Jiwa Memberi II

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T349B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Memberi adalah kata yang sederhana namun mengandung arti yang dalam, karena di dalam prakteknya orang sulit untuk menerapkan hal tersebut. Di dalam hal memberi, ada dua tipe orang di dunia ini yang pertama adalah orang yang berusaha untuk memberi dan kedua orang yang berusaha untuk tidak memberi. Kadang dengan Tuhan pun demikian, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Mengapa kita seperti itu? Berikut akan dibahas faktor apakah yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Berkaitan dengan hal memberi, sesungguhnya ada dua jenis orang di dunia ini: Ada yang berusaha untuk memberi dan ada yang berusaha untuk tidak memberi. Orang yang berusaha memberi adalah orang yang mencari kesempatan untuk memberi sedang orang yang tidak memberi, senantiasi mencari alasan untuk tidak memberi. Dengan kata lain, yang membedakan keduanya adalah, yang satu mencari kesempatan sedang yang satu mencari alasan. Kita mafhum bahwa Tuhan menghendaki kita untuk menjadi orang yang memberi namun ada sebagian kita yang terus bergumul dalam hal memberi. Tidak soal sudah seberapa lama kita mengenal Kristus, kita tetap mengalami kesukaran untuk memberi. Akhirnya kalaupun kita memberi, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Apabila pemberian Tuhan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita pun tidak segan-segan mengurangi atau bahkan menghentikan pemberian itu.

Berikut akan dibahas faktor apakah itu yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
  1. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa pun itu yang ada pada kita berasal dari pemberian-baik dari Tuhan ataupun sesama kita. Ada orang yang beranggapan bahwa apa pun itu yang ada padanya merupakan hasil keringatnya semata. Anggapan seperti ini menyulitkannya untuk memberi sebab baginya, kenapa enak betul orang menerima sesuatu darinya tanpa mengeluarkan setetes keringatpun? .
    Di dalam Alkitab ada sebuah contoh orang yang tidak memberi. Namanya adalah Nabal. Di dalam 1 Samuel 25 tercatat kisah yang melibatkan Nabal dan Daud. Di dalam pelariannya Daud dan pengikutnya berkemah dekat peternakan milik Nabal. Oleh karena kehadiran Daud, maka ternak Nabal aman dari serangan perampok, sebagaimana diakui oleh para pekerja Nabal. Suatu hari Daud memberanikan diri meminta bantuan makanan kepada Nabal. Bukannya memberi, Nabal malah menghina Daud dengan berkata, "Masakan aku mengambil rotiku, air minumku dan hewan bantaian yang kubantai bagi orang-orang pengguntingku untuk memberikannya kepada orang-orang yang aku tidak tahu dari mana mereka datang?" (25:11) Nabal tidak mau mengingat bahwa sesungguhnya ia telah menerima kebaikan Daud yaitu perlindungan atas ternaknya. Itu sebab ia pun tidak rela memberikan apa pun kepada Daud. Demikian pula kita. Bila kita beranggapan bahwa kita tidak merasa menerima apa pun baik dari Tuhan maupun sesama kita pun tidak rela memberi kepada Tuhan ataupun sesama. Jadi, untuk dapat menjadi orang yang berjiwa memberi kita harus menjadi orang yang selalu ingat bahwa kita sendiri adalah orang yang telah menerima pemberian baik dari Tuhan maupun sesama.
  2. Jiwa memberi lahir bukan saja dari kesadaran bahwa apa yang ada pada diri kita merupakan pemberian Tuhan dan sesama, kita pun rela untuk melepaskannya kembali sebab kita tidak pernah merasa berhak untuk memilikinya. Baik Daud maupun Saul sama-sama menyadari bahwa apa yang dimiliki mereka takhta kerajaan Israel adalah pemberian Tuhan semata. Bedanya adalah, Daud rela melepaskannya sedang Saul tidak. Sewaktu Daud jatuh ke dalam dosa, ia disadarkan akan ketidaklayakannya. Itu sebabnya ketika putranya Absalom berontak, Daud memilih untuk menyingkir. Ia pun menolak untuk membawa Tabut Perjanjian sebab ia tidak tahu apakah Tuhan akan membawanya kembali ke Yerusalem atau tidak. Coba simak apa yang dikatakannya kepada imam Zadok, "Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata Tuhan, maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya. Tetapi jika Ia berfirman begini, Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya." (2 Samuel 15:25-26) Singkat kata Daud pasrah dan tidak mengungkungi takhta kerajaannya. Sebaliknya, Saul tidak bersedia melepaskan takhta kerajaannya. Sudah tentu pada awalnya ia pun menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak layak untuk menerima kehormatan besar menjadi raja. Itu sebab pada saat Samuel ingin menobatkannya sebagai raja, ia malah bersembunyi. Coba dengarkan perkataan Saul yang begitu merendah dalam perjumpaannya dengan Samuel, "Bukankah aku seorang suku Benyamin, suku yang terkecil di Israel? Dan, bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin? Mengapa Bapa berkata demikian kepadaku?" (1 Samuel 9:21)
    Namun seiring dengan berjalannya waktu, Saul mengalami transformasiùbukan menuju ke arah kebaikan melainkan ke arah keburukan. Bukan makin merendah, ia malah makin meninggikan diri. Kendati ia jelas tahu bahwa Tuhan menolaknya, ia tidak rela melepaskan takhta. Namun ia tetap bertahan, sampai akhirnya Tuhan merengggut takhta itu dari tangannya secara tragis. Ia mati di tangan orang Filistin.
  3. Jiwa yang memberi lahir dari kesadaran bahwa rencana Tuhan terus bergulir dan bahwa pekerjaan Tuhan terus berjalan dan Tuhan mengundang kita untuk berbagian di dalamnya. Tuhan memakai pelbagai cara untuk menggenapi rencana-Nya, salah satunya adalah lewat partisipasi anak-anak-Nya melalui pemberian yang kita persembahkan kepada-Nya. Nah, kesadaran bahwa pemberian kita tidak terbuang cuma-cuma dan malah dipakai untuk kepentingan Tuhan, dapat memotivasi kita untuk memberi. Sewaktu Pendeta Andrew Gih memulai Seminari Alkitab Asia Tenggara, belum banyak orang yang memberi dukungan keuangan. Namun dukungan datang secara ajaib dan pada waktunya sehingga sekolah ini terus ada sampai sekarang. Pelayanan Telaga ini pun bisa ada sampai sekarang oleh karena dukungan anak-anak Tuhan yang memberi. Kadang Tuhan pun menggerakkan hati orang untuk memberi kepada kita sewaktu kita tengah membutuhkannya. Lewat partisipasi anak-anak Tuhan yang rela memberi, pekerjaan dan rencana Tuhan digenapi.
  4. Jiwa memberi lahir dari iman bahwa Tuhan akan menyediakan dengan setia. Jiwa memberi berkaitan erat dengan pertumbuhan iman. Bahkan dapat disimpulkan bahwa salah satu ukuran kematangan iman adalah jiwa memberi. Memberi berarti menyerahkan apa yang ada pada kita kepada pihak lain. Jika kita tidak mengimani bahwa Tuhan akan tetap menyediakan kebutuhan kita walau sekarang kita mempunyai kurang dari apa yang semula ada, akan sulit buat kita untuk memberi. Namun ada satu hal yang mesti kita camkan di sini. Cara Tuhan menyediakan belum tentu sama dengan apa yang kita harapkan. Seorang teman hamba Tuhan pernah bersaksi bahwa suatu ketika seusai ia bertugas di sebuah kota, ia bertemu dengan sekelompok anak-anak pengungsi yang kelaparan. Oleh karena iba, ia pun membelanjakan semua uangnya untuk membelikan makanan buat mereka. Masalahnya adalah, ia harus kembali ke rumahnya yang berada ratusan kilometer jauhnya. Ia lalu menghubungi salah seorang saudaranya untuk meminta bantuan. Sayangnya ternyata uang itu tidak cukup untuk membawanya pulang. Ia hanya bisa membeli karcis bus sampai kota tertentu. Dari kota itu sampai ke rumahnya ia harus mengompreng truk muatan. Kadang kita beranggapan bahwa oleh karena kita sudah memberi, maka Tuhan berkewajiban memenuhi kebutuhan kita secara pasùtidak boleh kurang dari apa yang telah kita berikan. Namun Tuhan tidak senantiasa melakukannya, bukan karena Ia kejam, tetapi karena Ia menginginkan agar relasi kita dan Dia bertumbuh menjadi relasi percaya dan kasih. Tuhan ingin agar relasi kita dan Dia bertumbuh menjadi relasi anak dan Bapa. Ia sayang kita dan akan menyediakan kebutuhan kita
  5. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa bukan saja apa yang ada pada kita merupakan pemberian, tetapi juga bahwa pemberian ini bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Sewaktu Tuhan memanggil Abraham, Ia menjanjikan berkat buat Abraham, namun berkat itu bukan untuk Abraham saja melainkan untuk semua kaum atau bangsa, "Aku akan . . . memberkati engkau . . . dan engkau akan menjadi berkat . . . . olehmu segala kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:2-3) Jadi, jika kita ingin mempunyai jiwa memberi, kita pun harus selalu mengingat bahwa apa yang ada pada kita sebenarnya diberikan Tuhan kepada kita untuk disebarkan kepada lebih banyak orang, dan bukan untuk kita saja. Di dalam Lukas 12:16-21 tercatat perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang kaya yang bodoh. Disebut bodoh sebab ia terus mendirikan lumbung yang lebih besar untuk menyimpan hasil tanahnya. Ia berencana untuk ômakan, minum dan bersenang-senangö setelah menimbun semua kekayaannya. Ia bodoh sebab usahanya ternyata sia-sia. Belum sempat ia menikmati hasil tanahnya, Tuhan sudah keburu mengambil jiwanya.
  6. Jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa memberi tidak mesti ditentukan oleh layak atau tidaknya orang menerima pemberian melainkan oleh kerelaan untuk memberi. Berapa seringnya kita memutuskan untuk tidak memberi oleh karena di mata kita, orang itu tidak layak untuk menerima pemberian kita. Sudah tentu kita harus bersikap bijak namun kita pun mesti berhati-hati agar kita mendasarkan keputusan untuk memberi atas kelayakan orang. Bila inilah tolok ukur yang digunakan, akan ada banyak orang yang tidak lulus uji kelayakan. Singkat kata, kita akan cepat menemukan alasan mengapa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian kita. Adakalanya kita mesti tetap memberi meski kita beranggapan bahwa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian, sebab hanya dengan cara itu kita dapat terus menyuburkan jiwa memberi
Kesimpulan

Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh kasih karunia. Ia memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apa pun dari-Nya. Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita. Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apa pun dari-Nya, apalagi pengorbanan hidup-Nya