Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Kebiasaan Berawal Dari Kecil. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sebagai orang tua tentu kita berharap atau mengupayakan agar anak- anak kita kelak dewasa menjadi orang yang berguna setidaknya punya karakter yang baik, tapi kadang-kadang banyak orang tua yang tidak tahu harus berbuat apa sehingga dianggap anak ini nanti besar dengan sendirinya dan pasti bisa belajar dengan sendirinya. Tapi sebenarnya menurut Pak Paul bagaimana mengenai hal ini ?
PG : Memang benar, sebagai orang tua ada banyak tugas yang harus kita lakukan dan salah satunya adalah kita mesti membentuk kebiasaan yang baik pada anak. Sebetulnya siapakah anak pada akhirnya ditentukan oleh sejumlah kebiasaan yang terbentuk pada masa pertumbuhannya. Jadi kita tahu bahwa kebiasaan yang tidak sehat akan menjerumuskannya menjadi seorang pribadi yang bermasalah, sedang kebiasaan yang sehat dapat membentuknya menjadi seorang pribadi yang produktif. Dalam kesempatan ini kita akan melihat beberapa kebiasaan yang seharusnya terbentuk pada diri si anak dan kita sebagai orang tua berandil didalam membentuk kebiasaan yang baik ini.
GS : Kalau disebut kebiasaan maka kita harus melakukannya atau melatihnya berulang-ulang sehingga itu yang tadinya luar biasa menjadi biasa, begitu Pak Paul ?
PG : Tepat sekali. Jadi makin sering diulang dan akhirnya anak bisa menyerapnya
maka menjadi bagian dari kepribadian dia. Misalkan contoh yang mudah, kita meminta anak untuk mandi, untuk menyikat gigi dan sebagainya, sudah tentu awalnya tidak gampang karena ini bukanlah kebiasaan bagi si anak tapi karena kita setiap hari menyuruhnya, kalau dia tidak mau kita mandikan dan sebagainya lama-lama akhirnya dia sendiri melakukannya dan terbiasa melakukannya dan ini menjadi sebuah kebiasaan. Pada akhirnya setelah dia dewasa kita berkata bahwa dia menjadi orang yang mengerti menjaga kebersihan tubuhnya dengan cara mandi dan menyikat giginya. Jadi sekali lagi kita bisa simpulkan bahwa sesungguhnya siapakah diri seseorang, sebetulnya dirinya merupakan sejumlah kebiasaan-kebiasaan. Semakin banyak kebiasaan yang baik, makin pribadi itu menjadi pribadi yang sehat dan baik tapi makin banyak kebiasaan yang buruk, makin pribadi itu menjadi sebuah pribadi yang juga buruk.
GS : Kebiasaan yang baik ini lebih baik dilakukan sedini mungkin artinya ketika anak-anak dilatih supaya menjadi terbiasa, itu lebih mudah daripada kalau nanti dia sudah dewasa.
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan. Jadi makin dini makin lebih mudah, sebaliknya makin tua, makin susah untuk si anak mengadopsi kebiasaan yang baru itu. Sudah tentu kita tidak berkata bahwa setelah kita dewasa kita berhenti belajar sehingga kita tidak bisa lagi memetik sebuah kebiasaan yang baru, sudah tentu masih bisa. Tapi kita tahu bahwa kebiasaan yang dimulai sejak kecil cenderung bertahan paling lama sedangkan kebiasaan yang dimulai belakangan cenderung bertahan lebih cepat.
GS : Kalau begitu kebiasaan apa yang harus kita latihkan untuk anak-anak kita, Pak
Paul ?
PG : Ada lima yang akan kita angkat pada kesempatan ini dan yang pertama adalah kebiasaan merawat kepunyaannya sebelum membeli yang baru. Sudah tentu kita tahu kecenderungan anak ialah membeli barang yang baru dan melupakan barang yang lama, tidak ada anak yang senang memakai barang yang lama dan tidak mau membeli barang yang baru, tapi sebaiknya sejak anak kecil kita menetapkan aturan kepada anak untuk merawat mainannya atau barang kepunyaannya sebelum kita membelikan barang yang baru untuknya. Jadi adakalanya kita harus konsekwen, kita menolak permintaannya untuk membelikan barang yang baru oleh karena ia tidak menunjukkan usaha menyayangi milik kepunyaannya, misalkan kita baru membelikan barang dan tidak sampai satu minggu tapi dia sudah buang-buang dan dia tidak pernah lagi tengok atau pegang, tidak pernah lagi bersihkan maka waktu dia meminta dibelikan barang yang baru kita bisa mengatakan, Tidak, karena kamu tidak merawat barang kamu yang lama, sekarang kamu rawat dulu yang lama dan nanti setelah kamu rawat baik-baik maka nanti saya belikan yang baru. Jadi kita biasakan dia untuk merawat kepunyaannya yang lama sebelum membeli yang baru. Dengan cara inilah kita menanamkan kebiasaan dalam diri anak untuk menghargai milik kepunyaannya dan tidak seenaknya membuang barang yang tidak diinginkannya lagi. Pak Gunawan mungkin sekarang bisa mengamati banyak anak-anak yang tidak menghargai milik kepunyaannya, buang dan beli lagi seenaknya dan ini saya kira sebuah masalah yang seharusnya bisa dikoreksi kalau saja orang tua waktu anak-anak masih kecil menerapkan prinsip ini.
GS : Banyak orang tua yang menganggap anak itu cepat bosan. Jadi mereka kebanyakan menerima saja kalau anaknya main sebentar, satu dua kali dan kemudian tidak ditengok lagi, apalagi kalau pilihannya banyak, Pak Paul.
PG : Jadi kalau saya lihat sekarang ini mentalitasnya adalah karena orang tua sibuk tidak banyak waktu untuk mengurus anak, jadi yang penting anak minta apa daripada pusing atau ribut sehingga dibelikan saja. Padahal dengan cara itu si orang tua menanamkan sebuah kebiasaan yang buruk yaitu kebiasaan tidak menghargai milik kepunyaannya, kebiasaan tidak suka langsung buang dan mau membeli yang baru lagi. Ketika anak sudah besar dia akan menunjukkan kebiasaan yang buruk itu secara lebih nyata, dan barulah orang tua menyadari
kenapa anak saya seperti ini dan tidak bisa menghargai apa yang kita sudah berikan. Dia seenaknya, hamburkan saja, dan orang tua lupa bahwa pada masa anak kecil mereka tidak menerapkan prinsip ini.
GS : Biasanya diberikan barang yang murah-murah karena orang tua menganggap ini sebentar lagi bosan, masalahnya bukan dibuang tapi tidak dipakai untuk bermain, Pak Paul.
PG : Jadi kita mau anak itu setidak-tidaknya untuk sementara bertahan dengan mainannya itu dan tidak cepat-cepat kita berkata, Ya tidak apa-apa, nanti beli yang baru bukan soal harga murah atau tidak, tapi kita mau anak kita menghargai barang kepunyaannya dan cara menghargai adalah dengan menjaganya, merawatnya, menaruhnya di tempat yang benar dan sebagainya.
GS : Itu yang bisa kita lakukan adalah menyediakan tempat tertentu untuk anak
menaruh mainannya, jadi setelah dia bermain dia harus kembalikan barang itu ke tempatnya.
PG : Betul. Jadi itu adalah salah satu cara untuk melatih anak menghargai, misalkan mainannya itu seperti mainan yang bisa dipasang untuk membangun robot, biarkan setelah dia uraikan, minta dia pasang kembali atau dia taruh di tempatnya dengan rapi lagi, itu adalah cara untuk si anak belajar merawat barang kepunyaannya, tidak sembarangan dan kepingan itu tidak dibuang ke sana dan ke sini.
GS : Anak mungkin melihat, misalkan ada pembantu dalam hal ini baby sitter atau apa, dia merasa setelah main dan ditinggal, nanti ada yang merapikan.
PG : Betul. Tidak heran saya bisa berkata bahwa akhirnya banyak anak yang setelah dewasa menjadi anak yang benar-benar tidak menghargai apa yang dimilikinya dan bersikap sangat semaunya dengan milik kepunyaannya, asal ganti dan beli lagi, karena salah satu kesalahan kita adalah menyetujui permintaan anak, membiarkan baby sitter yang memungut barang-barangnya dan nanti sudah besar sudah pasti tidak ada baby sitter, sudah pasti nanti dia akan menyuruh orang lain untuk memunguti barang-barangnya.
GS : Termasuk orang tuanya, apakah hal-hal lain lagi yang bisa dilatihkan pada anak apa, Pak Paul ?
PG : Yang berikut kita mau menanamkan kebiasaan belajar sebelum bermain. Kita harus mengerti hampir dapat dipastikan semua anak akan memilih bermain daripada belajar, bagi anak bermain adalah sesuatu yang natural sedang belajar tidak natural. Itu sebabnya kita sebagai orang tua harus mendidik anak belajar terlebih dahulu sebelum ia bisa bermain. Saya kira alasannya jelas lewat aturan ini pada akhirnya anak akan mengembangkan kebiasaan untuk bekerja sebelum bermain. Kita tahu di usia dewasa sesungguhnya kita hanya bisa bermain atau bersenang-senang setelah kita bekerja, orang yang memilih bermain sebelum bekerja pada akhirnya tidak bisa bekerja dan sudah pasti kemungkinan besar dia akan kehilangan pekerjaannya dan dia tidak melakukan tugasnya. Dia main-main, senang senang, tugasnya dia lalaikan dan akhirnya tidak bisa memertahankan pekerjaan. Jadi kita mau menanamkan kebiasaan yang baik ini sejak kecil dan sudah tentu bukan lewat bekerja karena anak itu belum usia bekerja tapi lewat belajar, tanggungjawabnya diselesaikan dulu
baru bermain, jangan terbalik bermain seenaknya dan nanti belajar sisanya. Jadi sejak kecil anak didisiplin diri, memprioritaskan tugas dan tanggung jawabnya terlebih dahulu. Bermain merupakan imbalan hadiah terhadap upayanya untuk mengerjakan tugas.
GS ; Tapi itu baru bisa kita terapkan atau laksanakan kalau anak ini sudah masuk sekolah, begitu Pak Paul ?
PG : Betul. Sudah tentu ini untuk anak usia 5 tahun ke atas.
GS : Tadi Pak Paul katakan anak itu pada dasarnya, kesukaannya adalah bermain dan dia membutuhkan bermain, di dalam bermain itu dia belajar. Bagaimana kita mengkombinasikan supaya antara belajar dan bermain ini berimbang, kalau belajar terus dia kehilangan masa kanak-kanaknya untuk bermain.
PG : Secara praktisnya saya berikan contoh anak itu misalkan sekolah dari pagi
sampai siang, sekarang kebanyakan sekolah pulang jam 3 sore berarti anak itu memang benar-benar capek belajar dari pagi sampai sore, sudah tentu yang lebih masuk akal adalah setelah dia pulang biarkan dia beristirahat. Istirahat ini bisa dilakukan dengan tidur atau lewat bermain atau yang lain-lainnya, jadi ini adalah kesempatan dia untuk menyegarkan diri karena lelah. Tapi setelah itu dia harus belajar dulu, jadi waktu jamnya belajar yang kita sudah berikan setelah dia bisa istirahat dan sebagainya, itu harus digunakan untuk belajar dan menjadi sebuah kebiasaan dimana setiap hari misalnya Senin sampai Jum'at itu adalah hari dimana anak itu belajar, kita berikan misalnya hari libur dia misalkan di hari Sabtu atau Minggunya. Tapi anak itu tahu di hari-hari ini dari jam berapa sampai jam berapa dia harus selesaikan tugas dulu, dia tidak bisa berkata kepada orang tuanya, Saya mau main dulu, nanti setelah saya main jam 9 nanti saya mau belajar tidak bisa! Sebab nanti di masa remaja dia bisa berkata di hari biasa, Saya mau pergi dengan teman-teman saya kita katakan, Tidak, ini hari sekolah dan ini hari dimana kamu tidak pergi dengan teman-temanmu, nanti di akhir pekan kamu boleh bermain dengan teman- teman kamu. Jadi kebiasaan ini yang nanti tertanam dalam diri si anak, yaitu dia harus menyelesaikan tugasnya dulu dan barulah nanti dia boleh menikmatinya.
GS : Mungkin membuat jadwal itu menolong karena anak sudah mulai bisa membaca jam dan sebagainya, jadwal itu bisa ditempel di kamarnya dan dia bisa melihat kapan dia belajar, kapan dia bermain, kapan dia melakukan sesuatu yang lain, tapi itu harus diperbaharui dari minggu ke minggu karena minggu yang satu kemungkinan berbeda dengan minggu yang lain.
PG : Itu ide yang bagus, dengan memberikan jadwal jadi anak bisa melihat juga secara jelas seminggu ini apa yang diharapkan orang tua pada dirinya. Ini menjadi sebuah kebiasaan yang baik juga pada waktu dia bekerja karena kita tahu bahwa di tempat pekerjaan betapa banyaknya kita temukan orang-orang yang pada masanya harus bekerja, dia main-main dan dia tidak melakukan tugasnya. Ini contoh dia tidak punya kebiasaan yang baik itu. Jadi sekali lagi kalau kita bisa menanamkan kebiasaan yang baik ini, ini justru akan bermanfaat untuk si anak itu kelak.
GS : Kuncinya adalah melatih supaya anak berdisiplin khususnya di dalam menggunakan waktu yang ada.
PG : Betul.
GS : Disiplin khususnya di dalam menggunakan waktu yang ada. PG : Betul.
GS : Lalu hal lain yang bisa kita kerjakan lagi apa, Pak Paul ?
PG : Hal yang ketiga yang kita mau tanamkan dalam diri anak adalah kebiasaan membaca buku sebelum menonton. Ini memang sekarang menjadi masalah yang sangat besar karena apa-apa sekarang ditonton. Saya juga mengerti ada film yang bersifat mencerahkan dan meluaskan wawasan dan pengetahuan. Sudah tentu adalah baik bagi anak menikmati film seperti ini, saya pun juga mengerti bahwa anak memerlukan waktu untuk rileks dan pada masa ini pada umumnya anak memilih untuk bermain video. Saya juga tidak melarang anak bermain video selama ini dilakukan dalam waktu yang terbatas. Jadi yang saya maksudkan adalah anak perlu dididik untuk membaca lebih daripada menonton atau bermain video, ini yang saya mau tekankan kenapa perlu mendidik anak membaca lebih daripada menonton atau bermain video sebab lewat membaca anak berkesempatan melatih fungsi kognitif atau fungsi berpikirnya, mengasah otak bukan saja untuk berkonsentrasi tapi juga untuk berinteraksi dengan bacaannya lewat berpikir, sesuatu yang tidak diperolehnya lewat menonton. Jadi kalau orang berkata, Menonton juga perlu konsentrasi tidak! Konsentrasi dalam menonton misalnya memerlukan tenaga mental lima ons tapi untuk berkonsentrasi dalam membaca diperlukan tenaga mental misalnya satu kilo, lebih berat karena membaca itu tidak ada tontonan yang menarik sehingga konsentrasi lebih susah, jadi diperlukan lebih banyak tenaga, namun hasil akhirnya adalah anak-anak yang dibiasakan membaca lebih banyak daripada menonton, akhirnya lebih terlatih dalam berkonsentrasi. Sebaliknya anak-anak yang dibiarkan seenaknya, membaca hampir tidak pernah dan bermain video games terus sangat bergantung pada stimulasi dari luar, kalau di luar rangsangannya menarik atraktif, baru dia perhatikan atau dengarkan tapi kalau rangsangannya tidak banyak tidak ada stimulasinya maka dia merasa bosan. Kadang kita orang tua tidak bisa melihat hal ini, tapi baru menyadari setelah anak besar, anak tidak bisa belajar dan sebagainya. Kenapa ? Karena anak sangat bergantung pada tontonan yang stimulan tinggi baru bisa berkonsentrasi sebab sejak kecil tidak dibiasakan membaca lebih banyak daripada menonton.
GS : Seringkali orang tua mengaitkannya dengan hobi karena anaknya jarang membaca maka dianggap bukan hobinya membaca, dan lagi kesulitan mencarikan bahan bacaan yang cocok untuk anak, ini menjadi kesulitan orang tua, Pak Paul.
PG : Betul dan memang tidak mudah menemukan buku yang cocok tapi sebetulnya pada masa anak-anak kecil mereka akan bisa membaca segala jenis buku anak-anak, karena ada gambarnya tapi ada kata-katanya juga jadi dibiasakan anak-anak itu untuk membaca bukan lewat video yang memang lebih semarak. Dengan cara itulah anak belajar untuk melatih daya konsentrasinya sekaligus
waktu dia membaca dia harus berinteraksi dengan apa yang dibacanya dan lebih ada kesempatan untuk melakukan itu karena kalau menonton tidak bisa, sebab gambarnya mudah berubah sedangkan kalau membaca dia bisa diam, dia bisa berpikir dan dia bisa menanggapi apa yang dibacanya dan sekali lagi ini adalah bagian dari mengasah otak si anak itu.
GS : Mengajak anak ke perpustakaan saya rasa juga bisa merangsang minat baca anak, Pak Paul.
PG : Setuju sekali. Waktu anak diberikan kesempatan ke perpustakaan anak itu lebih bisa tertarik dan terutama waktu orang tua bercerita sesuatu dan berkata, Ini ada di buku ini, mari kita baca sama-sama, sehingga anak juga lebih tertarik untuk membaca.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita ajarkan kepada anak untuk menumbuhkan
kebiasaan ini, Pak Paul ?
PG : Kebiasaan yang berikutnya adalah menyelesaikan sebelum memulai yang baru.
Pada umumnya kecenderungan anak adalah meninggalkan sesuatu yang
tengah dikerjakannya sewaktu ia menjumpai kesukaran dan saya kira ini adalah natural semua anak begitu. Misalnya pada awal belajar piano anak akan menyukainya karena tingkat kesukarannya masih rendah dan dentang yang ditabuh sudah dapat menghasilkan bunyi musik dalam waktu yang relatif cepat jadi dia senang. Namun begitu tingkat kesukaran bertambah, anak mulai bosan dan ingin berhenti dan mungkin dia meminta kita untuk mengizinkannya memulai instrumen musik yang lain. Sudah tentu kita harus membuka mata untuk melihat kenyataan apakah memang anak kita bertalenta atau tidak bertalenta untuk bermain musik, kenyataannya adalah tidak semua anak dan tidak semua orang berkarunia untuk bermain musik. Namun sebaiknya kita tidak membiarkan anak menyerah secepat itu, mintalah agar anak menyelesaikan satu periode terlebih dahulu supaya dia bisa tinggal diam di dalam kesukaran dan bergumul untuk menyelesaikannya, Jika anak diizinkan dengan mudah meninggalkan pekerjaannya sebelum selesai dan memulai sesuatu yang baru maka ia pun akan mengembangkan kebiasaan untuk tidak tekun, ia menjadi rapuh terlalu cepat menyerah sehingga apa pun yang dikerjakannya hanya dapat diselesaikan bila mudah, ini masalah. Akhirnya dia menjadi seseorang yang tidak dapat diandalkan sebab orang yang diandalkan adalah orang yang akan bertahan dalam kesukaran. Tapi dia tidak bisa dan begitu menghadapi hal yang susah dia ingin berhenti.
GS : Hanya mencari hal-hal yang mudah untuk dikerjakan dan waktunya singkat.
Tapi ini tidak memberikan tantangan yang besar bagi dia.
PG : Jadi kita mesti mengerti hampir setiap hal diawalnya mudah dan yang mudah itu otomatis lebih gampang untuk dikerjakan, tapi kita mau sedikit banyak memaksa anak bertahan di dalam kesukaran dan tidak cepat-cepat menyeret dia keluar dari kesukaran, supaya dia menjadi orang yang terlatih menyelesaikan tugas sampai selesai.
GS : Mungkin kita harus memberitahukan konsekuensinya kepada anak untuk memilih mengerjakan sesuatu, jadi ada hal-hal tidak enak yang bakal dihadapi.
PG : Itu baik, sedikit banyak anak mengerti kalau situasinya tidak seperti ini terus menerus. Jadi lebih mempersiapkan.
GS : Lalu bagaimana kalau kita membina suatu kebiasaan anak dalam hubungannya dengan Tuhan.
PG : Ini yang terakhir kita juga mau menanamkan kebiasaan bergantung kepada
Tuhan sebelum bergantung kepada diri sendiri. Sama seperti kita orang dewasa
anak juga memunyai problemnya sendiri ada banyak masalah namun pada
umumnya semua mengerucut pada apa yang diinginkannya tidak diperolehnya, ini masalah yang dihadapi, baik anak maupun orang dewasa. Misalnya anak merindukan seorang adik namun sampai sekarang kita belum dikaruniakan Tuhan tambahan anak atau anak ingin memunyai teman di sekolah, tapi sampai hari ini dia masih belum memunyainya, ini adalah kesempatan bagi kita orang tua untuk mengajak anak menengadah kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya. Pada usia yang lebih besar problem anak akan berubah, dia mulai menghadapi masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab baik tanggung jawab sebagai pelajar atau penanggung jawab di persekutuan dan yang lainnya. Kadang dia bertabrakan dengan masalah dan inilah kesempatan yang terbuka bagi kita untuk mendorongnya bergantung kepada Tuhan. Jadi kita mengajak anak untuk berdoa dan berharap serta melakukan apapun sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan kata lain, kita ingin anak menjadikan Amsal
3:5-6 pegangan hidupnya, Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Dengan cara ini kita
mendidik anak untuk membiasakan diri pertama-tama bergantung kepada
Tuhan sebelum bersandar kepada kemampuannya sendiri.
GS : Juga termasuk kemampuan orang tua atau kemampuan orang lain, kadang dia berkata, Tidak apa-apa nanti orang tua saya yang akan menyelesaikan atau neneknya atau kakeknya.
PG : Betul sekali. Sejak anak-anak kecil misalnya kita bisa mendidik anak untuk berdoa terlebih dahulu untuk meminta pertolongan Tuhan dan meminta juga Tuhan merestui apa yang kita akan lakukan. Lewat cara ini anak terbiasa setelah anak besar, ketika dia menghadapi masalah atau kesulitan dia ingat pertama-tama dia harus berdoa terlebih dahulu.
GS : Memang dari semua yang kita bicarakan, anak itu membutuhkan suatu
keteladanan, orang tua akan sangat sulit mengajarkan hal-hal atau kebiasaan seperti ini kalau orang tua sendiri tidak terbiasa melakukan hal-hal itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang kebiasaan-kebiasaan ini mestinya dilakukan dulu oleh orang tua, kalau kita sendiri tidak melakukannya anak-anak akan berkata, Papa Mama hanya bisa menyuruh, tapi tidak melakukannya. Jadi sekali lagi tidak ada pengaruhnya atau kekuatan ajaran itu pada diri mereka.
GS : Dan ini memang merepotkan bagi orang tua, dan sesungguhnya memang merepotkan dan cukup menguras tenaga, tapi demi masa depan anak ini suatu investasi, suatu modal yang kita bisa tanamkan supaya anak ini menjadi anak yang baik nantinya.
PG : Betul. Sudah tentu ada waktu untuk kita melakukan hal-hal ini tapi sedapat dapatnya kita melakukannya sebagai bagian hidup kita yang normal misalnya kebiasaan membaca sebelum menonton. Jadi waktu anak melihat kita senang membaca bukan saja buku, tapi kita membaca koran, majalah. Jadi ketika anak melihat orang tua gemar membaca dan gara-gara gemar membaca orang tua dapat memberikan wawasan yang luas dan ini menjadi suatu daya tarik yang besar. Waktu orang tua menyelesaikan sesuatu dan tidak terburu-buru menyerah maka anak melihat orang tua gigih dan ini menjadi sebuah pelajaran. Pada waktu dia nanti menghadapi masalah dia juga ingat papa dan mama gigih, tidak cepat menyerah sehingga dia lebih terdorong melakukan tugasnya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kebiasaan Berawal Dari Kecil . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.