Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan sekitar 30 menit ke depan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Melawan keputusasaan". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, hampir setiap kita pernah merasakan rasa putus asa, tapi kadang-kadang kita sulit untuk menjelaskan keputusasaan itu. Apa sebenarnya hanya ada suatu perasaan atau pikiran yang kacau dan tidak ada gairah. Tapi sebenarnya keputusasaan itu apa Pak Paul?
PG : Keputusasaan adalah lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang kita dambakan. Sebetulnya kita pernah mengalami keputuasaan, tapi mungkin yang membedakan adalah derajatnya atau brapa parahnya.
Namun saya kira kita pernah kehilangan pengharapan akan terjadinya sesuatu yang sudah kita rindukan, yang kita pikirkan akan kita peroleh, akhirnya kita tidak bisa menikmati. Nah lenyapnya pengharapan itulah yang menimbulkan keputusasaan.
GS : Kalau Pak Paul katakan lenyap, itu berarti sudah tidak bisa diharapkan lagi Pak Paul?
PG : Betul, jadi selama masih ada pengharapan, tidak ada keputusasaan. Keputusasaan hanyalah muncul tatkala kita sudah benar-benar merasakan ini final, tidak ada lagi yang bisa kita harapkan yang kita dambakan itu tidak mungkin lagi untuk datang kepada kita.
(2) GS : Kalau begitu bagaimana saya bisa tahu bahwa saya sedang berputus asa?
PG : Ada beberapa cirinya Pak Gunawan, yang pertama adalah kita merasakan kesedihan yang dalam, keputusasaan sebetulnya adalah rasa kehilangan. Waktu pengharapan lenyap yang kita dambakan it tidak bisa menjadi kenyataan, sebetulnya yang terjadi adalah kita memasuki proses kehilangan.
Proses kehilangan melahirkan reaksi dukacita, jadi reaksi dukacita adalah reaksi kesedihan atas hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat bermakna bagi kita. Jadi ciri pertama biasanya adalah kita mengalami kesedihan yang dalam.
GS : Bukankah kesedihan itu sifatnya sementara Pak Paul?
PG : Biasanya kesedihan itu bersifat sementara, namun kalau situasi tidak berubah dan kita terpaksa harus hidup dalam kondisi kehilangan itu, bisa jadi kesedihan itu tidak pernah benar-benarberangkat meninggalkan kita.
Mungkin intensitasnya tidak sama hari perhari, tapi rasa sedih itu sebetulnya terus-menerus menggenangi hati kita.
GS : Selain hal itu, ada tanda yang lain Pak Paul?
PG : Yang lain adalah rasa kecewa, rasa kecewa muncul tatkala pengharapan tidak bisa kita realisasikan, yang kita nantikan tak mungkin kembali lagi. Sebelum kita lanjutkan Pak Gunawan, saya ngin memberikan sebuah kisah kehidupan nyata yang pernah terjadi, dan ini akhirnya dibukukan.
Nama orang tersebut adalah Dr. Victor Frankle beliau seorang psikiater berkebangsaan Austria. Karena berketurunan Yahudi, dia dimasukkan ke dalam tempat penahanan yang disebut camp konsentrasi oleh Hitler pada Perang Dunia ke II. Nah dia menuliskan pengalamannya itu dalam sebuah bukunya yaitu "Pencarian Makna Hidup". Dia berkata bahwa pertama-tama, dia melihat rekan-rekan sesama tawanan mempunyai spirit yang kuat karena mereka berharap mereka akan segera dibebaskan. Setiap hari pembicaraan itu tidak lepas dari o...nanti tentara sekutu akan datang menyerang Jerman dan kita akan dibebaskan, terus-menerus itu yang mereka utarakan. Tapi hari lewat hari, bulan lewat bulan tidak ada pembebasan, akhirnya yang disaksikan oleh Dr. Frankle adalah para tawanan ini kehilangan harapan, putus asa. Waktu terjadi keputusasaan, yang muncul adalah kemurungan dan juga kekecewaan yang dalam karena yang mereka nantikan tidak menjadi kenyataan, dampaknya sangat-sangat tragis. Dr. Frankle menulis sebagian dari mereka mati bukan karena dibuang atau ditaruh dalam kamar gas, tapi mati dalam tidur mereka akibat depresi yang begitu dalam. Sebagian dari mereka memang mati di kamar gas, karena tentara Jerman mewajibkan mereka untuk tiap pagi berjalan ke sebuah tempat membangun jalan kereta api, pada musim panas atau pada musim dingin, sama. Nah Jerman akan melihat siapa yang berjalan dengan gagah dan siapa yang berjalan dengan kepala tertunduk karena tubuhnya sudah lemah. Yang mengalami keputusasaan akan berjalan dengan tubuh yang lemah dan mereka itulah yang langsung dipanggil keluar dari barisan dan langsung dimasukkan ke dalam kamar gas. Jadi dari cerita ini kita bisa melihat bahwa keputusasaan itu melahirkan ciri atau gejala yang bisa diamati, salah satunya adalah rasa kecewa yang dalam.
GS : Pak Paul kalau kita mengalami kekecewaan biasanya ada kita ini sedang kecewa terhadap siapa, nah dalam hal ini siapa sebenarnya atau terhadap siapa sebenarnya orang ini kecewa?
PG : Misalkan kita kecewa terhadap orang yang kita anggap bertanggung jawab untuk merealisasikan dambaan kita itu. Bisa juga kepada organisasi yang kita anggap atau kita tuntut bertanggung jwab menyediakan yang kita dambakan.
Bisa kepada sesama kita orang-orang lain yang dekat dengan kita atau kita kasihi, misalnya pasangan hidup kita atau anak-anak kita dan bahkan dalam kasus-kasus yang tertentu kekecewaan terhadap Tuhan, sebab kita beranggapan Tuhan tidak seharusnya melakukan ini kepada kita kenapa kok Dia melakukannya.
GS : Kalau dalam kasus yang tadi Pak Paul ceritakan, orang yang ditawan itu sebenarnya dia kecewa terhadap siapa, Pak Paul?
PG : Banyak ya, jadi saya pernah membaca cuplikan kisah-kisah yang lain, sebagian dari mereka memang kecewa berat terhadap Tuhan. Jadi saya pernah membaca satu cuplikan yang lain di mana sema tawanan akhirnya bertanya: "Dimanakah Tuhan?" Karena mereka tidak melihat pertolongan Tuhan, tahun demi tahun mereka melihat betapa banyaknya rekan-rekan mereka sesama orang Yahudi yang dibunuh di kamar gas, kok Tuhan tidak menolong mereka.
GS : Selain kekecewaan dan kesedihan yang tadi Pak Paul sudah bahas, apakah ada ciri yang lain, Pak Paul?
PG : Yang lainnya adalah rasa apatis, rasa tidak peduli lagi. Jadi orang yang putus asa cenderung bersikap masa bodoh. Kenapa bersikap masa bodoh? Sebab mereka tidak lagi mempunyai pengharapn pada orang di sekitar mereka, mereka sudah memvonis bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan atau dilakukan oleh orang lain.
Jadi mereka hanya bisa pasrah menerima nasib mereka, maka salah satu respons yang biasanya muncul adalah rasa tidak peduli, apatis sekali. Itu sebabnya kalau kita ingin menolong orang yang sedang berada dalam kondisi putus asa tidak mudah, tidak mudah karena kita harus pertama-tama membangkitkan kembali motivasi yang sudah terhilang, karena mereka sudah tidak lagi mau peduli apapun yang kita katakan, jalan apapun yang kita tawarkan sebab mereka sudah putus asa.
GS : Tetapi rasa atau apatisme seperti ini bisa juga merugikan dia sebenarnya, merugikan orang yang sedang putus asa itu Pak Paul?
PG : Bisa, karena dengan apatis sebetulnya dia sudah menutup pintu terhadap bantuan orang, tapi itulah perasaan yang kuat, yang mendominasi keputusasaan. Benar-benar kita itu seolah-olah sudh menggunting tali hubungan kita dengan orang atau dengan lingkungan di sekitar kita, benar-benar kita itu sudah beranggapan bahwa saya dan mereka atau saya dan engkau tidak lagi berhubungan.
Jadi apapun yang engkau lakukan atau yang engkau katakan tidaklah membawa dampak kepadaku atau mengubah situasiku.
GS : Itu berbeda dengan orang yang tidak peduli, Pak Paul?
PG : Saya kira ada bedanya, ada orang-orang yang memang mempunyai bawaan sikap tidak peduli dengan orang, hanya mengurus dirinya sendiri, tapi tidak putus asa, orang-orang seperti ini hanyalh orang yang memang mungkin sangat privat sekali, tidak mau mengganggu orang dan tidak suka diganggu orang, jadi akhirnya rasa kepedulian terhadap sesama juga berkurang.
Kalau ini tidak, bisa jadi orang yang tadinya sangat mempedulikan sesamanya, mau membantu orang lain akhirnya waktu keputusasaan menimpanya dia tidak lagi mempunyai keinginan tersebut.
GS : Ciri yang lain selain rasa sedih, kecewa dan apatis, apalagi Pak Paul?
PG : Yang lainnya lagi adalah rasa ingin mengakhiri hidup, jadi lenyapnya pengharapan yang kita dambakan (apalagi yang didambakan itu bermakna buat kita) biasanya akan membuat kita berpikir uat apa hidup, kita akan kehilangan makna hidup atau tujuan hidup kita, buat apa lagi kita hidup.
Ini bisa saya kaitkan dengan seseorang yang misalkan kehilangan suami atau istri yang sangat dikasihi atau anak yang dikasihi atau orang tua yang sangat dikasihi. Saya kira yang terberat adalah tatkala kita berpikir sepeninggalnya orang tersebut, tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikannya, tidak akan ada lagi yang bisa menduduki posisi itu. Misalnya kita terbiasa hidup dengan pasangan kita tahun demi tahun dan sekarang sudah berlangsung selama 30 tahun dan kita harus kehilangan dia. Nah yang sangat memukul sebetulnya bukan kehilangan itu sendiri, meskipun tadi saya katakan kehilangan itu memang berat, tapi yang lebih memukul lagi adalah pemikiran bahwa setelah dia pergi tidak akan ada lagi seseorang di sampingku yang bisa menemaniku, yang bisa mencintaiku dan dicintai olehku seperti ini, yang bisa bercengkrama denganku. Nah kehilangan pengharapan akan adanya moment-moment yang spesial seperti itulah yang bisa membuat kita akhirnya putus asa.
GS : Pak Paul, orang yang tadi Pak Paul katakan rasa ingin mengakhiri hidup itu sungguh-sungguh mau mengakhiri hidup atau cuma sekadar luapan emosinya saja Pak?
PG : Pada awalnya semuanya memang bersumber dari luapan emosi, tapi riset memperlihatkan orang yang membunuh diri adalah orang yang pernah mencoba membunuh diri. Saya jelaskan artinya, orangyang berhasil mati karena membunuh diri adalah orang yang sebelumnya pernah mencoba, bisa sekali atau bisa berkali-kali membunuh diri tapi tidak berhasil.
Misalkan memakan atau menelan pil, tapi keburu diselamatkan atau hal-hal yang lainnya. Nah yang berikutnya lagi adalah orang yang pernah mencoba membunuh diri adalah orang yang pernah berkata-kata bahwa dia akan membunuh diri, meskipun belum ada tindakannya tapi sudah pernah berkata-kata. Dan yang terakhir adalah kaitannya dengan ini, orang yang pernah berkata-kata bahwa dia ingin membunuh diri adalah orang yang awalnya berpikir tentang kematian dan mau mati, jadi kaitannya atau urutannya memang seperti itu Pak Gunawan.
GS : Tetapi memang ada pula orang yang langsung bunuh diri dan berhasil Pak Paul?
PG : Ada, dan biasanya yang cenderung berhasil adalah pria, karena biasanya pria menggunakan cara membunuh diri yang lebih keras yang lebih 'violent', sehingga akhirnya waktu dia bunuh diri enar-benar meninggal.
GS : Pak Paul, tadi Pak Paul sudah katakan ada 4 ciri, apakah mungkin itu merupakan suatu campuran dari keempatnya atau dari ketiganya atau berdiri sendiri-sendiri atau bagaimana Pak Paul?
PG : Biasanya keempatnya memang ada, tapi sekali lagi kita ini bisa membedakan dari sudut derajatnya berapa besar, berapa kecilnya. Sudah tentu rasa ingin mengakhiri hidup itu adalah puncak egalanya.
Kalau sudah rasa murung yang dalam, kecewa yang dalam, tidak peduli yang dalam, biasanya langkah terakhir atau respons terakhir adalah buat apa hidup.
(3) GS : Nah perasaan-perasaan itu muncul pasti ada penyebab atau sumbernya Pak Paul, apa yang menyebabkannya?
PG : Salah satu penyebab keputusasaan yang paling umum adalah penderitaan yang tak kunjung berakhir. Tapi kalau kita menderita, sebetulnya tanpa disadari kita memberikan jadwal atau memberikn batas waktu, seolah-olah kita ini mempunyai jam dalam hati kita atau jiwa kita atau penanggalanlah, kapan seharusnya penderitaan itu berakhir.
Nah sewaktu penderitaan itu tak kunjung berakhir meskipun sudah jatuh tempo menurut penanggalan jiwa kita, reaksi yang muncul adalah keputusasaan. Jadi sesuai dengan contoh tadi tentang orang-orang yang ditahan di camp konsentrasi.
GS : Tetapi sebenarnya kalau dipikir jadwal itu bisa mundur, Pak Paul?
PG : Makanya ada orang-orang yang berhasil melewati tanpa putus asa, yaitu orang-orang yang berhasil menarik jadwal itu atau batas temponya dan dia akan berkata memang ini porsi hidupku, dandia akan lewati hari lepas hari.
Nah orang yang tidak berhasil mengundurkan batas temponya itulah orang yang akan akhirnya melewati keputusasaan.
GS : Penyebab yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang lainnya adalah penantian akan yang lebih baik ternyata tidak terwujud. Jadi waktu kita akhirnya sadar bahwa yang kita dambakan itu lenyap, biasanya ada satu harapan tersirat yaituOK-lah yang itu tidak saya dapatkan, namun mungkin saya akan mendapatkan yang lainnya.
Sesuatu yang tidak seideal yang kita dambakan tapi satu tingkat di bawahnya, nah ini yang saya maksud. Karena secara alamiah kita berpikir atau mempunyai pengharapan seperti itu, maka kita akan menginvestasikan penantian kita. Waktu yang kita nantikan itu tidak terwujud kita putus asa, sebab yang ideal tidak kita dapatkan, yang di bawah ideal yang kita juga harapkan itupun tidak datang, akhirnya kita terpaksa memakan yang paling buruk, menelan yang paling pahit, itu yang sering kali memukul kita.
GS : Apakah ada contoh konkret di dalam Alkitab Pak Paul, sehubungan dengan keputusasaan?
PG : Saya akan membacakan dari Mazmur 10 sekaligus kita melihat jawaban-jawaban dari Firman Tuhan. Mazmur 10:1 "Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh ya Tuhan, dan menyebunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan."
Jadi teriakan kenapa Tuhan Engkau menyembunyikan diri, bahasa yang sangat kuat sekali seolah-olah Tuhan memang tidak mau menolong. Ayat ke-12 disambung lagi "Bangkitlah Tuhan ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu, janganlah lupakan orang-orang yang tertindas." Jadi dalam keadaan sesak, tertekan, putus asa, kita cenderung menuduh Tuhan seolah-olah sengaja bersembunyi dan sengaja tidak mau menolong kita yang tertindas itu, nah itu yang pertama kondisi kita ini dalam keadaan putus asa. Tapi pemazmur tidak berhenti di situ dia melanjutkan di
Mazmur 10:14 "Engkau memang melihatnya sebab Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. KepadaMulah orang lemah menyerahkan diri, untuk anak yatim Engkau menjadi penolong." Jadi langsung pemazmur menjawab, Tuhan melihat penderitaan manusia, pemazmur tidak berhenti pada teriakan, tidak berhenti kenapa Tuhan bersembunyi, tapi dia langsung berkata Tuhan melihat, ini adalah penyataan imannya dan ditutup dengan
Mazmur 10:17 yang berkata: "Keinginan orang-orang tertindas telah Kau dengarkan ya Tuhan, Engkau menguatkan hati mereka, Engkau memasang telingaMu untuk memberi keadilan kepada anak yatim dan orang yang terinjak, supaya tidak ada lagi seorang manusia di bumi yang berani menakut-nakuti." Jadi terakhirnya pemazmur berkata: "Tuhan bertindak". Jadi masa keputusasaan, hati harus diimbangi dengan kepala, itu nasihatnya. Artinya meskipun hati berteriak, hati mengeluh, meraung-raung, jangan sampai kepala tidak bersuara. Kepala adalah ingatan akan Firman Tuhan, ingatan akan siapa Tuhan, Tuhan bukanlah Tuhan yang kejam, yang jahat, yang senang melihat anak-anakNya kesusahan dan menderita. Kalau Dia Tuhan yang jahat, Dia tidak akan mati di kayu salib untuk dosa kita. Jadi bukti bahwa Tuhan mengasihi kita dan Tuhan adalah Tuhan yang baik adalah bukti sejarah, Dia telah mati untuk dosa kita, nah jangan sampai kesusahan hidup kita akhirnya menutupi fakta yang sudah sangat jelas itu.
GS : Tapi biasanya hal-hal seperti itu tidak teringat lagi oleh seseorang yang sedang putus asa Pak Paul, jadi perasaannya itu menutupi pikirannya, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Sering kali demikian, maka pada awalnya sewaktu kita sudah mulai merasakan keputusasaan, kita harus langsung melawannya, melawannya dengan Firman Tuhan, dengan berdoa mengingatkan lagi ahwa Tuhan tidak seperti yang kita rasakan.
Biarkan pikiran kitalah yang memandu langkah hidup kita bukan perasaan kita lagi. Langkah yang lainnya lagi, yang praktis yang bisa kita lakukan lagi adalah bersekutu dengan sesama kita, cari orang lain, bicara dengan orang lain, ijinkan orang untuk menguatkan kita. Saya ingin tutup dengan sebuah kisah Pak Gunawan, tentang seorang wanita yang bernama Vivian Felix, dia adalah istri seorang rektor yang tinggal di Amerika Serikat, dia terkena kanker dan dalam keadaan sangat parah beliau dikunjungi oleh seorang hamba Tuhan bernama Pdt. Jack Hayford. Pdt. Jack Hayford memberikan nasihat yang sangat bagus yaitu: "Vivian, pada saat seperti ini engkau harus mengijinkan orang lain untuk memikulmu, mendukungmu." Nah nasihatnya terus diikuti oleh Vivian, sehingga begitu banyak orang yang mengasihi Vivian Felix ini dan memberikan dukungan, doa dan sebagainya sampai akhirnya tahun 2000 Tuhan memanggil dia pulang. Nah sekali lagi persekutuan, buka diri dan ijinkan orang masuk dan mengasihi kita dan mendukung kita.
GS : Ya Pak Paul, saya percaya perbincangan ini akan menguatkan hati banyak orang khususnya para pendengar yang mungkin pada saat ini pada tahap-tahap awal dalam keputusasaan, namun saya percaya bahwa perbincangan kita ini akan menjadi berkat buat kita semua yang sudah mendengarkannya. Terima kasih Pak Paul, dan saudara-saudara pendengar, demikianlah tadi kami telah menyampaikan ke hadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga).
Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melawan Keputusasaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.