T 208 B
Lengkap
"Komitmen Pernikahan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Komitmen Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan komitmen pernikahan itu sebenarnya apa Pak Paul?
PG : Sebuah janji kesetiaan Pak Gunawan. Jadi kalau kita mau terjemahkan dengan lebih awam, komitmen adalah sebuah janji kesetiaan bahwa kita ini ada di sini dan akan terus berada di sini. Kia bukannya ada di sini untuk sementara tapi selama-lamanya, itu adalah janji kesetiaan, itu adalah komitmen pernikahan.
GS : Bedanya dengan janji-janji yang kita buat misalnya dalam relasi hubungan dagang, dalam kita menjadi anggota suatu club dan sebagainya apa Pak Paul?
PG : Sudah tentu yang paling membedakan adalah janji-janji itu diikat atas dasar kepentingan. Selama kepentingan masih terpenuhi maka ikatan itu akan selalu ada, begitu kepentingannya sudah tiak ada lagi atau begitu keuntungannya tidak ada lagi maka janji atau ikatan itu pun akan luntur.
Pernikahan tidak seperti itu; di dalam pernikahan, waktu kita berjanji untuk setia itu benar-benar kita akan berada di sini selamanya. Tidak peduli apakah kepentingannya masih ada atau tidak, tidak peduli apakah keuntungannya masih ada atau tidak; jadi memang sebuah janji untuk tetap berada di sini apa pun yang terjadi.
GS : Kapan biasanya komitmen pernikahan dilakukan?
PG : Sebetulnya komitmen pernikahan dimulai tatkala kita memulai pernikahan itu sendiri, yakni di hari kita berkata, "Saya akan mengambilmu sebagai istri, saya akan mengambilmu sebagai suami." Di titik itulah kita mulai menjalani komitmen atau janji nikah untuk selalu setia.
GS : Ya itu secara resmi dilakukan pada saat itu Pak Paul, tetapi sebenarnya sebelum itu sudah dilakukan penjajagan-penjajagan kemungkinan-kemungkinannya bahwa komitmen itu akan diambil seperti itu.
PG : Tepat sekali, sebelum kita mengucapkan janji atau ikrar untuk bersama-sama membina pernikahan ini, di dalam masa pacaran kita sedikit demi sedikit sudah mulai meningkatkan atau memperdalamjanji setia itu, bahwa kita akan selalu bersamamu.
Tapi tetap kalau kita belum diikat dalam pernikahan memang komitmen ini tidak sama. Pada akhirnya kalau kita menemukan ketidakcocokkan sebelum menikah, kita masih mempunyai kebebasan untuk berkata kita bukanlah pasangan yang cocok, tapi setelah kita menikah tidak lagi kita berpikir seperti itu. Kita sudah di sini dan kita akan selalu berada di sini, inilah komitmen nikah.
GS : Apakah itu ada dasar alkitabnya Pak Paul?
PG : Tuhan berkata di Kejadian 2:24, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Semulia apa pun tujan pernikahan kita, misalnya ada orang supaya kita lebih berkiprah dalam usaha, supaya kita lebih bisa memaksimalkan kinerja kita, bisa membina keluarga dan mempunyai anak-anak dan sebagainya; semulia apa pun tujuan pernikahan kita tetaplah yang menjadi dasar haruslah komitmen untuk melebur menjadi satu.
Ini adalah salah satu lagi yang membedakan komitmen nikah dengan komitmen lainnya. Komitmen lainnya misalnya dalam hal bekerja, bermitra, kita tidak meleburkan diri kita menjadi sebuah kesatuan. Kita mungkin meleburkan usaha agar menjadi suatu usaha yang sama, tapi kita tidak meleburkan pribadi. Namun dalam nikah, waktu kita berkomitmen untuk bersamanya kita berkomitmen untuk menjadi satu bahwa kita akan masuk ke dalam hidupnya dan dia akan masuk ke dalam hidup kita. Dan kita berdua akan membentuk sebuah pribadi yang baru, yang berbeda, jadi seyogianya setelah orang menikah setelah beberapa waktu memang dia tidak lagi menjadi sama seperti dulu. Kalau setelah menikah dia persis sama berarti memang pernikahan itu tidak berjalan dengan semestinya. Karena seyogianya pernikahan melebur dua pribadi menjadi satu sehingga dua-duanya menjadi pribadi yang berbeda. Pribadi yang memang pas untuk keduanya. Kalau kita masih tetap memakai baju yang sama, diri yang sama setelah bertahun-tahun menikah; yang bisa kita simpulkan adalah pernikahan itu tidak membentuk kita menjadi sebuah pribadi yang baru.
GS : Pengertian keduanya menjadi satu daging, kenapa satu daging kenapa tidak satu roh atau satu jiwa?
PG : Memang di dalam firman Tuhan yang tadi kita sudah baca, konteksnya adalah sebuah persetubuhan jasmaniah, bahwa keduanya akan menjadi satu daging dalam pengertian secara jasmaniah. Namun sdah tentu waktu dikatakan di sini keduanya menjadi satu daging, dalam pengertian itu pula kita bisa memaknai ini adalah sebuah penyatuan dua manusia, bukan saja secara jasmaniah tapi yang terjadi secara jasmaniah melambangkan apa yang terjadi secara rohaniah, bahwa dua pribadi itu sungguh-sungguh menjadi satu.
Dilambangkan dalam bentuk nyatanya dengan sebuah persetubuhan. Makanya kalau kita kehilangan perspektif ini kita memang akan kehilangan makna pernikahan. Ada orang yang sebelum menikah sudah bersetubuh, mereka tidak mengerti bahwa persetubuhan hanyalah lambang dari penyatuan dua pribadi itu. Persetubuhan tidak menyatukan dua pribadi. Jadi seharusnya memang diawali dengan dua pribadi dilambangkan dengan penyatuan dua tubuh. Inilah yang Alkitab ajarkan kepada kita bahwa kita mesti menjadi satu dengan pasangan kita membentuk sebuah pribadi yang baru. Wujud nyata dari penyatuan ini yang secara jasmaniah adalah kehadiran anak. Anak menjadi wujud nyata peleburan dua manusia. Waktu kita melihat anak kita, bukankah kita sering berkata, ah......seperti saya, tapi kita lihat lagi ah.......seperti istri kita atau suami kita. Orang lain pun berkata hal yang sama, "aduh mirip sama papanya kemudian dipikir lagi, ah.......mirip sama mamanya." Kita tidak bisa lagi mengurai satu anak kecil menjadi dua, bahwa ini adalah papanya dan ini adalah mamanya. Anak merupakan wujud nyata peleburan itu yaitu dua pribadi menjadi satu. Kita tidak bisa menemukan partikel-partikel yang kita tandai dan kita katakan o...ini dari papa, ini dari mama; sangat mustahil sebab satu anak ini sudah menjadi satu pribadi, tapi pribadi yang terdiri dari dua manusia. Inilah komitmen pernikahan, komitmen menjadi satu. Bukan saja menghasilkan seorang anak; anak hanyalah sebuah bukti wujud nyata dari penyatuan itu tapi memang sebuah usaha yang terus-menerus untuk melebur diri menjadi satu. Ini adalah dasar komitmen pernikahan kristiani.
GS : Hasil dari peleburan suami dan istri, apakah sifat-sifat istri akan dimiliki suami dan sebaliknya?
PG : Pada akhirnya akan ada sifat pasangan yang akan kita serap, itu betul. Misalnya kita tadinya lebih impulsif, suka bertindak tanpa berpikir panjang; pasangan kita sabar, mempertimbangkan sgalanya dengan masak-masak sebelum melakukannya.
Lama-lama setelah kita menikah dengannya, kita belajar lebih sabar tidak impulsif lagi. Inilah yang akan terjadi, kita menyerap hal-hal yang dimiliki oleh pasangan kita. Atau yang lainnya lagi, waktu kita menyatu kita nantinya akan membentuk sebuah sifat yang dua-dua sebetulnya tidak ada, tapi sesuatu yang baru. Misalnya kita dulunya dua-dua tidak bisa berpikir positif, setelah kita menikah kita banyak melewati tantangan dalam hidup ini, kita bertumbuh bersama, kita saling belajar dari satu sama lain dan akhirnya dua-dua belajar mengembangkan sikap yang lebih positif. Karena kita tahu ini adalah sebuah sikap atau pandangan hidup yang baik. Jadi bisa kita ini mendapatkan masukan dari pasangan atau kita membentuk sesuatu yang baru. Seyogianya inilah yang terjadi di dalam pernikahan.
GS : Sebenarnya melalui pernikahan dua pribadi itu akan bertumbuh lebih dewasa daripada sebelum mereka menikah.
PG : Betul sekali, sebetulnya kita tidak sama seperti dulu waktu kita mengawali pernikahan ini, kita harus bertumbuh. Ada satu lagi yang ingin saya tambahkan yaitu untuk kita mampu melakukan smua peleburan ini, tidak bisa tidak diperlukan kasih; itu mutlak harus ada.
Sebab peleburan ini cukup menyakitkan; kita tidak mudah melepaskan sesuatu yang sudah menjadi ciri khas kita atau menjadi bagian dari diri kita. Kita tidak begitu mudah menerima sesuatu yang bukan diri kita yaitu dari pasangan. Jadi proses peleburan ini memang kadang menyakitkan itu sebabnya diperlukan cinta kasih yang kuat antara dua individu ini. Cinta kasih itu benar-benar menjadi pelumas, sehingga proses peleburan ini bisa terjalin. Cinta kasih juga menjadi motivator, pendorong bahwa kita harus melebur diri supaya pernikahan kita ini makin hari makin baik. Indahnya adalah tatkala peleburan terjadi, peleburan itu pun membuahkan kasih. Sebab waktu kita melihat pasangan kita makin cocok dengan kita, makin pas dengan kita tidak bisa tidak perasaan yang muncul adalah perasaan sayang, senang, menikmati, enak. "Ya....ya...kok dia begini, dia mengerti saya, dia baik kepada saya, kalau kita bicara pas, tidak lagi harus berputar-putar yang akhirnya menabrak sini atau menabrak sana." Reaksi yang muncul biasanya cinta kasih, jadi kasih itu pendorong kita melebur, pelumas dalam peleburan, sekaligus buah dari peleburan itu sendiri. Buah yang akhirnya menjadi pendorong lagi, menjadi pelumas lagi dan membuahkan lagi, dan buah itu akan membuahkan lagi, jadi berputarlah proses itu. Maka itu kita lihat kalau dua orang ini sudah berkomitmen meleburkan diri dan benar-benar berusaha meleburkan sehingga mulai memetik buahnya, kita akan melihat pernikahan mereka makin hari bukan saja makin menyatu, makin harmonis, makin melebur tapi makin penuh kasih, makin hangat, makin benar-benar bercahaya. Kebalikannya juga betul, kalau dari awalnya tidak bisa melebur, tidak cocok-cocok, masing-masing mempertahankan diri akhirnya tidak terjadi peleburan lama-lama kasih yang tadinya ada tidak lagi kuat mendorong mereka melebur. Kasih yang sudah mengecil, berarti pelumas dalam peleburan itu juga makin sedikit akhirnya bukannya terjadi peleburan tetapi konflik. Dalam proses peleburan terjadi tabrakan, berkelahi, akhirnya tambah sedikit kasih; apakah akan muncul buah kasih? Tentu tidak ada, yang ada adalah buah kepahitan yang muncul; makin pahit makin tidak termotivasi untuk melebur, makin tidak ada pelumas dalam peleburan, makin tidak membuahkan kasih, makin membuahkan kepahitan; makin hari makin ditimbun oleh kepahitan.
GS : Tapi dalam kenyataannya, anak sebagai buah kasih itu tidak otomatis menunjukkan bahwa proses peleburan itu berjalan dengan baik. Artinya sekali pun mereka mempunyai anak bahkan beberapa orang anak, masalah peleburan ini terus menjadi suatu problem bagi keluarga ini.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, seyogianya anak merupakan wujud telah terjadinya peleburan atau sedang berlangsungnya peleburan dua pribadi dalam pernikahan, tapi kita tahu itu tidak selalu terjdi.
Ada orang-orang yang memang mempunyai anak, tapi tetap saja dua pribadi itu terus terpisah, tidak pernah benar-benar melebur. Namun kita tahu waktu Tuhan menyatukan di dalam pernikahan, Tuhan meminta kita untuk bersatu, untuk melebur. Jadi komitmen pernikahan tidak saja berkata, "aku ada di sini, maka aku akan selalu ada di sini." Komitmen pernikahan juga berkata, "aku ada di sini dan akan menyatu dengan engkau." Itu penting sekali kita pegang; aku ada di sini dan akan menyatu denganmu bukan saja aku di sini dan aku akan selalu berada di sini.
GS : Sering kali memang salah satu pihak menuntut pasangannya melebur kepada dirinya, artinya menjadi mirip seperti dia. Dia tidak mau kalau dia disuruh melebur ke pihak pasangannya.
PG : Itu sebabnya tadi saya katakan, kalau setelah beberapa waktu tetap saja orang ini sama tidak ada perubahan, berarti memang dia menuntut pasangannya untuk melebur menjadi seperti dirinya seentara dia tidak usah melebur masuk ke dalam diri pasangannya.
Berarti apa yang terjadi, peleburan ini gagal, peleburan tidak membuahkan hasil. Pernikahan seperti ini secara status masih bersatu tapi sebetulnya secara rohani tidak ada penyatuan sama sekali.
GS : Dalam hal komitmen ini memang tidak selamanya ada hal-hal yang baik yang kita terima, tapi ada juga hal-hal yang tidak baik yang kita terima, nah ini bagaimana Pak Paul?
PG : Komitmen pernikahan adalah juga sebuah komitmen untuk mengharapkan diri yang terbaik sekaligus menerima diri yang terburuk. Maksud saya begini, waktu kita menikah kita seharusnya menuntutdiri yang terbaik dari pasangan kita; sudah tentu.
Kita ingin kasih, kita ingin kesabaran, kita ingin keinginan untuk menyenangkan hati kita pula. Kita menginginkan pengendalian diri, tidak mudah waktu impulsif tidak berpikir panjang, melakukan sesuatu; itu semua yang kita inginkan. Berarti kita memang menginginkan diri yang terbaik, jadi kita pun mesti berusaha menjadi diri yang terbaik di dalam pernikahan, itu komitmen pernikahan. Tapi ada sisi satunya, kita pun mesti berkomitmen menyiapkan hati menerima diri yang terburuk, ini yang saya kira kita tidak pikirkan sebelum kita menikah. Kita berkomitmen menerima yang terbaik, mengharapkan yang terbaik itu tidak salah dan seharusnya. Kita pun berkomitmen menjadi diri yang terbaik, bagus dan seharusnya begitu. Tapi komitmen pernikahan juga komitmen menerima diri yang terburuk dari pasangan kita, ini berat sekali. Firman Tuhan berkata di Kejadian 2:25, mereka keduanya telanjang manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu." Nah keduanya telanjang tapi tidak merasa malu, berarti dua-dua mau menerima; menerima yang terbaik dan menerima yang terburuk. Sekali lagi komitmen pernikahan adalah komitmen yang mengharapkan yang terbaik tapi juga siap menerima yang terburuk. Ini mesti kita pikirkan bahwa ada satu sisinya ini.
GS : Memang yang menjadi sulit itu kadang-kadang yang buruk-buruk itu disembunyikan sebelum pernikahan. Jadi komitmennya kita itu sebatas yang kita tahu, ternyata muncul hal-hal yang buruk di luar perkiraan kita.
PG : Saya membicarakan ini, saya menyadari banyak orang yang menderita karena pasangan melakukan hal-hal yang tidak baik dan sebagainya. namun tetap komitmen pernikahan adalah komitmen untuk mnerima diri yang terburuk dari pasangan.
Kadang-kadang kita tidak tahu, kita tidak menyadari kok ada sifat, tapi ya itulah sifatnya dan kita harus siap menerimanya. Tapi kalau dua-dua mengerjakan bagiannya, akan terjadi perubahan atau transformasi; apalagi dua-duanya di dalam Kristus kita mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk berubah, karena yang satunya juga harus berkomitmen menjadi diri yang terbaik. Dia tidak boleh berkata, "Kamu harus menerima diri terburuk saya, ini 'kan komitmen pernikahan." Kita harus berusaha menjadi diri yang lebih baik pula. Jadi kalau saya boleh terjemahkan ke dalam bahasa yang lebih awam, komitmen pernikahan adalah aku di sini dan aku akan menjadi yang terbaik, sekaligus aku di sini dan akan menerimamu apa pun kondisimu. Jadi itulah komitmen pernikahan, apa yang terbaik kita harapkan, apa yang terburuk kita harus terima.
GS : Memang ada seorang istri yang mau berkomitmen di dalam pernikahannya walaupun dia tahu suaminya seorang pemarah, tetapi dia baru tahu setelah pernikahan itu bahwa suaminya bukan hanya pemarah, tapi juga pemabuk, suka memukul dengan tangan, menganiaya. Nah ini yang menjadi masalah, apakah saya mesti berkomitmen terus di dalam pernikahan ini kalau kenyataannya seperti itu?
PG : Komitmen pernikahan bukanlah komitmen satu orang, komitmen pernikahan komitmen dua orang. Sebab pernikahan itu bukannya solo tapi sebuah kesatuan dari dua. Berarti dua-dua mesti mempunya komitmen yang sama.
Kalau satu orang tidak memiliki komitmen seperti ini dan berkata, "Pokoknya saya seperti ini, saya mau mabuk, saya mau berjudi, saya mau habiskan uang saya, ya kamu harus terima saya." Berarti orang ini tidak memiliki komitmen pernikahan, dia tidak mengerti apa itu pernikahan. Nah dalam kasus seperti itu memang akan sangat sukar bagi yang satunya yang siap untuk berkomitmen, untuk hidup dengan orang yang seperti itu. Maka akhirnya dalam kasus-kasus seperti ini, tidak lagi bisa menahan, apalagi sudah dalam ancaman-ancaman adanya pemukulan, adanya kerugian-kerugian yang sangat besar seperti itu, saya kira masuk akal kenapa orang itu tidak tahan dan meninggalkannya dan kita tidak bisa memaksa dia untuk tetap tinggal di sana, kita pun kalau berada di sini akan sangat-sangat kesulitan. Jadi kondisi untuk menerima, kita pun harus berhati-hati. Lain misalkan kalau memang ada orang setelah menikah kemudian menderita penyakit harus dirawat dan sebagainya, kita benar-benar harus ada di sana, diri terburuk dari pasangan kita dalam kondisi sakit kita harus menerimanya. Tapi sekali lagi komitmen pernikahan adalah komitmen dua orang, jadi dua-dua mesti memberikan komitmen yang sama.
GS : Selain peran dari suami-istri, apa peran Allah di sana?
PG : Menariknya adalah komitmen pernikahan merupakan komitmen yang melibatkan Allah. Ingatlah bahwa mempelai wanita pertama diserahkan kepada Adam oleh Allah sendiri. Firman Tuhan di Kejadian2:22 berkata, dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunyalah seorang perempuan lalu dibawanya kepada manusia itu.
Tuhan mengambil rusuk Adam, menciptakan Hawa dan alkitab berkata dibawanyalah perempuan itu kepada Adam, kepada manusia itu. Jadi pernikahan bukanlah perbuatan yang melibatkan manusia dengan sesamanya saja, sebagai pihak yang menyerahkan istri kepada suaminya, Tuhan menempatkan diri sebagai pemersatu suami dan istri. Jadi seolah-olah kalau kita boleh gunakan ilustrasi ini, Tuhan membawa mempelai wanita dan menyerahkan tangan si mempelai wanita ke pria. Benar-benar kita melihat peranan Allah di sini, pernikahan pertama Adam dan Hawa, Allahlah yang membawa Hawa kepada Adam, Allahlah yang menyerahkan Hawa kepada Adam. Ini merupakan sebuah simbol Allah terlibat dalam pernikahan, Allah ingin tetap menyatukan kedua orang ini, maka firman Tuhan yang dikatakan Tuhan Yesus, "Karena itu apa yang telah dipersatukan tidak boleh diceraikan manusia. Matius 16:6. Kenapa, karena Allah terlibat. Jadi kita harus benar-benar menganggap, memperlakukan pernikahan sebagai sesuatu yang sangat serius.
GS : Jadi keterlibatan Allah itu bukan setelah pernikahan, tetapi sebelum pernikahan pun Allah sudah terlibat dalam pasangan ini Pak Paul?
PG : Betul, jadi selalu kita tidak bisa memisahkan unsur Tuhan di dalam pernikahan. Tuhan terlibat dan karena Tuhan terlibat kita harus melibatkan Tuhan. Kalau ada masalah datang kepada Tuhan ingat yang Tuhan pesan, lakukan yang Tuhan perintahkan.
Kalau saja dua orang menaati dan melakukan yang Tuhan perintahkan, dua orang ini bisa hidup bersama-sama dalam pernikahan. Tapi kalau yang satu tidak lagi menaati yang Tuhan perintahkan, sebaik apa pun relasi mereka dulu nantinya pasti akan bermasalah.
GS : Mungkin ini akan menjadi masalah besar bagi mereka yang berpasangan dengan orang yang tidak seiman, Pak Paul?
PG : Betul, karena yang satunya belum tentu akan setuju untuk tunduk pada apa yang Tuhan perintahkan itu.
GS : Tapi kalau sudah berkomitmen ya harus tetap dipertahankan karena itu sudah menjadi pilihan kita.
PG : Betul, kalau kita sudah memilih kita harus tetap setia pada komitmen atau pilihan itu.
GS: Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Saya percaya sekali perbincangan ini akan menolong banyak dari para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Komitmen Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.