknanya, kita menyampaikan sesuatu agar kita dekat dengan orang tersebut. Kita bukannya menyampaikan sesuatu agar kita terpisah dari orang tersebut, tidak ya tapi keintiman. Nah justru inilah yang menjadi hal terhilang dalam banyak rumah tangga, maka saya mau mengusulkan sekurang-kurangnya tiga hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah kita mesti sering-sering melakukan komunikasi, sharing. Artinya apa sharing yaitu membagi hidup, menceritakan apa yang terjadi. Jadi mulailah dengan menceritakan aktifitas, hal-hal yang telah terjadi, yang sedang kita pikirkan, apa yang tadi kita saksikan, jumpai, temui, nah bicaralah hal-hal seperti itu. Nah keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan yang seperti ini, jangan kita berkata o...itu tetek bengek, tidak usah ngomong. Keintiman dibangun di atas pembicaraan-pembicaraan tetek bengek seperti ini.
WL : Pak Paul, kalau usulan Pak Paul ini mungkin lebih mudah dilakukan oleh perempuan-perempuan, istri-istri karena memang lebih mudah bercerita, sedangkan bagi suami mungkin apalagi yang pendiam disuruh cerita-cerita seperti itu, aduh......rasanya susah. Terus ada juga suami yang menganggap kok kamu mesti bertanya sampai detail-detail seluruh kehidupan saya, memang kamu tidak percaya saya melakukan ini dan itu.
PG : Ya, kadang-kadang suami berkeberatan kalau istri bertanya-tanya terlalu mendetail dan sebagainya, tapi suami harus ingat bahwa istri itu hanya mengajak berbicara supaya terjadilah dialog, omunikasi dan si istri akhirnya merasa intim.
Nah saya perhatikan suami atau pria agak sukar untuk cerita-cerita hal-hal yang kita anggap sepele itu, tapi suami atau pria bisa berbicara tentang problem. Karena pria itu cenderung cukup bebas mengeluarkan opininya, jadi tidak setuju, tidak suka dan sebagainya itu lebih mudah keluar dari pikiran-pikiran pria. Nah kalau pria tidak bisa cerita tetek bengek yang lainnya, ceritakanlah masalah, ceritakanlah problem jadi itu pun menjadi bagian dari ceritanya, begitu. Dan inilah yang akhirnya mendekatkan kedua orang itu, yang penting waktu istri cerita-cerita, suami dengarkan, waktu suami cerita tentang problemnya, istri juga dengarkan.
GS : Cuma dalam hal ini Pak Paul, di dalam hal menceritakan saya merasakan memang ada suatu perbedaan yang mendasar. Tadi Ibu Wulan katakan kalau perempuan itu, istri-istri itu ceritanya detail sekali, kita itu bukan cuma tidak bisa cerita, mendengar saja kadang-kadang kesulitan karena panjang sekali, karena detailnya. Kita merasa kok begitu saja diceritakan, nah padahal kita kalau pun bercerita tentang masalah itu hanya garis besarnya saja, lalu ditanggapinya dalam komunikasi ini keliru Pak Paul. Kenapa kamu cerita cuma besar-besarnya saja, saya masak mengerti dia bilang begitu.
PG : Di sini memang dituntut pengertian akan keunikan masing-masing jadi kalau si istri berkeberatan karena suaminya hanya menceritakan outline, si istri bisa bertanya lebih jelas lagi dan suam ya jangan terlalu cepat bersikap defensif kalau ditanya.
Jadi pintar-pintarlah istri untuk menggali dan si suami misalkan mendengarkan istrinya bercerita dan agak panjang dan sebagainya, silakan menyimpulkan atau silakan memberikan out line, memberikan garis besarnya, rangkumannya sehingga mungkin si istri jadinya tidak terlalu sampai panjang atau bertele-tele. Tapi memang perlu adanya pemahaman akan keunikan ini, tidak terbiasa karena kita memang berbeda, tapi silakan tidak apa-apa.
GS : Ya apakah cuma sampai pada tahap itu, cerita-cerita yang tadi kita sebutkan sehari-hari apa bisa ditingkatkan lebih lanjut Pak?
PG : Yang berikutnya adalah lakukanlah komunikasi 'edifying'. Edifying itu berarti membangun, membangun artinya apa, memfokuskan pada yang positif bukan pada yang negatif. Mudah sekali kalau kia sudah berumah tangga untuk melihat dan memfokuskan yang negatifnya.
Kita melihat dia kalau ngomong, misalnya tadi itu kepanjangan misalnya begitu, kita gagal melihat bahwa o.....dia itu ingin dekat dengan kita. Dan misalkan suami kita orangnya terlalu pendiam, kita fokuskan pada dia tidak memperhatikan saya ini sampai begitu dinginnya. Kita gagal untuk melihat segi positifnya bahwa o....ya.....ya tidak, dia orang yang memang stabil, orang yang sangat rasional dan kita perlu bertanya dia baru akan menjawab, jadi silakan bertanya. Nah titik berangkat kita ini yang harus penting, kita mencoba melihat positifnya, berikan tanggapan yang positif, puji pada kwalitas-kwalitas yang baiknya. Dan di atas yang positiflah relasi dibangun, relasi tidak dibangun di atas yang negatif. Kita hanya akan bisa bertumbuh kalau yang positif itu kita tangkap, kita berikan pujian dan kita bangun ke atas. Yang menyoroti kelemahan, kekurangan terus akan berjalan di tempat, tapi pasangan yang bisa melihat positif terus mengatakannya terima kasih, saya senang dengan ini, terus berikan tanggapan yang baik kepada hal positif, itu justru akan makin kuat, makin bertumbuh, dan yang negatif itu perlahan-lahan bisa lebih keluar.
WL : Pak Paul, itu bisa dilatih atau tidak, kalau misalnya baik suami atau istri terlahir di keluarga yang memang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Apakah itu bisa dilatih pelan-pelan atau tidak atau itu hanya untuk orang-orang yang memang dibesarkan di keluarga-keluarga yang memang seperti itu keluarganya?
PG : Akan lebih sulit memang bagi orang-orang tertentu yang dibesarkan di keluarga yang misalnya terlalu banyak negatifnya, jadi dia harus bekerja lebih keras. Tapi saya kira ini bukannya sesuau yang mustahil dilakukan, bisa, masih ada harapan.
Langkah pertama selalu adalah coba tutup mulut sebelum misalnya memarahi atau mengkritik kekurangan pasangan kita. Coba tahan dulu, coba kunci mulut itu sehingga tidak mengeluarkan kata apa-apa, mulai dari situ dulu dan waktu melihat yang baik, berikan tanggapan yang positif. Mulai dari situ dulu, nah komunikasi yang edifying, yang membangun, yang akan benar-benar menumbuhkan pernikahan ini.
GS : Jenis komunikasi yang lain Pak Paul, yang dibutuhkan di dalam pernikahan itu?
PG : Yang ketiga adalah komunikasi yang penuh kasih atau loving, komunikasi yang loving, yaitu apa? Memperhatikan kepentingan pasangan dan memandang masalah dari perspektifnya. Jadi dalam berkounikasi kita tidak hanya tertarik menyampaikan pikiran kita, isi hati kita kepada pasangan kita, tetapi waktu kita berkomunikasi kita lebih tertarik mengetahui apa pikirannya dia, apa perasaannya, apa yang menjadi kerinduannya sekarang ini.
Jadi kita lebih memikirkan dia, nah ini saya kira adalah tahap yang memang paling puncak tapi waktu pasangan bisa berbuat seperti itu memikirkan apa yang diinginkan pasangannya, kenapa dia berpikir begitu, kenapa dia marah, o....berarti begini, OK-lah saya coba untuk memenuhi seperti ini. Itu komunikasi yang penuh cinta, penuh kasih benar-benar akan mengintimkan pasangan. Namun saya harus ulangi lagi bahwa, kita tidak mungkin sampai ke puncak tadi kalau kita tidak melewati jalan yang paling bawah yaitu mulai dengan komunikasi tetek bengek, sharing, cerita apapun begitu. Yang kedua adalah yang edifying, yang membangun, kata-kata yang positif. Kalau kita menyoroti yang negatif tidak mungkin sampai ke atas, kita tidak merasa dikasihi oleh dia, kalau terus dicela-cela.
GS : Pak Paul, memang ini sesuatu yang penting, apakah ada bagian dari firman Tuhan yang menguatkan perbincangan kita ini?
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 14:23, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja." Firman Tuhan mengajak kita berjeri payah dan menjanjikan bahwa dalam jerih payah ada keuntungan.
Tetapi orang yang hanya bisanya bicara, menuntut kanan-kiri tidak akan memetik apapun, jadi dimulailah dengan jerih payah.
GS : Baik terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan, terima kasih untuk berbincang-bincang pada saat ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Keintiman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.