Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Konflik Pasutri. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, biasanya kalau masa bulan madu pasangan baru itu sudah habis, setelah itu mulai ada timbulnya konflik-konflik di dalam kehidupan rumah tangga mereka yang masih baru ini. Nah, itu sebenarnya bagaimana Pak Paul, yang tadinya begitu harmonis, indah, kemudian muncul konflik-konflik itu?
PG : Sering saya katakan kepada pasangan yang sedang menjalani konseling pranikah, bahwa perbedaan mereka pada masa berpacaran merupakan daya tarik, tapi pada masa pernikahan merupakan duri. Jadi justru perbedaan yang membuat mereka tertarik kepada pasangannya itulah yang nanti akan mengganggu mereka. Misalkan pada masa berpacaran dia melihat wanita ini begitu penurut, begitu baik, begitu sabar, nah akhirnya setelah menikah dia mulai menyadari bahwa istrinya tidak berinisiatif dan segala hal bertanya kepadanya. Nah, awal-awalnya waktu masih pacaran ya dia tidak berkeberatan ditanya oleh pacarnya sekarang setelah menikah kalau istrinya bertanya dia marah. Dan dia akan berkata: Mengapa kamu tidak bisa berpikir sendiri dan memutuskan sendiri? Nah, dengan kata lain sebetulnya si istri itu tidak mengembangkan sebuah perilaku yang baru, sebuah karakter atau sifat yang baru, sama sekali tidak tetap yang sama. Tapi memang satu karakter selalu mempunyai dua sisi seperti koin selalu ada dua sisinya. Sisi yang memang kita sebut menyenangkan dan ada sisi yang mengganggu. Nah, setelah menikah sisi yang mengganggu itulah yang kita harus lihat. Pada akhirnya yang harus kita lakukan adalah beradaptasi dengan perbedaan itu.
WL : Tapi Pak Paul, ada pasangan tertentu yang agak kaku, hanya menuntut pasangannya yang berubah, kalau dirinya sendiri dia selalu bilang saya dari dulu memang begini, kamu itu yang bermasalah.
PG : Saya kira secara alamiah kita memang seperti itu Ibu Wulan, jadi kita cenderung berharap pasangan kita yang berubah. Kita beranggapan bahwa kita seperti ini bukan saja kita dari dulu seperti ini, tetapi sebetulnya tidak apa-apa kita seperti ini. Dan langsung yang kita sodorkan sebagai bukti adalah kita akan berkata kepada pasangan kita: Saya sudah bekerja bertahun-tahun dan teman-teman saya tidak ada yang pernah mengeluhkan tentang saya, saya di rumah bisa bergaul dan diterima dengan baik oleh orang tua saya maupun oleh adik, kakak saya, tidak ada yang mengeluh tentang saya. Setelah menikah kok baru engkau yang mengeluh. Dengan kata lain si orang ini akan berkata: Ya, semua data menunjukkan saya di pihak yang benar, jadi pasti di pihak yang salah sekarang adalah engkau bukannya saya lagi, nah itu yang membuat orang akhirnya sukar untuk berubah.
GS : Pak Paul, kalau dua-duanya saling mempertahankan bahwa dirinyalah yang benar, bukankah konflik itu pasti terjadi dan sulit diatasi. Nah, dalam kondisi seperti ini apakah pasutri, pasangan suami-istri yang baru itu perlu mendapat bimbingan dari pihak yang ketiga?
PG : Sangat perlu Pak Gunawan, sebaiknya tatkala masalah mulai muncul dua-dua memang harus waspada. Ayo mencoba introspeksi, ayo mencoba melihat diri di mana kekurangan saya, di mana saya kurang bisa memahaminya, jadi mencoba introspeksi melihat diri sendiri. Nah tapi kalau sudah dilakukan, masih belum bisa bertemu juga di tengah, masih terus berbenturan, kemungkinan memang kita memerlukan pertolongan dari seorang konselor yang bisa menolong kita beradaptasi dengan lebih baik. Nah, masalahnya adalah kebanyakan pasangan tidak mencari pertolongan tepat waktu. Nah, ada seorang penulis yang bernama Marcia Lasswell yang menulis sebuah buku berjudul No Fault Marriage memang mengatakan hal ini bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan ± 7 tahun. Jadi bukannya tahun pertama, bukannya tahun kedua tapi setelah 7 tahun bergulat dengan masalah, tidak bisa menghadapinya lagi baru datang kepada seorang konselor. Nah, 7 tahun bukan waktu yang singkat, berarti masalah telah terakumulasi dan menyebar ke semua lini kehidupan. Itu sebabnya waktu mereka datang mereka kebingungan juga, mau membereskan yang mana sebab terlalu banyak problem.
GS : Menurut pengalaman Pak Paul, mengapa atau apa yang menghalang-halangi mereka tidak
mau datang kepada seorang konselor pada awal-awalnya?
PG : Ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama adalah budaya. Budaya kita ini budaya malu, jadi kita cenderung menutup diri karena kita beranggapan tidak baik membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain apalagi dengan orang yang tidak kita kenal. Akhirnya budaya malu itu menghalangi kita mencari pertolongan. Atau yang kedua, adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan berarti menceritakan kejelekan kita sendiri. Jadi akhirnya ada orang yang beranggapan buat apa cerita kejelekan pasangan kita, sebab kita pun juga akan menceritakan kejelekan kita. Ada
lagi penyebab yang lain yaitu kalau kita menceritakan masalah pasangan kita wah....kita ini orang jahat sekali, kita sedang berkhianat kita kok menjelekkan pasangan kita, jadi akhirnya kita menahan diri tidak mau mencari pertolongan. Atau yang terakhir yang paling mendasar kenapa kita tidak mencari pertolongan, karena kita tidak terlalu menyukai perubahan, karena pada ujung-ujungnya memang kita ini juga harus berubah. Nah, ada orang yang datang mencari pertolongan beranggapan bahwa yang bermasalah adalah pasangannya jadi yang harus berubah adalah pasangannya saya tidak perlu berubah. Begitu menyadari konselornya meminta dia juga harus berubah, dia tidak mau.
WL : Pak Paul, ada pengaruh atau tidak konsep tentang kesatuan dalam pernikahan, karena waktu sudah menikah itu sama-sama satu jadi kalau kita melukai pasangan dengan menceritakan itu seperti kita sedang menusuk diri kita sendiri, belahan jiwa kita.
PG : Ada sekali Bu Wulan, makanya tadi saya menggunakan istilah menjelekkan itu memang saya kira cerminan anggapan di masyarakat, kalau menceritakan masalah rumah tangga itu menceritakan kejelekan jadi menusuk diri kita juga dan sebagainya. Tapi sesungguhnya tidak ada niat kita untuk menjelek-jelekkan pasangan kita, tapi memang kita mau membicarakan problem yang muncul di antara kita, janganlah kita menyebut itu jelek atau menjelekkan. Kita mau menyelesaikan problem ini bukan mau menjelekkan pasangan kita, jadi tidak apa-apa mencari pertolongan.
GS : Apa indikasinya bahwa konflik dalam pasutri itu sudah sedemikian rawan atau berbahaya bagi kelangsungan pasangan itu, Pak Paul?
PG : Biasanya tanda yang bisa kita tangkap adalah mereka tidak lagi bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi pada awalnya tatkala ada konflik barulah mereka bertengkar, tidak bisa bertemu di tengah, tapi lama-kelamaan meskipun tidak dalam suasana hati yang buruk, dalam suasana hati yang relatif baik pun mereka tidak bisa berkomunikasi, mereka akan bertengkar. Jadi mohon dimengerti bahwa dalam keluarga yang sudah bermasalah, komunikasi tidak lagi berjalan dan sudah langsung berhenti dan menjadi ajang pertengkaran.
WL : Pak Paul, bagaimana dengan pasangan yang memang dari awalnya tidak mempunyai
komunikasi yang cukup sehat kalau ditinjau dari segi psikologis, misalnya orang yang dijodohkan bukankah mereka tidak mengenal sekali. Komunikasi sebatas saya antar
kamu, saya jemput kamu, hal yang umum sekali, memang dari awalnya komunikasinya hanya sebatas itu, Pak Paul?
PG : Kalau memang itulah kondisi mereka dan mereka bisa menyelesaikan problem mereka mungkin tidak apa-apa juga. Jadi ada rumah tangga-rumah tangga yang seperti itu, komunikasinya relatif dangkal tapi dua-duanya juga memang tidak mempunyai kebutuhan yang lain dan tidak menganggap itu sesuatu yang salah. Jadi mungkin saja mereka bisa menjalani pernikahan mereka seperti itu. Nah, sudah tentu sebaiknya atau idealnya mereka bisa menggali lebih dalam lagi sehingga bisa membagi hidup mereka dengan lebih penuh bukan hanya yang ada di permukaan.
GS : Konflik yang mengancam itu Pak Paul, yang kadang-kadang dari luar tidak kelihatan jadi
yang mengetahui hanya mereka saja tapi tiba-tiba kita mendengar bahwa mereka berpisah dan sebagainya. Tadi Pak Paul katakan biasanya mereka datangnya terlambat sampai 7 tahun dan sebagainya, tapi sementara itu mereka masih tetap bisa mempunyai anak itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Karena biasanya mereka mencoba mengisolasi problem mereka bahwa mereka mempunyai problem dalam hal-hal ini, nah mereka mencoba mengisolasinya. Namun di samping itu mereka sebenarnya juga berusaha menyelesaikan, cara-cara penyelesaian itulah yang sering kali kurang tepat dan malah menciptakan problem yang baru. Mungkin ada baiknya saya uraikan Pak Gunawan, yang pertama biasanya kalau mulai muncul problem ada orang yang menggunakan metode mendominasi. Pokoknya dia menguasai secara paksa sehingga sedikit banyak rumah tangga mereka tenteram kembali, sebab yang satu ini misalkan si suami menggunakan kekerasan, menggunakan teriakan, menggunakan ancaman, tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya berbicara akhirnya memang tidak lagi terjadi pertengkaran. Karena apa, yang satu takut untuk memulai apa-apa karena takut nanti kena pukulannya atau takut teriakannyalah. Memang ada ketenteraman tapi ini ketenteraman yang bersifat semu biasanya tidak berlangsung untuk waktu yang lama dan mungkin sekali suatu hari kelak bisa meledak lagi.
GS : Ya memang itu bisa meledak misalnya setelah anak-anak dewasa dan si suami pensiun akhirnya timbul masalah.
PG : Betul, sewaktu si suami yang tadinya kuat dan dominan sekarang menempati posisi yang lebih lemah.
WL : Pak Paul, bisa tolong dijelaskan tentang prinsip yang pertama yaitu mendominasi dengan yang diajarkan oleh Alkitab tentang submissive istri. Karena saya pikir banyak orang juga salah mengartikan prinsip submissive yang ada di dalam Alkitab.
PG : Alkitab memberikan sebuah tugas kepada suami untuk memimpin keluarga, maka itulah dia disebut kepala. Tapi bukan dalam konotasi atau pengertian dia itu menjajah si istri, sehingga si istri kehilangan dirinya sama sekali, bukan. Pernikahan adalah sebuah peleburan dua pribadi bukan sebuah akuisisi, akuisisi yang satu mengambil alih yang satunya, tidak, pernikahan adalah peleburan bukannya akuisisi jadi dua-dua memang harus meleburkan diri baik si pria maupun si wanita. Nah,Tuhan meminta pria menjadi kepala dalam pengertian tugasnyalah memimpin, tapi Tuhan juga memberikan spesifikasi yang sangat jelas engkau harus mengasihi istrimu seperti Tuhan Yesus mengasihi jemaat, mengorbankan diriNya dan sebagainya. Jadi adanya suatu kerelaan untuk berkorban, mau menjelaskan, mau mendengarkan si istri, mau memberikan yang paling baik untuk si istri, nah dengan kasih seperti itulah suami memimpin. Kalau dominasi seperti yang saya singgung memang unsur kasihnya itu sangat tipis karena unsur yang lebih penting adalah aku tidak mau diganggu gugat oleh engkau dan engkau harus tunduk
100% kepada kata-kataku.
GS : Pak Paul, ada pasutri yang mencoba menghindari pertengkaran atau konflik itu dengan memisahkan diri, artinya tidak mau sering ketemu, nanti kalau ketemu bertengkar lagi atau geger lagi, nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Dalam kasus-kasus tertentu menghindar boleh dilakukan Pak Gunawan, bukannya tidak boleh sama sekali. Karena memang adakalanya kalau dibicarakan sekarang pasti bertengkar jadi ada baiknya kita menunda. Yang tidak boleh dilakukan adalah terus- menerus menunda dan untuk segala hal kita menunda, itu yang tidak boleh. Tapi kalau sekali-sekali kita menunda itu namanya berhikmat, kita memilih waktu dan tempat yang lebih cocok untuk berbicara dengan pasangan kita. Tapi kalau terus-menerus menunda, terus-menerus tidak mau membicarakan masalah, saya kira itu tidak sehat. Karena apa, karena yang kita simpan itu tidak menghilang dan masih ada tertinggal di dalam diri kita. Suatu hari kelak dalam kasus yang lain, yang tersisa itu bisa bocor atau keluarnya bisa menjadi suatu ledakan yang besar.
WL : Pak Paul, kalau salah satu pasangan mempunyai pola menyelesaikan masalah itu dengan menarik diri, bagaimana dengan ajaran Pak Paul tentang menghindar ini?
PG : Saya kira adakalanya kita melakukan hal itu, kita menarik diri, mengalah, mengatakan: Ya sudah tidak apa-apa kita ikuti saja kemauan kamu. Saya kira adakalanya ini yang memang diperlukan, kalau dua-dua selalu berkata: Tidak, saya yang benar kamu harus ikuti, repot juga. Jadi sekali-sekali seseorang harus berkata: Ya, saya ikuti.
GS : Berarti itu suatu kompromi, Pak Paul?
PG : Ya, jadi itu sebuah kompromi. Jadi adakalanya kalau sesuatu itu terlalu runcing, seseorang harus berkompromi, harus mengalah, harus menuruti. Namun kalau ini menjadi pola yang terjadi terus-menerus itupun tidak sehat, karena yang terus- menerus mengikuti kehendak pasangannya (biasanya ini dalam kasus yang satu terlalu dominan), nah akhirnya yang terlalu mengikuti akan kehilangan dirinya dan suatu hari dia mungkin terbangun dan berkata: Di manakah diri saya yang sebenarnya, selama ini
saya hanya hidup untuk pasangan saya, semua tidak ada lagi untuk saya, nah di manakah saya, untuk apakah saya hidup, nah itu bisa jadi disadarinya di kemudian hari, dia terbangun dan dia memberontak tidak mau lagi mengikuti kehendak pasangannya.
GS : Dan itu membuat pasangannya terkejut luar biasa, Pak Paul?
PG : Sangat terkejut, kenapa kok dulu ikut sekarang tidak dan justru berontak. GS : Berarti pola itu sebenarnya kurang tepat.
PG : Ya, kalau terus-menerus seperti itu tidak tepat Pak Gunawan, karena sekali lagi tidak benar yang satu kehilangan diri, yang satu menambah diri. Tuhan menghendaki peleburan dari dua pribadi itu.
WL : Saya pernah menemukan beberapa pasangan yang salah satu pasangan itu pada
dasarnya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pasangannya. Dia lebih pintar, dia mau maju, mau baca dan sebagainya jadi dia merasa lebih benar, lebih tahu banyak jadi kalau ada masalah dia bisa menjelaskan begini, begini. Jadi dia selalu menuntut pasangannya untuk beradaptasi dengan dia.
PG : Dalam kasus seperti ini saya harus berkata, kalau yang satu memang secara umum standar hidupnya lebih baik, pengetahuannya lebih baik, kesabarannya lebih baik, kedewasaan rohaninya lebih baik, ya memang dia lebih baik. Dalam pengertian itu bisa jadi banyak hal yang dia lakukan benar dan pasangannyalah yang memang seharusnya lebih menyesuaikan diri dengan yang benar ini. Jadi saya ini tidak setuju dengan pandangan yang berkata bahwa kalau orang bertengkar pasti dua-duanya salah, tidak. Saya menjumpai banyak pasangan nikah dan cukup sering menemukan yang salah itu satu bukan dua-dua. Yang satunya mungkin memberikan reaksi yang juga keliru itu juga ada, tapi cukup banyak kasus yang saya jumpai jelas-jelas yang bersalah, yang membuat masalah, yang tidak dewasa, yang tidak bertanggung jawab, itu adalah satu individu bukan dua-dua. Jadi yang satunya memang lebih benar, memang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang dan sebagainya. Tapi yang satunya tidak mau ikut, tidak mau mendengarkan. Maka kalau kita tahu memang kita lebih dewasa kita menggunakan prinsip rohani juga. Tuhan pernah meminta kepada kita yang lebih rohani, sewaktu kita menegur orang yang salah tegurlah dengan lemah lembut. Tapi Tuhan juga mengatakan boleh, tidak apa-apa menegur tapi dengan lemah lembut, ini saya kira yang harus dilakukan oleh pihak yang menganggap dirinya lebih baik daripada pasangannya.
GS : Kalau begitu daripada menempuh cara-cara seperti tadi, ada suatu cara untuk masing- masing bekerja bersama-sama atau berusaha bersama-sama untuk meningkatkan mutu pernikahan mereka.
PG : Nah idealnya memang seperti itu Pak Gunawan, jadi pola-pola yang tadi telah kita bicarakan adalah pola-pola yang tidak apa-apa kita gunakan sekali-sekali tapi tidak boleh terus-menerus, karena terus-menerus tidak sehat lagi. Yang harus lebih kita utamakan adalah pola bekerja sama, berkooperasi yaitu kita berusaha memenuhi kebutuhan pasangan kita. Misalnya ada beberapa langkah, yang pertama adalah kita berdua harus mengakui adanya masalah, tidak bisa kalau hanya satu pihak saja yang berkata kita punya masalah sementara yang satunya tidak mengakui adanya masalah dan berkata ya ini masalahmu. Nah kadang-kadang saya menemukan kasus-kasus seperti ini, orang datang atau si suami datang yang satu tidak mau masuk hanya satu yang disuruh masuk ketemu saya. Saya tanya ini masalah apa? Masalah suami-istri. Saya akan panggil dua-duanya. Sebab itu yang sering kali terjadi, yang satu berkata ini bukan problem saya, engkau yang merasakan semua ini jadi sekarang engkaulah yang berubah. O....tidak, jadi dua-dua harus mengakui kita mempunyai masalah. Dan yang kedua adalah dua-dua harus belajar mengkomunikasikan kebutuhan atau keinginannya, apa yang diharapkan. Dan kalau sudah tahu apa yang diharapkan, mintalah. Ini yang sering kali
saya temui Pak Gunawan dan Ibu Wulan, orang kalau setelah menikah susah meminta hanya bisanya menyuruh dan menuntut, nah kalau bisa kita pertahankan meminta. Wah.....itu pernikahan kita akan banyak tertolong, tapi sering kali dari meminta akhirnya berubah menjadi menyuruh atau menuntut. Atau yang lainnya lagi kita mulai memikirkan alternatif, kalau yang ini belum bisa kita lakukan sekarang, kita belum bisa ketemu, OK-lah kita cari alternatif yang lain, ayo kita pikirkan cara yang lain. Kadang- kadang dua-dua mengutarakan pendapat dan dua-dua tidak bisa ketemu, akhirnya dua- dua harus berkata OK kita stop dulu, caraku, caramu coba kita hentikan, kita bekukan, ayo kita pikirkan cara yang lain, ada atau tidak cara yang lain yang bukannya aku katakan dan bukannya kamu katakan? Coba pikirkan cara yang lain. Nah, sering kali pasangan memang akan terjebak dalam tadi saya sudah bilang begini yang artinya juga berkata begitu, tadi saya bilang begini juga. Nah tidak ketemu, mungkin dua-dua harus berkata OK, bekukan pandanganmu, bekukan pandanganku, cari solusi yang ketiga. Nah sering kali waktu kita mencari solusi yang ketiga kita mulai bekerja sama dan mulai menanggalkan diri, kita tidak lagi mempertahankan pandangan kita sekarang. Nah, di situlah biasanya kita mulai bisa menemukan kerja sama itu.
GS : Kalau kita amati sejauh ini yang tadi Pak Paul sampaikan, itu karena masing-masing mempertahankan gaya hidup lamanya sebelum mereka menikah.
PG : Sering kali begitu dan kita memang tidak mungkin memotong diri kita yang dulu dan sekarang ini, tidak bisa. Jadi yang dulu akan menjadi bagian dari kehidupan kita yang sekarang. Kalau memang kita tahu cara kita itu tidak benar, kita memang harus konsekuen dan berkata cara saya tidak benar, ini saya sadari. Nah, kalau ada satu orang saja berani berkata begitu itu sudah sangat menolong pernikahan itu. Sering kali kita berkata: Memang tidak benar, tapi ini adalah saya, tidak, kalau tahu tidak benar konsekuen harus buang, harus kita tinggalkan.
WL : Pak Paul, tadi waktu menjelaskan pentingnya mengkomunikasikan kebutuhan, saya
terpikir begini permasalahannya banyak di antara orang-orang pada umumnya tidak mengerti apa sebenarnya kebutuhannya, pokoknya dilihat pasangannya tiap hari
menyebalkan, yang dilakukan salah terus. Bagaimana bisa mengkomunikasikan kebutuhan kalau dia saja tidak mengerti kebutuhannya itu sebenarnya apa.
PG : Kita bisa menolong diri kita sendiri yaitu kita bertanya kalau dia berubah apa itu yang saya rasakan, kalau sekarang dia itu tidak lagi melakukan hal itu, saya akan merasakan apa. Nah, kebanyakan perasaan itulah yang sebetulnya merupakan kebutuhannya. Misalkan kalau dia lagi marah tapi tidak berteriak-teriak lagi kepada saya, saya akan senang. Jadi apa yang saya butuhkan, dia tidak berteriak-teriak dan itu akan membuat saya senang. Artinya apa, saya butuh ketenangan, saya tidak bisa berkonflik dengan teriakan, saya butuh ketenangan, nah itu yang dia katakan. Suamiku atau istriku aku tidak berkeberatan berkonflik, tapi aku membutuhkan ketenangan itu. Bisa atau tidak engkau kalau lagi berkonflik denganku tidak berteriak, sebab teriakanmu itu membuatku takut atau membuatku tambah tegang sehingga akhirnya tidak bisa memikirkan masalah dengan baik.
GS : Sehubungan dengan konflik pasutri ini, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya bacakan Mazmur 18:21-23, Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan
kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku
tetap mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab
segala hukumNya kuperhatikan, dan ketetapanNya tidaklah kujauhkan daripadaku. Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan, apakah cara yang kita gunakan adalah cara yang diperkenankan oleh Tuhan, intinya adalah ini. Jadi sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta itu, jadi dalam bertengkar, dalam konflik selalu bertanya apakah itu cara Tuhan. Apa yang Tuhan minta dariku sekarang, Tuhan meminta kita untuk meminta maaf dulu; minta maaf, Tuhan meminta kita berbicara dulu; ya berbicara jangan keraskan hati. Nanti bagaimana, nanti Tuhan bekerja, Tuhan akan bereskan yang selebihnya, jadi yang penting menjalani dulu yang Tuhan minta, selebihnya Tuhan akan atur.
GS : Terima kasih Pak Paul dan Bu Wulan untuk perbicnangan ini, para pendengar sekalian
kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti
perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Konflik Pasutri. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id dan perkenankan kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Faktor penyebab timbulnya pertengkaran di dalam keluarga yaitu:
Faktor terumum adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara hidup atau gaya hidup yang tertentu. Nah sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita, berarti kita harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya adalah berani untuk memerika diri, introspeksi kelemahan masing-masing dan akhirnya berani untuk mengubah diri.
Kecenderungan banyak pasangan nikah yang tidak mencari bantuan terhadap masalahnya sampai masalah itu
berkembang begitu seriusnya. Bahkan dikatakan dalam bukunya Marcia Lasswell yaitu No Fault Marriage mengatakan bahwa rata-rata pasangan nikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7 tahun dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi dan barulah dibawa ke orang lain untuk mendapatkan bantuan.
Penyebab kenapa orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya adalah:
1. Budaya, budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu. Kita cenderung menutup diri, kita mempunyai anggapan tidak baik membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain.
2. Adanya anggapan, bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti memberitakan kejelekan kita sendiri.
3. Kita berpikir kalau kita ini menceritakan masalah pasangan kita, kita ini sedang berkhianat.
4. Dan alasan yang paling mendasar, kita adalah orang yang tidak begitu menyukai perubahan.
Ada beberapa pandangan bagaimana cara penyelesaian masalah yaitu:
1. Menguasai / mendominasi ? mendominasi atau menguasai secara paksa akan membuat suasana pernikahan tenteram. Dan tenteram ini bersifat semu atau sementara. (cara ini tidak dianjurkan).
2. Menghindar ? cara ini tidak sehat sebab kita hanya menunda membicarakan dan menyelesaikan masalah
dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.
3. Menurut/mengikuti kemauan pasangan kita ? ini pun tidak sehat sebab waktu kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita itu berarti kita harus menguasai atau mengekang keinginan kita.
4. Kompromi ? kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau tuntutan kita supaya
akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah yang boleh kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.
5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-masing/memikirkan solusinya. Untuk bisa bekerja sama ada yang perlu dilakukan yaitu:
a. Harus mengakui adanya konflik
b. Mengkomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.
c. Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak. d. Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.
e. Melaksanakannya.
Mazmur 18 : 21, 22 ,23 berkata: Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab segala hukum-Nya kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari padaku.
Kita bisa selalu menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, namun intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta.
Menghadapi Bencana|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T404A|T404A|MasalahHidup|Audio|Hidup ini tidak selalu bisa kita kuasai, ada hal-hal yang bisa kita kuasai, ada hal-hal yang sangat di luar kuasa kita, bencana adalah salah satunya. Dan biasanya setiap orang melewati tahap-tahap tertentu dalam menghadapi bencana.|3.7MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T404A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan selama ± 30 menit yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan perbincangan kami kali ini kami beri judul menghadapi bencana, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul, kehidupan ini sekalipun kita sudah mencoba mengatur sedemikian baik, antisipasi dan sebagainya tapi yang namanya bencana tiba-tiba bisa saja melanda kehidupan ini. Umumnya reaksi apa saja yang bisa muncul, Pak Paul?
PG : Waktu kita menghadapi bencana tidak bisa tidak, Pak Gunawan, kita akan mengeluarkan beberapa reaksi. Ada seseorang yang bernama Elizabeth Ross, dia mencoba menjabarkan reaksi-reaksi kita terhadap krisis yang datang dengan tiba-tiba. Memang yang memunculkan diskusi kita pada saat ini adalah yang telah terjadi di kota New York dan Washington, di mana ada sekitar 5000 orang baru saja kehilangan nyawanya akibat tabrakan atau usaha yang dilakukan oleh para teroris untuk menghancurkan kedua gedung World Trade Centre dan juga departemen pertahanan Amerika. Kita tahu akan ada lebih dari 5000 orang yang sedang meratapi karena mereka kehilangan orang-orang yang mereka kasihi, kalau ada 5000 orang yang meninggal berarti ada sekian banyak lagi orang yang sedang menangis kehilangan orang-orang itu, nah ini adalah bencana. Tadi Pak Gunawan sudah memulai dengan mengatakan bahwa hidup ini tidak selalu bisa kita kuasai, ada hal-hal yang bisa kita kuasai, ada hal-hal yang sangat di luar kuasa kita, bencana adalah salah satunya. Reaksi pertama yang biasanya kita keluarkan adalah kita sangat shock, terkejut waktu mendengar sesuatu yang menghantam diri kita atau keluarga kita. Bencana di sini tidak harus berbentuk bencana seperti serangan teroris itu ataupun bencana alam, namun ini bisa juga berupa kabar bahwa kita telah menderita penyakit yang terminal misalnya penyakit kanker atau apa. Nah pada saat pertama kali kita mendengar berita itu, biasanya kita berkata apakah benar, tidak mungkin ini menimpa saya, pasti ada kekeliruan. Jadi saya bisa bayangkan misalnya kita mendengar kabar bahwa pesawat telah jatuh dan mungkin ada salah seorang saudara kita yang ada di pesawat itu, reaksi yang alamiah adalah rasanya bukan dia, mungkin naik pesawat yang lain, atau nama itu bisa sama, orangnya belum tentu sama. Jadi sekali lagi reaksi kita adalah reaksi tidak percaya. Waktu kita bereaksi tidak percaya sesungguhnya kita ini sedang dalam proses mencoba menyangkal bahwa itulah yang telah terjadi. Sebelum kita buru-buru berkata bahwa penyangkalan adalah sesuatu yang tidak sehat, saya harus berkata bahwa adakalanya itulah yang dibutuhkan oleh seseorang. Sebelum dia sampai ke tahap menerima dan sebagainya, dia perlu masuk dulu dan berdiam dalam proses penyangkalan yaitu menyangkal bahwa bencana telah menimpanya. Kenapa saya katakan adakalanya memang diperlukan untuk orang itu berdiam dalam proses penyangkalan, sebab pada proses penyangkalan itulah seseorang
sebetulnya sedang mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang luar biasa pahitnya.
GS : Tetapi kadang-kadang itu betul-betul terjadi di depan matanya Pak Paul, jadi misalnya seorang ibu yang menyaksikan anaknya menyeberang dan kemudian tertabrak. Atau beberapa waktu yang lalu kita melihat orang tengah melihat challenger pesawat ulang- alik itu langsung meledak di depan matanya, nah pada kasus-kasus seperti itu apakah orang yang melihat itu masih sempat menyangkal lagi?
PG : Saya kira masih tetap secara mental, kita masih tetap bisa berkata ini adalah impian
atau rasanya ini tidak mungkin terjadi. Beberapa waktu yang lalu sudah cukup lama kita pernah mewawancarai dua orang ibu yang kehilangan suami mereka secara mendadak. Dan saya masih ingat salah seorang ibu itu berkata: bahkan setelah suaminya meninggal dunia, dia yang memeluk suaminya waktu meninggal dunia, dia yang ikut membawa
suaminya ke kamar jenazah dan sebagainya. Bahkan pada saat itupun, dia masih tidak mempercayai bahwa suaminya itu telah sungguh-sungguh meninggal. Jadi ini memang proses mental yang bertahap, pada tahap pertama memang seseorang berkata saya tahu dia sudah meninggal, namun rasa saya tahu itu rupanya belum sungguh-sungguh mengendap jadi belum sungguh-sungguh turun ke dalam sanubarinya dan memerlukan waktu untuk benar-benar pengakuan bahwa dia sudah meninggal itu baru bisa dirasakan.
ET : Kadang-kadang juga ada orang yang masih mengharapkan terjadinya mujizat, misalnya berkata pasti akan sembuh, pasti akan selamat, apakah ini juga bagian dari pertama?
PG : Saya kira demikian Ibu Esther, jadi pada saat-saat itu orang masih berpikir kalaupun benar-benar terjadi, pasti akan ada jalan keluarnya, Tuhan tidak akan membiarkan kita melewati ini. Misalkan kita didiagnosis menderita kanker, kita masih bisa berkata ini sementara saja nanti Tuhan pasti bisa menyembuhkan, itu salah satu reaksi. Cuma yang lebih umum adalah kita mengatakan mungkin ada kekeliruan, sering kali itu yang kita katakan, dokter bisa salah, alat-alat medis itu bisa salah, belum tentu. Ya sama juga dengan berita bahwa seseorang telah meninggal dunia dalam perjalanan atau apa tidak mungkin itu saudara kita atau pasti itu orang lain. Jadi memang rupanya tahap tidak percaya itu pasti muncul, jarang ada orang yang langsung bisa mengakui apa adanya. Jadi meskipun secara kognitif, intelektual berkata itu telah terjadi, namun pengakuan tersebut belum sungguh-sungguh mengendap turun.
GS : Katakan tahapan itu sudah dilewati Pak Paul, jadi akhirnya mau tidak mau dia harus menerima kenyataan itu, apa reaksinya?
PG : Biasanya adalah kemarahan Pak Gunawan, nah pada saat kita merekam, kita sekarang sedang menantikan reaksi negara Amerika Serikat terhadap orang yang ditunjuk bertanggung jawab atas usaha teroris itu. Kita tahu bahwa negara atau orang-orang di sana dalam keadaan marah, ingin berbuat sesuatu. Jadi reaksi marah adalah reaksi yang sering kali dimunculkan pada waktu kita benar-benar menyadari bencana telah menimpa kita. Pertama-tama kita ingin menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas bencana itu, nah kalau bencana alam sudah tentu kita tidak bisa menunjuk siapa-siapa selain Tuhan. Kita berkata Tuhan Engkau begitu jahat, kenapa Engkau membiarkan ini terjadi, Engkau bisa mencegahnya kenapa Engkau tidak mencegahnya. Kenapa Engkau menguji aku begitu beratnya, kesimpulannya adalah kenapa Engkau begitu kejam, sehingga Engkau menguji aku dengan begitu beratnya. Jadi kita ingin mengidentifikasi, menunjuk siapa yang bertanggung jawab, nah misalkan bencana itu lebih melibatkan manusia lainnya, orang yang kita kasihi ditabrak, kita akan mempunyai kemarahan yang luar biasa
terhadap si pelakunya. Atau karena ada kesalahan alat-alat yang mati, alat-alat yang memang dioperasikan terus akhirnya rusak atau apa sehingga terjadi bencana, kita akan benci dan marah terhadap alat-alat tersebut dan tidak mempunyai kepercayaan lagi terhadap alat-alat tersebut. Jadi dalam tahap marah itu kita akan menunjuk siapa yang telah bersalah, kita ingin tahu siapa yang bertanggung jawab. Nah reaksi marah itu akhirnya diikuti dengan tekad, kita mau berbuat sesuatu, kita mau melampiaskan kemarahan kita, sebab kemarahan itu memang energi yang ingin kita keluarkan. Jadi kecenderungannya adalah setelah menunjuk kita ingin berbuat sesuatu untuk melampiaskan kemarahan. Seolah-olah kemarahan kalau sudah dilampiaskan, barulah dibayarkan kerugian akibat bencana tersebut.
GS : Apakah kemarahan itu bisa ditujukan kepada dirinya sendiri, Pak Paul?
PG : Point yang bagus sekali Pak Gunawan, jadi adakalanya sewaktu kita tidak bisa menunjuk
orang-orang, Tuhan atau siapapun yang telah bersalah, dan kita hanya bisa menunjuk kepada diri sendiri, kita sampai mati akan menyalahkan diri sendiri. Biasanya terjadi pada orang-orang yang kehilangan orang yang dikasihi, lalu waktu terjadi peristiwa itu memang ada unsur pengabaian atau kelalaian dari pihaknya sendiri. Misalnya seorang yang tanpa sengaja menabrak anaknya sendiri misalnya begitu atau seseorang yang tanpa sengaja membiarkan anak itu di belakang motornya yang tidak begitu kuat memeluknya, sehingga waktu menikung misalnya agak miring akibatnya anak itu terpeleset jatuh, terlempar dari motor dan meninggal dunia atau apa. Nah itu kita tidak bisa salahkan siapa-siapa, kita hanya bisa salahkan diri sendiri. Bisa jadi sampai bertahun-tahun kemudian kita menyalahkan diri sendiri, marah dan benci dengan diri kita.
ET : Dan hal itu tampaknya juga bersifat konflik, Pak Paul. Dalam arti ada orang yang inginnya marah tetapi ketika dia sedang marah yaitu seperti pertentangan antara apa yang dia rasakan dengan apa yang dia pikirkan. Maksudnya secara kognitif dia sudah sepertinya bisa menerima ini memang sudah terjadi, tetapi dia juga ingin marah tapi dalam kemarahannya muncul lagi rasa bersalah, karena seolah-olah apalagi kalau
kaitannya sudah menyalahkan Tuhan rasanya konflik sekali begitu apa yang dia alami.
PG : Jadi yang Ibu Esther ingin katakan adakalanya kita memang tidak bisa dengan bebas mengungkapkan kemarahan kita. Jadi kemarahan kita akhirnya tersumbat.
ET : Ya di satu sisi ingin marah, misalnya kalau bencana alam akhirnya harus marah kepada Tuhan, tetapi ketika marah dengan Tuhan akhirnya juga muncul perasaan lain yaitu merasa kenapa saya marah kepada Tuhan, tapi nyatanya saya memang harus mencari sesuatu untuk menjadi obyek kemarahan.
PG : Betul, adakalanya kita beranggapan bahwa kalau kita marah kepada Tuhan, Tuhan akan menghukum kita. Tapi kalau kita saja bisa mengerti sebagai manusia bahwa orang memang ingin mengungkapkan kemarahannya akibat bencana yang dialaminya, apalagi Tuhan. Tuhan pasti mengerti, Dia tidak kabur karena kita marah kepadanya. Jadi silakan misalkan kita mengalami bencana, kita mau marah karena kita mau lari ke mana lagi kalau bukan ke Tuhan ya, sebab bukankah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Dia, kenapa masih bisa terjadi kemalangan seperti ini, musibah seperti ini. Jadi reaksi yang normal bagi orang yang sangat bergantung kepada Tuhan untuk mempunyai pertanyaan kenapa Engkau membiarkan ini terjadi. Tidak apa-apa, keluarkan kemarahan itu kepada Tuhan, Tuhan akan mendengarkan, Tuhan tidak akan marah, menghukum kita karena kita menyatakan kemarahan kita kepada Dia daripada tersumbat-tersumbat
akhirnya justru akan menghalangi hubungan kita dengan Tuhan. Jadi ada orang-orang yang justru tidak mau lagi bersama dengan Tuhan, menyembah Tuhan karena kekecewaan yang dalam itu.
GS : Tetapi kemarahan itu sifatnya tidak terus menerus Pak Paul, pada saatnya orang itu akan berhenti dari kemarahannya. Kalau proses itu terjadi berarti dia sudah mulai memahami, lalu reaksinya bagaimana?
PG : Untuk bencana yang sudah terjadi biasanya tahap ini akan dilewati, tapi untuk bencana
yang terus terjadi misalkan kasus penyakit terminal atau anak yang kita kasihi didiagnosis menderita penyakit terminal, nah kita memasuki tahap yang ketiga yaitu tahap bernegosiasi. Dalam kasus seperti bencana yang terjadi di New York tidak bisa lagi bernegosiasi, sudah terjadi. Nah dalam kasus seperti penyakit, kita bisa bernegosiasi. Kita berkata kepada Tuhan, Tuhan saya mengaku saya pernah salah
dahulu, saya pernah berdosa, nah sekarang ampuni saya. Saya berjanji kalau saya bisa dibebaskan dari bencana ini, saya tidak jadi kena kanker saya akan menjadi hamba Tuhan, saya akan serahkan anak saya untuk melayaniMu dan sebagainya, nah kita tawar menawar. Harapan kita adalah kita akan berhasil membujuk Tuhan agar Tuhan mengurungkan niat-Nya, tawar-menawar itu biasanya kita lakukan dengan sungguh- sungguh, kita benar-benar tadinya marah kepada Tuhan sekarang berbalik. Tuhan, jangan sampai saya ini menderita seperti ini, anak-anak saya masih perlu saya jangan sampai saya meninggal dulu, nanti kalau Tuhan sembuhkan saya, saya akan begini, begitu untuk Tuhan, saya akan menjadi orang yang berbeda atau apa. Jadi kita mencoba bernegosiasi.
GS : Konsep seperti itu apakah bisa diterima Pak Paul, secara iman Kristen atau bagaimana? PG : Saya kira bisa, sebab kita melihat contoh yang jelas adalah sewaktu Tuhan menyatakan
niatnya menghukum Sodom dan Gomora. Abraham diajak untuk berkonsultasi oleh Tuhan dan Abraham diberikan kesempatan untuk bernegosiasi meskipun ini tidak persis sama seperti yang kita bicarakan, tapi itu juga bencana yang akan menimpa Sodom dan Gomora. Abraham bernegosiasi akhirnya Tuhan berkata kalau 10 orang yang masih menyembah Tuhan, Tuhan tidak akan menghukum Sodom dan Gomora. Tapi memang tidak ada 10 orang lalu Tuhan menghukum, menghancurkan kedua kota itu.
GS : Dalam negosiasi tidak selalu permintaannya itu dikabulkan oleh Tuhan, nah kalau tidak
apakah dia tidak bertambah marah lagi kepada Tuhan?
PG : Nah kita masuk ke tahap berikutnya, Pak Gunawan, ini memang tahap marah juga sebetulnya. Memang marah tapi marahnya sudah benar-benar terlalu dalam dan tidak bisa lagi diekspresikan seperti pada tahap sebelumnya. Marah di sini adalah marah yang
sudah berat, berat sehingga tidak bisa lagi dikeluarkan sebagai kemarahan, munculnya sebagai depresi. Makanya tidak heran banyak pasien-pasien penyakit terminal misalnya seperti kanker juga akhirnya menderita depresi. Memang secara emosional, secara sosial dia terputus dari lingkungannya, dia sendirian, dia terisolasi, dia kehilangan orang atau pekerjaan yang disukainya. Memang itu adalah hal-hal yang akan mengurangi kekuatannya dia menghadapi tekanan hidup ini. Tapi salah satu yang memang membuat dia depresi berat adalah kenyataan menghadapi tekanan hidup ini, kenyataan yang dia harus terima bahwa tidak ada jalan lain. Tawar-menawar tidak berhasil saya tetap menderita penyakit yang sama, bencana benar-benar telah datang dan saya tidak bisa lagi mengelak. Konsekuensi akibat buruk itu semua harus saya tanggung dan melihat ke depan benar-benar kesuraman bagaimana membangun lagi, rumah sudah hancur misalkan
ini bencana alam, benar-benar menyadari dampak sepenuhnya. Uang yang hilang, uang yang tersisa dan mungkin tidak ada yang tersisa, orang-orang yang dikasihi sekarang tidak ada lagi atau segala macam. Pada tahap depresi sungguh-sungguh semua itu nyata tidak lagi dalam bayang-bayang, pada tahap sebelumnya masih dalam tahap bayang- bayang, karena memang emosi begitu kuat sehingga belum sempat untuk menghitung kerugian. Pada tahap depresilah kita menghitung kerugian dan sadar betapa besar kerugian yang harus kita bayar.
ET : Mungkin atau tidak Pak Paul, orang-orang yang ada di tahap depresi ini tetap
menyangkali sesuatu, dalam arti masih berharap kalau memang doanya atau negosiasinya ini tidak terjadi dia seperti bisa terima, tapi di sisi yang lain masih berharap terjadi perubahan lagi?
PG : Kalau masih ada harapan kemungkinan besar memang dia tidak melewati tahap depresinya. Jadi kalau dia kembali ke tahap penyangkalan berarti dia keluar dari depresi. Dan saya percaya akan ada orang yang seperti itu, saya kira pernah saya menghadapi seseorang yang seperti itu menghadapi kematiannya. Jadi tetap berkata kalau Tuhan kehendaki saya mau hidup sebab saya masih mau bekerja untuk Tuhan dan tidak pernah membicarakan tentang finalitas kehidupannya bahwa saya akan meninggal dunia. Tetap berkata saya masih mau sembuh, Tuhan akan menolong saya dan saya kira itu hal yang tidak apa-apa. Jadi saya pun sedang menghadapi hal seperti itu saya diamkan, saya biarkan. Saya hanya bertanya apakah dia siap, dia bilang sudah siap kalau harus meninggal. Namun dia tetap mau hidup dan itu yang menolong dia, sehingga dalam rasa sakit yang amat sangat dia tidak ambruk. Dia tetap berharap sampai akhirnya koma dan meninggal dunia, nah itu mungkin lebih sehat daripada harus melewati depresi. Jadi apakah ada unsur penyangkalan, sedikit banyak di situ juga ada, karena tidak mau melihat fakta dengan sangat jelas. Tapi siapapun yang kuat melihat fakta, memang kadang-kadang kita tidak kuat dan tidak apa-apa kembali lagi ke tahap pertama penyangkalan sampai akhirnya kita meninggal dunia.
ET : Tapi batasannya dengan iman tipis sekali, bagaimana Pak Paul?
PG : Ya kita bisa berkata di sini apakah ada unsur iman bahwa Tuhan akan menolong? Ada, adakah unsur melarikan diri? Ya juga ada. Tapi saya kira Tuhan kita Maha Besar, Tuhan akan menerima kedua-duanya. Tuhan akan berkata: Datanglah kepadaKu hai kamu yang letih dan berbeban berat. Sebab Tuhan pun 'kan dikatakan di kitab Mazmur Dia adalah gunung batuku, Dia adalah menara keselamatanku, aku berlari, berlindung di dalam Tuhan. Jadi Tuhan adalah tempat pelarian kita pula, jadi tidak apa-apa.
ET : Tapi apakah maksudnya tipe kepribadian tertentu bisa mempunyai pengaruh ke tahap- tahap ini Pak Paul? Orang-orang yang bagaimana akan masuk ke depresi, yang biasanya tetap bertahan di posisi pertama yang Pak Paul katakan tadi.
PG : Saya kira yang lebih berpengaruh meskipun ada pengaruh tipe kepribadian, tapi saya
kira yang lebih penting adalah kematangan kepribadian seseorang. Semakin matang seseorang dia semakin melewati ini dengan cepat sampai kita masuk ke tahap terakhir nanti. Tapi semakin kurang matang dia akan lebih mudah terombang-ambingkan begitu, di tipe apapun saya kira bisa terpukul dengan sangat berat, tipe apapun meskipun pengekspresiannya mungkin berbeda. Contoh misalnya orang yang plegmatik
kemungkinan tidak akan terlalu mengekspresikan dirinya, namun dia mungkin mempunyai pergumulan batiniah yang luar biasa tapi dia tidak keluarkan.
GS : Pak Paul, kalau seandainya tahap depresi itu sudah dia lalui dan dia mulai sadar, mulai memahami, apa yang terjadi pada diri orang itu?
PG : Tahap terakhir adalah tahap kita ini mengumpulkan kembali hidup kita, kita mengintegrasikan kembali yang telah terjadi, baik kerugian ataupun yang tersisa. Jadi benar-benar secara nyata kita melihat kerugian yang harus kita tanggung tapi kita juga masih bisa menghitung yang tersisa pada diri kita atau kehidupan kita. Akhirnya kita satukan kembali kepingan-kepingan hidup itu dan memulai hidup yang baru. Saya mau garisbawahi kata 'baru' di sini, Pak Gunawan, sebab adakalanya orang berkata atau berprinsip saya mau kembali seperti hidup yang dulu dan tidak bisa, yang dulu itu sudah tidak ada, misalkan kehilangan orang yang kita kasihi, kehilangan rumah yang dulu tidak akan ada. Jadi kita memang harus membangun sesuatu yang baru, tanpa orang itu, tempat atau benda yang kita sayangi, berarti memang harus memulai yang baru. Jadi di sini sebetulnya sangat diperlukan peranan orang-orang di sekitar kita yang bisa memberikan dukungan, kekuatan sehingga kita bisa bangun kembali, sebab kalau tidak ada dukungan, kekuatan atau alternatif kita akan terus-menerus terpuruk.
GS : Tetapi memberikan dukungan itu juga tidak mudah, Pak Paul, kadang-kadang yang saya
alami itu kita cuma memberikan harapan-harapan yang palsu sehingga membuat dia makin terpuruk.
PG : Betul, jadi yang harus kita waspadai adalah memberikan janji atau harapan palsu, tidak akan terjadi. Yang lebih penting pada saat-saat ini adalah tindakan nyata, tindakan nyata misalkan tindakan yang sederhana seperti membelikan dia barang-barang keperluan, hal seperti itu justru sudah sangat bermakna. Sebab pada masa orang menghadapi bencana, kemampuan berpikir dan merencanakannya akan sangat terhambat begitu.
ET : Tapi saya melihat di sisi lain kadang-kadang justru orang yang berminat untuk
memberikan dukungan tapi tidak memikirkan, memberi waktu seperti yang Pak Paul katakan. Jadi rasanya, tahap-tahap ini sudah tidak perlu lama-lama dilewati seperti cepat sampai ke tahap yang kelima, padahal tiap orang kapasitasnya berbeda-beda ya?
PG : Tepat, tepat sekali kapasitasnya berbeda dan berapa bermaknanya dalam diri orang juga tidak sama.
GS : Artinya kita tidak bisa paksakan seseorang untuk cepat-cepat ke tahap integrasi, Pak
Paul?
PG : Betul, tahap integrasi memang harus muncul secara alamiah tidak bisa dikarbit.
GS : Nah Pak Paul, sekalipun bencana ini rasanya sulit untuk dihindari dan lagi pula kita tidak siap untuk mengantisipasinya, tetapi saya percaya ada firman Tuhan yang bisa dijadikan
pegangan bagi kita semua kalau ada suatu bencana yang menimpa kita.
PG : Ada sebuah kesaksian yang akan saya ceritakan sebelum mengutip firman Tuhan, yaitu dari seorang pendeta yang kehilangan anaknya karena kematian. Pendeta ini sering memberikan penghiburan kepada jemaatnya, jadi jemaatnya sekarang ingin tahu apa yang dilakukan oleh si pendeta setelah kehilangan anak yang dikasihinya. Ternyata si pendeta itu tabah, kuat melewati semuanya dan pada waktu anaknya dikubur, ia berkhotbah atau memberikan kata-kata seperti ini. Satu besi kalau dilempar ke air akan tenggelam, tapi besi yang dipasang dan dibangun menjadi sebuah kapal akan bisa
mengapung. Dia berkata kematian anak saya ibarat satu besi itu, yang kalau dilempar ke laut akan tenggelam. Namun sebetulnya itu adalah satu besi yang Tuhan sedang pakai merancang sebuah kapal yang besar dan kapal itu memang tidak bisa saya lihat
sekarang, tapi itu adalah rencana Tuhan. Saya kira kesaksian ini memberikan kita satu penghiburan bahwa apapun yang kita alami, akan ditangani oleh Tuhan dan akan menjadi kebaikan. Firman Tuhan di Kejadian 50:20 berkata Memang kamu telah mereka- rekakan yang jahat terhadap aku, tapi Allah telah mereka- rekakannya untuk kebaikan. Meskipun jahat dan buruk, Tuhan bisa pakai itu untuk yang baik.
GS : Nah saya rasa ini kesaksian dari Yusuf yang mengalami banyak bencana, tetapi akhirnya
Tuhan pimpin dia dengan begitu indah. Jadi itupun bisa terjadi pada setiap kita khususnya para pendengar yang pada saat ini mengikuti acara ini.
Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Esther, saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menghadapi Bencana. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Hidup ini tidak selalu bisa kita kuasai, ada hal-hal yang bisa kita kuasai, ada hal-hal yang sangat di luar kuasa kita, bencana adalah salah satunya.
Tahap-tahap menghadapi bencana adalah:
a. Tahap penyangkalan. Kita sangat-sangat shock, terkejut waktu mendengar sesuatu yang menghantam diri kita atau keluarga kita. Jadi reaksi kita adalah reaksi tidak percaya. Waktu kita
bereaksi tidak percaya sesungguhnya kita ini sedang dalam proses mencoba menyangkal bahwa itulah yang telah terjadi. Adakalanya memang diperlukan untuk orang itu berdiam dalam proses penyangkalan, sebab pada proses penyangkalan itulah seseorang sebetulnya sedang mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang luar biasa pahitnya.
b. Kemarahan, adalah reaksi yang juga sering kali dimunculkan pada waktu kita menyadari bencana benar-benar telah menimpa kita. Dalam tahap marah kita biasanya akan menunjuk siapa yang telah bersalah, kita ingin tahu siapa itu yang bertanggung jawab. Apakah itu orang lain, Tuhan atau siapapun yang telah bersalah, dan kadang kalau kita tidak bisa menunjuk orang lain atau Tuhan, akhirnya kita hanya bisa menunjuk kepada diri sendiri, menyalahkan diri sendiri.
c. Tahap bernegoisasi, misal dalam kasus seperti penyakit kita bisa bernegoisasi. Kita berkata kepada Tuhan, OK-lah Tuhan, saya mengaku saya pernah salah dulu, saya pernah berdosa dulu, nah sekarang ampuni saya. Saya berjanji kalau saya dibebaskan dari bencana ini, saya tidak jadi kena kanker saya akan menjadi hamba Tuhan, saya akan serahkan anak saya untuk melayani-Mu dsb,
kita tawar-menawar. Harapan kita adalah kita akan berhasil membujuk Tuhan agar Tuhan mengurungkan niat-Nya, nah tawar-menawar ini biasanya kita lakukan dengan sungguh-sungguh,
kita tadinya benar-benar marah kepada Tuhan sekarang berbalik.
d. Tahap marah yang berat (depresi), marah di sini adalah marah yang benar-benar terlalu dalam dan tidak bisa lagi diekspresikan seperti pada tahap sebelumnya sehingga akhirnya muncul depresi.
Salah satu yang membuat dia depresi berat adalah kenyataan yang dia harus terima bahwa tidak ada
jalan lain, tawar-menawar tidak berhasil, tetap menderita penyakit yang sama, bencana benar-benar telah datang dan tidak bisa lagi mengelak.
e. Tahap kita mengumpulkan kembali hidup kita, kita mengintegrasikan kembali yang telah terjadi baik kerugian atau pun yang tersisa. Jadi benar-benar secara nyata kita melihat kerugian yang harus kita tanggung tapi kita juga masih bisa menghitung yang tersisa pada diri kita atau kehidupan kita. Nah akhirnya kita satukan kembali kepingan-kepingan hidup itu dan memulai hidup yang baru.
Saya akan tutup dengan kesaksian seorang pendeta yang kehilangan anaknya karena kematian. Pendeta ini sering memberikan penghiburan kepada jemaatnya. Jadi jemaatnya ini ingin tahu apa yang dilakukan oleh si pendeta setelah kehilangan anak yang dikasihinya. Ternyata pendeta ini tabah, kuat melewati semuanya dan pada waktu anaknya dikubur, ia berkhotbah atau memberikan kata-kata seperti ini : Satu besi kalau dilempar ke air akan tenggelam, tapi besi yang dipasang dan dibangun menjadi sebuah kapal akan bisa mengapung. Dia berkata: Kematian anak saya ibarat satu besi itu, yang kalau dilempar ke laut akan tenggelam. Namun sebetulnya itu adalah satu besi yang Tuhan sedang pakai merancang sebuah
kapal yang besar dan kapal itu memang tidak bisa saya lihat sekarang, tapi itu adalah rencana Tuhan.
Ini kesaksian memberikan kita satu penghiburan bahwa apapun yang kita alami, akan ditangani oleh Tuhan dan akan menjadi kebaikan. Kejadian 50 : 20 berkata: Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan. Meskipun jahat, meskipun buruk, Tuhan bisa pakai itu untuk yang baik.
Melewati Masa yang Sulit|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T404B|T404B|MasalahHidup|Audio|Tidak seorang pun dari antara kita yang tidak pernah mengalami masa-masa sulit. Pada masa sulit biasanya penuh dengan kekhawatiran, akhirnya kita tertelan oleh perspektif duniawi dan gagal menerapkan perspektif surgawi. Karena itu kita perlu tahu bagaimana cara mengatasinya.|3.3MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T404B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Melewati Masa yang Sulit, kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul rasanya tidak seorang pun dari antara kita yang tidak pernah mengalami masa-masa sulit Pak Paul, tapi memang yang paling berat itu adalah pada saat-saat kita itu menjalaninya kalau sudah lewat kita sudah bisa menengok ke belakang bahkan itu mungkin sesuatu hal yang baik buat kita Pak Paul. Perbincangan kita tentang melewati masa yang sulit ini bagaimana Pak Paul?
PG : Ada sebuah doa yang ditulis oleh seorang theolog Amerika, Reinhard Niebohr. Doa
ini diterjemahkannya sebagai doa kedamaian yaitu serenity prayer. Doa yang sangat indah sekali doa ini berkata: Tuhan, berikanku kekuatan untuk mengubah hal-hal yang perlu aku ubah, berikan kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah dan hikmat untuk membedakan keduanya. Saya kira doa ini mencerminkan kebutuhan kita Pak Gunawan dalam menghadapi masa yang sulit ini
ada kalanya yang kita butuhkan adalah kekuatan mengubah, keberanian untuk bisa mengubah hal yang sedang kita alami itu, kadang tidak bisa kita mengubah jadi kita harus menerimanya. Nah, kita meminta Tuhan memberikan kita kedamaian agar kita bisa menerimanya, tapi masalahnya sekarang adalah bagaimana kita membedakan keduanya kapan mengubah, kapan menerima dalam masa yang sulit itu. Maka doa ini ditutup dengan permintaan berikanlah aku hikmat untuk membedakan keduanya. Jadi dalam menghadapi problem di masa yang sulit memang kita perlu ketiga hal ini kekuatan untuk mengubah, kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kita ubah, dan hikmat untuk membedakan mana yang harus kita lakukan. Nah kira-kira inilah yang menjadi tekanan kita pada diskusi pada saat ini, salah satunya lagi yang bisa saya pikirkan adalah ini tentang masa yang sulit Pak Gunawan, yaitu pada masa sulit kita sangat-sangat penuh dengan kekhawatiran, kita akhirnya tertelan oleh perspektif duniawi dan gagal menerapkan perspektif surgawi, artinya bagaimana melihat masalah dari perspektif Tuhan, bukan hanya melihatnya dari perspektif kita dalam menghadapi masa yang sulit, nah dua perspektif ini akan berbenturan dan saling tarik-menarik.
GS : Tetapi kita itu biasanya sebagai reaksi awal menghadapi kesulitan itu biasanya menolak atau mencoba mengubah keadaan itu sebelum kita akhirnya tiba pada suatu titik yang berkata ini memang tidak bisa dirubah, tetapi pada awalnya 'kan kita itu spontan saja mau merubah itu Pak Paul?
PG : Betul, sering kali yang kita harapkan adalah situasinya berubah karena dengan berubahnya situasi maka problem kita akan selesai, tapi masalahnya adalah sebagian besar problem justru bersumber dari situasi yang tidak bisa kita ubah. Misalkan kita diberhentikan dari pekerjaan, nah itu situasi yang tidak bisa kita ubah, kita tidak mempunyai banyak pilihan di situ. Kalau saja situasi berubah kita tidak dihentikan dari pekerjaan sudah tentu memang masalah akan sangat berbeda tapi
sekali lagi sering kali justru masalah muncul karena situasi itu tidak bisa kita ubah lagi.
GS : Alkitab memang banyak sekali berbicara tentang bagaimana kita harus menghadapi kekuatiran tetapi mungkin Pak Paul bisa menyebutkan salah satu ayatnya.
PG : Di Matius 6:25 dan 34 dikatakan Tuhan Yesus berkata: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Nah ini perspektif surgawi yang tadi saya sudah singgung dan ini yang mesti kita terus- menerus kenakan pada waktu kita menghadapi masa yang sulit jangan sampai kita lepas kontak dengan perspektif surgawi ini, sekali kita lepas kontak dari perspektif surgawi ini maka yang akan menguasai kita adalah perspektif duniawi yakni saya,
bagaimana saya harus kerjakan, bagaimana saya harus begini begitu, saya harus nah akhirnya kita makin tenggelam makin tenggelam dan makin tenggelam.
GS : Ya itulah sebabnya mungkin kondisi kerohanian seseorang itu sangat menentukan
bagaimana dia menanggapi suatu krisis atau suatu masa sulit ini Pak Paul?
PG : Saya kira demikian, kalau kita memang matang secara rohani kita lebih dapat mengandalkan perspektif surgawi, tapi kalau kita memang belum terlalu matang kita
lebih mengandalkan perspektif duniawi, kita lebih memikirkan usaha-usaha manusia. GS : Pak Paul, mengingat pentingnya hal seperti itu apakah ada langkah-langkah tertentu
yang harus kita ambil atau tindakan-tindakan tertentu yang harus kita lakukan supaya kita tetap memiliki perspektif surgawi itu Pak Paul?
PG : Ada beberapa, yang pertama adalah kita mesti mempertahankan perspektif ukuran yang tepat. Nah apa yang saya maksud dengan ukuran yang tepat ini, artinya kita bisa membedakan antara masalah besar dan masalah kecil, mungkin bagi sebagian pendengar rumus ini terlalu mudah tapi sebagian orang tidak bisa membedakan masalah besar dan masalah kecil. Masalah kecil dianggap masalah besar, kebalikannya juga betul masalah besar dianggap masalah kecil, nah perlu memang ketepatan perspektif melihat berapa besar masalah yang kita hadapi itu, sebab apa, sebab respons kita nanti sangat bergantung pada persepsi kita berapa besar atau kecilnya masalah itu. Sudah tentu kepanikan tidak perlu untuk masalah yang memang kecil, sedangkan untuk masalah yang sangat besar sudah tentu unsur kepanikan justru dibutuhkan, sehingga ada urgensinya.
GS : Pak Paul, memang besar kecil ini 'kan sesuatu yang relatif, kita selalu memandang masalah kita itu besar, tetapi kalau masalah yang sama dialami oleh orang lain kita menganggap itu kecil. Nah bagaimana kita bisa memiliki suatu pandangan yang obyektif sehingga yang besar itu kita sebut besar dan yang kecil kita sebut kecil?
PG : Ok! Sudah tentu ada unsur subyektifitas di sini, tidak bisa kita mematok ukuran yang sama untuk setiap orang, tapi saya kira secara konsensus kita bisa mengatakan hal-hal ini kecil, hal-hal itu besar. Misalnya kalau anak kita mendapatkan hasil ujian yang tidak begitu baik, nah saya kira kalau biasanya dia mendapatkan hasil yang lumayan baik kemudian satu kali hasilnya kurang baik kita mesti melihat itu sebagai hal yang kecil tapi misalkan suami kita sudah 6 bulan terakhir ini lima, enam hari seminggu pulang jam 12 malam dan selalu ada alasan bahwa dia itu urusan kantor atau apa, nah itu bagi saya masalah besar jadi mesti bisa melihat, membedakan ini hal besar atau ini hal kecil.
GS : Ya itu sehubungan dengan nilainya mungkin Pak Paul, bagaimana kita menilai itu jadi kalau memang itu bernilai buat kita seperti tadi mengenai hubungan suami-istri
karena itu nilainya tinggi dan dia sering kali pulangnya terlalu larut malam maka ini menjadi sesuatu yang besar buat kita begitu Pak Paul?
PG : Ya atau misalkan istri kita sudah cukup lama tidak mau lagi tersenyum, tidak lagi menanggapi kita; kita mesti bertanya apa yang terjadi, ini bukan masalah kecil kita tidak bisa menyepelekannya dan berkata, oh biasalah nanti dia akan baik sendiri oh tidak kalau ini sudah berulang, berulang, berulang kita mesti akhirnya berkata tidak; ini masalah besar jadi saya mesti memberikan perhatian yang lebih besar pula untuk mengatasinya. Pernah saya berbicara dengan seseorang yang akhirnya berpisah dalam pernikahannya dan dia berkata: Saya tidak pernah tahu apa yang menjadi masalah dalam pernikahan saya, nah saya kira itu menyedihkan sekali sampai akhirnya mereka berpisah tapi si orang ini berkata saya tidak tahu apa yang menjadi masalah kita dulu itu, nah berarti ada salah satu di antara mereka yang satunya tidak terbuka dan yang satunya mungkin agak buta sehingga tidak bisa melihat masalah.
GS : Katakan masalah itu kita sudah pandang secara obyektif Pak Paul, seobyektif
mungkin kita mencoba itu, lalu langkah berikutnya apa Pak Paul?
PG : Kita mesti mempertahankan perspektif waktu yang tepat, nah ini langkah kedua artinya apa, kita dapat membedakan antara masalah nanti, sekarang dan yang lalu. Adakalanya ini masalah masa lampau, hal terjadi di masa lampau jadi kita mesti lihat ini sebagai hal yang sudah terjadi di masa lampau atau ini adalah suatu kemungkinan
di masa mendatang yang belum tentu terjadi, nah kita mesti bisa membedakan hal- hal yang belum tentu terjadi dan yang sudah pasti terjadi. Atau adakalanya hal yang sekarang inilah yang mesti kita perhatikan tapi kita hilang perspektif kita menganggap seolah-olah tidak apa-apalah, oh tidak ini sudah menjadi masalah sekarang, maka mesti dihadapi juga sekarang. Nah ini seolah-olah sekali lagi suatu rumus yang sederhana tapi banyak problem menjadi sangat besar gara-gara kita kehilangan perspektif akan waktu yang tepat didalam menghadapi problem, kesalahan menempatkan masalah waktu bisa berakibat fatal sekali.
GS : Tapi sering kali terjadi begini Pak Paul, orang menganggap ini masalah masa lampau, masalah yang sudah lewat, tapi dampaknya itu masih terasa sampai sekarang, Pak Paul?
PG : Dengan kata lain mungkin sekali itu masalah di masa lampau, bisa jadi sudah selesai tapi bisa jadi juga belum selesai atau memang yang diperbuatnya dulu itu tidak diulanginya betul, tapi sekarang masih ada hal-hal yang dilakukan oleh pasangan kita yang tetap menggelitik kita, sehingga akhirnya kita tidak pernah bisa berkata masalah di waktu lampau itu sudah selesai, karena masih ada, namun ini juga penting kadang-kadang kebalikannya yang terjadi. Seseorang pernah bersalah di masa lampau, anak kita misalnya pernah berbohong di masa lampau, berapa kali misalkanlah dua, tiga kali tapi sudah lama anak kita tidak berbohong, nah saya kira tidak tepat kita langsung menuduh dia waktu ada sesuatu yang hilang bahwa dialah yang mencurinya. Nah sekali lagi kita tidak tepat dalam masalah waktu ini sehingga hal yang lampau kita jadikan masalah sekarang, sehingga masalah sekarang bertambah besar lagi.
GS : Pak Paul, apakah itu ada kaitannya dengan kemampuan kita atau kesanggupan kita di dalam mengatasi suatu masalah?
PG : Ada sekali, jadi kemampuan untuk bisa menghadapi masalah itu juga berperan dalam menghadapi situasi yang sulit, artinya apa kita bisa membedakan antara yang bisa dikerjakan dan yang ingin dikerjakan. Kadang kala dalam menghadapi suatu problem kita berpikir seharusnya ini yang dikerjakan dan saya ingin ini yang bisa dilakukan tapi memang tidak bisa, nah daripada kita terus memikirkan apa yang ingin
dilakukan yang seharusnya dilakukan, tapi tidak pernah terwujud, lebih baik kita fokuskan terhadap apa yang bisa dikerjakan sekarang. Nah yang bisa dikerjakan sekarang itulah yang kita lakukan. Sering kali saya menggunakan ilustrasi ini Pak Gunawan, kita membangun rumah satu bata demi satu bata, kalau kita berkata oh saya hanya mempunyai 100 bata, buat apa bangun rumah. Nah memang di satu pihak bisa kita berkata demikian, tapi bukankah 100 bata sudah bisa membangun satu dinding misalkan. Nah daripada tidak ada dinding sama sekali kita buat satu dinding jadi di dalam menghadapi problem yang sulit kerjakanlah hal yang bisa kita kerjakan meskipun kita belum bisa sampai pada solusinya, sebab ini yang sering kali terjadi waktu kita mulai mengerjakan entah bagaimana nanti akan terbuka jalan yang lain gara-gara kita mulai melakukan satu hal yang kita anggap itu sederhana.
GS : Tapi kalau kita kembali pada doa tadi Pak Paul, itu 'kan juga antara lain dikatakan
untuk membedakan mana yang tidak bisa kita lakukan kasarnya begitu, apakah cukup bijaksana kalau kita melihat memang ini tidak bisa kita lakukan ya sudah kita tinggalkan.
PG : Kadang-kadang itu yang harus kita lakukan memang seharusnya kita kerjakan tapi kita tidak bisa kerjakan, nah yang tidak bisa kita kerjakan sudah kita lewatkan, kita tinggalkan, kita terima itu sebagai misalkan kerugian atau kehilangan dan ya tidak apa-apa.
GS : Karena kalau kita mencoba mengerjakan, itu nanti akan menimbulkan kesulitan yang lain buat kita dan orang lain juga, Pak Paul.
PG : Betul, adakalanya karena kita mau berbuat sesuatu akhirnya berbuat sesuatu yang
sangat keliru, menambah rumitnya masalah.
GS : Apakah ada langkah-langkah yang lain Pak Paul?
PG : Kita mesti mempertahankan perspektif tentang problem yang tepat, artinya kita dapat membedakan antara problem yang bukan dosa dan problem yang berasal atau berkaitan dengan dosa. Artinya apa, kalau memang akibat dosa kita akui itu dosa kita memang mesti minta ampun kepada Tuhan, tapi ada hal-hal yang terjadi dalam
hidup bukan karena dosa secara langsung, nah kita tidak usah langsung berkata ini akibat dosa dan Tuhan sedang menghukum saya, adakalanya kita dilumpuhkan oleh pikiran-pikiran, wah Tuhan sudah menghukum saya makanya inilah yang terjadi usaha saya rugi atau apa, belum tentu jangan buru-buru berkata ini akibat dari dosa. Atau yang lainnya juga tentang perspektif mengenai problem ini yakni membedakan antara akibat perbuatan sendiri dan akibat perbuatan orang. Adakalanya kita mengalami musibah atau kerugian bukan akibat perbuatan kita tapi akibat perbuatan orang, artinya jangan langsung kita menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan pasangan kita, sebab ini memang bukan akibat perbuatan kita, ya bisa juga akibat dari situasi, akibat dari perbuatan orang lain.
GS : Mulanya mungkin seseorang menganggap bahwa apa yang dialami sekarang ini bukan akibat dosa atau kesalahan masa lalu, tetapi karena ada orang-orang yang datang kepadanya lalu berbicara kamu ini pasti ada dosa tertentu, coba pikir lagi pikir lagi lama-lama dia berpikir dan akhirnya menemukan ya ini karena dosa, tapi dia sendiri tidak terlalu yakin dengan itu.
PG : Maka kita mesti kenal Tuhan dengan baik, sehingga kita tahu jelas memang ini berkaitan dengan dosa atau tidak. Memang orang yang tidak terlalu dekat dengan Tuhan, mudah sekali dikelabui oleh pikiran-pikiran seperti ini. Misalkan kalau anak kita mengalami kecelakaan naik motor atau apa, nah jangan buru-buru berkata ini Tuhan sedang menghukum kita belum tentu, karena apa, karena bisa jadi memang ini adalah bagian dari kehidupan dan kita harus terima itu dan bukannya berarti ini ganjaran yang sedang kita hadapi.
GS : Berarti ada suatu perspektif lain yang harus kita luruskan di situ Pak Paul?
PG : Ya, yaitu perspektif rohani di sini Pak Gunawan, jangan terburu-buru memanggil atau melabelkan ini hukuman Tuhan atas hidup kita, belum tentu. Ada kalanya Tuhan membiarkan peristiwa yang sulit menghadang hidup kita karena Ia ingin melatih kita
menjadikan kita lebih bersandar kepada-Nya, tidak bersandar pada kekuatan kita tapi itu belum tentu hukuman, ini hanyalah pelatihan yang Tuhan berikan pada kita.
GS : Pak Paul, di dalam Alkitab sering kali kita mengutip Ayub, Pak Paul, sebagai contohnya tapi mungkin ada tokoh yang lain di dalam Alkitab Pak Paul yang bisa membantu kita memahami ini.
PG : Saya terpikir dengan Naomi di kitab Rut, Naomi pergi dengan suaminya dengan kedua putranya ke Moab karena adanya bala kelaparan di Israel. Tapi di Moab suaminya meninggal dan dua putranya pun meninggal sehingga dia kehilangan satu keluarga, sendirian sekarang dia hanya bersama dengan kedua menantu perempuannya. Menantu yang satu memilih tetap tinggal di Moab, tetapi menantu yang satu, Rut, memilih untuk pulang bersama Naomi ke Israel. Nah dari menantu Rut inilah yang akhirnya menikah dengan Boas dan lahirlah Obed. Dari Obed lahir Isai dan dari Isai lahir Daud. Akhirnya apa yang bisa kita katakan, kita bisa melihat rencana Tuhan, seolah-olah memang Tuhan memimpin keluarga Naomi ke Moab untuk bisa menemukan dan membawa seseorang yang bernama Rut. Rut ini akan dibawa pulang sebab Rut ini yang akan menjadi nenek buyut dari raja Daud. Apa gunanya harus ada nenek buyut dari orang Moab? Sebab Tuhan ingin menegaskan satu hal, Tuhan mencintai semua bangsa, sebab dari raja Daud muncul Mesias, Yesus Kristus Juru Selamat dunia. Perlu memang ada seseorang yang dari bangsa non-Israel untuk menjadi nenek moyang dari Tuhan Yesus. Supaya kita melihat Tuhan memang mengasihi semua bangsa.
GS : Kalau kita melihat kehidupan Naomi, dia berhasil menetapkan perspektifnya secara tepat itu dalam hal apa, Pak Paul?
PG : Sebetulnya pada saat-saat itu Naomi tidak mempunyai gambaran apa yang Tuhan akan kerjakan dalam hidupnya. Nah, yang dia bisa lakukan itulah yang dia lakukan, ada bala kelaparan di Israel, dia harus pergi dan dia pergi ke Moab. Setelah di Moab dia kehilangan suaminya dan dia kehilangan kedua putranya. Dia menjadi seorang asing di tanah Moab ini. Dan dia memikirkan bahwa dia harus pulang ke tanah ini makanya dia pulang. Jadi yang bisa dia kerjakan, itu yang dia kerjakan. Dan waktu akhirnya Rut bertemu dengan Boas, Naomi juga mendorong dan berkata silakan engkau menikah dengan Boas. Naomi tidak egois, dia mengijinkan menantunya menikah lagi dengan Boas. Dan dari situlah akhirnya muncul pertolongan-pertolongan yang memang dibutuhkan oleh Naomi.
GS : Ya, mungkin ada contoh yang lain lagi Pak Paul?
PG : Yang lain adalah tentang Elia, Pak Gunawan, ini cerita yang sangat menarik. Israel dilanda oleh masa kekeringan, Elia diminta Tuhan untuk pergi, dia akhirnya pergi dan berdiam di dekat sebuah sungai. Air sungainya mengalir dan Tuhan mengirimkan burung gagak untuk membawakan makanan kepadanya. Lama-kelamaan apa yang terjadi? Air sungai menjadi kering, nah kita mungkin berkata: Tuhan, apa
maksudnya membawa Elia ke sebuah sungai kemudian sungainya sudah kering. Kemudian Tuhan membawa dia lagi ke Sarfat dan dia akhirnya ditolong oleh seorang janda di sana. Kenapa, Tuhan kadang-kadang memang memimpin kita setahap demi setahap. Pertolongan Tuhan tidak langsung sampai tuntas, tapi tahap demi tahap. Ke sungai meskipun airnya kering baru akhirnya ke Sarfat.
GS : Tetapi itu yang membuat orang berdebar-debar sebenarnya Pak Paul, karena kita tidak tahu depannya itu seperti apa, Tuhan hanya menuntun langkah demi langkah.
PG : Karena memang hidup dengan Tuhan dan menyenangkan Tuhan harus hidup dengan iman, itu syaratnya. Kalau sudah tahu sampai ujung tidak perlu iman, berarti apa tidak hidup lagi dengan Tuhan sebab tidak perlu Tuhan. Manusia hanya bisa hidup dengan iman, kalau dia tidak melihat semuanya.
GS : Apakah itu berlaku umum Pak Paul, artinya cara Tuhan itu ya seperti itu, Pak Paul ? PG : Biasanya demikian. Tuhan memberikan kita petunjuk yang memang hanya untuk saat
itu. Langkah itu saja yang harus kita ambil, langkah berikutnya kita kembali bersandar kepada Tuhan.
GS : Ya, bahkan kadang-kadang itu ada sesuatu tindakan yang Tuhan ambil yang buat kita itu aneh. Kita melihat saja contohnya seperti Abraham, anaknya diminta untuk dipersembahkan itu 'kan sulit. Abraham itu pada masa yang sangat sulit pada waktu itu.
PG : Tepat sekali, dia tidak mengerti tapi sekali lagi iman. Dikatakan di kitab Ibrani bahwa Abraham percaya kalau Tuhan itu dapat membangkitkan putranya. Makanya dia tetap melakukan, dia tetap mau mempersembahkan Ishak. Kenapa, dia tahu Tuhan bisa membangkitkan. Jadi sekali lagi dia berjalan dengan iman.
GS : Ya, jadi memang kita harus terus-menerus membina iman yang Tuhan sudah berikan kepada kita itu.
PG : Ya, dan dalam menghadapi masalah yang sulit, ingat, iman sangat berperan besar dan iman dilandasi atas pertolongan Tuhan setahap demi setahap, bukan pertolongan Tuhan yang langsung menyeluruh dan tuntas. Jarang sekali Tuhan melakukan hal seperti itu. Untuk hari ini Tuhan sudah tolong, kita puji syukur besok ada kekhawatiran lagi, kita hadapi lagi besok. Kita tidak bisa melihat ke depan, kita hanya bisa melihat untuk hari ini saja.
GS : Ya, itu justru mungkin indahnya kehidupan orang beriman, Pak Paul. Terima kasih
sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala
Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Melewati Masa yang Sulit. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Pada waktu problem datang kita khawatir. Kita tertelan perspektif duniawi dan gagal menerapkan perspektif sorgawi. Doa Kedamaian dari Reinhard Neibohr, Tuhan berikanku kekuatan untuk mengubah hal-hal yang perlu aku ubah, kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah, dan hikmat untuk membedakan keduanya.
Tuhan Yesus pun berkata, Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang
hendak kamu makan atau minum, dan jangan khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada pakaian?
Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai
kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. (Matius 6:25, 34)
Langkah-Langkah Menghadapi Masalah
• Mempertahankan perspektif ukuran yang tepat: Dapat membedakan antara masalah besar dan kecil.
• Mempertahankan perspektif waktu yang tepat: Dapat membedakan antara masalah nanti, sekarang, dan yang lalu.
• Mempertahankan perspektif kesanggupan yang tepat: Dapat membedakan antara yang bisa dikerjakan dan yang ingin dikerjakan.
• Mempertahankan perspektif tentang problem yang tepat: Dapat membedakan antara problem yang bukan dosa dan dari dosa; antara akibat perbuatan sendiri dan perbuatan orang.
• Mempertahankan perspektif rohani yang tepat: Dapat membedakan antara ganjaran Tuhan dan latihan Tuhan.
Penutup
Kisah hidup Naomi memperlihatkan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang tidak mudah dipahami. Ia kehilangan suami dan kedua putranya setelah mengungsi ke Moab akibat bala kelaparan di Israel. Namun dari menantunya Rut lahir Obed yang adalah ayah Isai, ayah Daud.
Kita melihat hal yang sama tatkala Elia dipelihara oleh burung gagak pada masa kekeringan. Akhirnya sungai itu pun kering dan Elia harus pindah. Namun karena itulah seorang janda di Sarfat dapat terus hidup. Kesimpulannya adalah Tuhan menolong kita dengan cara-cara yang tidak terduga dan kadang membingungkan karena tampaknya cara yang pertama berkontradiksi dengan cara yang kedua.
Ibu Dan Anak Perempuannya|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T405A|T405A|Orangtua-Anak|Audio|Peranan orangtua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya. Dan salah satu hal penting yang dapat diberikan ibu kepada anak perempuannya adalah rasa dikasihi.|3.3MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T405A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun anda berada, anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), kali ini akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami kali ini akan memperbincangkan tentang Ibu dan Anak Perempuannya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Paul Paul, kalau kita memperhatikan hubungan anak dengan orang tuanya rasanya memang ada sesuatu yang khas kalau anak itu perempuan dengan ibunya, Pak Paul. Apakah memang ada hubungan yang khas Pak?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi meskipun orang tua yang berlawanan jenis mempunyai andil dalam membesarkan anak, tapi orang tua yang sesama jenis dengan si anak ternyata mempunyai peranan yang unik terhadap pertumbuhan atau perkembangan si anak itu.
GS : Apakah itu karena sama-sama emosionalnya atau bagaimana Pak?
PG : Sebetulnya memang ada pengaruh kesamaan ciri-ciri tertentu misalkan kalau anak itu kebetulan memang agak mirip dengan ayahnya, sehingga ayahnya lebih bisa mengerti si anak atau si anak itu mirip dengan ibunya, si ibu lebih bisa mengerti si anak. Tapi sebetulnya peranan orang tua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya.
GS : Tapi yang mula-mula menyadari hal itu, sebenarnya anak itu yang lebih sadar lebih dahulu atau ibunya yang lebih sadar terlebih dahulu Pak Paul?
PG : Sebetulnya kehilangan peranan si ibulah nanti yang akan dirasakan oleh si anak, sering kali si anak tidak begitu menyadari kalau ibunya itu memang terlibat dalam kehidupannya. Waktu si ibu tidak terlibat dalam kehidupannya barulah kehilangan itu membuahkan dampak yang dirasakan oleh si anak.
GS : Kalau begitu anak itu tadi merasakan dampaknya, nah bukankah itu tidak bisa disadari kalau anak itu masih bayi sekali itu Pak Paul, sebetulnya pada usia sekitar berapa Pak Paul, si anak baru menyadari atau merasakannya?
PG : Sebetulnya si anak mulai merasakan perlakuan si ibu kepada dirinya sejak masa
kandungan. Sudah tentu pada masa kandungan si anak memang belum bisa mencerna secara komprehensif, secara intelektual, apa yang terjadi pada dirinya atau apa itu yang ibunya berikan atau tidak berikan kepada dirinya. Tapi si anak sebetulnya bisa sedikit banyak mengetahui apakah kelahirannya diingini atau tidak oleh ibunya. Misalnya melalui belaian, melalui suara yang lembut, melalui doa yang ibu panjatkan
untuk si anak, hal-hal itu mengkomunikasikan kasih sayang. Sebaliknya si ibu sering marah-marah, si ibu tidak langsung memberikan susu kepada si anak, pada masa si anak itu misalkan usia beberapa bulan, membiarkan si anak dalam kotorannya tidak membersihkannya atau membentak si anak. Hal-hal tersebut mengkomunikasikan bahwa kehadiran si anak itu tidak terlalu diinginkan oleh ibunya. Nah meskipun si anak belum bisa mencerna secara intelektual apa yang terjadi tapi si anak sudah bisa tahu apakah kehadirannya diinginkan atau tidak, oleh ibunya sendiri.
GS : Nah kalau sampai tahap itu sebenarnya anak itu perempuan atau anak itu laki-laki bukankah sama saja, tidak ada bedanya, Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi pada masa bayi itu boleh dikata baik anak laki-laki ataupun anak perempuan akan menikmati kehadiran si ibu dan akan sama-sama juga menderita kehilangan si ibu kalau si ibu itu tidak terlibat dalam kehidupan mereka. Nah perbedaan jenis kelamin ini barulah menampakan dampaknya sewaktu si anak mulai besar sekitar usia misalnya 4 tahun, 5 tahun, barulah si anak perempuan pada khususnya lebih bisa mendapatkan dampak-dampak baik positif maupun negatif. Kalau si ibu itu misalnya tidak terlibat dalam kehidupannya.
GS : Mungkin ada kebutuhan untuk melihat model itu Pak Paul, karena sama-sama
perempuan bukankah itu lebih gampang buat si anak.
PG : Ternyata model itu penting sekali dalam pertumbuhan kepribadian anak perempuan.
Dengan dia melihat si ibu dia juga bisa mencontoh bagaimanakah bersikap, berperilaku sebagai seorang wanita. Namun Pak Gunawan, salah satu hal yang
penting sekali yang bisa diberikan ibu kepada anak perempuannya ialah rasa dikasihi. Jadi anak perempuan itu perlu sekali merasakan bahwa dirinya itu dikasihi oleh ibunya. Sudah tentu anak perempuan juga perlu mengetahui bahwa dia dikasihi oleh ayahnya. Tapi ternyata bahwa dia dikasihi oleh ibunya itu akan lebih berdampak di dalam kehidupannya.
GS : Ya, ayah itu juga bisa memberikan kasihnya itu kepada si anak, tetapi apakah anak itu tidak menanggapinya seperti kalau ibunya yang mengasihi dia, Pak Paul?
PG : Ternyata memang ada perbedaannya Pak Gunawan, nanti dalam pertemuan kita berikutnya kita akan menyoroti peranan ayah terhadap pertumbuhan anak perempuannya dan juga kebalikannya peranan ibu terhadap pertumbuhan kepribadian anak laki-lakinya. Tapi apa itu yang disumbangsihkan oleh si ibu kepada si anak perempuan. Yang disumbangsihkan adalah rasa berharga Pak Gunawan, jadi anak perempuan kalau dia menerima kasih sayang dari ibunya dia akan mempunyai anggapan bahwa dirinya bernilai. Kalau dia tidak dikasihi oleh ibunya rasa tidak bernilai itu akan merosot dengan sangat drastis sekali. Nah sudah tentu kita tahu bahwa perasaan bernilai ini adalah modal yang menghantar si anak memasuki kehidupannya di dunia ini. Dia bisa berjalan dengan tegap, dia bisa memiliki kepercayaan diri, dia melihat dirinya itu OK! Itu semua bergantung pada apakah dia merasa dikasihi dan sekali lagi yang penting di sini adalah si anak perempuan mengetahui bahwa ibunya mengasihi dia.
GS : Nah, bagaimana kalau ibunya itu seorang wanita karier yang mesti meninggalkan
rumah cukup, Pak Paul?
PG : Sudah tentu hal-hal seperti bekerja atau ada kegiatan di luar rumah akan menyita
waktu yang bisa diberikan kepada si anak. Namun tidak mesti hal ini berdampak buruk pada si anak dalam pertumbuhannya. Sebab di luar jam kerjanya, si ibu tetap masih bisa berinteraksi dengan si anak dan memberikan kasih sayangnya itu kepada dia. Anak perempuan nantinya akan mengemban peran sebagai pemberi kasih atau pengasuh. Nah ternyata kemampuan memberi kasih dipengaruhi sekali oleh apakah si anak perempuan ini pada awalnya mendapatkan kasih dari ibunya, dengan kata lain kalau si anak perempuan ini dari awal tidak menerima kasih dari mamanya sendiri, pada masa dewasanya dia mungkin akan mengalami kesulitan memberikan kasih atau berperan sebagai pengasuh bagi anak-anaknya atau memberikan kasih kepada suaminya. Nah sudah tentu yang terjadi adalah seperti ini prosesnya kira-kira Pak Gunawan, kita ini mengasihi karena kita mempunyai modal kasih dalam hidup kita. Kalau kita tidak menerima modal kasih kita tidak mempunyai kekuatan atau bahan atau modal untuk membagikan kasih itu kepada orang lain. Nah anak perempuan nanti setelah dewasa akan mengemban peran sebagai pemberi kasih, sebagai pengasuh, itu sebabnya penting sekali dari kecil dia sudah membawa modal atau
bahan kasih itu sehingga pada usia dewasanya dia bisa memberikan kasih atau asuhan itu kepada orang lain.
GS : Nah, apakah itu tidak bisa diperolah ketika dia misalnya memasuki usia remaja atau pemuda, Pak Paul?
PG : Memang bisa dan akan sedikit banyak menetralisir kehilangan yang seharusnya dia dapat pada masa kecilnya. Tapi sudah tentu yang lebih baik adalah si anak perempuan itu sudah mendapatkan kasih sayang pada masa kecilnya, sebab itulah yang menjadi modal dia memasuki masa remajanya. Kalau anak perempuan tidak mendapatkan itu Pak Gunawan, yang saya khawatirkan adalah dia akan mencari-cari kasih sayang itu dari luar atau dia akan mencoba membuktikan dirinya sangat mandiri. Dia orang yang tidak bergantung kepada orang lain, tujuannya adalah agar orang bisa menghargai dia. Nah sekali lagi saya ingatkan bahwa dikasihi oleh ibu membuat anak perempuan merasa dirinya bernilai jadi kalau tidak dikasihi dia merasa tidak bernilai. Akibatnya ada sebagian anak perempuan yang akan mengembangkan sikap mandiri yang sangat kuat sekali agar bisa mendapatkan pengakuan atas prestasinya, atas kemampuannya dan bahwa dia tidak bergantung pada orang lain dan dia tidak perlu bantuan orang lain untuk membuat dirinya bernilai. Nah sekali lagi terpaksalah si anak itu mengumpulkan bahan untuk membuat dirinya bernilai atau kecenderungan satunya yang ekstrim berkebalikan dari mandiri adalah justru mengembangkan sikap bergantung. Dia akan bergantung pada orang lain agar orang bisa sedikit banyak memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada dirinya.
GS : Ya itu akan menarik perhatian orang, Pak Paul?
PG : Menarik perhatian orang atau dia sangat mendambakan kasih alias kita berkata dia menjadi anak atau menjadi seseorang yang mencari-cari cinta ke mana pun dia pergi.
GS : Pak Paul, sebenarnya kenapa ada ibu yang kadang-kadang itu walaupun itu ibu kandung, kurang memberikan cinta kasih atau perhatian terhadap anak perempuannya itu?
PG : Salah satu ironinya adalah kebanyakan ibu yang tidak mampu menjadi ibu, alias memberikan kasih sayang kepada anaknya adalah orang-orang yang pada masa kecilnya juga tidak mendapatkan kasih sayang itu dari orang tuanya. Sehingga kita melihat bahwa masalah sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Saya teringat sebuah kasus Pak Gunawan, yang pernah saya hadapi sewaktu saya masih bekerja sebagai pekerja sosial di Los Angeles, saya bertemu dengan seorang anak perempuan berusia 15 tahun. Dia dengan adik-adiknya dititipkan di rumah neneknya, itu dia kalau tidak salah ada 2 apa 3 adik dan hampir semuanya itu mempunyai ayah yang berbeda karena ibunya gonta-ganti pacar, dan akhirnya melahirkan dia dan adik-adiknya. Waktu saya bertemu dengan dia, dia itu terkena penyakit kelamin, saya bertanya kepada anak perempuan yang masih muda ini baru berusia 15 tahun, sejak kapankah engkau sudah melakukan hubungan seksual? Dan dia mengaku, dia sudah mulai berhubungan seksual sejak usia 13 tahun. Nah bayangkan anak yang berusia 13 tahun Pak Gunawan, anak yang sangat belia tapi ternyata sudah begitu bebas dalam pergaulannya. Pertanyaannya mengapakah dia menjadi seperti itu, nah sewaktu kita melihat struktur keluarganya tidak akan heran, tidak ada laki-laki tidak ada ayah dalam rumah tangganya dan si ibunya pun tidak ada di situ, waktu saya berkunjung anak-anaknya itu dirawat oleh neneknya. Nah dalam kasus seperti ini tidak jarang justru kita akan menemukan bahwa si ibu pun sejak kecil tidak disayangi oleh orang tuanya. Nah akhirnya sewaktu dia sudah menjadi dewasa dia tidak bisa memberikan asuhan atau kasih sayang kepada anak- anaknya juga. Jadi dengan kata lain saya mau menekankan betapa pentingnya
peranan ibu di dalam kehidupan anak perempuannya. Si ibulah yang mempunyai andil sangat besar menjadikan anak perempuannya nantinya bisa atau tidak menjadi seorang mama atau ibu juga bagi anak-anaknya.
GS : Sebenarnya hal itu juga bisa dilakukan oleh seorang ibu walaupun itu bukan ibu kandungnya dalam hal ini ibu tiri Pak Paul. Yang sering kali kita mendengar konotasinya negatif itu tidak bisa mengasihi, padahal sebenarnya ada banyak ibu tiri itu yang baik.
PG : Bisa, jadi ini memang tidak terbatasi oleh ikatan biologis, tidak harus ibu biologislah
tapi bisa juga si anak menerima kasih sayang ini dari misalnya ibu tirinya itu kalau memang si ibu tirinya itu juga mengasihi dia. Sekali lagi kasih sayang inilah yang membuat si anak mantap dalam hidup. Dia tidak lagi melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak utuh, seseorang yang tidak lengkap, kebalikannya adalah anak
perempuan yang dibesarkan di rumah di mana dia tidak mendapatkan kasih sayang dari ibunya dia akan menjadi seseorang yang menganggap dirinya itu kurang lengkap, ada yang terhilang dalam hidupnya, sehingga dia gamang menghadapi hidup ini, tidak mempunyai kemantapan. Saya tidak mengatakan atau tidak sedang membicarakan kasus di mana ibu itu tidak ada sama sekali di rumah, bukan itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah ibu yang terlibat di rumah, jadi ada kasus-kasus di mana ibu ada di rumah tapi tidak terlibat sama sekali. Atau misalnya ada kasus di mana si ibu itu luar biasa kritisnya kepada anak, sedikit-sedikit ibu itu memarahi si anak, sedikit-sedikit si anak itu pasti salah, tidak ada yang bisa benar yang dilakukan oleh si anak. Nah meskipun si ibu misalkan secara ucapan mengatakan kepada si anak saya mengasihi kamu tapi ucapan itu langsung akan disapu bersih oleh ketidakmenerimaannya si ibu kepada si anak melalui kritikan, celaan, omelan yang terus-menerus disampaikan kepada si anak. Itulah yang akan membuat si anak bertumbuh besar tidak merasakan dirinya itu dikasihi dan berharga.
GS : Tapi Pak Paul, ada satu keluarga di mana ibunya itu sebenarnya sudah memberikan perhatian penuh kepada anak perempuannya ini. Tapi si anak perempuan yang sudah
memasuki usia remaja ini justru yang menjauh dari ibunya, Pak Paul?
PG : Pada usia remaja sangatlah lumrah jikalau anak menjauh dari orang tuanya dan ini tidak melulu sesuatu yang negatif atau yang buruk. Kenapa saya mengatakan begitu, sebab pada usia remajalah anak mulai mengembangkan kemandiriannya, kemandirian berarti keterpisahan. Jadi memang si anak mulailah mendorong, menjauhkan orang tuanya dari dirinya sebab dia ingin mulai terpisah dari orang tuanya. Nah sekali lagi sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba mendadak itu tidak baik, tapi kalau terjadi
secara alamiah sedikit demi sedikit, itu biasanya memang lebih sehat. Dengan kata lain kalau si anak tadinya dekat dengan orang tua tapi dalam waktu yang sekejap mendadak berubah menjauhkan diri dari orang tuanya, menolak orang tuanya dekat dengan dia, nah itu mengundang tanda tanya, kita mesti mulai berhati-hati dalam kasus seperti itu ada apa dengan anak kita. Tapi kalau memang secara alamiah, si anak mulai menjauhkan diri dari orang tuanya, dia tidak terlalu banyak cerita lagi, kalau si ibu atau si ayah ingin pergi dengan anaknya si anak mulai tidak mau, ada acara dengan teman-teman si ayah, ibu mau datang si anak tidak mau hal-hal itu hal yang normal. Namun dalam konteks yang berbeda si anak tetap masih bisa berkomunikasi dengan orang tuanya. Jadi sekali lagi pada masa remaja memang anak-anak cenderung mulai ingin lebih terpisah dari orang tua dan itu harus kita terima sebagai sesuatu yang wajar.
GS : Padahal sebagai ibu itu tentu mempunyai kekhawatiran yang lebih besar dibandingkan ayah itu Pak Paul, terhadap anak perempuannya. Dia itu kepenginnya
dekat dengan anak perempuannya mau memberitahukan supaya hati-hati dalam pergaulan dan sebagainya.
PG : Dan sudah tentu itu tetap bisa dia lakukan dan seharusnyalah dia lakukan. Jadi si ibu itu memberikan pengawasan, memberikan bimbingan, memberikan kesempatan si anak untuk cerita, nah dengan cara-cara itulah si anak perempuan lebih bisa terbuka. Dan kalau si anak perempuan bisa yakin bahwa ibunya tidak mengkritik, tidak memarahi dia dan bisa menerima pergumulannya, kemungkinan besar si anak perempuan justru akan mau terbuka dengan mamanya. Sebab dia akan mengalami kebingungan dan suatu ketika dia mungkin ingin tahu pendapat mamanya yang pernah mengalami masa remaja juga. Jadi sesungguhnya kalau kedekatan ini bisa dipelihara terus sampai masa remaja justru pada masa remaja inilah si anak perempuan mendapatkan dukungan yang sangat dia butuhkan. Sekali lagi banyak hal- hal yang dialami oleh anak-anak remaja ini yang dia tidak mengerti dan dia butuh sekali seorang perempuan yang lebih dewasa untuk memberikan pengarahan kepadanya.
GS : Jadi sebenarnya di sini peran ibu sebagai pembimbing maupun sebagai model Pak
Paul, secara praktis apakah yang ibu ini bisa lakukan terhadap anaknya?
PG : Nomor satu adalah si anak harus menerima kasih sayang sejak kecil, harus menerima suatu pelukan, rangkulan tanpa syarat dari ibunya sejak dari kecil. Kalau sudah masa remaja barulah si ibu memulainya, terlambat sudah tidak ada lagi ikatan
itu. Jadi masa remaja akan bisa lebih mudah dilewati kalau masa-masa kecil itu sudah terjalin hubungan yang baik antara si ibu dengan si anak perempuannya. Yang kedua, si ibu pada masa-masa si anak makin besar memang harus lebih berperan sebagai pembimbing, dia tidak bisa lagi terlalu mengguruhi si anak, karena kalau itu yang terjadi si anak akan merasa ini hubungan yang tidak setimpal. Ibu tidak bisa mendengarkan saya, ibu tidak bisa mengerti saya jadi buat apa saya ngomong, ini salah satu keluhan anak-anak termasuk anak perempuan juga. Dia akan merasakan bahwa percuma bicara dengan ibunya karena toh ibunya tidak akan mendengarkan masukannya atau memperhatikan kebutuhannya. Jadi penting sekali si ibu membuka telinga tidak cepat-cepat mengguruhi seolah-olah dia yang paling tahu tentang kehidupan dan anak perempuannya. Jadi secara praktis ibu lebih seringlah berbicara dan sering-seringlah bertanya kepada si anak kalau dia tidak mengerti, sehingga si anak merasakan bahwa mamanya tidak menempatkan diri jauh di atasnya. Dan tadi saya singgung juga adalah jangan terlalu kritis kepada si anak, meskipun kita mengatakan kita mengasihi anak, kalau terlalu kritis itu akan menghilangkan usaha kita mengasihi si anak itu.
GS : Tetapi justru nanti kalau anak perempuan ini sudah agak besar Pak Paul, jadi sudah memasuki usia yang pemudi, anak perempuan ini yang justru terlalu kritis terhadap ibunya. Misalnya make-upnyalah, pakaiannyalah, kok bisa begitu Pak Paul?
PG : Kebanyakan itu terjadi karena memang adanya perbedaan budaya pada masa-masa tertentu, anak perempuan akan masuk ke dalam gaya hidup usianya. Sudah tentu ibunya masuk ke dalam gaya hidup usia ibunya yang lebih tua itu. Dan kadang-kadang di sini bisa timbul konflik juga, ketika si ibu tidak setuju dia akan mengkritik si anak dan sebaliknya. Tapi saran saya adalah jangan kita perbesar hal-hal yang lebih bersifat lahiriah, kita fokuskan pada hal-hal yang lebih bersifat hakiki, misalnya kerohanian si anak. Apakah si anak bertumbuh besar percaya kepada Tuhan, apakah dia tetap mau ke gereja meskipun tidak disuruh, apakah dia mau membaca firman Tuhan meskipun tidak lagi diminta, apakah dia berdoa sendiri ataukah hanya mau berdoa jika diajak berdoa nah hal-hal seperti itulah yang lebih penting. Namun sekali lagi hal-hal itu sering kali hanya bisa muncul jika si anak melihat si ibu
melakukannya, kalau ibu hanya bisa menyuruh tapi tidak melakukan saya takut akhirnya si anak pun tidak melakukannya.
GS : Pak Paul, sering kali kelihatan anak perempuan itu mengalami konflik batin lebih sering dibandingkan anak laki-laki.
PG : Karena anak perempuan memang dinilai berdasarkan penampilannya, jadi sering kali pada masa-masa remaja meskipun anak laki pun juga mengalami goncangan secara identitas, anak perempuan sebetulnya cukup sering mengalami konflik-konflik batiniah, mungkin saja tidak terekspresikan karena di dalam hatinya saja. Tapi mungkin sekali dia mengalami keragu-raguan apakah dia menarik atau tidak, bisa diterima atau tidak. Maka sekali lagi kalau dia tidak mendapatkan pelukan dari ibunya, dia tahu dia dikasihi nah hal itu akan bisa mengganggu si anak tapi kalau dia dikasihi oleh ibunya dengan sangat berlimpah dia akan lebih bisa, lebih kuat menghadapi tantangan-tantangan itu. Meskipun dia tidak terlalu menarik, meskipun tidak terlalu cantik atau pandai tapi dengan modal dikasihi itu dia tetap bisa melewati masa-masa remajanya dan pemudinya dengan lebih baik.
GS : Pak Paul, dalam hal perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung yang bisa kita jadikan landasan dari semuanya ini?
PG : Saya akan baca dari Titus 2:3 dan 4 inti sarinya adalah begini: Demikian juga
perempuan- perempuan yang tua hendaklah mereka mendidik perempuan-
perempuan muda untuk mengasihi. Jadi saya mau tekankan bahwa inilah tugas ibu
yang memang usianya lebih tua, tugasnya adalah mendidik perempuan-perempuan
muda, anak-anaknya sendiri itu untuk bisa mengasihi. Kalau si anak tidak mendapatkan kasih dia akan kesulitan mengemban tugas memberikan kasih kepada orang lain. Jadi hendaklah dimulai dari ibu sendiri.
GS : Ya, apakah itu juga terkait bahwa para pendidik khususnya guru untuk anak-anak
yang masih kecil itu lebih baik wanita dari pada pria?
PG : Mungkin pada masa yang kecil sekali ya, tapi pada masa remaja apalagi guru pria itu sebetulnya berperan besar sekali karena pria itu melambangkan otoritas dalam
kehidupan.
GS : Jadi terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini dan kita tentunya mengharap para pendengar setia ini untuk mengikuti acara Telaga ini pada kesempatan yang akan datang, karena kita masih akan melanjutkan beberapa point yang berkaitan dengan perbincangan kita kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-
bincang tetang Ibu dan Anak Perempuannya, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk
58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Peranan orang tua yang sejenis dalam hal ini ibu sangatlah besar terhadap perkembangan kepribadian anak perempuannya.
1. Kebutuhan pokok anak perempuan yang berkaitan erat dengan peran ibu adalah kebutuhan untuk dikasihi.
2. Dikasihi oleh ibu merupakan landasan terbentuknya penghargaan diri yang kuat pada
diri anak perempuan. Inilah dasar keyakinan diri bahwa ia berarti/bernilai.
3. Ibu mengkomunikasikan kasih sayangnya kepada anak mulai dari dalam kandungan melalui sikap, perkataan, dan sentuhannya.
4. Pada masa pertumbuhan, ibu menyatakan kasihnya kepada anak perempuan melalui penerimaannya yang tak bersyarat terhadap kodratnya sebagai wanita. Bagaimana ibu menyikapi kodratnya sendiri sebagai wanita akan mempengaruhi penerimaan diri anak terhadap kodrat kewanitaannya.
5. Kasih sayang ibu akan menjadi modal anak perempuan untuk mengemban peran sebagai pengasuh atau pemberi kasih--peran yang dikaitkan dengan kewanitaan.
Problem muncul tatkala:
1. Sejak kecil anak perempuan tidak menerima kasih sayang ibu.
2. Ia pun akan mencari-cari tempat di mana ia bisa menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang bernilai.
3. Jika ibu memperlihatkan sikap tidak menerima terhadap kodrat kewanitaannya, ia pun
akan mengembangkan sikap bermusuhan terhadap kodrat kewanitaannya.
4. Penolakan terhadap kodrat kewanitaannya akan berlanjut dengan penolakan terhadap peran yang terkait dengan kewanitaan yakni peran pengasuh atau pemberi kasih.
5. Pada akhirnya akan timbul konflik batiniah dalam dirinya.
6. Itu sebabnya kita dapat melihat pada sebagian kasus, mereka menjadi sosok yang menantikan cinta dan mendambakan orang yang bisa menjadikannya berharga. Pada sebagian kasus lainnya, mereka menjadi orang yang sangat mandiri dan membenci kelemahan (salah satunya kewanitaan itu sendiri).
Sebagai pembimbing sekaligus sebagai model, ada hal-hal yang ibu bisa lakukan yaitu:
1. Si anak harus menerima kasih sayang sejak kecil, harus menerima suatu pelukan, rangkulan tanpa syarat dari ibu.
2. Si ibu pada masa-masa anak makin besar harus lebih berperan sebagai pembimbing
3. Lebih seringlah berbicara dan bertanya kepada si anak kalau dia tidak mengerti, sehingga anak merasakan bahwa ibunya tidak menempatkan diri jauh di atasnya.
4. Jangan terlalu kritis kepada si anak.
Titus 2 : 3 - 4 Demikian juga perempuan-perempuan yang tua hendaklah mereka...mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi...
Pengaruh Ibu Pada Anak|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T405B|T405B|Orangtua-Anak|Audio|Alasan kenapa orang-orang yang terkenal seperti John Wesley, Hudson Taylor bisa menjadi berkat bagi banyak orang adalah karena tak lepas dari peran ibu di dalam kehidupan mereka. Ibu punya peran yang cukup besar didalam pembentukan seorang anak, jika ibu berfungsi dengan baik maka akan menghasilkan pertumbuhan anak yang juga baik, namun kebalikannya jika ibu kurang berperan maka anak pun kerap tumbuh kurang baik pula. Disini akan dijelaskan peran apa saja yang diberikan oleh seorang ibu dan dampak buruk jika ibu tidak menjalankan perannya dengan baik.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T405B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini saya bersama penginjil Sindunata Kurniawan M.K., beliau adalah konselor keluarga, kami akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Pengaruh Ibu Pada Anak. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pengaruh seorang ibu memang cukup besar dan saya rasa kita semua punya pengalaman itu. Tapi seberapa besar dan apa dampaknya bagi kita, itu yang akan kita perbincangkan. Hal apa yang ingin Pak Paul kemukakan dalam hal ini ?
PG : Begini, saya mengamati bahwa ternyata ada tokoh-tokoh yang dipakai Tuhan
di dalam dunia ini yang sebetulnya benar-benar berhutang hampir 100% hidup dan sumbangsihnya pada ibu mereka, karena ibu mereka yang menjadi motor, pendoa dan pendorong bagi hidup mereka. Misalnya John Wesley adalah seorang pendiri gereja Methodist dan gereja Wesleyan, dia adalah orang yang menerima banyak dorongan dari ibunya, Susanna dan kita tahu John Wesley memunyai seorang kakak atau adik yang bernama Charles Wesley yang menjadi penulis banyak sekali lagu-lagu rohani, dia juga adalah buah dari pelayanan ibunya sendiri. Yang lain adalah Agustinus seorang bapak gereja yang dipakai Tuhan untuk memengaruhi pemikiran Kristiani, beliau adalah buah doa dan pelayanan ibunya Monica. Dan kita tahu Hudson Taylor seorang hamba Tuhan dari Inggris yang dipakai Tuhan di Tiongkok, dia juga adalah orang yang dekat dengan ibunya dan waktu dia melayani di sana, dia kerap menulis surat membagikan pergumulan hidup dan pelayanan kepada ibunya. Jadi bisa kita simpulkan bahwa peran ibu dalam pembentukan diri anak sungguhlah besar.
SK : Melihat begitu besarnya peranan ibu bagi anak, menurut Pak Paul apa saja peran-peran ibu bagi pembentukan diri anak ?
PG : Ada beberapa Pak Sindu, yang pertama adalah peran sebagai pengasuh. Sejak anak lahir sampai anak berusia remaja, ibu berperan sebagai pengasuh dalam pengertian dia memerhatikan dan memenuhi kebutuhan anak. Tanpa asuhan, anak tidak dapat bertumbuh secara sehat. Jadi pada masa ini terutama pada masa anak-anak kecil, ibu berfungsi untuk mencukupi kebutuhan anak dan melindunginya dari bahaya sekecil apa pun. Itu sebabnya ibulah yang akan berkata, Jangan main di sana, jangan main dengan api jadi benar-benar peranan ibu sebagai pengasuh yang melindungi dan mencukupi kebutuhan anak sangatlah besar.
SK : Kalau sebagai pengasuh melindungi tapi satu sisi bukankah mungkin ada batasan. Kadang kita mendengar bahwa seorang ibu bisa menjadi terlalu melindungi anak, jadi justru malah bukan mengembangkan anak.
PG : Saya kira ini memang ekses yang kadang terjadi yaitu ada ibu-ibu yang karena cemas, karena sayang pada anak akhirnya terlalu melindungi anak. Maka saya kira sebagai ibu kita harus bijaksana dalam melindungi anak. Jangan sampai akhirnya menjauhkan anak dari tantangan hidup dan bahwa adakalanya kita hanya perlu memonitor dari jauh dan membiarkan dia untuk sedikit banyak mengambil resiko dalam hidup ini, meskipun ada resiko mungkin dia jatuh dan sebagainya tapi dari pada kita selalu melindunginya sehingga tidak pernah mengalami sedikitpun masalah maka lebih baik kita memberikan ruangan pada anak untuk bereksperimen.
GS : Seringkali Pak Paul, peran pengasuh ini terkendala oleh sibuknya ibu. Kita tahu banyak ibu yang harus berkarier di luar rumah sehingga peran pengasuhan ini tidak bisa ditangani sendiri dan diserahkan kepada yang memang betul-betul pengasuh, ada yang profesional atau hanya sekadar saja atau diserahkan kepada orang tuanya, jadi nenek atau kakek anak ini. Itu bagaimana pengaruhnya, Pak Paul ?
PG : Saya secara pribadi berpendapat sedapat-dapatnya ibulah yang mengasuh
anak, tapi saya juga mengerti bahwa adakalanya hal ini tidak dimungkinkan misalnya ada ibu yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya juga. Atau ada ibu yang lebih baik bekerja daripada diam di rumah sepanjang hari karena dia tidak merasakan itulah panggilannya atau dia benar-benar menjadi seorang ibu yang tidak sabar dan cepat marah di rumah, dia lebih menikmati untuk bekerja. Dalam kondisi yang khusus seperti itu, saya pribadi akan berkata, Baiklah dibuatkanlah pengaturan sehingga si ibu bisa tetap bekerja di luar namun ketika ibu kembali di rumah dia harus memberikan waktu sebanyak-banyaknya kepada anak, supaya relasi antara ibu dan anak tetap bisa terjalin.
SK : Kalau demikian adakah peran lain yang ibu bisa berikan bagi pembentukan diri anak ?
PG : Yang kedua adalah sebagai penyedia kestabilan, kehadiran ibu dalam hidup anak dan petunjuk serta bentukan yang diberikannya kepada anak hari lepas hari menyediakan sebuah ruang yang pasti dan aman bagi anak. Jadi anak perlu tahu bahwa ibu selalu berada disampingnya dan ibu akan memberikan apa yang dibutuhkannya, figur yang sama dan perlakuan yang relatif sama akan memberi rasa kestabilan pada anak bahkan saya berikan contoh yang lebih ekstrem meskipun ibunya sedikit bawel, tapi itu adalah figur yang konstan, figur yang ada di rumah yang dia kenal dan itu adalah figur yang sama besok, kemarin dan hari-hari mendatang. Jadi anak perlu mendapatkan kepastian bahwa ada mama di rumah yang akan selalu mendampinginya, ini akan sangat penting di dalam pertumbuhan jiwa anak, kestabilan ini. Bandingkan kalau misalnya tidak ada ibunya atau ibunya kadang-kadang pergi tidak pulang, atau rumah tangganya sarat dengan konflik sehingga kadang- kadang ibu kabur tidak mau di rumah. Bayangkan kalau ini terjadi, kestabilan dalam jiwa anak itu juga terganggu.
SK : Saya jadi lebih memahami, itulah mengapa rata-rata anak TK atau SD kalau pulang merasa aman dan nyaman kalau bisa ketemu mamanya ada di rumah.
PG : Betul. Karena inilah simbol kepermanenan, simbol kestabilan bahwa ia pulang menjumpai mama di rumah. Jadi benar-benar ini memberikan rasa aman dan stabil pada anak.
GS : Ini tentu terkait dengan pola pengasuh, kalau ibu tidak punya waktu untuk mengasuh anaknya, otomatis dia tidak bisa menjadi penyedia kestabilan.
PG : Misalnya dia harus bekerja dan mewakilkan kepada orang tua atau pengasuh yang lain maka sudah tentu akan terkurangi kedekatannya dengan anak. Namun dia masih bisa menyediakan kestabilan itu kalau dia pulang ke rumah dari bekerja, dia benar-benar memberi waktunya sepenuhnya kepada anak, bisa dia misalnya masak bagi anak, bisa misalnya mengajarkan PR anaknya atau bicara dengan anak, bermain dengan anak. Itu menjadi kestabilan yang dinantikan oleh anak setiap malam ketika ibunya pulang. Jadi sekali lagi penyedia kestabilan ini adalah hal yang penting didalam pertumbuhan jiwa anak.
GS : Kestabilan itu juga diperoleh bahwa ibu itu berkata-kata secara konsisten.
PG : Betul, misalnya anak ini nakal dan ibunya akan menegur. Jadi hal-hal seperti itulah yang diperlukan oleh anak. Misalnya kata-kata, Jangan lupa minum susu, jangan lupa gosok gigi. Ini adalah hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh bapak karena bapak tidak terlibat dalam hal-hal yang seperti itu di rumah. Siapa yang melakukan ? Ibu. Itu yang diperlukan oleh anak yang mengatakan, Jangan lupa mandi, jangan lupa pakai piyama, sudah kerjakan PR belum ? Hal yang didengar oleh anak hari lepas hari yang mungkin anak juga tidak suka karena dia merasa mamanya bawel, tapi ini yang diperlukan oleh anak yaitu kestabilan yang sama hari lepas hari.
GS : Saya rasa ibu perlu menyediakan waktu untuk mendengar keluhan anak, biasanya setelah ditinggal sekian lama, anak banyak sekali keluhannya.
PG : Betul sekali dan dimulainya bukan dengan keluhan. Misalnya waktu anak di rumah dengan ibunya, ibu bercengkrama, bertanya, ngobrol tentang apa yang terjadi di sekolah, hal-hal yang menyenangkan dan sebagainya. Kalau itu sudah terjalin nanti sewaktu anak mengalami masalah barulah anak akan bercerita kepada ibunya. Jadi kalau kita balik situasinya, ibu tidak memberikan waktu itu kepada anak untuk bercengkerama, ngobrol, untuk bertanya bagaimana di sekolah dan sebagainya, tidak ada hal seperti itu maka waktu anak mengalami masalah di sekolah apa yang dia ingin sampaikan kepada ibunya, dia tidak berani sampaikan karena tidak ada wadah seperti itu sebelumnya. Jadi penting ibu menyediakan wadah bercengkerama kepada anak sehingga nantinya kalau anak mengalami masalah di sekolah atau pergaulan maka dia akan berani untuk menyampaikan kepada ibunya.
SK : Adakah peran yang lain, Pak Paul, untuk menunjukkan bahwa ibu punya peran penting dalam pembentukan diri anak ?
PG : Yang ketiga adalah ibu berperan sebagai perekat. Tidak bisa diangkal ibu berfungsi sebagai perekat antara anak dan ayah, serta anak dan saudara- saudaranya. Tidak heran setelah ibu tiada misalnya ibu sudah meninggal, tali perekat cenderung mengendor atau bahkan malah menghilang. Jadi singkat kata, ibu berperan menyatukan keluarga sehingga anak merasakan bahwa ia
adalah bagian dari keluarga dan bertanggungjawab atas satu sama lain. Mungkin Pak Sindu dan Pak Gunawan bisa ingat-ingat keluarga sewaktu ibunya masih ada sering berkumpul setahun sekali dan sebagainya, ngobrol sama- sama, tapi setelah ibunya tidak ada tercerai berai. Kita bisa melihat dalam banyak keluarga ibu berfungsi sebagai perekat keluarga.
GS : Memang itu terasa ketika anak-anak sudah dewasa, semua sudah keluar rumah tapi ketika mereka masih kecil peran perekat itu nampak di mana, Pak Paul ?
PG : Misalnya anak marah kepada papa, biasanya mama yang akan bicara dengan si anak, Kamu jangan seperti itu dengan papamu, papamu sayang kepadamu atau si papa kesal dengan si anak dan bicara sedikit kasar, biasanya si mama yang akan berkata Pa, jangan bicara seperti itu kepada anak, dia itu terluka, dia masih kecil atau si adik berkelahi dengan si kakak, mama yang berkata, Kamu jangan berkelahi, kamu harus saling memaafkan atau masing-masing memertahankan pendapat atau mainannya tidak mau dibagi atau dipinjamkan, maka mamalah yang akan berkata, Kamu harus pinjamkan. Jadi dalam banyak hal secara tidak sadar sebenarnya ibu berfungsi sebagai perekat keluarga, dialah yang menyatukan semuanya. Misalnya bukankah yang lebih sering mengusulkan, Mari kita pergi ke sana, mari kita bersaat teduh bersama, mari adakan mezbah keluarga kebanyakan adalah ibu. Waktu ibu melihat anak ke sana, bapak ke sana, yang merasa khawatir atau terpanggil untuk mengumpulkan kembali adalah si ibu. Jadi kita melihat peranan si ibu yang sentral sebagai perekat keluarga.
SK : Energi apa Pak Paul, sehingga ibu punya daya rekat, daya pemersatu, daya pendamai, daya mengakrabkan. Kenapa ibu bisa memunyai keistimewaan itu dari pada ayah ?
PG : Saya bisa berkata mungkin karena Tuhan memberikan karunia itu kepada ibu karena secara alamiah Tuhan memberikan insting keibuan kepada perempuan sehingga insting keibuan yang memang mau menyatukan, mengayomi, membawa semuanya berkumpul bersama dan bukan tercerai berai. Saya kira itu jauh lebih kuat ada pada diri seorang wanita.
GS : Kalau kita lihat dalam kehidupan ayam, yang biasa mengumpulkan anak ayam
itu adalah induknya dan bukan jagonya. Mungkin nalurinya sudah begitu, yaitu naluri keibuan.
PG : Kita lihat juga anjing waktu melahirkan, si induklah yang akan mengambil atau mengangkat anak-anak anjing untuk berderetan bisa diberikan susu.
GS : Sebenarnya langkah-langkah apa yang bisa dilakukan ibu untuk merekatkan keluarganya, Pak Paul ?
PG : Saya kira ibu harus mendoakan keluarganya supaya akur, rukun, rekat satu dengan yang lain, secara konkretnya ibu harus dekat baik dengan ayah atau dengan anak-anak sehingga nanti kalau ada apa-apa ibulah yang bisa mendamaikan mereka kembali. Ibu bisa menjadi pendengar bagi suami dan anak-anaknya sehingga kalau ada keluhan-keluhan yang bisa nantinya dibereskan maka ibulah yang nanti membereskannya pula.
GS : Jadi harus bersikap netral dan tidak memihak kepada salah satunya, kalau memihak maka kita bisa melihat contoh di Alkitab dimana saudaranya saling bertengkar.
PG : Betul. Kalau bisa ibu menjaga kenetralannya sehingga dia bisa berdekatan dengan semuanya dan merekatkan semuanya.
SK : Adakah peranan yang lain lagi, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah ibu menjadi perlambangan dan perpanjangan kasih karunia Allah. Kendati ibu itu bisa marah namun satu hal yang diketahui oleh anak adalah bahwa ibu tidak akan menolaknya. Jadi jarang ada ibu yang menolak anak, ibu selalu menerima dan mengampuni, ibu senantiasa memercayai dan memberi kesempatan kembali kepada anak. Ini yang sering kita lihat kalau ada apa-apa ayah mungkin sudah kesal dan berkata, Saya tidak mau tahu lagi tapi siapa yang akan berkata, Jangan seperti itu, kita dengan anak harus tetap membuka pintu, kita harus mengampuni dia, jangan sampai anak tersingkir dari keluarga kita. Siapa yang juga akan berkata, Iya nak, saya ampuni kamu dan jangan berbuat lagi. Siapa juga yang sering mendapat kritikan, Kamu ini terlalu lembek, kamu ini tidak tegas semuanya ibu. Tanpa ibu sadari sebetulnya ibu menjadi perlambangan dan perpanjangan kasih karunia Allah yaitu penuh dengan anugerah, dan lewat kasih sayang ibu akhirnya anak mengerti apa yang dimaksud dengan kasih karunia atau anugerah Tuhan.
GS : Memang lewat ibu biasanya anak bisa memahami karakter Tuhan.
PG : Benar. Saya kira ini yang lebih kuat dibandingkan dengan ayah sebab kita pria tidak sesabar ibu dan kita bisa marah dan kadang-kadang kata-kata kita bisa menyakitkan, tapi kalau ibu biasanya kalau pun dia marah hanya sejenak dan dia akan membaik kembali, seperti apa pun anaknya, sebesar apa pun pelanggaran yang dilakukan oleh anak pada akhirnya dia akan berkata, Saya ampuni, jangan ke mana-mana.
GS : Kalau sampai ibu tidak bisa berperan seperti yang kita harapkan seperti tadi, tentu akan membawa dampak yang buruk bagi anak atau anak-anaknya, kira- kira dampak apa yang terjadi kalau seorang ibu tidak melakukan perannya sebagai ibu yang baik, Pak Paul ?
PG : Yang pertama kalau anak tidak menerima kasih ibu secara cukup, anak
bertumbuh besar tanpa diri yang kokoh. Apa ciri-cirinya ? Dia cenderung gamang dan tidak memiliki penghargaan diri yang kuat, jadi tampaknya kasih dan penerimaan ibu kepada anak berpengaruh lebih besar daripada kasih dan penerimaan ayah kepada anak. Tanpa kasih ibu yang cukup anak mengembangkan keraguan dalam dirinya dan mencari-cari kasih dan figur pengasuh dalam hidupnya.
SK : Tentang keraguan pada diri, mencari kasih dan figur pengasuh itu seperti apa wujudnya, Pak Paul ?
PG : Karena anak tidak menerima kasih sayang ibu secara cukup maka seringkali dia merasakan dirinya ada yang tidak benar dan ada yang kurang. Ada yang perlu ditambal. Jadi dia tidak keluar dari rumah, masuk ke sekolah dengan sebuah penerimaan bahwa dirinya itu baik. Jadi karena dia merasa ada yang tidak
benar dengan dirinya maka dia selalu membutuhkan orang untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Itu yang saya maksud dengan dia selalu mencari-cari penerimaan dari luar terhadap dirinya. Saya melihat ada orang yang dibesarkan oleh ayah ibu dimana ayahnya tidak begitu berfungsi tapi ibunya berfungsi. Sehingga meskipun ayahnya sering keluar tidak bertanggungjawab, tapi ibu terus mengayomi anak, dekat dengan anak, memberikan kasih sayang kepada anak maka anak-anak akan bertumbuh besar relatif dirinya kuat. Tapi meskipun misalnya seolah-olah keluarga itu baik namun si ibu tidak bisa berelasi dengan anak dan jauh dengan anak, maka saya lihat si anak tidak kuat, selalu mencari-cari penerimaan dari luar. Jadi saya tidak berkata, ayah tidak berperan dan peran ayah tidak penting, tidak seperti itu. Tapi saya harus akui dibandingkan dengan si ayah, peranan ibu memang jauh lebih penting terutama dalam hal ini yaitu membangun sebuah diri yang kokoh dan aman.
GS : Selain hal itu apakah ada dampak negatif yang lain, Pak Paul ?
PG : Jika anak tidak mengalami kasih ibu yang tanpa kondisi, artinya si ibu mungkin saja mengasihi tapi menuntut anak harus seperti ini dan seperti itu, kalau tidak dimarahi. Maka kasih sayang ibu menjadi kasih sayang yang berkondisi dan bukan kasih sayang seperti anugerah yang telah kita bicarakan. Anak cenderung bertumbuh dengan sikap kritis dan tidak menerima diri apa adanya, artinya dia tidak melihat apa yang ada di dalam dirinya, melainkan apa yang tidak ada. Bukannya melihat apa yang dapat dilakukannya tapi ia malah menyoroti apa yang tidak dapat dilakukannya dan kalau pun ia dapat melakukannya ia merasa tidak dapat melakukannya dengan baik. Jadi singkat kata, dia akhirnya terus melihat kekurangan pada dirinya dan melihat orang lain punya ini dan ada ini, tapi saya tidak bisa, terus menyoroti hanya kekurangan dirinya dan biasanya ini akibat dari tidak cukupnya penerimaan ibu kepada anak dan kasih sayang yang diberikan terlalu terkait dengan kondisi.
SK : Berarti anak demikian ini rentan dengan rasa minder, rasa iri, rasa yang terus tidak pernah puas, Pak Paul.
PG : Saya kira demikian. Akhirnya dia selalu melirik kanan kiri dan mendambakan kapan dia bisa menjadi seperti orang lain karena penerimaan. Jadi kalau ibu berfungsi menjadi perpanjangan kasih karunia kepada anak, menerima diri anak apa adanya, itu akan menciptakan sebuah diri yang nyaman untuk berdamai dengan dirinya dan menerima kekurangannya. Tapi kalau ibu tidak bisa menerima anak, Kamu harus seperti ini tidak bisa melihat apa yang anak sudah miliki dan kerjakan, si anak juga akan menjadi seperti itu nantinya tidak bisa menerima diri, sangat kritis dan menjadi hakim yang paling kejam terhadap dirinya sendiri.
GS : Dalam hal ini kalau anak dipaksa melakukan sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak suka untuk melakukannya, misalnya diikutkan les menari padahal dia tidak suka dengan les menari, apakah bisa berdampak seperti itu juga, Pak Paul ?
PG : Bisa tapi sudah tentu harus melihat porsinya misalnya bukan hanya dalam hal menari saja tapi dalam hal-hal lain si ibu misalkan tidak begitu, sudah tentu dampaknya tidak besar, tapi kalau memang ini menjadi pola si ibu menuntut
anak harus begini dan harus begitu, boleh dikata merata dalam segala hal, kalau tidak mencapainya dia akan marah dan misalnya mencela si anak, terbentuklah sebuah anggapan dalam diri si anak bahwa memang dirinya tidak cukup baik untuk bisa diterima oleh orang.
SK : Adakah dampak buruk yang ketiga kalau si ibu tidak berfungsi seharusnya ?
PG : Yang ketiga kalau ia tidak mengalami kestabilan dalam keluarga akibat tidak berperannya ibu secara konsisten maka dia cenderung mengembangkan rasa tidak aman artinya dia penuh kecemasan dan ingin memastikan bahwa semuanya berjalan baik. Jadi dia berusaha mencari figur pelindung yang dapat memberikannya rasa aman, karena rasa aman bahwa sesuatu akan berjalan dengan tidak benar akan terjadi masalah, akan ada ancaman, menjadi sangat besar sekali.
SK : Apakah hal seperti ini menjelaskan tentang beberapa peristiwa dimana ada
pria-pria yang memilih menikah dengan wanita yang sebenarnya secara usia seusia dengan ibunya, apakah ada hubungannya, Pak Paul ?
PG : Maksudnya ?
SK : Si wanita usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan si pria. Jadi si pria ini usianya muda sementara selisihnya mungkin 10 tahun ke atas dengan si wanita. Apakah merupakan cerminan dari situasi seperti ini ?
PG : Bisa saja, dia merasa tidak aman dan dia merasa pria ini bisa melindungi dia meskipun beda usia terlalu jauh dan tidak dilihat lagi, yang dilihat dia bisa menyediakan kebutuhannya akan rasa aman, sangat mungkin sekali, Pak Sindu.
SK : Maksudnya wanita yang usianya lebih tua itu dianggap bisa menjadi figur pelindung bagi si pria yang muda ini, Pak Paul ?
PG : Iya bisa jadi. Jadi anak ini karena dia merasa dirinya tidak aman dan dia memerlukan seorang pengasuh yang bisa memberikan kepadanya rasa aman, karena dari rumahnya itulah yang tidak didapatkannya.
GS : Jadi sebenarnya hal terpenting apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya, Pak Paul ?
PG : Saya membacakan dari Amsal 31:28, Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia. Jadi kita melihat
peranan ibu yang begitu penting dalam kehidupan anak yaitu benar-benar menjadi tiang dalam keluarga, menjadi penyatu, fondasi dalam keluarga. Hasilnya adalah anak-anaknya akan bisa bangun, tumbuh menjadi anak yang kuat dan tidak bisa tidak, suaminya akan memuji dia sebagai orang yang bijaksana dan telah benar-benar berperan sangat besar dalam keluarganya. Kenapa dikatakan suaminya memuji dia, karena memang si suami tahu dia tidak bisa melakukannya tanpa si ibu dan sebetulnya rumah menjadi begini gara-gara si ibu.
GS : Jadi memang panggilan atau tugas seorang ibu ini tidak mudah namun mulia, besar sekali pengaruhnya pada generasi penerus dan ini yang perlu kita terus sampaikan kepada para pendengar dan untuk diri kita sendiri untuk menghormati ibu yang sudah begitu susah payah membesarkan kita.
PG : Benar.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Pengaruh Ibu Pada Anak. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.