Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Malas Belajar", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Rupanya menjadi keluhan umum bagi orang tua sekarang ini di mana anaknya malas belajar. Dan yang sering kali disalahkan adalah karena adanya TV dan sarana hiburan yang banyak kemudian anaknya malas belajar. Tapi apakah sesederhana itu Pak Paul?
PG : Sudah tentu hiburan-hiburan yang ada di televisi itu juga dapat menggoda anak-anak. Pada zaman kita masih lebih muda saya masih ingat film televisi yang saya nantikan adalah "Popeye The Salor", tahun 60-an, tahun 70-an.
Nah sekarang begitu beragam dan itu sendiri menjadi daya tarik. Tapi saya kira masalahnya tidak sesederhana itu. Ada beberapa penyebab kenapa anak-anak sekarang rata-rata malas belajar, itu keluhan orang tua dewasa ini. Yang pertama adalah sekarang ini bersekolah telah melebihi pekerjaan purna waktu dan anak membutuhkan porsi waktu santai yang lebih besar. Pagi sampai siang, misalkan anak-anak yang SD atau SMP bisa sampai jam 02.00, jam 03.00 baru pulang. Setelah pulang ada les, setelah les beberapa jam ada pekerjaan rumah atau ulangan yang harus dipelajari. Jadi dapat dikatakan anak-anak itu dari jam 07.00 pagi sampai jam 10.00, 11.00 malam hampir dapat dikatakan bekerja. Yang satu jam-satu jam itu adalah waktu istirahatnya. Tapi jam 07.00 pagi sampai jam 10.00 malam dia bekerja. Nah, kita saja orang dewasa kalau diharuskan bekerja jam 07.00 sampai jam 10.00 meskipun di tengah-tengahnya ada istirahat satu jam atau ½ jam hanya bertahan sampai beberapa waktu, setelah itu kita akan stres berat sekali. Nah inilah kondisi anak-anak kita, itulah sebabnya makin besar tekanan di sekolah makin besar keinginan atau kebutuhannya untuk santai, makanya dia ingin bermalas-malasan, bermain-main tidak mau belajar.
WL : Tapi banyak orang tua menjadi khawatir Pak Paul, kalau waktu santai anak terlalu banyak karena bisa ketinggalan materi pelajaran.
PG : Betul sekali, memang sebagian sekolah berpendapat bahwa semakin susah, semakin baik sekolah itu; semakin banyak pelajaran, semakin baik sekolah itu. Ini pandangan yang keliru; sekolah yangbaik adalah sekolah yang efektif, sekolah yang efektif adalah sekolah yang membuat anak-anak belajar.
Karena proses pembelajaran hanya mempunyai satu tujuan yaitu belajar. Ada orang-orang atau pendidik benar-benar bermegah dengan susahnya ujian. Ujian itu adalah alat bukan tujuan, kalau kita jadikan ujian itu sebagai tujuan sehingga dihormati karena susah, pendidik itu keliru. Ujian hanyalah alat untuk menguji kebisaan anak, jadi memang tujuannya bukan untuk menyusahkan si anak tujuannya hanyalah menguji si anak, dia bisa atau tidak. Yang paling penting adalah anak itu belajar. Nah, dalam hal inilah saya kira sebagian sekolah telah keluar jalur dan anak-anak kita akhirnya menderita.
GS : Mungkin secara umum ada metode yang kurang tepat yang diterapkan di sekolah-sekolah saat ini?
PG : Saya kira salah satu metode yang memang makin hari makin kurang tepat untuk generasi di bawah kita adalah metode menghafal. Atau menggunakan penjelasan-penjelasan atau konsep yang abstrak engan melalui ucapan atau pengajaran.
Anak-anak itu akan kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mendengarkan serta menghafalkan, titik, koma harus sama seperti yang diajarkan oleh guru. Nah, metode-metode yang tradisional ini sangat kontras, berlawanan dengan permainan anak yang merangsang kreatifitas. Dan permainan anak sekarang ini terutama yang ada di computer games atau playstation game, itu adalah permainan yang merangsang kreatifitas anak dan banyak tantangan-tantangannya. Nah, akibatnya apa yang terjadi? Anak-anak tidak menyukai pelajaran dan memilih bermain. Sebab memang kreatifitasnya lebih tinggi, mereka lebih ditantang untuk dapat mengalahkan atau dapat membereskan masalah, sedangkan kalau di sekolah atau dia bawa pelajarannya pulang dia harus menghafal. Ulangan kurang satu titik salah, kurang satu huruf salah, menggunakan kata yang lain meskipun maknanya sama juga salah. Ya stres, kita saja yang dewasa mendengar saja sudah stres apalagi anak kita.
GS : Kalau kita melihat sebenarnya anak ini membutuhkan waktu untuk bermain seperti yang tadi Pak Paul katakan, nah bagaimana kita bisa mengatur waktunya sementara di sekolah tuntutannya begitu banyak dan anak pun menuntut waktu untuk bermain?
PG : Memang anak-anak itu perlu bermain, secara kodrati anak berada dalam tahap di mana dia membutuhkan bermain bukannya hanya senang bermain, tapi membutuhkan bermain untuk kesehatan jiwanya, ntuk pembentukan jiwa yang berimbang, yang sehat.
Kalau anak-anak kehilangan kesempatan bermain, itu akan menggoyangkan atau jiwa anak tidak seimbang. Maka kita perlu sediakan waktu bermain; kita jadwalkan jangan sampai bermain merupakan waktu sisa. Artinya kalau ada waktu baru boleh bermain. Pada usia anak-anak masih kecil di bawah usia 12 tahun, anak-anak sangat memerlukan waktu untuk bermain, untuk kesehatan jiwanya sendiri, jadi jadwalkan. Berikan waktu misalnya 1 jam, 2 jam untuk dia boleh bermain baru nanti belajar; boleh nonton televisi, boleh main video game dan sebagainya. Nanti setelah 2 jam, dia sudah merasa segar, baru dia belajar. Misalkan anak kita mempunyai energi yang tinggi sekali, aktif luar biasa, nah jadwalkan aktifitas yang bisa menguras tenaganya. Daftarkan dia, jadikan dia anggota misalkan di club-club basket, sepak bola dan sebagainya, sehingga energinya terpakai. Setelah pulang sekolah energinya terpakai, olahraga dan dia pulang; jiwanya pun lebih ringan, tubuhnya pun rasanya lebih segar. Nah itu hal-hal yang orang tua perlu jadwalkan.
WL : Pak Paul, tapi masalahnya kebanyakan kalau kita perhatikan setelah puas bermain anak-anak kecapaian, ya sudah tidak bisa belajar, tidur atau apa. Terus masalah kedua kalau kita perhatikan, sekarang ini makin banyak anak yang keletihan karena terpaksa harus "bekerja". Membantu orang tualah, dengan berbagai macam bentuk, Pak Paul?
PG : Nah, kalau memang tidak bisa misalkan olahraga membuat dia terlalu capek, ya kita jadwalkan misalnya tidak setiap hari. Misalkan 2 kali seminggu, 3 kali seminggu dia berolahraga, tidak usa setiap hari.
Atau misalkan dia memang ada tugas-tugas lain di rumah dan memang kita memerlukannya atau membutuhkan bantuannya, ya misalkan kita berikan jadwal untuk bermainnya sedikit lebih kurang sehingga dia nanti bisa istirahat. Menyegarkan jiwanya dan nanti baru membantu kita. Jadi sekali lagi yang saya minta adalah bermain itu janganlah dijadwalkan secara asal-asalan; kalau ada ya bagus, kalau tidak ada ya tidak apa-apa karena tidak penting. O.....itu keliru, buat anak-anak bermain itu hal yang mutlak, yang penting sekali untuk kesehatan jiwanya jadi jadwalkan. Anak-anak yang mempunyai kehidupan yang lebih berimbang, ada waktu bermain dia akan lebih bisa belajar. Anak-anak yang ditekan harus belajar terus-menerus kalau memang kepandaiannya super dan anak itu gemar belajar tidak punya lagi pergaulan ya mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau anak ini anak yang sehat, yang normal, tidak punya pergaulan ditekan seperti itu; tidak akan bisa berprestasi.
GS : Sebenarnya di dalam bermain, anak itu belajar sesuatu?
PG : Betul sekali, dia belajar berelasi, dia belajar mengerti perasaan orang, belajar mengerti pikiran orang, belajar menebak kira-kira nanti orang akan berkata apa, berbuat apa dalam permainandan sebagainya.
Jadi benar-benar menumbuhkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup nantinya. Buat apa nanti anak kita pintar dalam bidangnya tapi tidak bisa hidup sama sekali dengan orang lain, itu juga akan menjadi masalah nantinya.
GS : Di sini memang dibutuhkan suatu kreatifitas para pendidik untuk bisa mengajar tapi juga sekaligus bermain.
PG : Betul, ini memang unsur yang penting sehingga anak-anak kita itu akhirnya menjadi anak yang seimbang. Yang lainnya yang bisa saya berikan adalah, kalau kita di rumah terus kesal melihat ank kita belajarnya malas sekali, mungkin sekali anak kita itu tidak memiliki konsep tentang apa yang dipelajarinya.
Dia bingung, dia tidak mengerti, nah kalau kita tahu itu masalahnya kita bantu anak kita. Gunakan ilustrasi yang berasal dari dunia anak. Saya masih ingat sekali waktu anak saya kecil, istri saya mencoba mengajarkan tentang lokomotif, dalam buku pelajarannya (saya lupa kelas berapa). Dia tidak mengerti apa itu lokomotif, kenapa, karena tidak pernah melihatnya. Nah sekarang berapa anak yang tidak pernah melihat lokomotif, tidak terlalu banyak. Jadi akhirnya waktu istri saya mencoba menjelaskannya, dia tidak mengerti. Mungkin dia bisa mengerti yang ada di jalanan tapi yang tidak ada di jalanan seperti lokomotif tidak bisa dia bayangkan sama sekali, namun ada dalam pelajarannya. Nah, kalau misalnya orang tua melihat masalah seperti itu, bisa kreatif, ini misalkan ada mobil atau ada bus, anak kita tahu; nah kita katakan, "Busnya banyak dan diikat satu bus dengan bus yang lain, o....itu namanya kereta api atau lokomotif." Akhirnya dia mengerti, jadi gunakan ilustrasi-ilustrasi yang dapat dipahami oleh anak dan ilustrasi yang memang ada dalam dunianya. Banyak konsep abstrak dalam pelajaran yang memerlukan pengejawantahan, benar-benar kita menolong anak untuk melihatnya dengan lebih konkret, ini yang diperlukan oleh anak-anak kita.
WL : Perlu atau tidak Pak Paul, orang tua menolong anak mengenal gaya belajar atau metode belajar yang efektif. Setiap anak pasti berbeda-beda, ada anak yang benar-benar bisa efektif belajar dengan visual. Yaitu dengan melihat gambar, ada yang berbeda lagi yaitu dengan mendengar atau dari hal-hal lain?
PG : Sangat penting Ibu Wulan, jadi kalau kita sadari bahwa anak kita itu belajar sangat cepat dengan melihat. Kita memang harus berusaha keras untuk menyajikan pelajarannya dengan alat peraga.Kita bisa gambarkan, kita mungkin bisa membawa barangnya itu sendiri.
Misalkan berhitung, susah sekali berhitung; kita bisa membawa jeruk, misalkan 3 jeruk ditambah 2 jeruk menjadi berapa. Terus dia hitung misalkan, nah itu sangat berguna bagi anak-anak yang memang belajar secara visual karena akan ingat sekali. Meskipun kita memakai garis 1 2 3 4 5, memang bisa dihitung olehnya tapi semakin jelas dan semakin riil benda yang harus dia hitung itu semakin menempel atau melekat di benaknya. Dan waktu di sekolah diminta untuk menghitung atau apa secara luar kepala, dia bayangkan jeruk-jeruk itu, nah itu menjadi alat yang bisa kita gunakan juga.
GS : Ada anak yang walaupun sudah diajarkan dengan beberapa metode itu memang sulit sekali menangkap. Saya melihat kesulitan yang sama, mengajar anak yang terlalu pandai dengan anak yang kurang cepat menangkap ini masalahnya juga sama.
PG : Betul, jadi memang kita harus mengenal siapa anak kita; apa kelebihannya dan apa keterbatasannya. Misalkan ada anak-anak yang memang tidak begitu pandai mengekspresikan diri melalui ucapanatau bahasa tulisan.
Ada anak-anak yang menulis dengan salah-salah, dia tahu kata itu tapi waktu dia menuliskan hurufnya terbalik-balik. Ada juga anak-anak yang lambat sekali berbicara, kita ajarkan tapi tetap tidak bisa dia pahami dengan cepat. Nah anak ini ternyata memang mempunyai masalah di dalam pengekspresian diri dengan bahasa ucapan atau tulisan. Namun dalam hal seperti matematik atau aritmatika belajarnya sangat cepat sekali, berarti ini memang keterbatasan anak dan kelebihan anak. Apa yang harus kita lakukan? Kita mesti menerimanya, kita mesti menerima bahwa dalam hal-hal seperti ini misalkan penggunaan bahasa dia akan lemah, dalam hal yang bersifat matematika dia akan kuat. Jadi di titik yang lemah itu kita bangun, kita ajarkan, kita harus ulang lagi, ulang lagi dan tidak bisa tidak mesti harus sabar, pengulangan-pengulangan sangat dibutuhkan atau penjelasan-penjelasan. Misalkan dia susah sekali berbicara, kita bisa misalkan menggunakan apel, kita gunakan kata a-pel; ini 'a' dan ini apel. Huruf b, tidak bisa dia membayangkan huruf b itu apa. Misalkan ba-ju, nah itu kata baju yang akan dia ingat nanti yang berlambangkan huruf b. Jadi benar-benar konkret, untuk anak-anak yang memang daya tangkapnya agak lemah memerlukan pengulangan dan pengkonkretan.
WL : Menurut Pak Paul sendiri secara pribadi, setuju atau tidak misalnya tadi anak yang lahir dengan keterbatasan itu, ya sudah begitu saja atau tetap bisa berkembang. Saya ingat setelah dewasa saya pernah mengikuti test, testnya kilas balik ke masa anak-anak; kemampuan-kemampuan yang memang dasarnya telah saya punyai. Ternyata sangat minim, tapi setelah saya dewasa seperti ini menjadi sangat berbeda, berarti 'kan ada banyak perkembangan. Sedangkan waktu kecil orang di rumah mungkin kurang mengerti untuk memberikan stimuli-stimuli atau bahkan dilarang ini, dilarang itu, jadi hal itu kreatifitasnya tidak bisa muncul. Padahal sekarang orang bilang saya cukup kreatif, itu sebenarnya banyak kemajuan, perkembangan. Jadi yang terbatas itu tidak mati di situ, Pak Paul?
PG : Betul sekali Ibu Wulan, kondisi kehidupan kita itu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya kita belajar. Misalkan kita hidup dalam suasana yang lumayan tegang, tidak bisa tidak anak-ank akan mengalami hambatan dalam belajar.
Karena apa, dia lagi mau belajar, orang tuanya bertengkar; dia lagi mau belajar, nanti dimarahi; ini kurang ini, harus begini, harus begitu. Nah suasana yang tegang tidak akan menjadi suasana kondusif buat anak bisa belajar. Maka salah satu prinsip adalah ciptakan suasana santai dalam rumah kita. Kalau kita ingin anak-anak kita bisa belajar dengan baik, ciptakan suasana santai. Tenang, juga perlu tapi jangan sampai sepertinya sunyi, tidak ada suara; anak-anak juga tidak bisa menikmati. Biarkan sekali-sekali mereka menyanyi, mendengarkan musik, tidak apa-apa. Anak-anak kami ada 3, yang dua kalau belajar selalu memasang musik, yang satu belajar meskipun di kamarnya tidak ada musik sekalipun kalau di luar ada musik tidak bisa belajar, dia merasa terganggu. Jadi sekali lagi memang masing-masing anak mempunyai keunikannya, nah kita biarkan yang penting anak kita belajar. Bukan belajar dengan cara kita, sunyi, tegang dan sebagainya, jadi penting suasana rumah kita itu santai. Nah ini jangan sampai menciptakan rasa takut pada anak-anak kita, adakalanya anak-anak itu belum belajar sudah ketakutan. Baru dipanggil orang tuanya dia sudah ketakutan, kenapa? Karena dia tahu tinggal tunggu 5 menit setelah dia mulai belajar, orang tuanya itu akan marah-marah dan dia tidak akan bisa belajar. Sebelum belajar pun dia sudah ketakutan, karena membayangkan nanti bakal dimarahi apalagi waktu belajarnya. Bayangkan anak seperti itu hidupnya, pagi sampai siang sekolah mungkin juga sudah stres karena dia tidak bisa, dia pulang ke rumah juga stres karena memikirkan nanti orang tuanya akan stres dan memarahi dia. Nah bayangkan suasana hidup seperti itu yang akan ditanggung oleh anak-anak kita.
GS : Banyak anak yang mengatakan dia malas belajar itu juga karena terlalu dituntut oleh orang tuanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik terus, sehingga dia katakan saya tidak mampu dan dia menjadi malas. Atau malah kontras sekali, dia berikan angka-angka yang jelek terus.
PG : Betul, kadang-kadang akhirnya anak menjadi takut mempunyai prestasi yang tinggi. Karena apa, dia takutnya orang tua itu akan terus-menerus menuntutnya mendapatkan nilai yang terus seperti tu atau bahkan lebih tinggi, nah lebih baik dia berikan nilai yang pas-pasan.
Sehingga lama-lama orang tuanya tidak terlalu mengharap. Jadi kita mesti tekankan kepada anak bahwa yang terpenting bukanlah nilai melainkan pembelajaran itu sendiri. Dan bahwa yang kita tuntut adalah usaha bukan hasil akhir, prinsip ini yang harus kita camkan. Ada orang tua luar biasa senangnya anaknya mendapat nilai bagus, belajar apa tidak tahu, tidak belajar pun tidak apa-apa yang penting nilainya bagus. Kalau itu yang kita tekankan, saya khawatir anak kita itu mendapatkan suatu pelajaran yang keliru dari orang tuanya. Yaitu apa, yang penting penampilan, cara mendapatkannya tidak peduli, nyontek juga tidak apa-apa. Maka kita tahu masalah nyontek ini di sekolah-sekolah kita menjadi masalah kronis. Begitu banyak orang menyontek dari kelas 0 sampai kelas doktoral. Kenapa begitu, karena yang dipentingkan adalah penampilan, nilai akhir atau hasil akhir. Orang itu belajar atau tidak, tidak lagi dipusingkan, nah ini yang harus kita ubah.
GS : Karena memang kalau mendapat juara, orang tuanya bangga Pak Paul. Dan ini mempengaruhi mereka yang anaknya tidak mencapai juara.
PG : Dan kadang-kadang orang tuanya membanding-bandingkan, "Kamu kok tidak seperti anak ini yang mendapat juara." Padahalnya memang anak kita berbeda, dan mungkin sekali pada bidang itu, anak kta tidak bisa menuntutnya.
Jadi sekali lagi saya menekankan, jangan mementingkan nilai; yang penting adalah anak kita telah berusaha, dan yang penting kita tahu anak kita telah belajar. Dia mendapatkan sesuatu, dan ini yang kita tekankan kepada anak kita, sehingga tatkala dia dewasa dia mempunyai nilai hidup yang baik. Yang penting saya belajar, saya tahu saya telah belajar, sementara untuk nilainya apabila orang tidak melihat atau menghargai, itu nomor dua yang penting saya telah belajar. Jangan sampai kita itu seperti kepompong kosong, kita bawa kepompong dalamnya sudah tidak ada lagi, kosong melompong. Saya khawatir, inilah tipe-tipe generasi yang akan kita hasilkan.
GS : Pak Paul, ada anak yang malas belajar karena tidak senang dengan gurunya, terhadap mata pelajaran tertentu dan dia senang dengan gurunya, nilainya cukup baik. Dan dia senang dengan pelajaran itu.
PG : Betul sekali, ini point yang sangat penting, maka kita sebagai pendidik memang harus bisa mendapatkan hati anak, baru akhirnya kita bisa memperoleh otak anak. Kalau kita tidak mendapatkan ati anak, jangan berharap kita akan bisa memperoleh otak anak itu.
Kita benar-benar harus menyadari prinsip ini. Kalau anak sudah menyukai kita, dia tahu kita adalah guru yang memperhatikannya, baik dan sebagainya, dia akan lebih bersedia belajar; dia akan lebih bersedia mencurahkan waktunya dan membela mati-matian agar dia bisa mendapatkan nilai yang baik dalam kelas kita. Kenapa, karena dia tahu kita memang memperhatikannya. Jadi sekali lagi jalan menuju ke otak anak harus melewati hati anak dulu.
GS : Tapi kita sebagai orang tua juga repot Pak Paul, karena tidak mungkin anak itu dipindahkan ke kelas lain. Nah bagaimana kita memberikan pengarahan kepada anak ini, walaupun dia tidak senang dengan gurunya dia tetap mempunyai semangat untuk belajar?
PG : Ini adalah hal yang penting sebab hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Dan ini juga yang kita tanamkan kepada anak-anak kita, bahwa kebetulan kamu mendapatkn guru yang seperti ini.
Dan kita katakan betul, betulnya apa, "anak-anak yang sebelum kamu pun orang tuanya mengeluhkan hal yang sama dan anak-anak mereka pun mengeluhkan hal yang sama tentang guru ini." Jadi kita itu tidak memarahi si anak, kita mengakui, "Ya, bahwa gurumu memang seperti itu, kami telah mendengarnya bukan hanya satu orang yang berbicara tapi banyak orang telah mengutarakan hal yang sama tentang guru itu." OK! Dengan kata lain kita jangan mudah meng-iakan anak. Anak berkata guru ini tidak baik karena begini, begini, nah kita sudah langsung mau menabuh gendang perang melawan si guru itu. Jangan, bisa jadi anak kita yang tidak tepat melihat gurunya. Tapi kalau memang banyak orang mengatakan hal yang serupa, ya kita harus akui kemungkinan besar anak kita benar. Dan jangan salahkan anak, kita konfirmasikan pendapatnya, pandangannya, "Ya, memang gurumu seperti itu, ya mama dan papa kasihan dengan kamu, pasti kamu susah di kelas ya. Namun inilah kenyataan hidup, kadang-kadang kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak kita inginkan, namun kita harus bisa melewatinya." Dengan cara apa, bertahan, pisahkan orang dari pelajarannya; kita paksa anak kita untuk berpikir seperti itu. Nah waktu dia bisa melewati, dia pun akan mengembangkan kebanggaan pada dirinya, "Saya bisa melewati guru itu, meskipun guru itu tidak menyenangkan." Nah yang berikutnya adalah jangan korbankan relasi kita dengan anak hanya gara-gara masalah belajar. Kadang-kadang kita itu ribut dengan anak gara-gara soal belajar, jangan seperti itu, kasihan, sayang; relasi anak dengan orang tua rusak hanya gara-gara masalah belajar.
GS : Sekarang itu memang orang berlomba-lomba untuk mendidik anaknya sedini mungkin. Maksudnya supaya kelihatan di antara teman-temannya, di masyarakat bahwa anaknya terpelajar dan bisa cepat belajar. Menurut Pak Paul bagaimana?
PG : Menurut saya ikuti saja ritme alam yang Tuhan telah tetapkan bagi manusia. Yaitu nomor satu anak belajar paling banyak dari bermain, bukan dari sekolah. Semakin kecil anak banyak belajar dri bermain bukan dari sekolah, nah semakin besar dia akan belajar semakin banyak secara kognitif dari pelajaran-pelajaran yang telah tersusun dengan sistematis.
Tapi memang porsinya dari sedikit, ringan, baru makin hari makin lebih berat. Dan dari yang umum, umum, makin hari dan makin tinggi tingkatannya makin spesifik.
GS : Di dalam hal memotivasi anak supaya rajin belajar ini, apa yang firman Tuhan sampaikan Pak Paul?
PG : Saya bacakan Mazmur 103:13-14, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingt, bahwa kita ini debu."
Jadi Tuhan menyayangi kita, begitu sayang kepada kita. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau Tuhan sayang kepada kita, mari kita sayangi anak kita. Caranya bagaimana, nah Tuhan berkata Dia tahu siapa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu. Artinya kita pun terhadap anak sama, kita tahu anak kita itu siapa, keterbatasannya apa. Kita tahu anak kita juga debu, tidak sempurna, nah belajarlah menerima. Ini akan jauh lebih baik daripada menuntut anak untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.
GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Malas Belajar." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.