Bila Anak tidak Menikah

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T488A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Bagi kita—dan bagi kebanyakan orang—hidup tidak menikah adalah sesuatu yang berbeda—yang tidak lazim. Itu sebab kita berharap anak kita menikah. Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan; tahun demi tahun berlalu tetapi anak tidak kunjung menikah. Apakah yang mesti kita perbuat? Berikut akan dipaparkan beberapa masukan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Seperti kebanyakan orang, kita pun mengharapkan agar anak kita menikah. Kita ingin melihat dan menggendong cucu tetapi mungkin terlebih penting dari itu, kita mau anak kita "normal"—sama dengan orang lain. Bagi kita—dan bagi kebanyakan orang—hidup tidak menikah adalah sesuatu yang berbeda—yang tidak lazim. Itu sebab kita berharap ia berkeluarga. Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan; tahun demi tahun berlalu tetapi anak tidak kunjung menikah. Apakah yang mesti kita perbuat? Berikut akan dipaparkan beberapa masukan.

  1. Kita perlu mengakui kekecewaan dan kesedihan kita. Mengapa saya mengatakan hal ini adalah karena jika kita tidak mengakui kekecewaan dan kesedihan kita, maka perasaan yang muncul adalah kemarahan. Sebagai akibatnya percakapan dengan anak mengenai soal ini akhirnya menjadi ajang pelampiasan kemarahan. Sebaliknya, bila kita mengakui bahwa kita kecewa dan sedih karena apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan, maka emosi yang keluar bukanlah kemarahan. Bila anak menanyakan apakah perasaan kita melihatnya tidak menikah, kita boleh mengatakan apa adanya, bahwa kita sedih dan kecewa. Pengakuan ini tidak membuat kita jahat; pengakuan ini membuat kita normal—manusiawi.
  2. Kita perlu becermin diri dan melihat kondisi pernikahan kita sendiri. Kita mesti bertanya, apakah kita telah menjadi contoh yang baik bagi anak. Bila pernikahan kita tidak harmonis, besar kemungkinan hal ini memengaruhi pertimbangan anak untuk tidak menikah. Mungkin anak tidak secara sadar mengaitkan keputusannya untuk tidak menikah dengan kondisi pernikahan kita, orangtuanya. Tetapi, mungkin secara tidak langsung, tuntutannya yang tinggi atau kesukarannya untuk percaya dan bergantung pada orang, merupakan tanda bahwa kondisi pernikahan kita, orangtuanya, yang tidak harmonis telah berdampak pada dirinya. Jadi, bila waktunya tepat dan selama ini hanya dilakukan sekali-sekali, silakan katakan kepada anak bahwa kita menyadari bahwa pernikahan kita tidak harmonis dan bahwa ia adalah korban ketidakharmonisan itu. Komunikasikan kepadanya bahwa kita sepenuhnya memahami bahwa ia memerlukan usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang untuk dapat membangun relasi intim dengan orang.
  3. Apabila kita melihat bahwa anak pernah beberapa kali berteman atau berpacaran, tetapi kemudian putus, kita dapat mengajaknya bicara hati ke hati dan menanyakan penyebab putusnya relasi. Katakan kepadanya bahwa kita bukanlah ahli relasi atau pernikahan tetapi kita memunyai pengalaman berelasi dan menikah. Itu sebab mungkin ada satu dua hal yang dapat kita bagikan kepadanya menyangkut hal berelasi. Jika anak terbuka, maka kita akan dapat memberinya masukan. Apabila anak tidak terbuka, sudah tentu kita tidak dapat berbuat banyak. Kita hanya dapat berdoa untuknya dan menawarkan bantuan kepadanya. Katakan kepadanya, ia boleh datang, meminta bantuan kita kapan saja. Kita tidak perlu mendesaknya terus sebab ini hanya membuatnya tambah tertutup. Besar kemungkinan ia marah dan makin menjauh dari kita.
  4. Salah satu penyebab yang paling umum mengapa anak tidak menikah adalah karena ia pernah dilukai. Ia pernah menjalin relasi tetapi putus karena perbuatan pasangannya. Mungkin pasangannya tidak setia atau mungkin pasangannya pernah melakukan hal-hal yang menyakitkan hatinya. Apa pun itu, sebagai akibatnya ia tidak lagi berani memulai relasi. Bila inilah penyebabnya mengapa ia tidak menikah, kita dapat mengkomunikasikan kepadanya bahwa kita mengerti mengapa ia belum siap untuk memulai relasi. Kita memahami bahwa ia masih memerlukan waktu untuk sembuh. Kita dapat mengatakan kepadanya bahwa tanda bahwa ia telah pulih adalah kesiapannya untuk kembali mengambil risiko dan menjalin relasi. Namun kita pun perlu menyampaikan kepadanya bahwa kesiapan ini tidak muncul seketika; kesiapan ini muncul sedikit demi sedikit tatkala kita mulai membuka diri.
  5. Adakalanya keputusan tidak menikah bukanlah keputusan yang diambilnya melainkan keputusan yang diterimanya. Dengan kata lain, sesungguhnya anak ingin menikah tetapi jodoh tidak kunjung datang. Mungkin ia telah berusaha mendekati seseorang, tetapi tidak ada orang yang menyambut perasaannya. Jika inilah yang terjadi, sesungguhnya anak tengah merana. Bila inilah penyebabnya, kita dapat memberikannya penghiburan. Kita bisa menyampaikan kepadanya bahwa kita mengerti bahwa kerinduan hatinya adalah memunyai keluarga. Katakan kepadanya bahwa mungkin ia merasa sedih dan malu, terutama sewaktu ia mendengar kabar bahwa satu per satu temannya telah menikah. Komunikasikan kepadanya bahwa kita menyayanginya dan akan mendampinginya menjalani masa yang sulit ini. Namun ingatkan bahwa masa sulit ini tidak berlangsung selamanya. Akan datang waktu di mana orang menilainya bukan berdasarkan status nikahnya melainkan atas dasar sumbangsihnya.
  6. Kadang anak memutuskan tidak menikah karena ia menganggap keputusan itu adalah keputusan yang ideal—yang paling memuliakan Allah. Masalahnya adalah belum tentu ia sanggup untuk menjalaninya; kita mesti mengingatkannya untuk hidup secara realistik. Menanggapi komentar para murid yang berkata, "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin," Tuhan Yesus berkata, "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja" (Matius 19:10-11). Singkat kata, kehidupan lajang adalah sebuah panggilan yang dilandasi atas karunia untuk hidup lajang.
  7. Kita mesti mengingatkan anak bahwa tujuan hidup bukanlah untuk menikah atau tidak menikah. Tujuan hidup adalah untuk memuliakan Tuhan. Di dalam doa imamat-Nya, Yesus berkata kepada Bapa di surga, "Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya" (Yohanes 17:4). Itulah tujuan hidup Yesus Putra Allah, dan itu pulalah tujuan hidup kita, anak-anak Allah. Kita selesaikan apa pun yang Tuhan percayakan kepada kita, sebab dengan jalan itulah kita memuliakan Allah.