Media dan Keluarga 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T372A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Televisi telah menjadi “the other parent” (orang tua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai. Banyak hal yang bisa membuktikan bahwa ada kaitan antara tayangan media dengan pola perilaku manusia. Media ternyata tidak bersifat netral. Tayangan mana yang aman ditonton anak? Apa saja pengaruh buruk media televise bagi keluarga? Apa kiat-kiat untuk mengatasi pengaruh buruk media tersebut?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kita bersyukur sekali bahwa berada di abad ke 21 ini, kita memiliki banyak kemudahan karena kemajuan media dan teknologi yang begitu rupa. Tetapi pasti ada hal-hal yang harus diwaspadai sehingga Bapak memilih topik media dan keluarga pada pertemuan kali ini.

SK : Benar, Pak Hendra. Memang ini merupakan jaman yang memberikan banyak kemudahan sebagaimana kita saksikan dalam sejarah media, berawal dari sekian abad yang lalu ditemukan mesin cetak sehingga ada karya-karya tulis, media cetak. Kemudian masuk ke dunia media audio dengan ditemukannya telegram, telepon, masuk juga ke media audio visual, seperti televisi, internet, bahkan berkembang ke berbagai sarana komunikasi, berupa 'gadget'. Itu merupakan hal yang menggembirakan, mempermudah sekaligus memberikan hal yang perlu kita kenali dampak negatifnya.

H : Dampak atau ekses negatif itu kelihatannya yang paling populer dan paling banyak dibahas di masyarakat adalah media televisi.

SK: Kita sepakat. Televisi termasuk media elektronik yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Karena jenis media audiovisual ini memang tidak membebani banyak syarat kepada masyarakat untuk menikmati. Kita mengenal bahwa masyarakat Indonesia lebih kuat dengan budaya lisan, percakapan, berbicara dan mendengar, daripada budaya baca dan tulis. Sehingga menonton televisi menjadi hal yang sangat disukai daripada membaca dan menulis serta kondisi itu makin dipermudah kalau kita melihat data bahwa tahun 1990, waktu itu hanya satu stasiun televisi di Indonesia yaitu TVRI, itu memiliki 250 program tiap minggunya. Tetapi 20 tahun kemudian dengan berkembangnya berbagai stasiun televisi swasta, dari 280 menjadi 9345 program televisi tiap minggunya. Dengan demikian benar-benar masyarakat Indonesia dimanjakan, dibuai dengan berbagai tayangan televisi jauh lebih banyak daripada di era 90 apalagi era sebelumnya.

H : Kenapa masyarakat Indonesia bisa begitu suka dengan media televisi ?

SK : Karena ada satu hal yang terlihat, bisa dijelaskan dari segi sebuah penelitian yang memperlihatkan bahwa manusia memiliki kemampuan menerima pesan hanya sebesar 15% kalau ditangkap lewat media audio atau media yang menggunakan indera pendengaran saja. Sementara kalau menggunakan audiovisual, daya penerima pesan itu 55%. Tetapi selain audiovisual ditambah melibatkan segi emosi, dimana emosi disentuh dan dimainkan, maka sang penonton akan memiliki daya penerimaan sebesar 95% ! Dalam hal inilah yang terjadi dalam dunia televisi kita, dimana lewat televisi khususnya tayangan yang beralur cerita, ada musik-musik yang melatari tayangan itu, benar-benra melibatkan emosi, benar-benar merasuk dan nikmati oleh penonton. Ini memberi hiburan tersendiri bagi masyarakat kita, bahkan murah meriah. Karena tinggal di klik di rumah, tanpa harus meninggalkan rumah, tanpa harus bayar iuran televisi kecuali untuk acara televisi berlangganan.

H : Jadi dari segi teoritis dan ekonomis ternyata media televisi memang memiliki pengaruh yang sangat kuat, Pak ?

SK : Benar, bahkan pengaruhnya itu sangat memengaruhi pola pikir, pola keyakinan, atau dalam bahasa teknis ini kemampuan kognisi seseorang, yaitu sebuah proses dalam pikiran, dalam hal melihat, mengamati, mengingat, mengekspresikan sesuatu, membayangkan sesuatu, menduga, menilai, mempertimbangkan, memperkirakan. Seluruh proses berpikir yang demikian ini, televisilah yang begitu kuat memberi informasi dan pengetahuan mempengaruhi proses berpikir dan proses persepsi seseorang terhadap faktor yang lain. Televisi menjadi media yang begitu kuat dalam hal menanamkan ideologi, sudut pandang dan keyakinan dalam memengaruhi pola pikir bahkan membentuk menggiring pola pikir banyak orang.

H : Bahkan sampai dikatakan bahwa televisi itu telah menjadi 'the other parent', orangtua lain bagi anak-anak kita. Bagaimana pandangan Bapak ?

SK : Benar, televisi memiliki kemampuan membentuk kenyataan. Merancang apa yang menjadi harapan. Mengarahkan perilaku seseorang, bahkan membentuk penghargaan diri atau citra diri seseorang. "Sebaiknya aku jadi seperti apa ?" televisi memunyai kemampuan mencetak, yang seharusnya itu kuasa orang tua untuk membentuk konsep diri anaknya, tapi ternyata televisi menjadi orang tua yang lain, membentuk konsep diri anak-anak kita termasuk kita orang dewasa. Bahkan televisi bisa seperti mendikte kita bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya karena kita sedang tidak sadar sedang digiring kesuatu arah. Bahwa itulah yang sedang dilakukan televisi pada diri kita dan memang banyak penelitian membuktikan bahwa tayangan media televisi sangat berkaitan erat dengan pola perilaku manusia. Seperti banyak kajian yang memberatkan antara tayangan-tayangan kekerasan dengan perilaku kekerasan atau perilaku agresif seseorang.

H : Kalau begitu, media televisi ternyata tidak bersifat netral ya, Pak. Ibarat pisau dengan dua sisi, salah satu sisi memberi keuntungan dan di sisi yang lain bisa melukai.

SK : Benar, memang sebagai alat, televisi itu netral. Tetapi isi yang ditayangkan, pesan yang disampaikan oleh media apa pun termasuk televisi itu tidak bersifat netral, ada warnanya, hitam, putih, merah, jingga, bukan warna yang transparan.

H : Saya jadi teringat ungkapan dalam bahasa Inggris yang relevan dengan media televisi ini, yaitu ungkapan yang disingkat dengan GIGO, "Garbage In Garbage Out". Apa yang masuk itu jika itu adalah kotoran akhirnya bisa membuat kita dapat mengeluarkannya dalam kehidupan nyata dalam bentuk yang juga "kotor". Begitu, Pak ?

SK : Ya, televisi dan media pada umumnya, apa yang disampaikan olehnya itu sedikit banyak lama kelamaan akan menghasilkan manusia-manusia sebagaimana apa yang dia serap dari media itu, termasuk apa yang dia tonton dari televisi itu. Jadi boleh dikatakan apa yang kamu tonton itulah yang akan membentuk dirimu, apa yang kamu serap dari media itulah yang akan menjadi jati dirimu.

H : Yang paling mengkhawatirkan orang dewasa saat ini adalah pengaruh media televisi terhadap anak-anak. Bagaimana itu, Pak ?

SK : Memang ini hal yang perlu kita orang dewasa, khususnya orang tua, perlu mencermatinya. Ada pernyataan tajam dari profesor di bidang psikologi sosial bernama Prof. Dr. Sarlito Wirawan dari Universitas Indonesia, Jakarta, mengatakan bahwa televisi itu ibaratnya magnet yang telah menyita begitu besar perhatian anak-anak kita, jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan oleh anak-anak kita untuk belajar di bangku sekolah. Jadi ini merupakan suatu pernyataan yang begitu tajam. Kuasanya begitu besar lebih daripada pendidikan formal di sekolah.

H : Apakah ada data-data yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pernyataan profesor tersebut ?

SK : Memang ada suatu survei yang dilakukan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap dunia media untuk anak, bernama Kidia singkatan dari Kritis Media untuk Anak. Kidia ini mengekspos bahwa memang idealnya anak-anak maksimal di depan pesawat televisi itu 2 jam per hari. Tetapi yang terjadi di Indonesia, ditemukan oleh Kidia ini, ternyata rata-rata anak Indonesia menonton televisi per hari antara 3,5 jam sampai 5 jam. Tentu jangka waktu yang begitu panjang ini tidak hanya tayangan untuk anak-anak saja yang ditonton, tetapi juga tayangan iklan, tayangan yang seharusnya ditujukan bukan untuk anak-anak tetapi untuk orang dewasa, itu pun ikut ditonton oleh anak-anak kita.

H : Itu data yang menarik, Pak. Misalnya dihitung dalam rata-rata harian atau mingguan, Bapak bisa memberikan gambaran yang memudahkan kita untuk memahaminya ?

SK : Kalau di rata-rata berarti bisa dikatakan angka yang kita bulatkan, berarti anak kita rata-rata menonton 30-35 jam per minggu. Kalau kita misalnya memakai angka tertinggi yaitu 35 jam per minggu, maka dalam setahun anak-anak kita menonton 1820 jam. Dan itu kalau dibagi 24 jam hitung per harinya, sekitar 76 hari dalam setahun. Tujuh puluh enam hari dalam setahun secara total kumulatif digunakan hanya untuk menonton televisi dan angka tersebut jauh melebihi jam belajar anak sekolah dasar yang menurut UNESCO tidak melebihi 1000 jam per tahun. Kembali kalau 35 jam per minggu berarti dalam setahun anak kita menonton 1820 jam, sementara jam belajar anak SD itu kurang dari 1000 jam. Boleh dikatakan menonton televisi buat sebagian besar anak Indonesia itu nyaris 2 kali lipat dari jam belajar mereka di SD. Angka yang tidak main-main. Menonton itu jauh lebih lama daripada belajar. Itu berarti dengan kata lain, sebenarnya yang membentuk mentalitas anak-anak kita bukan pendidikan formalnya di SD, tapi televisilah.

H : Ini fakta yang mungkin tidak disadari oleh sebagian kita, ternyata kalau dihitung, porsi nonton televisinya jauh lebih besar daripada belajar. Bagaimana kita sebagai orang tua mewaspadai kategori-kategori tontonan yang baik untuk anak ? Karena saya percaya tidak semua tontonan itu buruk. Pasti ada juga tontonan yang baik.

SK : Iya, kalau boleh saya timpali, dengan data yang demikian, bisa kita katakan bahwa anak-anak kita sedang dimuridkan oleh media televisi, sedang dimuridkan dunia lewat televisi. Bukan dimuridkan lewat sekolahnya, gereja, atau orang tuanya, tapi dimuridkan televisi. Menanggapi pertanyaan Pak Hendra tadi, kaitannya dengan program televisi untuk anak itu ada 3 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kategori aman. Yang kedua kategori hati-hati dan yang ketiga adalah kategori tidak aman atau bahaya.

H : Nah, yang membedakan ketiga kategori itu apa, Pak ?

SK : Kategori aman ketika program televisi itu tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks atau mistik dan ceritanya cukup sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak. Dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan tayangan ini tanpa perlu didampingi oleh orang tua atau orang dewasa.

H : Contohnya apa ?

SK : Misalnya kalau kita saksikan di beberapa stasiun televisi, acara Varia Anak yang menampilkan kreasi menyanyi, kreasi-kreasi anak. Acara di televisi swasta antara lain "Bocah Petualang", "Laptop Si Unyil", "Sesame Street" diterjemahkan sebagai tayangan Jalan Sesama, "Cita-citaku", "Surat Sahabat". Kalau tayangan asing itu "Dora The Explorer", "Go Dear Go Go", "Dunia Binatang", "Upin Ipin" dengan dialek Melayunya itu, "Pelangi Anak Nusantara", "Curious" tentang kera yang lucu. Itu semua tayangan yang membawa anak mengeksplorasi dunia alam, dunia cita-cita, dunia binatang dan anak bisa menjadi seperti anak yang sesungguhnya.

H : Kalau yang termasuk kategori hati-hati seperti apa, Pak ?

SK : Kategori hati-hati itu artinya tayangan tersebut mengandung unsur kekerasan, seks atau mistik sekalipun tidak berlebihan. Sementara jalan cerita atau temanya mulai terasa kurang cocok untuk anak SD dan karena itulah anak-anak kita perlu didampingi. Kalau kita lihat di layar televisi ada singkatan BO yaitu Bimbingan Orang tua, ini yang termasuk kategori hati-hati atau lampu kuning. Misalnya acara yang cukup digemari oleh anak-anak atau orang dewasa itu idol. Idola cilik! Baik itu "Idola Cilik Seleb", "Catatan Harian Idola Cilik", Pentasnya, Raportnya tentang idola cilik, itu sudah mulai kurang cocok dimana anak mulai dibawa menjadi seperti orang dewasa. Lagu-lagunya juga lagu orang dewasa. Kalau film kartun seperti "Doraemon", "Casper", "Transformers", "Scooby Doo", "Spongebob Squarepants", itu mengandung unsur kekerasan dan pola–pola yang sudah menunjukkan sisi mistik yang membuat anak ketakutan. Ini beberapa tayangan dalam kategori hati-hati bagi anak-anak kita.

H : Oh, jadi sekalipun itu tayangan kartun tetap bisa termasuk kategori hati-hati ya, Pak ?

SK : Iya.

H : Nah, yang mengkhawatirkan adalah kategori tidak aman atau bahaya. Itu seperti apa, Pak ?

SK : Tayangan tersebut mengandung banyak adegan kekerasan, seks atau mistik yang terbuka. Dan justru itu yang menjadi daya tarik tayangan tersebut ! Dalam hal ini, sebaiknya anak sama sekali tidak menontonnya.

H : Contohnya, Pak ?

SK : Misalnya "Tom and Jerry". Kucing dan tikus yang suka berkelahi itu. Orang menganggapnya lucu. Tapi itu justru unsur kekerasan yang tanpa disadari lama kelamaan anak bisa meniru pola kekerasan itu. Yang lain yang kesannya lucu bagi orang dewasa adalah "Crayon Shinchan". Itu menampilkan hal-hal yang mengarah pada eksploitasi seksual, pola-pola orang dewasa. Kemudian "Popeye The Sailorman", "Detective Conan", "Dragon Ball", Naruto yang perang-perangan, yang pertarungan silat, itu juga mengeksplorasi unsur kekerasan yang sebaiknya tidak ditonton sama sekali oleh anak-anak kita.

H : Pak, kelihatannya banyak sekali tayangan yang harus kita ketahui kategorinya dan harus kita waspadai. Kalau pendengar kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kategori-kategori ini, sumber mana yang bisa dituju ?

SK : Kita sebagai orang dewasa bisa mengakses situs www.kidia.org. Disanalah kita bisa mengetahui perkembangan tayangan televisi apa yang aman bagi anak-anak kita.

H : Selain televisi, sekarang ini budaya film Hollywood sudah populer di masyarakat Indonesia. Saya percaya itu juga memiliki kategori-kategorinya tersendiri. Bisa Bapak jelaskan mengenai kategori film di bioskop ?

SK : Mengenai film di bioskop itu ada 5 kategori berdasarkan usia yang dibuat oleh MPAA yaitu Lembaga Asosiasi Film di negara Amerika Serikat. Kira-kira kalau di Indonesia seperti Lembaga Sensor Film. Yang saya soroti memang film-film Hollywood, karena itu yang paling banyak beredar di bioskop Indonesia.

H : Bisa tolong Bapak jelaskan apa saja kategorinya, Pak ?

SK : Yang pertama yaitu kategori dengan huruf "G". dalam bahasa Inggris itu singkatan dari 'General Audiences' atau penonton yang umum. Disini memang isi film berlabel "G" ini bebas dari penggambaran kekerasan, bahasa kasar atau unsur seksual. Ini memang film aman untuk anak-anak kita, tapi kategori "G" ini bukan hanya layak ditonton oleh anak-anak atau film anak-anak, orang dewasa pun bisa menontonnya. Dalam bahasa Indonesia, Lembaga Sensor Film memakai istilah Segala Umur (SU). Di sini tidak ada hal-hal yang mengandung kekerasan, hal-hal yang memprovokasi kekerasan, seks, mistik dan hal-hal yang kasar yang tidak cocok untuk anak-anak kita.

H : Untuk kategori yang kedua, Pak ?

SK : Untuk lebih memperjelas kategori "G" tadi, film yang telah beredar seperti "The Lion King", "Toys Story", "Pocahontas", "Cars". Itu beberapa film animasi yang masuk dalam kategori segala umur. Kategori yang kedua dengan simbol "PG" singkatan dari "Parental Guidance Suggested" dimana disarankan ada bimbingan orang tua (BO). Kategori ini terbilang aman namun beberapa adegan itu mungkin membingungkan anak-anak atau mungkin kurang pantas disaksikan anak-anak kita, misalnya mulai ada unsur kekerasan walau pun sifatnya komedi dan minim. Tapi juga ada sisi yang lain tema cerita atau bahasanya mulai agak berat. Lembaga Sensor Film Indonesia memberi label kategori film "PG" ini Semua Umur atau Remaja. Contohnya seperti Narnia, film-film kartun seperti "Ice Age", bukan kartun seperti "Felix and Obelix", "Harry Potter 1". Itu termasuk kategori "PG"

H : Jadi orang tua mendampingi dan harus memberikan penjelasan ketika melihat ada bagian-bagian yang kurang sesuai.

SK : Betul ! Mendampingi bukannya menemani menonton dan diam, tetapi menonton sambil melihat kalau ada adegan yang mengandung unsur kekerasan atau jalan ceritanya agak rumit, orang tua berdialog, "Kamu mengerti tidak apa maksudnya ?" atau "Wah, itu tidak bagus, tidak boleh ditiru." Jadi anak diajak untuk menyaring, didampingi oleh orang tuanya.

H : Ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?

SK : Saya bacakan dari Mazmur 1:1-2, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik; yang tidak berdiri di jalan orang berdosa; dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Tetapi yang kesukaannya ialah taurat Tuhan dan yang merenungkan taurat itu siang dan malam." Di dalam teks firman Tuhan yang kita lihat ini ada beberapa kata kerja. Kata "berjalan" artinya bertindak. Ada kata "berdiri", ada kata "duduk". Berdiri dan duduk itu pasif. Kemudian ada kata "merenungkan", itu juga pasif tetapi aktif dalam proses berpikir. Sebenarnya itu juga terjadi ketika kita berhadapan dengan media. Apa yang kita baca, dengar, tonton, atau saksikan, itu sangat mempengaruhi kita. Firman Tuhan mengatakan janganlah berjalan, berdiri, duduk atau memperkatakan dan mempercakapkan hal-hal yang bukan kebenaran Allah, yang malah mencemooh, membawa kepada dosa, itu mencelakai kita. Ingat peribahasa "Garbage In Garbage Out" itu memengaruhi kita, tapi kalau yang masuk kepada kita, yang kita renungkan adalah kebenaran yang baik, apalagi firman Allah, itulah yang akan membangun kita dan itulah yang dikehendaki Tuhan atas masing-masing kita.

Kita disini bukannya mau berkata bahwa kita harus menjauhi media sepenuhnya. Karena pada dasarnya media itu telah memberikan dampak yang juga positif bagi penggenapan Amanat Agung Tuhan kita. Di jaman inilah dilaporkan bahwa 1 dari 3 orang di dunia ini menonton olimpiade tingkat dunia, pertandingan olahraga tingkat dunia dan di sini juga era dimana film yang banyak ditonton dan diterjemahkan dalam sejarah perfilman justru adalah film "Jesus". Di era inilah gelombang radio Kristen menutupi bumi ini dengan Injil. Bahkan di Amerika ada data bahwa gereja mengoperasikan sebanyak 322 stasiun televisi Kristen dan 1350 stasiun radio Kristen. Di sini kita melihat kemajuan teknologi media membawa kemajuan juga dalam usaha-usaha pemberitaan Injil. Tapi memang ada sisi yang perlu kita kritisi bahwa media televisi memiliki daya hipnosis yang luar biasa. Gambar televisi menawarkan lebih dari 3 juta titik dalam 1 detik. Dan penonton hanya bisa menangkap beberapa lusin saja darinya. Setiap 3,5 detik atau kurang, gambar itu diganti, dan gambar yang baru ganti menuntut perhatian. Maka dari gambaran demi gambaran yang bergulir dengan cepat, televisi memikat penontonnya untuk tetap menonton agar mereka tidak ketinggalan apa pun dan tidak peduli apapun isinya. Sementara isi dari media yang beredar luas itu mengkomunikasikan nilai-nilai dunia, filsafat dunia, kebisingan suara, dengan ide-ide dunia yang ada di dalam kebanyakan siaran televisi membuat kita mau tidak mau perlu menjadi konsumen media yang bijak. Termasuk konsumen televisi dan film yang bijak, karena dalam hal ini terjadi peperangan pikiran. Apa yang kita masukkan dalam pikiran kita, itulah yang akan membentuk dan memengaruhi kita. Jadi dalam konteks ini, penting kita berani memberi batasan yang sehat. Seberapa banyakkah kita memberi waktu kita kepada media umum, baik itu televisi dan siaran-siaran lainnya dan seberapa banyak kita perlu secara sengaja memberi diri untuk duduk tenang tanpa kebisingan media. Kita bisa merenung dan merenungkan firman Allah itu, mempercakapkan firman Allah itu dan kita bisa mengembangkan satu keintiman dengan Tuhan. Justru di masa sekarang ini, sebuah ketenangan dan keteduhan batin itu menjadi sebuah tantangan yang semakin lama semakin sulit. Terlalu mudah pikiran kita dipecah belah dengan berbagai daya tarik media. Dalam konteks ini sangat bagus, sangat bijak, puasa yang perlu kita kerjakan adalah puasa media, bukan sekadar puasa makan dimana media kita matikan dan kita tenang dengan diri kita, merenungkan firman Allah, merenungkan hidup kita, berelasi intim dengan Allah. Juga menjadi satu hal yang penting kita perlu menjalin komunikasi aktif dengan orang-orang di sekitar kita; suami, istri, anak-anak, saudara seiman, karena media televisi dan media lainnya sanggup untuk menghipnosis kita, menjadikan kita tidak berdaya dan membuat kita hanya bisa menerima secara pasif, tidak mampu untuk aktif. Dan itu menggerus kemampuan sosial kita. Jangan lupa, Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial, "zoon politikon". Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk teknologi, yang bersifat pasif, tapi makhluk yang bersifat aktif dan interaktif. Dengan manusia lainnya. Maka dalam konteks ini, puasa media kita tegakkan. Yang kedua untuk bagaimana kita mengembangkan relasi yang sehat, percakapan yang bermutu, perbincangan santai yang membangun, yang membuat kita intim secara emosional dengan pasangan hidup, anak-anak, cucu, dan orang tua kita. Betapa pentingnya kita untuk bisa mengembangkan satu dinamika relasi yang sehat.

Para pendengar yang dikasihi Tuhan, dalam hal ini penting diet media ini kita lakukan. Kehidupan yang kaya dengan Tuhan itu perlu kita kembangkan. Kehidupan yang kaya dengan sesama pun perlu kita kembangkan.

H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.