Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Suami Istri di Masa Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kalau Tuhan menganugerahkan usia panjang kepada suami istri tentu itu merupakan suatu berkat yang patut disyukuri. Tetapi dengan bertambahnya usia itu, masalah juga tak habis-habisnya muncul di masa tua pernikahan ini. Ini cukup mengganggu. Kehidupan kita di dunia ini tinggal beberapa tahun saja mengapa masih harus menanggung masalah. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang Pak Gunawan katakan itu betul. Ada sebagian orang yang seharusnya di hari tua dapat menikmati masa-masa indah, tapi justru di hari tua jadi sering konflik. Kita mau angkat topik ini dan menyoroti kenapa pada masa tua justru lebih sering konflik.
GS : Biasanya kalau makin lama kumpul, orang makin akrab pula, Pak Paul. Tapi kenapa justru timbul ketegangan di antara suami istri ini ?
PG : Ada beberapa penyebabnya, Pak Gunawan. Kenapa di masa tua kita lebih sering konflik, yang pertama adalah karena di masa tua kita menuai benih yang ditanam di masa muda. Dengan kata lain, ketidakcocokan yang kita alami sekarang sesungguhnya adalah ketidakcocokan yang tidak terselesaikan di masa muda. Karena kesibukan – baik kerja maupun membesarkan anak – akhirnya ketidakcocokan tidak mengemuka dan akhirnya ketidakcocokan itu tidak pernah diselesaikan. Nah, di hari tualah baru muncul semuanya.
GS : Jadi, itu semacam PR (Pekerjaan Rumah) yang belum dikerjakan dengan baik ya ?
PG : Betul.
GS : Tapi rupanya di dalam tiap tahapan juga begitu, Pak Paul. Remaja akan menghadapi banyak masalah kalau masa anak-anaknya masih banyak masalah.
PG : Betul.
GS : Dan kalau sudah tua, untuk menyelesaikan masalah juga tidak gampang.
PG : Betul. Jadi kita melihatnya begini, Pak Gunawan. Misalkan kita menikah di usia 25 tahun, kita sekarang sudah berumur 75 tahun. Berarti kita sudah menikah 50 tahun. Misalkan di usia 75 ini muncul masalah, kita sering bertengkar dengan pasangan kita, bisa jadi penyebabnya adalah selama 50 tahun pernikahan ada banyak PR, ada banyak masalah yang tidak kita selesaikan. Bayangkan 50 tahun punya masalah menumpuk di usia 75. Begitu, Pak Gunawan. Misalkan kita punya masalah di usia remaja – masa remaja paling tidak 3-4 tahunan, jadi masalah 3-4 tahun yang harus kita hadapi. Bukankah pernikahan bisa panjang, bisa 40-50 tahun, baru masalah muncul. Berarti selama 40-50 tahun itu ada masalah-masalah yang tidak selesai. Jadi, akhirnya banyak masalah dan waktu muncul dalam pernikahan di usia tua sudah parah, Pak Gunawan. Jadi, kedua orang itu benar-benar tidak bisa menyelesaikan karena terlalu banyak. Kadang-kadang marah satu hal diikuti oleh marah yang lainnya, bisa nyambung kemana-mana. Ya karena itu. Sudah berjaring, berakar, berurat selama 40-50 tahun.
GS : Bukannya suami istri ini tidak mau menyelesaikan masalah, Pak Paul. Tapi karena tidak terbiasa menyelesaikan masalah, maka semakin tua semakin sulit dia melakukan itu.
PG : Betul. Biasanya orang memang tidak sengaja menyimpan masalah, Pak Gunawan. Mungkin sekali pada masa lebih muda, anak-anak masih lebih kecil. Akhirnya tidak jadi marah, tidak jadi tengkar karena harus memperhatikan anaklah, PR-nyalah, mungkin anaknya sedang sakitlah, atau dia harus pergi kerja dan pulang kerja sudah malam dan sudah lelah. Jadi, biasanya orang tidak sengaja mau menyimpan masalah. Bukannya sengaja juga mau menghindar dari masalah. Tapi ya karena di masa muda ada lebih banyak hal yang harus diperhatikan akhirnya masalah-masalah itu tidak benar-benar diselesaikan.
GS : Apa tidak bisa dibuat seperti dilupakan saja masalah-masalah itu ?
PG : Idealnya memang baik kalau kita bisa lupakan. Tapi seringkali akhirnya tidak bisa terlupakan. Saya berikan contoh, Pak Gunawan. Misalnya ini ya. Misalkan istri kesal pada suaminya karena dulu sering terjadi dia minta apa-apa tapi suaminya tidak tanggap, tidak langsung mengurus atau membelikan. Berkali-kali begitu. Tapi kalau si suami yang mau beli sesuatu, dengan cepat dia akan beli untuk kepentingan dirinya. Nah, akhirnya benih-benih ketidaksukaan karena merasa suami mau menang sendiri, memikirkan diri sendiri tidak memikirkan istri, tidak mendahulukan istri, hanya mendahulukan kepentingan pribadinya. Nah, tahun demi tahun mengumpul, Pak Gunawan. Misalnya di usia 75 tahun muncul di permukaan. Yang keluar bukan satu persoalan. Misalnya mereka mau apa, akhirnya si suami lupa atau tidak tanggap pada istri, tidak mementingkan yang istri minta malah mementingkan yang dia inginkan. Nah, istri marah. Begitu marah, seperti rentetan gerbong kereta api, Pak Gunawan. Terseret. Yang lama-lama keluar, Pak Gunawan. Meskipun dia tidak ingat secara spesifik peristiwa-peristiwanya karena sudah terlalu lama, tapi akan banyak sekali emosi yang keluar karena memang itu tumpukan dari puluhan tahun merasa suaminya egois hanya mementingkan diri sendiri.
GS : Kalau dalam kondisi seperti itu, apa sebaiknya yang harus dilakukan oleh suami istri ini ?
PG : Bila ini penyebabnya, kita mesti bersabar. Penyelesaian tidak akan terjadi seketika dan satu penyelesaian masalah tidak menyelesaikan semua masalah. Jadi, kadang-kadang kita berharap, "Ini satu masalah selesai, berarti selesai ya." Nah, di usia tua itu susah selesai, Pak Gunawan. Di masa muda, begitu masalah muncul lalu kita selesaikan itu bisa selesai karena memang "gerbong"nya itu belum panjang. Tapi di usia 75 tahun setelah 50 tahun menikah, kita selesaikan satu masalah, dibelakang "gerbong"nya masih berduyun-duyun, jadi tidak bisa selesai-selesai. Pihak yang satu berkata, "Kamu kok tidak selesai-selesai ? Masih mau marah lagi." Sebab yang di belakangnya itu mau bermunculan sekarang. Makanya saya tekankan, satu masalah selesai, belum tentu menyelesaikan masalah-masalah yang di belakang atau yang sebelumnya. Tapi saya mau ingatkan, satu penyelesaian masalah akan menolong kita menyelesaikan masalah berikutnya. Jadi, jangan berkecil hati apalagi berputus asa. Memang tidak mudah. Memang melelahkan. Tapi terus berusaha, jangan sampai berhenti. Sebab jika kita berhenti, hubungan kita pun berhenti bertumbuh. Ini yang sering terjadi, Pak Gunawan. Di usia tua, karena memang melihat masalah panjang dan tak selesai-selesai terus bermunculan dengan tema yang sama, akhirnya dua-duanya angkat tangan, rasanya sudah terlalu banyak, sudah lelah. Nah, begitu berhenti menyelesaikan masalah, masalah akan terus ada dan relasi mereka sebetulnya sudah mulai retak.
GS : Memang sudah mulai retak, tapi di usia lanjut orang tidak akan mengambil keputusan untuk bercerai, Pak Paul, karena masih saling membutuhkan.
PG : Iya. Karena sudah tanggung, akhirnya dibiarkan. Tapi kasihan sebab banyak pasangan tua sangat tidak bahagia. Seberapa sering saya dengar dari anak-anaknya, akhirnya papa mamanya harus pisah. Ada yang satu rumah tapi pisah – masih saling bicara tapi sebetulnya hampir tidak ada hubungan – satu tidur di mana, satu tidur di mana – bahkan ada yang pisah rumah, yang satu ikut anak yang satu, yang satu ikut anak yang lain.
GS : Kesabaran sangat dibutuhkan dalam hal ini.
PG : Perlu sabar. Tapi saya juga mengerti, tidak mudah. Karena memang "gerbong"nya itu panjang, Pak Gunawan. Jadi, begitu satu masalah selesai, yang lain masih ada dan akan muncul lagi dan akan kita kaitkan lagi dengan yang lain. Dengan berjalannya waktu puluhan tahun itu seperti jaringan yang makin hari makin lebar.
GS : Iya. Biasanya orang tidak tahan disitu. Karena terlalu banyaknya masalah yang harus diselesaikan itu. Jadi, mumpung masih muda sebenarnya masalah demi masalah harus diselesaikan dengan baik antara suami istri.
PG : Betul. Sebab pada prinsipnya persis dengan rasa suka, rasa menghargai pasangan yang kita anggap baik. Itu sama persis. Kalau dari masa muda kita terus menjalin hubungan yang baik, banyak memberikan hal-hal yang baik kepada pasangan, nanti di masa tua prinsipnya persis sama. "Gerbong-gerbong" yang baik itu akan mengikuti kita sehingga makin tua makin kita melihat pasangan kita baik, makin baik, makin baik, makin baik. Walaupun sudah tentu ada saja masalah. Pasti ada ya. Tapi langsung bisa tertutupi karena memang "gerbong-gerbong" kebaikan, "gerbong-gerbong" yang positif itu akan mengikuti kita.
GS : Mungkin memang karena sudah terbiasa menyelesaikan masalah, pak Paul. Jadi, punya pengalaman untuk menyelesaikan masalah.
PG : Betul. Itu sangat menolong.
GS : Hal kedua apa, Pak Paul ? Yang bisa menyebabkan pertengkaran diantara suami istri pada masa tua.
PG : Penyebab kedua kenapa pada masa tua kita jadi lebih sering konflik adalah karena kurangnya persiapan memasuki hari tua. Sebagaimana kita perlu mempersiapkan pernikahan tatkala muda, kita pun perlu mempersiapkan pernikahan pada masa tua. Sebagai contoh, bila pada masa muda kita perlu meyiapkan keuangan untuk keluarga, maka pada masa tua pun kita perlu menyiapkan keuangan untuk kehidupan di hari tua. Sebagaimana ada banyak keputusan yang mesti diambil pada masa awal pernikahan, demikianlah pada masa tua ada banyak keputusan yang harus diambil. Misalnya kita harus memutuskan tetap akan tinggal di rumah yang sama ataukah pindah ke rumah yang lebih kecil, apakah tinggal dekat anak atau tinggal jauh dari anak, apakah kita akan terus bekerja ataukah kita berhenti bekerja atau memulai usaha baru. Singkat kata ada cukup banyak hal yang mesti diputuskan. Jadi, jika kita tidak menyiapkannya jauh-jauh hari, besar kemungkinan kita akan menuai konflik pada masa tua.
GS : Yang umum orang mempersiapkan dirinya hanya pada masa muda ketika mau menikah. Itu dipersiapkan dengan baik, direncanakan. Tapi untuk masa tua, jarang sekali orang mau mempersiapkannya karena dianggap kehidupannya akan berjalan dengan sendirinya.
PG : Dan tidak bisa tidak memang terbersit harapan anak-anak akan menolong kita, menyokong kita dan sebagainya. Tapi, kita sudah berumur jadi kita bisa mengerti ya, bahwa hidup tidak ideal dan hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan kita, Pak Gunawan. Ada anak-anak yang memang akhirnya baik dan bisa mendukung keuangan orang tuanya, tapi ada anak-anak yang keadaan keuangannya kurang baik. Atau ada yang karena masalah akhirnya bercerai dengan pasangannya, sehingga itu juga menimbulkan masalah, mereka juga bergumul dengan kehidupan mereka sehingga akhirnya tidak bisa membantu kita. Dengan kata lain, ada banyak hal yang mungkin terjadi sehingga apa yang kita harapkan belum tentu menjadi kenyataan. Kalau kita tidak menyiapkan baik-baik, memang keteteran (tertinggal jauh di belakang). Nah, waktu keteteran itu, tekanan akan besar, akhirnya kita lebih sering bertengkar.
GS : Iya. Tetapi dalam rangka menyiapkan, banyak orang mengatakan bahwa kita tidak beriman. Kalau kita beriman, kita tidak perlu memikirkan masa depan. Nanti Tuhan yang mengaturnya, burung saja dipelihara oleh Tuhan.
PG : Kita mesti beriman dengan pengertian kalaupun yang kita rencanakan tidak menjadi kenyataan, Tuhan pasti akan pelihara. Tetapi Tuhan juga mau kita ini mempersiapkan atau merencanakan. Kenapa ? Sebab Alkitab penuh dengan nasehat untuk merencanakan dan untuk mempersiapkan. Contohnya adalah di Kitab Amsal ada banyak ayat-ayat yang memang menyuruh kita untuk berpikir panjang dan memikirkan hari esok. Kita juga diminta belajar dari semut, misalnya, yang menyisakan atau menyimpan makanannya. Sudah tentu akan Tuhan pelihara, tapi Tuhan juga mau kita bertanggung jawab memikirkan apa yang bisa atau yang harus kita lakukan nanti pada masa kita tua.
GS : Jadi, sebenarnya kehidupan ini ditandai dengan menjalani kehidupan pada saat ini dan mempersiapkan untuk ke depannya. Seperti itu terus, Pak Paul.
PG : Betul. Memang harus ada usaha untuk itu. Karena kalau kita tidak menyiapkan, misalnya tidak ada persiapan sama sekali, lalu kita tidak ada jalan lain kita bergantung pada anak kita. Misalnya anak kita juga bukan dalam posisi bisa membantu kita, bukankah repot ? Saya melihat banyak kasus, ada orang tua yang tidak mau tahu, Pak Gunawan. Pokoknya dia minta, dia tuntut anaknya untuk sediakan buat dia. Ada yang seperti itu. Akhirnya si anak karena rasa tanggung jawab, tidak enak dilihat orang tidak tanggung jawab kepada orang tuanya, merasa bersalah juga, akhirnya berusaha memenuhi tuntutan orang tuanya. Padahal dia sendiri kesulitan. Akhirnya menimbulkan masalah dalam keluarganya sendiri karena orang tuanya menuntut itu, jadi menimbulkan masalah yang lebih besar dan yang lebih menyedihkan keluarga anak itu jadi bermasalah juga. Itu gara-gara orang tua kurang menyiapkan untuk hari tua kita.
GS : Untuk persiapan masa tua itu, sebaiknya mulai kapan kita mempersiapkan diri?
PG : Kalau saya dengarkan nasehat dari orang yang mengerti tentang perencanaan finansial, mereka semua selalu berkata mulailah persiapan sejak kita bekerja. Kalau bisa kita menyisihkan untuk hari tua kita supaya nanti bisa kita gunakan. Meskipun kita hanya bisa menyisihkan sedikit, tidak apa. Terus disisihkan sampai masa tua itu.
GS : Tapi persiapan itu bukan hanya dalam segi finansial, tapi banyak hal lain yang tadi sudah disinggung. Mulai kapan kita mempersiapkan diri?
PG : Betul. Sudah tentu pada usia paruh baya sedikit banyak kita sudah bisa membaca situasi. Kehidupan anak kita – apakah memungkinkan kita ikut anak kita ? Apakah kita akan bisa tinggal dengan menantu kita ? Seharusnya itu sudah bisa mulai terbaca di usia paruh baya. Waktu kita melihat sepertinya tidak mungkin atau kalau tinggal akan lebih banyak masalah yang timbul, maka kita pikirkan, apakah kita akan tetap tinggal di rumah yang sama. Meskipun kita suka rumah ini, nostalgia, banyak kenangan, tapi kita mesti jual, uangnya untuk biaya hidup atau apa. Nah, hal-hal seperti itu memang kita harus putuskan. Tidak bisa tidak.
GS : Tapi kalau kita merencanakan itu pada waktu paruh baya, apakah kita tidak akan lupa tentang apa yang pernah dibicarakan dengan pasangan kita itu ?
PG : Bisa saja. Tapi kalau bisa memang kita secara berkala terus bicarakan juga apa saja yang ingin kita lakukan. Sehingga akhirnya di masa tua kita tinggal mengimplementasikan apa yang telah kita bicarakan sebelumnya. Sebagai contoh saja, hal yang sederhana, yaitu apakah nanti kita akan memberikan waktu sepenuhnya untuk merawat cucu kita. Misalnya ada orang tua yang mengeluh, "Aduh, kami sudah tua. Kami pikir kami ada kesempatan sekarang untuk pergi dan menikmati hidup, anak sekarang menitipkan cucu." Kalau anak hanya satu, lumayan, Pak Gunawan. Misalnya cucunya ada dua. Tapi kalau anaknya ada 3 atau 4 dan dari masing-masing ada 2 cucu, jadi ada 8 cucu. Akhirnya si kakek dan si nenek dari hari Senin sampai Sabtu, dari pagi sampai sore, jaga cucu. Mereka berkata, "Aduh. Masih muda, kami merawat anak. Sekarang sudah tua, merawat cucu, karena papa mamanya sibuk." Hal-hal seperti itu tidak bisa tidak memang bisa mengganggu rumah tangga si orang tua ini. Misalnya si suami tidak terima, "Istri saya kok repot mengurus cucu dari Senin sampai Sabtu. Tapi mau marah pada istri ya gimana, mau marah sama anak juga gimana." Akhirnya ribut.
GS : Kalau begitu, bagaimana solusinya ? Kita sudah persiapkan tidak mau mengurus cucu. Tapi ternyata mereka butuh tenaga kita yang sudah lanjut usia ini. Bagaimana kita harus bersikap ?
PG : Saya tidak berkata pasti seperti begini. Tapi biasanya dalam kasus seperti itu, istri akan berkata, "Ya tidak apa-apa kita tolong anak. Kalau bukan kita yang tolong anak, siapa lagi ?" Jadi terus terima cucu datang ke rumah dari pagi sampai sore. Kita si suami pusing, "Aduh, dari pagi sampai sore cucu datang. Saya tidak ada kesempatan istirahat. Cucu minta ini, minta itu, kita mesti urus ini itu." Akhirnya tengkar, tengkar, hubungan makin renggang. Anak-anak melihat, "Mama kok lebih baik. Papa kok mau menang sendiri." Jadi runyam. Makanya kalau ada masalah seperti itu, sebaiknya suami istri bicara baik-baik. Misalkan istri berkata, "Ya bukankah kita harus tolong anak ?", suaminya bisa berkata, "Oke, kita tolong anak. Tapi apakah bisa tidak setiap hari ?" kita minta anak kita, "Tolonglah cari orang lain. Tolong pikirkan juga orang tua." Karena kita harus mengaku, Pak Gunawan, anak-anak kita juga bukan malaikat. Kadang-kadang ada yang baik, ada yang kurang baik, ada yang tahu diri, ada juga yang kurang tahu diri. Nah, memang kita mesti ngomong pada anak-anak, "Tolonglah. Hidup bertanggung jawab untuk keluargamu sendiri juga, jangan semuanya digantungkan pada orang tua."
GS : Tapi memang kesepakatan suami istri yang dilakukan pada waktu kita paruh baya, seperti tadi untuk mempersiapkan masa tua, kalau memang kita suami istri sudah sepakat, ada baiknya dikomunikasikan kepada anak-anak kita.
PG : Betul itu.
GS : Bahwa kami punya rencana seperti ini. Rumah ini sewaktu-waktu bisa saya jual. Jadi, jangan berharap rumah ini jadi warisanmu. Karena kita sudah sepakati akan dijual kalau kita butuh. Perkara nanti tidak dijual ya apa katanya. Tapi anak-anak jadi siap dan tidak terlalu mengharapkan. Seperti pengasuhan anak tadi. Kalau sejak awal sudah kita beritahu, "Kami tidak mau mengurus anak sepanjang hari." Berarti mereka harus siap, entah dengan babysitter atau apa, itu urusan mereka.
PG : Iya. Memang kuncinya adalah dari awal kita mesti sering-sering mengomunikasikan hal-hal ini kepada pasangan kita supaya ada suatu kesepakatan. Sehingga waktu situasi itu muncul, akan jadi lebih baiklah karena sudah pernah dibicarakan sebelumnya.
GS : Iya. Apalagi yang bisa menimbulkan konflik ?
PG : Penyebab ketiga mengapa di masa tua kita jadi lebih konflik adalah karena adanya perubahan kebutuhan. Mungkin di masa muda kita ini lalai memenuhi kebutuhan istri yang membutuhkan pendampingan. Sekarang kita memunyai banyak waktu dan kita ingin memenuhinya, tapi istri sudah tidak lagi membutuhkannya. Sekarang dia sibuk dan dibutuhkan oleh anak, misalnya untuk menjaga cucu. Masalahnya adalah sekarang kita membutuhkan pendampingan istri. Kita ingin pergi bersamanya, ingin bertamasya bersamanya, tapi istri tidak mau. Tidak bisa tidak, perubahan seperti ini akan menimbulkan konflik. Jadi, kalau memang kita sadari inilah penyebabnya, maka kita mesti mengomunikasikan perubahan ini kepada pasangan secara baik-baik. Kita beritahu pasangan kita bahwa, "Dulu waktu saya masih lebih muda, memang saya itu sangat membutuhkan kamu untuk lebih memperhatikan saya dan sebagainya. Tapi sekarang tidak lagi, saya sudah lebih kuat, saya tidak terlalu membutuhkannya. Tapi ya sudah, kamu sekarang mau jalan-jalan dengan saya, mau bersama-sama dengan saya, oke, kita coba lakukan." Yang penting adalah jangan menyalahkan pasangan. Sebab menyalahkan tidak akan mengubah apa yang telah terjadi. Jangan kita berkata, "Dulu waktu saya butuh kamu, kamu tidak pernah memperhatikan saya. Kamu selalu mengabaikan saya. Sekarang kamu sudah tua, baru kamu memerlukan saya, baru kamu baik-baik kepada saya." Nah, kalau bisa tidak usah bicara begitu, sekali lagi, menyalah-nyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, sebisanya jangan kita menolak permintaan pasangan kita. Jangan membangkit-bangkitkan masa lalu. Jangan. Sebab kalau kita menolaknya itu berarti tali pernikahan kita makin hari makin putus, Pak Gunawan. Target kita mempertahankan, jika memungkinkan justru menjalin tali relasi yang baru. Yang penting cobalah di usia tua tetap berusaha memenuhi kebutuhan pasangan.
GS : Iya. Kebutuhan memang bisa berubah-ubah karena kondisi orang terus berubah. Entah karena fisiknya, entah karena perubahan ekonomi, perubahan sosial dan sebagainya. Jadi, kalau kita hanya bertahan pada apa yang kita rencanakan dulu, itu bisa menimbulkan konflik dulu. Disitu diperlukan keluwesan, fleksibilitas untuk bisa menyesuaikan.
PG : Betul. Karena sekarang saya sudah mulai berumur, teman-teman juga mulai berumur, saya mulai mendengar juga ada teman yang misalnya berkata tentang suaminya, "Aduh, sekarang suami saya ajak kemana-mana tidak pernah mau. Maunya di rumah saja." Masalahnya adalah dulu waktu muda, si suami yang tidak pernah di rumah, dia di luar terus. Sekarang dia maunya di dalam rumah terus. Si istri sekarang yang mau pergi-pergi ke rumah siapalah, mengunjungi siapalah, bahkan keluar kota. Tapi suami sama sekali tidak mau. Tidak bisa tidak, muncul masalah.
GS : Iya. Tapi biasanya si suami yang punya pertimbangan dari segi finansial, misalnya, "Saya sudah tidak bekerja. Kalau kita jalan-jalan terus nanti cadangan berkurang."
PG : Bisa jadi. Kalau itu yang menjadi masalah, mungkin pasangannya lebih bisa terima. Tapi dalam kasus seperti ini yang saya ketahui, sebetulnya bukan karena masalah keuangan tapi memang si suami sudah tidak ada minat pergi jauh. Saya tidak bicara perginya jauh ke luar negeri. Tidak. Perginya hanya di dalam negeri saja dia tidak mau. Jangankan keluar kota, di dalam kota pun kadang-kadang juga malas. Maunya di rumah saja. Nah, biasanya hal-hal seperti ini menimbulkan konflik. Karena kebutuhannya sudah berubah. Si istri sekarang yang butuh, anak-anak sudah besar tidak perlu lagi diurus, mau pergi kesana kesini, suaminya tidak mau. Jadi repot.
GS : Perbedaan usia juga menentukan di situ. Kalau si suami beda usia jauh dengan istrinya, waktu itu suami sudah tua dan lelah untuk jalan-jalan, tapi si istri masih semangat pergi-pergi.
PG : Ya kita tahu kenyataannya banyak suami memang lebih tua daripada istri. Jadi, itu juga berpengaruh. Itu betul.
GS : Iya. Pak Paul, tentu masih ada beberapa hal lagi yang jadi penyebab pertengkaran ini ya. Namun pembicaraan ini harus kita sudahi dulu dan akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Tapi sebelum kita menutup bagian ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya bacakan dari Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Saya mengerti, karena kita sudah bahas tadi ya, di usia tua mungkin sekali kita sudah lebih kesal atau capek, banyak "gerbong-gerbong" yang tak terselesaikan, harus mulai dari mana, okay, saya mengerti itu. Tapi coba ingat firman Tuhan yang meminta kita untuk saling menolong. Jadi, sudah, tidak usah mengingat apa-apa, ingatnya satu saja yaitu saling tolong. Sudah. Dengan kita saling tolong menanggung beban, kita sudah memenuhi hukum Kristus. Jadi, itu saja fokus kita.
GS : Baik, Pak Paul. Kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Suami Istri di Masa Tua". Perbincangan ini merupakan bagian pertama dan akan kami lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.