Kesalahan dalam Membangun Relasi I

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T345A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

(a)Kejujuran dan keterbukaan,
(b) Kesalehan dan Kekudusan,
(c) Kejelasan dan Kefleksibelan.
Ketiga hal itu yang harus ada ketika kita menjalin relasi. Untuk lebih jelasnya, disini dipaparkan mengenai hal tersebut.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sesungguhnya relasi pernikahan berawal bukan pada waktu bel gereja berdentang. Relasi pernikahan bermula di titik kita memulai relasi dengan pasangan. Jika demikian, sebenarnya apa yang terjadi setelah pernikahan merupakan kepanjangan atau lanjutan dari apa yang terjadi sebelum pernikahan. Berdasarkan pemahaman ini, marilah sekarang kita melihat hal-hal apa sajakah yang perlu terjadi atau sebaliknya, dijaga jangan sampai terjadi pada masa berpacaran supaya relasi pra-nikah ini dapat menjadi fondasi yang kokoh dan sehat bagi pernikahan itu sendiri.

A. Kejujuran dan Keterbukaan

Saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian, kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita—dengan kata lain kita tidak mendistorsi fakta. Jadi, bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran. Atau, jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah, jangan mengklaim bahwa kita pernah menjadi mahasiswa.

Keterbukaan sudah tentu mengandung kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran. Keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Dari awal berelasi kita harus bersikap jujur, dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan. Namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan, bukan karena kita hendaknya menutupinya melainkan karena kita mau memastikan bahwa kita akan dapat mempercayakannya dengan hal yang pribadi ini.

Bila kejujuran ternoda oleh kebohongan, pertumbuhan rasa percaya niscaya mengalami hambatan. Setidaknya ada dua dampak buruk kebohongan pada relasi:

Rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat ketimbang rasa sakit akibat pertengkaran oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedang kebohongan datangnya tidak diduga.

Kebohongan membuat relasi berhenti sebab kebohongan menumbangkan rasa percaya—sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali beranjak tatkala rasa percaya mulai bertunas. Masalahnya adalah, relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik di mana kebohongan terjadi. Singkat kata, kebohongan membuat kita merasa asing dengan pasangan.

Apabila kejujuran bertalian erat dengan kepercayaan, keterbukaan berkaitan erat dengan keintiman. Makin kita terbuka—menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita—maka makin bertambah keintiman.

B. Kesalehan dan Kekudusan

Dalam pembahasan ini saya membedakan kekudusan dan kesalehan, dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual, sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada kehendak Tuhan. Dan, ini berdampak pada relasi. Bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberi kita kekuatan untuk bertahan di dalam pencobaan.

Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran harus bergumul menjaga kekudusan. Kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar, tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Pada akhirnya sering kali kekudusan lebih merupakan proses jatuh-bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun harus jatuh-bangun, kita tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri. Kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan.

Di samping berkaitan langsung dengan kehendak Tuhan dan dosa, kekudusan juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri. Ternyata hilangnya kekudusan pada masa berpacaran dapat menimbulkan dampak yang panjang, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1. Acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan, baik pada diri pasangan atau diri sendiri.

2. Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual, berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman. Kita bertambah takut kehilangannya dan kita pun kehilangan kepercayaan kepadanya sebab kita senantiasa dihantui bayangan bahwa ia dapat melakukan hal yang sama dengan orang lain.

3. Relasi berpacaran yang terisi oleh kontak seksual pada akhirnya menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh. Akhirnya relasi berubah menjadi relasi yang lemah sebab pertumbuhan yang seyogianya terjadi, luput berkembang.

4. Terakhir, hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pra-nikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini akhirnya membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah barulah kita terkejut menemukan begitu banyak ketidaksesuaian di antara kita.

Jika demikian besar dampaknya, tidak bisa tidak, kita mesti berusaha keras untuk menjaga kekudusan di masa berpacaran. Kendati tidak mudah, kita harus terus berupaya sebab harga yang mesti dibayar teramat mahal. Berikut akan dijabarkan beberapa saran untuk menjaga kekudusan:

1. Kita harus mengundang Tuhan masuk ke dalam relasi kita sejak awal. Kita mesti menjadikan Tuhan sebagai "orang ketiga" yang senantiasa hadir dalam relasi kita.

2. Sejak awal kita harus mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban dengan seorang mentor atau kakak pembimbing.

3. Sedapatnya jauhkan kontak fisik dan hindarkan tempat yang memberi kita kesempatan untuk berbuat jauh. Jangan sungkan untuk menolak ajakan atau sentuhan yang melanggar batas.

4. Pada akhirnya, jangan berhenti bergumul. Jangan putus asa dan jangan berkata bahwa Tuhan tidak lagi peduli. Tuhan peduli dan Ia akan menerima kita yang babak belur bergumul dengan dosa.

C. Kejelasan dan Kefleksibelan

Pada masa berpacaran terdapat kecenderungan yang kuat untuk bersikap samar, dalam pengertian, tidak berani mengambil sikap atau menunjukkan selera dan pendapat pribadi. Akhirnya kita mendiamkan perbuatan pasangan yang tidak kita sukai, menelannya ke dalam hati, karena kita khawatir bahwa penyataan pendapat dapat memicu konflik.

Sejak awal berelasi seyogianya kita bersikap jelas kepada pasangan. Kita mesti berani menyatakan sikap kepadanya walaupun dengan bersikap jelas, mungkin saja terjadi konflik. Namun kalaupun terjadi konflik, ini adalah konflik yang sehat. Selain dari itu dengan menyatakan sikap yang jelas, kita pun memberi kesempatan kepada pasangan untuk melihat siapakah kita—apa adanya. Makin jelas ia melihat kita, makin terbuka kemungkinan ia memilih—atau tidak memilih kita—dengan alasan yang tepat. Maksud saya, oleh karena ia dapat melihat siapakah kita apa adanya, kalaupun ia harus memutuskan hubungan, ia akan melakukannya atas dasar yang tepat, bukan atas dasar kesalahpahaman. Jadi, beranikanlah diri untuk menyatakan sikap. Tunjukkan diri apa adanya—baik itu apa yang diharapkan maupun apa yang tidak diharapkan. Lewat kejelasan ini, kita akan dapat memulai proses penyesuaian. Namun, ingat bahwa di samping jelas, kita pun mesti bersedia untuk bersikap fleksibel. Jangan bersikap kaku—apalagi egois. Dalam proses penyesuaian dituntut kesiapan kedua belah pihak untuk mengurungkan niat, untuk membatalkan tuntutan, untuk mengubah permintaan, dan untuk mengakui kesalahan. Kedewasaan dibuktikan lewat kemampuan untuk memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tanpa fleksibilitas kita tidak akan dapat membangun sebuah relasi nikah yang langgeng dan sehat.

D. Keserasian dan Kenikmatan

Keserasian adalah kesamaan minat. Memang tidak mungkin kita menemukan orang dengan kesamaan minat pada semua bidang; sudah tentu akan ada perbedaan minat. Namun bila kita mendapati bahwa pasangan kita begitu berbeda sehingga dalam hampir segala lini kehidupan, kita berbeda, besar kemungkinan pernikahan kita akan mudah rapuh. Minat sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan. Orang dengan latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan yang sama cenderung mengembangkan kesamaan minat.

Selain dari keserasian, faktor lain yang berpotensi menumbuhkan relasi adalah kenikmatan. Pernikahan baru dapat bertumbuh bila kita dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sebaliknya jika kita tidak dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan, mustahil relasi dapat bertumbuh. Apabila kita menemukan kecocokan, tidak bisa tidak, kita akan senang bersamanya. Kita akan menanti-nantikan waktu untuk bersamanya. Kita tidak sabar untuk berbagi dan bercerita; kita ingin dapat mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Inilah pertanda bahwa kenikmatan sudah menjadi bagian dari relasi.