Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, melengkapi perbincangan kita pada tiga sesi sebelumnya, kita sudah banyak membahas mengenai pengaruh negatif media terhadap keluarga pada khususnya. Kali ini tentu kami, para pendengar dan beserta semua orang yang terlibat dalam pelayanan tentang keluarga ingin mengetahui solusi untuk mengatasi pengaruh negatif tersebut. Bagaimana solusinya ?
SK : Yang pertama, kita perlu membatasi waktu dalam menggunakan atau menikmati media, termasuk di dalamnya bersikap selektif terhadap acara, tayangan dan program media yang kita gunakan. Jadi dalam hal ini bukan berarti karena ada hal-hal negatif dari media, sehingga serta merta kita buang semua penggunaan teknologi media kita. Dan mungkin misalnya menjadi seperti orang-orang Kristen Amish di Amerika Serikat yang anti kemajuan jaman, hanya hidup dengan alam tanpa menggunakan listrik dan lain-lain. Atau seperti orang-orang Badui di Jawa Barat. Kita tidak perlu se-ekstrem itu, tetapi kita gunakan dengan membatasi waktu dan bersikap selektif.
H : Apakah pembatasan ini termasuk kategori kita bisa melakukan puasa media, Pak ?
SK : Ya. Sebelum membahas tentang puasa media, saya perlu memberikan contoh konkret tentang pembatasan media. Mungkin waktu yang baik untuk menonton seperti saran umum seperti yang pernah disebutkan dalam bahasan kita sebelumnya, maksimal dua jam per hari kita menggunakan media, misalnya media televisi. Jadi misalnya ada seorang yang berkomitmen 1 : 3, seperti seorang penulis dalam hal media dan keluarga, memberikan tips 1 : 3. Kalau kita menggunakan waktu interaksi dengan keluarga selama 3 jam, kita baru bisa menggunakan atau menikmati media selama 1 jam, baik itu televisi, jejaring sosial dan sebagainya. Tips 1 : 3 ini sebagai contoh saja, bukan sebagai sesuatu yang baku, tapi sebagai suatu pembanding. Seperti yang saya usahakan diterapkan di rumah yaitu waktu bagi anak saya menonton televisi cukup satu jam per hari. Saya pernah cerita bahwa saya tumbuh di keluarga yang berlimpah jam-jam menonton televisi. Dengan membatasi anak-anak ini akhirnya membuat saya belajar untuk membatasi diri dengan penuh kesabaran. Saya menonton dalam waktu 10 – 15 menit, kemudian saya menggunaakan waktu bersama anak saya. Anak saya menonton televisi 1 jam, lalu saya menonton televisi yang sama selama 1 jam, kemudian istri saja juga menonton 1 jam, itu berarti 3 jam kami tidak berkomunikasi 'kan ? Jadi satu jam yang terpisah-pisah itu bisa berarti 3 jam, kalau tiga orang. Jadi satu jam itu maksudnya satu orang bersama-sama, menonton bersama dalam waktu satu jam. Tapi kalau satu jam terpisah-pisah itu berarti berlipat. Jadi jangan terkelabui oleh hal itu. Intinya media digunakan secukupnya, lebih banyak waktu yang digunakan untuk membangun relasi yang hidup antara anggota keluarga.
H : Apa perbedaannya dengan puasa media, Pak ?
SK : Memahami puasa media semudah kita memahami puasa makan. Saya mau puasa makan dan minum. Itu sebenarnya sebuah bentuk ekspresi saya belajar menyatakan kepada Tuhan, "Tuhan, Engkaulah segala-galanya. Saya rela setengah hari/sehari/dua hari ini untuk tidak makan dan minum. Saya menyatakan saya jauh butuh Engkau daripada kenikmatan makanan dan minuman ini." Tapi kita lupa untuk konteks sekarang tidak cukup kita berpuasa makan atau minum, tapi juga media. Media juga makanan jiwa kita. Puasa media perlu sesekali kita lakukan. Misalnya setengah hari atau satu hari penuh sama sekali tidak menonton televisi, sama sekali tidak membaca koran atau majalah, sama sekali tidak membuka internet, sama sekali tidak mengecek handphone. Itu masa kita untuk belajar mengatasi rasa galau dengan kemungkinan kebergantungan pada media teknologi. Kita gunakan waktu itu dalam relasi kita dengan Tuhan, memfokuskan relasi dengan keluarga dan saudara-saudara kita. Kita membangun suatu kesadaran, "Aku bisa hidup tanpa media." Jadi kalau dikatakan oleh firman Tuhan jaman sekarang: "Manusia hidup bukan dari media saja, tetapi manusia hidup dari perkataan yang keluar dari mulut Allah."
H : Jadi boleh disimpulkan poin yang pertama tadi kita membatasi media karena kita mau menyisihkan waktu bersama keluarga, poin yang kedua ini sebenarnya dalam konteks kita mau fokus pada relasi kita dengan Tuhan, begitu Pak ?
SK : Ya. Bisa tentang relasi dengan Tuhan, tapi juga bisa dalam bentuk relasi dengan keluarga dan saudara-saudara kita. Intinya, kalau yang tadi hanya membatasi jam penggunaan media, itu bersifat keseharian. Batasi dan selektif. Poin yang kedua adalah ada saatnya kita sama sekali tidak menggunakan atau tidak berinteraksi dengan media-media ini. Misalnya dalam sehari penuh kita atau keluarga kita sama sekali tidak menggunakan media, namun lebih menggunakan waktu untuk kebersamaan secara interaktif dengan anggota keluarga yang lain, plus menggunakan waktu membangun hubungan pribadi dengan Tuhan. Satu hari tanpa media. Inilah puasa media.
H : Konkretnya mingguan ya, Pak. Misalnya dalam seminggu ada satu hari kita tidak menggunakan media sama sekali, Pak ?
SK : Bisa. Tapi juga mungkin bagi kebanyakan orang satu hari dalam seminggu tanpa media adalah hal yang berat, tidak apa-apa bila dilakukan sebulan sekali atau tiga bulan sekali. Ini sebagai cara untuk menyehatkan jiwa kita.
H : Kalau cara yang ketiga apa, Pak ? Selain membatasi dan puasa media ?
SK : Poin pertama dan kedua tadi kesannya sebuah penderitaan ya, Pak Hendra ?
H : Maksudnya dengan penderitaan, Pak ?
SK : Iya. Kita kan harus membatasi. Media itu 'kan nikmat, membuat nyaman dan terhibur, membuat perasaan gembira. Tapi dengan membatasi dan berpuasa itu 'kan penderitaan. Nah, poin yang ketiga justru mengejar kenikmatan dan kebahagiaan itu dengan menjadi hedonis Kristen.
H : Maksudnya apa, Pak ?
SK : Hedonisme itu mengejar kepuasan dan kenikmatan. Seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang material, yang di permukaan, bersifat fisik, bahkan identik dengan dosa. Tapi istilah hedonis Kristen berarti begini, firman Tuhan mengatakan dalam 1 Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukan itu untuk kemuliaan Allah." Jadi teks firman Tuhan mengatakan engkau boleh makan, minum, melakukan apapun yang membuat engkau nikmat, tapi lakukan itu untuk kemuliaan Allah. Ini sejalan dengan pernyataan penting dalam Katekismus Westminster, salah satu dokumen intisari pengajaran iman Kristen yang digali dari berbagai teks Alkitab, mengatakan begini: Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Tujuan utama manusia, bukan tujuan-tujuan. Jadi dengan kata lain, ada satu tujuan manusia hidup di dunia ini yaitu memuliakan Allah sekaligus menikmati Allah. Ingat ada kata "menikmati". Dari kata inilah muncul istilah hedonisme Kristen. Istilah ini dipopulerkan oleh Pendeta John Piper, seorang pendeta jemaat dan penulis buku "Desiring God" atau sudah disalin dalam bahasa Indonesia "Mendambakan Allah". Jadi marilah kita tetap mengejar kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan di dunia ini yang selama ini mungkin kita identikkan mencari di dalam media tapi kini kita cari di dalam Allah. Jadilah Hedonis Kristen.
H : Konkretnya Hedonisme Kristen itu dibangun dalam bentuk seperti apa, Pak ?
Sk : Jadi mari kita sadari bahwa mengejar kebahagiaan itu tidak berdosa. Manusia diciptakan Allah untuk mengejar dan mengalami kebahagiaan. Yang kedua, kebahagiaan sejati hanya bisa kita dapatkan di dalam relasi dengan Tuhan kita dan dengan cara kita berbagi kasih dengan sesama kita. Jadi kita mengejar kebahagiaan dalam membangun keintiman dengan Allah secara personal atau secara komunal. Secara pribadi atau secara kelompok dalam keluarga kita, dengan saudara-saudara seiman membangun belajar iman, membangun penerapan, sharing, berdoa bersama, termasuk melayani satu sama lain. Berbuat kasih, mempraktekkan kasih, itulah Hedonis Kristen. Dan kepuasan itu tidak bisa digantikan oleh kepuasaan sesaat yang kita alami dengan media. Kalau kita puas di dalam Allah, maka media tidak akan pernah membuat kita kecanduan. Media akan bisa kita gunakan secara terbatas, selektif, atau pada saat tertentu kita bisa berkata "tidak" terhadap media karena saya sudah puas di dalam Allah, puas berelasi dengan Allah, puas dalam relasi melayani sesamaku.
H : Dan termasuk melakukan atau menggunakan media itu untuk kemuliaan Allah, ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Kalau poin yang keempat apa, Pak ?
SK : Yang keempat adalah tingkatkan interaksi yang sehat dalam keluarga. Dalam hal ini saya mau menggarisbawahi istilah "waktu yang bermutu atau waktu yang berkualitas". Kebanyakan kita di era yang begitu padat dengan akitvitas, kita berkata, "Yang penting 'kan kualitasnya. Buat apa kuantitas begitu melimpah tetapi tidak berkualitas. Kebersamaan antara suami dan istri atau orang tua dengan anak." Hei, jangan lupa ! Kualitas tidak pernah diciptakan dalam waktu yang sempit. Kualitas itu membutuhkan waktu yang memadai, membutuhkan kuantitas waktu yang memadai. "Papa hanya punya waktu setengah jam. Ayo kita gunakan waktu yang berkualitas. Ayo kamu bercerita dalam 30 menit. Papa akan tanggapi dengan empatik." Tidak bisa ! Jadi kita jangan terperangkap dengan waktu yang berkualitas, "Ayo kita berlibur ke Danau Toba. Tahun depan kita liburan di Bunaken." Tapi dalam kesehariannya tidak ada waktu untuk berinteraksi. Jadi meningkatkan interaksi yang sehat dalam keluarga itu membutuhkan keseharian, kebersamaan lewat hal-hal yang natural sehari-hari.
H : Pernah Bapak singgung sebelumnya yaitu tantangan terbesar terutama dihadapi oleh para pria, untuk kalangan ayah yang bekerja di luar, yang seharian sudah sibuk di luar rumah dan ketika pulang dia sudah kelelahan, dan disini konteksnya dia harus meningkatkan interaksi yang sehat dengan keluarganya dengan menyisihkan waktu yang memadai. Solusinya bagaimana, Pak ?
SK : Dalam hal ini perlu disadari para pria bahwa itulah titik lemah kita. Kita sebagai pria sebenarnya lahir sebagai pribadi yang enggan bicara. Kita fokus pada kegiatan fisik, problem solving (pemecahan masalah). Tapi kita sadari, pria berani menikah, berarti pria itu berani untuk membangun relasi. Apalagi berani punya anak, berarti berani menjadi ayah yang baik. Dan disini relasi komunikasi diperlukan. Mari jadikan waktu di rumah seserius sebagaimana kita serius di tempat kerja kita. Tinggalkan pekerjaan kita, gunakan waktu 1-2 jam untuk benar-benar bermain, mendengar, bercakap-cakap dari hati ke hati dengan anak dan istri. Di dalam hal ini berhubungan dengan waktu yang berkualitas, mari gunakan kegiatan masak bersama. Sesekali masaklah sesuatu bersama-sama, masakan yang sederhana saja. Membuat mie goreng, pancake, jajanan pasar dan sebagainya. Sambil melakukan kegiatan itu kita membangun keceriaan, kita bisa sambil berbincang, "Dulu Papa begini lho…". Dengan cerita memori masa lalu, anak bisa nyaman dan dia juga ingin bercerita. "Papa, aku sukanya ini ! "Papa, di sekolah aku punya teman seperti ini, di gereja temanku seperti ini." "Aku ada masalah ini…". Jadi artinya lewat hal-hal yang ringan dan kadang kesannya remeh, akhirnya bisa masuk ke cerita-cerita yang dalam, masuk ke personal dan anak tidak akan merasa diinterogasi (ditanya-tanya) atau diinvestigasi (diselidiki) oleh orang tuanya. Jadi waktu yang berkualitas itu lahir lewat waktu yang berlimpah dalam keseharian, yang mungkin hanya 1-2 jam sehari tapi akan membangun kedalaman.
H : Dengan kata lain, seorang ayah itu harus secara sadar dan sengaja berinisiatif untuk membuat waktu khusus untuk berinteraksi dengan anak dan istrinya ya. Bukan sambil melakukan kegiatan misalnya sedang dalam perjalanan atau sambil menonton televisi bersama-sama, Pak ?
SK : Betul.
H : Ya Pak. Poin yang kelima apa, Pak ?
SK : Carilah pertolongan bagi yang sudah mengalami kecanduan media. Perlu kita sadari bahwa kecanduan media tidak bisa kita pandang remeh. Tapi butuh tindakan nyata untuk menyelesaikan, kita butuh pertolongan dan butuh pendampingan. Saya suka dengan suatu ungkapan, "Orang Bijak Peduli Konseling". Seringkali kalau diminta mencari pertolongan, pendampingan atau konseling, orang berkata, "Aku masih waras, masih sehat ! Aku bukan seperti orang gila di rumah sakit jiwa itu !" Justru saya bilang, orang yang sudah di rumah sakit jiwa itu sudah tidak bisa berpikir jernih. Yang dia butuhkan adalah obat, suntikan, butuh pendekatan medis. Justru orang yang waras, orang yang masih berpikir sehatlah, yang menyadari dia mempunyai masalah, dan dia bersedia mencari konselor, hamba Tuhan atau orang-orang lain yang bisa memberikan pertolongan dalam bentuk konsultasi ataupun pendampingan dan bimbingan ! Jadi saya sepakat dengan motto "Orang Bijak Peduli Konseling".
H : Memang kenyataannya seringkali akan lebih mudah jika kita ditolong oleh 1-2 orang di luar diri kita sendiri daripada kalau kita berjuang sendiri untuk mennghadapi masalah.
SK : Betul, begini Pak Hendra. Adakalanya orang yang mengalami kecanduan media seperti bahasan sebelumnya itu bukan sekadar media saja, tapi bentuk dari pelarian dari masalah, kekosongan, hal-hal tertentu yang tidak nyaman, dia tutupi dengan media. Dia lari kepada media ! Orang tersebut seringkali tidak menyadarinya. Dengan adanya pendamping, hamba Tuhan atau konselor yang sudah diperlengkapi dengan pendidikan khusus, maka dia akan bisa menjadi penolong yang baik, pendamping yang baik, untuk menolong dia mengenali akar masalahnya dan dibimbing setahap demi setahap menyelesaikannya dan akhirnya dia bisa menggunakan media secara proposional. Tidak lagi secara eksesif, sebagaimana selama ini dia mengalami kecanduan media.
H : Akhirnya yang tidak disadari itu bisa disadari dan bisa diselesaikan, ya ?
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Selain mencari pertolongan, poin apa lagi yang bisa dijadikan titik solusi kita ?
SK : Yang keenam, orang tua perlu mengenali karakteristik alat-alat media tehnologi atau gadget yang diberikan kepada anaknya dan dia perlu memantau penggunaannya. Jadi seringkali tanpa sadar berpikir, "Gadget itu seperti mainan. Ditinggal saja tidak perlu diawasi." Jangan lupa ! Gadget atau alat teknologi itu bersifat interaktif. Ada kasus yang membuat saya merasa prihatin. Kasus di Filipina dimana ada anak gadis di bawah 10 tahun, tanpa disadari orang tuanya, pikirnya di rumah 'kan aman, ternyata karena dia memiliki akses internet tanpa batas di rumahnya, gadis ini menjadi korban kaum pedofilia. Kaum pedofilia ini berasal dari berbagai negara mereka ini menyukai anak-anak gadis di bawah umur sebagai objek seksual mereka. Mereka bayar lewat kartu kredit dan anak itu diminta untuk membuka pakaiannya di depan tayangan semacam Skype lalu ditonton oleh kaum pedofil melalui internet di banyak negara. Itu menjadi pelecehan seksual tanpa perlu kontak secara fisik. Dalam hal ini saya tidak merasa galau dengan isu gereja setan dan sekte sesat. Bagi saya yang sesat seperti itu gampang ditangani, gampang dilokalisir. Tapi bagi saya ancaman yang luar biasa adalah kesesatan di dalam rumah kita, termasuk di kamar anak-anak atau bahkan di kamar kita sendiri. Ketika kita menggunakan media secara tidak bertanggung jawab, tidak ada pemantauan, maka media itu akan liar bahkan menjadi seperti iblis yang menelan kita, yang seperti dikatakan oleh Rasul Petrus, mengelilingi kita mencari kesempatan menelan kita anak-anak Tuhan. Inilah yang mesti kita sadari. Berani memberikan gadget tertentu pada anak kita, berarti kita bersedia mempelajari bagaimana menggunakan gadget itu, bagaimana dampaknya dan kita mau sering-sering membangun komunikasi dengan anak kita. Membahas apa yang dia dapatkan dan nikmati, pelan-pelan kita bisa memantau dengan siapa dia berteman dan bagaimana batas waktu penggunaan gadget itu. Dengan begitu kita menjadi orang tua yang bertanggung jawab.
H : Itu fakta yang sangat mengerikan ya, Pak. Berarti poin yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai poin khusus bagi orang tua mengenai pemantauan terhadap anak-anak mereka ya, Pak ? Jadi lebih ke orang tua terhadap anak secara umum atau pribadi. Kalau selain orang tua memantau anak, adakah cara lain yang bisa dilakukan misalnya oleh kelompok di luar keluarga ?
SK : Ada, Pak Hendra. Saya memberikan empat tips aksi kelompok. Kalau yang tadi adalah aksi yang bersifat pribadi atau individual, sekarang aksi yang bersifat kelompok. Yang pertama, mari sebagai gereja Tuhan kembangkan sekolah jemaat, pemuridan intensional, pemuridan yang dilakukan secara sadar, sengaja dan terarah pribadi ke pribadi, serta mengembangkan komunitas yang sehat, sejati, ada kasih karunia di dalam gereja kita. Kembali isu media yang kita bahas tadi termasuk dalam sesi-sesi sebelumnya itu adalah pengaruh media kepada relasi. Media seringkali dianggap menggantikan relasi, padahal relasi tidak pernah dapat digantikan sepenuhnya oleh media. Mari, di gereja masing-masing, ciptakan relasi yang sesungguhnya, relasi seperti yang diinginkan Tuhan dimana kita sebagai gereja dibangun di atas pondasi firman. Mengerti, dimuridkan, dicerahkan dengan firman Tuhan, dibuat cerdas oleh firman Tuhan, sambil kita membangun komunitas yang sehat, ada kasih karunia, ada kepedulian, ada saling membangun. Itu aksi yang pertama, Pak Hendra.
H : Yang kedua apa, Pak ?
SK : Yang kedua mari kembangkan layanan titipan anak secara Kristiani. Fenomena sekarang, ada kalanya ayah dan ibu sama-sama bekerja. Dimana anak dititipkan ? Dalam kasus-kasus yang sudah saya ungkapkan di sesi yang lalu, ada kalanya televisi menjadi babysitter (pengasuh) sang anak. Mari kalau memang tidak ada orang tua atau kakek nenek yang bisa mendampingi, kita perlu layanan anak-anak, kita titipkan anak kita pada tempat penitipan anak yang sudah terbukti baik. Kalau belum ada, mari kita sebagai gereja Tuhan dirikan tempat penitipan anak, yang kita asuh secara bertanggung jawab, sehingga itu menjadi aksi kelompok.
H : Kelihatannya poin kedua ini masih sangat langka, Pak.
SK : Ya. Mungkin untuk beberapa kota masih langka dan justru ini membuka ruang pelayanan. Mari, pelayanan jangan dibatasi hanya di dalam gedung gereja tapi juga bisa di luar gedung gereja, melayani jemaat dan masyarakat termasuk lewat tempat penitipan anak yang berkualitas.
H : Aksi kelompok yang ketiga seperti apa, Pak ?
SK : Yang ketiga yaitu mari sebagai gereja Tuhan atau kelompok orang percaya kita bisa kembangkan kegiatan bermain yang bersifat edukatif di luar jam belajar. Anak pulang sekolah, orang tua mungkin masih bekerja. "Daripada menganggur, berikan saja video game, berikan kaset-kaset video, kita beri fasilitas berbagai tayangan televisi." Dan kita tahu hal itu tidak membangun. Daripada bermain yang sifatnya pasif dan solitaire atau seorang diri, bukankah lebih sehat kalau anak-anak belajar bermain dengan kelompok, dolanan anak-anak seperti petak umpet, gobak sodor ? Di kampung-kampung sudah jarang, apalagi di perumahan-perumahan modern. Gereja bisa ciptakan itu ! Bukankah gereja kosong di hari-hari biasa ? Kenapa tidak menggunakan halaman atau aula gereja untuk bermain bersama. Anak-anak di daerah perumahan dikumpulkan, dipandu oleh beberapa relawan, anak-anak ini dilayani lewat permainan yang edukatif dan membangun sportifitas. Ini lebih membangun anak kita dibandingkan apa yang diberikan oleh media.
H : Termasuk permainan yang bersifat sport atau olahraga ya, Pak ?
SK : Bisa.
H : Poin yang keempat apa, Pak ?
SK : Yang keempat yaitu mari kembangkan pendidikan media termasuk diskusi film atau acara televisi. Yang dimaksud dengan pendidikan media ini adalah suatu kegiatan untuk membuat orang melek media atau ada istilah literasi media. Orang bisa tercerahkan, belajar tentang apa dan bagaimana media itu. Bagaimana acara televisi itu dibuat, adakah pesan sponsornya, siapa pemilik stasiun televisi ini, adakah kepentingan politiknya, mau dibawa kemana siaran televisi ini, bagaimana mengkritisinya, bagaimana kita menyeleksi, bagaimana prosesnya. Sehingga kita bisa melakukan kajian analisa dan dari situ kita menjadi penonton yang cerdas, tidak bersifat pasif. Dalam konteks ini, maka akan membuat kita bisa melakukan tindakan sebagai kelompok, misalnya memberi usulan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), "Siaran ini kurang bagus. Siaran ini tidak edukatif. Siaran ini mengandung tayangan seksual, kekerasan dan berbagai hal yang tidak membangun." Kita juga bisa membuat surat pembaca di surat kabar, internet, LSM, supaya terjadi suatu bentuk penyeimbangan dalam dunia media kita. Ada control, ini dilakukan sebagai kelompok, diawali oleh jemaat yang dididik mengenai pendidikan media, dibuat menjadi pengguna media yang cerdas, kritis dan bertanggung jawab.
H : Terima kasih Pak. Tentunya ini informasi yang sangat bermanfaat. Apa ada lagi aksi kelompok yang bisa dilakukan selain melalui pendidikan media ?
SK : Ada dua hal lagi. Yaitu kembangkan klub pencinta internet secara Kristiani dan klub pembuat media Kristiani. Mari kumpulkan anak-anak maupun orang tua pengguna internet termasuk orang-orang yang belum terbiasa menggunakan internet, kita belajar bersama-sama bagaimana menggunakan internet, media sosial dan bagaimana mendampingi anak-anak dalam menggunakan internet. Kita mungkin tidak bisa membuat, tapi anak-anak kita yang bisa diajari atau dididik bukan hanya sebagai penonton tetapi pembuat dengan muatan yang Kristiani, yang membangun. Video klip, iklan, tayangan film, sampai mungkin sinetron. Mungkin semacam membuat rumah produksi (Production House), memberi sumbangsih secara Kristiani, menjadi garam dan terang dalam dunia media.
H : Dan inilah wujud konkrit penggunaan media untuk kemuliaan Allah ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Baik, Pak. Di akhir sesi terakhir topik perbincangan"Media dan Keluarga" ini, ayat firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Ayatnya saya ambil dari Filipi 4:8-9, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar, dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu." Dalam hal ini saya mengingatkan tentang istilah yang Pak Hendra pakai di sesi sebelumnya GIGO (Garbage In Garbage Out) atau disebut Hukum Tabur Tuai. Menabur pikiran, menuai perbuatan. Menabur perbuatan, menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan, menuai karakter. Menabur karakter, menuai nasib akhir. Apa yang kita tabur dalam pikiran jangan dianggap remeh, itu sangat penting sekali, ada rentetannya. Firman Tuhan mengatakan apa yang benar, apa yang mulia, apa yang adil, apa yang suci, apa yang patut dipuji, apa yang bajik, itulah yang patut kita pikirkan, yaitu kebenaran firman Tuhan. Apa yang baik, tontonan yang baik, percakapan yang membangun, itulah yang kita tabur. Mari pilih media yang bisa membangun kita. Katakan tidak pada media yang tidak membangun, hanya bisa menghibur. Mari diri kita sendiri menjadi media yang baik bagi anak-anak kita. Rasul Paulus menempatkan diri menjadi media yang baik. "Apa yang telah kamu pelajari, terima, denganr, dan lihat padaku, lakukanlah itu." Jadi Paulus menempatkan diri sebagi sumber media keteladanan bagi orang-orang yang dia muridkan. Mari kita orangtua menjadi pelaku firman, hidup dalam kasih dan kemurnian sehingga akan bisa menjadi tontonan dan tuntunan bagi anak-anak kita. Demikian, Pak Hendra.
H : Terima kasih atas perbincangan yang sangat bermanfaat ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang mengenai topik "Media dan Keluarga" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.