Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Gunawan Santosa, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Berpikir Sebelum Berkata". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang ada kaitan yang sangat erat antara berpikir dan berkata. Kita itu kadang-kadang, saya khususnya kagum dengan orang-orang yang lancar sekali berbicaranya sehingga rasanya tidak dipikirkan; seolah tidak lewat pikiran, tetapi bisa menyenangkan pembicaraannya. Tapi juga kadang-kadang menjumpai orang-orang yang asal berbicara, lalu kita berkesimpulan "Ini tidak dipikir dulu atau bagaimana?". Jadi sebenarnya bagaimana Pak Paul, kalau dikatakan berpikir sebelum berkata itu bagaimana?
PG : Jadi semuanya ini dalam rangka bagaimana belajar berhikmat. Salah satu langkahnya adalah, kita mesti lebih banyak berpikir sebelum berbicara atau berkata-kata karena pada akhirnya orang yang lebih cepat berkata-kata dan lambat berpikir itu adalah orang-orang yang tidak berhikmat, jadi kita memang mau belajar bagaimana kita berhikmat. Kita mau kembali lagi kepada gambar yang lebih utuhnya supaya kita lebih mengerti, mengapa penting untuk kita berhikmat. Tuhan Yesus tidak meninggalkan kita sendirian. Selain meninggalkan Roh-Nya yang kudus, yang memberi kekuatan dan menuntun kita di jalan-Nya yang benar, Ia pun meninggalkan firman yang memberi kita hikmat untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Kita tahu Pak Gunawan banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat. Itu sebab kita perlu menimba-nimba mutiara yang Tuhan sudah sediakan untuk kita ini. Jadi yang kita mau sekarang fokus adalah kita mesti belajar berdisiplin diri, berpikir, menahan lidah kita sebelum berkata-kata. Nah, mengapa? Sebab hampir kita lihat ada efek atau akibat jika kita ini lebih cepat berbicara sebelum berpikir.
GS : Iya. Pak Paul tadi menyinggung tentang hikmat. Sebenarnya apa itu pengertian hikmat? Kepandaian atau keterampilan tertentu atau bagaimana Pak Paul?
PG : Kita memang membedakan hikmat dengan kecerdasan. Orang yang berhikmat adalah orang yang bisa menerapkan apa yang sudah diperolehnya dalam hidup ini untuk nantinya menyelesaikan masalah. Orang yang tidak berhikmat adalah orang yang tidak pernah belajar dari apa yang dialami dalam hidup atau apa yang telah dia ketahui dan tidak bisa menerapkannya di dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Jadi tidak mesti orang yang cerdas itu adalah orang yang berhikmat.
GS : Iya. Tadi Pak Paul katakan firman Tuhan itu memberi kita hikmat. Berarti untuk memperoleh hikmat itu sendiri kita harus belajar atau menggali dari firman Tuhan atau Alkitab itu Pak Paul?
PG : Betul. Jadi prinsip-prinsip yang nanti kita petik dari firman Tuhan itu sebetulnya adalah bekal atau mutiara yang Tuhan tinggalkan untuk kita, supaya kita dapat menggunakannya menghadapai masalah dalam hidup kita.
GS : Apa sebenarnya yang bisa timbul kalau kita itu seringkali berbicara sebelum berpikir dengan masak-masak Pak Paul?
PG : Sekurang-kurangnya ada dua, yang pertama kita melukai hati orang. Pada umumnya ucapan yang tidak dipikirkan dengan masak akan mencederai hati orang, misalnya mungkin kita menuduh orang tanpa bukti akhirnya orang terluka atau mungkin kita mengeluarkan kata-kata yang menghina orang. Atau mungkin kita membuat orang merasa tidak dimengerti oleh karena kesimpulan yang kita ambil secara sembarangan. Jadi kita ini akhirnya melukai hati orang, karena apa? Karena kita tidak berpikir sebelum kita berkata-kata.
GS : Ada orang yang mengatakan, merasa "Saya bukan begitu" setelah ada orang yang terlukai hatinya. Jadi artinya dia mengatakan itu tanpa dia sengaja. Sebenarnya tanpa disengaja, atau tanpa dipikir Pak Paul?
PG : Memang ada salahanya kita mengeluarkan kata-kata yang melukai hati orang karena kita itu tidak sengaja, bisa saja terjadi. Tapi yang saya kira juga sering terjadi adalah karena kita memang kurang memikirkan bahwa perkataan kita ini akan dapat melukai hati orang.
GS : Dan ada orang-orang tertentu memang sengaja. Jadi sudah dipikirkan masak-masak, dia sengaja mengeluarkan kata-kata yang tajam sekali. Seperti fitnah begitu misalnya, menjelekkan orang. Itu sudah dipikir masak-masak sebenarnya Pak Paul?
PG : Betul. Ada orang yang memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang tajam untuk melukai hati orang lain.
GS : Iya. Lalu yang kedua apa Pak Paul?
PG : Kedua, akibat yang timbul tatkala kita terlanjur bicara sebelum berpikir dengan masak adalah kita menimbulkan masalah baru atau memperparah masalah. Mungkin sebagai contoh, kita menebarkan berita baru yang tidak tepat sehingga akhirnya berita baru itu justru menciptakan masalah baru. Atau gara-gara omongan kita maka orang bertambah sakit hati kepada yang lain dan makin tidak bersedia berdamai. Ini cukup sering saya lihat orang-orang yang tidak bijaksana sehingga membicarakan sesuatu, menyampaikan sesuatu seharusnya tidak sampaikan, yang dia dengar dari orang lain. Mungkin saja dia itu maksudnya baik atau apa, tapi tidak bijaksana, karena orang yang mendengar itu akhirnya sakit hati atau marah terhadap pihak yang membicarakan dia atau menyerang dia. Akhirnya masalah tambah meruncing. Jadi kita memang mesti hati-hati. Jangan sampai gara-gara tidak berpikir sebelum kita berkata-kata kita menciptakan masalah baru atau malah memperparah masalah yang sudah ada.
GS : Iya. Ini sekarang marak dengan adanya media sosial itu, lalu ada yang namanya HOAX, ada yang ujar kebencian karena itu mudah sekali berita-berita bohong ini disebarluaskan, Pak Paul dan menimbulkan masalah-masalah baru.
PG : Dan iya memang banyak orang yang sangat mudah sekali terpengaruh yang tidak mau mengecek dulu kebenaran beritanya, pokonya sudah langsung percaya. Akhirnya masalah-masala itu bukannya berkurang, malah bertambah.
GS : Dengan kita ikut menyebarkan, walaupun sumbernya bukan dari kita, tapi dengan kita ikut menyebarkan itu sebenarnya kita ambil bagian atau punya andil disana.
PG : Iya. Makanya kita mau terapkan prinsip ini, kita mesti berpikir terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Dalam hal ini sepertinya cocok. Kita juga harus berpikir dulu sebelum kita menyebarkan berita yang kita terima.
GS : Nah Pak Paul, seandainya kita tahu ada di hadapan kita bahwa orang yang terkena dampak dari berita bohong atau ujaran-ujaran kebencian, lalu bagaimana kit? Sikap kita?
PG : Kita memang harus terlibat untuk mengklarifikasi, memperjernih nama orang tersebut. Kalau memang kita tahu itu tidak benar. Kita mesti memang menjelaskan supaya orang itu tidak terus-menerus berpikir buruk tentang orang tersebut. Nah, memang saya sebagai hamba Tuhan, saya akan lebih peka dengan hal-hal seperti ini karena mungkin Pak Gunawan juga tahu, kami-kami ini hamba Tuhan akan lebih mudah untuk dibicarakan oleh orang. Jadi saya juga sudah melihat betapa besarnya, dampak dari orang berkata sembarangan tanpa berpikir panjang.
GS : Iya. Jadi semua, hampir semua publik figur biasanya menjadi sasaran tembak dari orang-orang seperti ini Pak Paul?
PG : Jadi memang kalau kita memang tahu, kita mesti menjelaskan kalau perlu minta maaf, ya tentu kita meminta maaf. Kalau saja semua orang seperti itu Pak Gunawan, maka masalah tidak menyebar dengan cepat karena orang begitu sadar dia salah. Langsung dia berhenti, dia meminta maaf. Sayangnya yang lebih seringnya kita lakukan, bukanlah menjelaskan atau meminta maaf. Sebaliknya kita malah membela diri atau membenarkan ucapan yang kita keluarkan. Hasilnya adalah masalah menjadi berkepanjangan. Kita ini orang yang tidak gampang meminta maaf Pak Gunawan. Padahal kita mengaku, kita bicara tidak tepat, informasinya keliru, kita malah membela diri kita kenapa kita berkata begitu walaupun sudah jelas-jelas buktinya adalah bahwa kita keliru.
GS : Tadi di awal perbincangan kita katakan bahwa ini membutuhkan hikmat yang dari Tuhan yaitu dari firman Tuhan sendiri. Apakah ada tuntunan firman Tuhan dalam hal ini?
PG : Ada Pak Gunawan. Dari Amsal 10:19 "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran. Tetapi siapa menahan bibirnya berakal budi". Lewat perkataan kita bisa membangun orang tapi lewat perkataan juga kita dapat menghancurkan orang. Jadi kita mesti hati-hati dalam berkata-kata. Tapi sebaliknya kalau kita berhati-hati justru kita lebih bisa nantinya membangun orang, tidak menghancurkan orang. Firman Tuhan yang lain yang bisa saya kutip juga adalah Amsal 12:18 "Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan". Kita jadi mesti ingat, hati-hati mulut kita lidah kita itu jangan sampai seperti pedang yang menikam orang tapi bijaksanalah dalam berkata-kata sebab firman Tuhan berkata "Lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan". Kita ini sudah tahu hal ini tadi memang kita tidak selalu melakukannya Pak Gunawan.
GS: Iya. Sebenarnya ada memang banyak ayat yang di dalam Alkitab itu karena itu kita mesti mempelajari dengan sungguh-sungguh, khususnya didalam berbicara ini. Kalau kita sudah tahu tapi kita tidak melakukan, apa sebabnya Pak Paul?
PG : Penyebab pertama adalah karena itu merupakan watak kita Pak Gunawan. Jadi ada memang di antara kita yang gemar berbicara, itu ialah watak kita. Dan untuk dapat berbicara kita akan membutuhkan bahan; bahan pembicaraan. Guna mempunyai bahan pembicaraan kita pun cepat mengeluarkan perkataan walaupun kita tidak sempat mengecek kebenarannya. Apalagi mempertimbangkan akibat buruknya. Jadi saya jelaskan, karena kita gemar berbicara kita memerlukan bahan-bahan. Jadi akhirnya bahan harus keluar dari mulut kita. Kita gampang saja berbicara, karena kita memang senang berbicara, dan dengan kita berbicara kita akan mendapat tanggapan dari orang lalu kita senang. Maka kalau sudah tidak ada bahan kita memang harus cari-cari bahan lainnya, bahan-bahan yang tidak kita cek kebenarannya, kita bicarakan semuanya. Akhirnya jadinya menimbulkan masalah besar.
GS : Ada banyak kasus dimana orang memang mempunyai watak suka berbicara ini. Pekerjaannya justru pekerjaan yang banyak menuntut untuk bicara, Pak Paul. Entah jadi guru, entah jadi pendeta, entah jadi pengacara, pokoknya yang banyak menuntut dia bicara banyak. Ini bagaimana Pak Paul? Kalau Wataknya itu agak kurang baik begitu Pak Paul? ‘Kan tadinya sudah betul bicaranya tapi ditengah-tengah pembicaraan lalu di tambah-tambahi yang tidak karuan yang tidak membangun tapi malah merusak?
PG : Iya. Jadi kalau kita sadari kita memang mempunyai watak yang suka berbicara, kita harus kebih berhati-hati Pak Gunawan. Karena kita itu cenderung memungut bahan apa saja, supaya ada pembicaraan; yang penting itu sebabnya tujuan kita adalah supaya kita ada pembicaraan. Nah, kita memang harus menyadari tujuannya bicara itu sebetulnya bukan hanya untuk bicara. Tujuan bicara itu untuk menyampaikan berita atau informasi atau berbagi pemikiran atau isi hati, itu yang menjadi tujuannya bicara. Jadi bicara itu tujuannya bukan hanya untuk bicara, tidak! Ada orang yang memang tujuannya bicara hanya untuk berbicara karena dia senang sekali berbicara. Kalau kita sadari watak kita adalah seperti itu, kita harus lebih berhati-hati.
GS : Kalau Pak Paul katakan, ini watak. Artinya itu sudah terbentuk sejak dia kecil begitu Pak Paul. Sudah kelihatan bahwa memang ini suka berbicara begitu.
PG : Iya, ada orang yang memang wataknya senang sekali berbicara. Jadi tidak pernah berhenti berbicara, terus berbicara.
GS : Iya. Dan, minta maaf pada yang wanita. Biasanya katanya wanita itu kata-katanya lebih banyak daripada kaum pria.
PG : Iya memang, pada umumnya begitu. Walaupun ada juga laki-laki yang senang sekali berbicara.
GS : Intinya kembali lagi, boleh saja banyak bicara tetapi dengan hikmat yang dari Tuhan itu khususnya.
PG : Betul.
GS : Lalu hal lain apa penyebabnya?
PG : Yang kedua adalah, kenapa kita terus begitu ya berbicara tanpa berpikir. Karena itu merupakan isi hati kita, dengan kata lain kita memang tidak suka atau jengkel dengan orang tersebut. Begitu kita mendengar berita tentang dirinya yang tidak baik, kita langsung menangkapnya dan mengeksploitasinya. Memang sebenarnya kita tidak mempunyai rencana untuk mengatakan hal yang buruk tentang orang itu. Tapi begitu namanya muncul, sudah! Kita tidak kuasa menahan diri, langsung saja kita menimbrung, berkata, yang tidak kita tahu dengan pasti kita bicarakan. Karena sudah ada keganjalan dalam hati kita. Jadi kalau kita ada keganjalan hati, dengar pembicaraan yang menyangkut orang yang mengganjal hati kita, kita mesti hati-hati. Sebab kecenderungannya adalah kita akan nanti menambahkan.
GS : Kalau dikatakan ‘keluar dari hati’, sebenarnya itu ‘kan melalui proses pikiran juga Pak Paul?
PG : Artinya yang saya maksud dengan hati adalah, sudah disimpan. Sudah memang rasakan. Mungkin tidak mengeluarkannya, tapi itu tidak pernah hilang, dia jengkel dengan seseorang. Tentu ini melibatkan kedua-duanya perasaan dan juga pikirannya.
GS : Iya. Sehingga ada orang yang memang mengatakan bahwa kata-kata itu selama masih belum kita keluarkan itu kita masih bisa kontrol. Tapi begitu dikeluarkan dari mulut kita, kita yang dikontrol oleh kata-kata itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kata-kata yang kita keluarkan, yang kita tahu tidak benar pun akhirnya mengontrol kita; dalam pengertian kita terpaksa membelanya membenarkannya. Begitu, daripada mengakui bahwa kita telah salah.
GS : Karena kita sudah tidak mungkin bisa lagi mengatur apa yang sudah kita katakan itu sudah keluar, begitu Pak Paul?
PG : Iya. Jadi memang harus hati-hati. Tadi yang kita sudah ingatkan .....
GS : Sering keluar dulu baru kita itu menyesal.
PG : Iya seringkali begitu.
GS : Hal yang ketiga apa Pak Paul?
PG : Karena itu adalah kebutuhan kita Pak Gunawan. Mungkin kita membuka mulut terlalu cepat dan mudah, sebab kita butuh pengakuan bahwa kita ini tahu banyak. Makanya kita ini berbicara. Atau mungkin kita butuh penghargaan bahwa kita peduli dengannya, jadi gara-gara kita butuh dinilai penting atau dinilai baik hati oleh orang, akhirnya kita sukar menjaga lidah. Jadi ada orang-orang yang memang akhirnya berbicara terus dan salah berbicara. Kenapa? Sebab orang itu mempunyai kebutuhan, biasanya dua hal; yaitu kebutuhan akan pengakuan dan juga akan penghargaan. Jadi kita mesti juga menjaga. Jadi ketika kita tahu kita butuh pengakuan dan penghargaan, jangan sampai kata-kata kita keluar tanpa dipikirkan.
GS : Iya kebutuhan itu sebenarnya kebutuhan apa Pak Paul? Akan pengakuan itu sendiri atau kebutuhan yang lainnya?
PG : Biasanya memang akan pengakuan dan penghargaan Pak Gunawan. Kita waktu berbicara, orang ketika melihat kita sepertinya kita tahu banyak, lalu kita mendapatkan pengakuan. Atau kita bicara kebanyakan, misalnya kita ini memberitahu orang "Eh, kamu hati-hati dengan si A, si A ini orangnya begini begini... Kamu juga harus hati-hati!"; karena kita itu mau dilihat oleh dia sebagai orang yang baik, yang sayang, yang mempedulikan dia maka kita menyampaikan pembicaraan-pembicaraan seperti itu. Yang sebetulnya tidak semestinya kita tidak katakan. Akhirnya orang itu juga menjadi tahu banyak orang lain yang tidak suka dengan dia. Dia mungkin juga tambah marah dengan orang itu dan sebagainya. Jadi, hati-hati dengan kebutuhan mau dilihat orang baik atau peduli.
GS : Tapi kalau dia tidak memperoleh tanggapan dari kebutuhan itu, artinya kebutuhannya tidak terpenuhi Pak Paul. Itu akan membuat dia semakin banyak berbicara atau semakin membuat dia tidak mau bicara lagi?
PG : Biasanya kalau itu merupakan kebutuhan orang itu tidak akan berhenti Pak Gunawan. Dia akan gunakan kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan pengakuan itu dengan cara berbicara terus menerus, berbicara terus. Walaupun orang sebetulnya sudah tidak menghargai tidak mau dengar dia berbicara, tapi justru semakin dilihat orang tidak semakin menghargai semakin dia suka berbicara walaupun tidak diundang atau ditanya.
GS : Iya. Mungkin masih ada penyebab yang lain Pak Paul?
PG : Yang keempat yaitu karena itu adalah cara untuk mengurangi stres dalam hidup kita. Jadi adakalanya kita bicara tanpa berpikir panjang karena kita sedang mengalami tekanan hidup yang berat. Walaupun bahan yang kita bicarakan tidak berhubungan dengan stres yang kita alami, namun membicarakannya sedikit banyak memberi kita kelegaan. Jadi ada orang dalam kondisi tertekan, hidupnya tidak bahagia; maunya berbicara terus. Bahayanya, tidak dipikirkan pembicaraannya. Sebab berbicara itu adalah cara dia untuk meredakan tekanan hidup.
GS : Tapi tidak akan menyelesaikan permasalahan dia sendiri untuk mengurangi stresnya Pak Paul?
PG : Tapi memang harus kita akui, dengan dia banyak berbicara sedikit banyak tekanan itu berkurang. Tapi masalahnya harganya mahal yaitu pembicaraan-pembicaraannya tidak tepat, malah bisa melukai orang, atau memfitnah orang. Itu yang harus kita jaga.
GS : Itu bisa menimbulkan dia mungkin agak berkurang stresnya setelah selesai dia berbicara. Tapi orang lain yang dibuat stres karena bicaranya.
PG : Jadi memang harus hati-hati Pak Gunawan.
GS : Makanya orang-orang yang seperti ini dihindari Pak Paul; "Daripada saya mendengarkan dia lalu saya stres, buat apa. Stresmu sendiri selesaikan!". Kecuali dia mau mencurahkan isi hatinya, atau apa, minta pertolongan itu lain. Tapi kalau perkataanya menimbulkan kita sendiri stres, buat apa mendengarkan perkataan seperti itu..
PG : Iya. Jadi ya kita mau mengerti mengapa terus saja berbicara tanpa berpikir panjang. Karena memang ada pelbagai penyebabnya. Kalau kita sadari, kita mempunyai salah satu dari penyebab ini kita mesti berjaga-jaga.
GS : Tapi orang-orang seperti itu lalu mengemukakan keluhannya, mengatakan "Tidak ada orang yang mau mengerti saya!". Ini repot jadinya, Pak Paul.
PG : Iya, jadi iya seringkali karena dia merasa orang tidak mengerti dia bukannya dia akan tambah diam dia akan tambah banyak bicara, karena dia berusaha membuat orang mengertinya.
GS : Iya. Pak Paul tadi sudah mengutip dari kitab Amsal mengenai hal itu, apakah di Perjanjian Baru juga ada ayat firman Tuhan?
PG : Ada Pak Gunawan. Iya ini memang berkaitan dengan penguasaan lidah, yaitu di Yakobus 3:2 "barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya". Nah, disini kita bisa lihat Pak Gunawan betapa tidak mudahnya menguasai lidah. Begitu sulitnya sehingga firman Tuhan menyamakan orang yang sanggup menguasai lidah sebagai orang yang sempurna. Kita tahu betapa tidak mudahnya, maka begitu kita bisa menguasai lidah kita, Alkitab berkata "orang ini orang yang sempurna". Oleh sebab itu kita terus mau menimba hikmat dari firman Tuhan agar kita dapat hidup dengan lebih berhikmat.
GS : Iya. Padahal tidak ada orang yang sempurna di dunia ini, Pak Paul. Artinya semua orang pernah berdosa karena lidahnya.
PG : Memang jadinya Alkitab mau mengakui betapa susahnya menjaga mulut kita ini. Kalau kita pikir-pikir memang seperti itu kenyataannya. Berapa seringnya kita ini berdosa karena mencuri, sedikit. Ada orang yang memang berprofesi sebagai pencuri, tapi kebanyakan orang ‘kan tidak. Jadi seberapa seringnya orang berdosa karena mencuri? Tidak banyak. Seberapa seringnya orang berdosa karena merampok misalnya? Tidak banyak. Seberapa seringnya orang berdosa karena berzinah? Tidak banyak jarang-jarang. Tapi seberapa seringnya kita berdosa lewat lidah kita? Sangat banyak.
GS : Hampir tiap hari kita melakukan itu Pak Paul!
PG : Betul, betul.
GS : Nah Pak Paul, saran apa yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Jadi ada beberapa yang ingin saya sampaikan sebagai saran praktis. Langkah pertama yang mesti kita ambil adalah memahami mengapa kita sering berkata-kata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tadi saya sudah paparkan beberapa, coba kita ingat-ingat kira-kira mengapa kita kok senang sekali berbicara tanpa berpikir. Kedua, kita pun mesti mempertimbangkan dampak perkataan kita kepada orang lain. Jadi jangan hanya berbicara karena kita hanya mau berbicara. Kita mesti pikirkan apa nanti akibatnya pada orang. Ketiga, mesti kita ini mengingatkan diri untuk tidak mengeluarkan perkataan yang nantinya kita sesalkan. Jadi sebelum kita berkata kita pikirkan dulu, kira-kira nantinya kita sesalkan tidak. Kalau kita akan menyesal, sudah jangan katakan. Yang terakhir, biasakan diri untuk meminta maaf bila kita telah berkata salah. Jangan justru makin membela perkataan kita yang sudah salah itu. Tidak! Biasakan diri untuk berkata "Maaf saya salah", sudah beres.
GS : Iya. Pak Paul, apakah ada semacam pedoman supaya kita itu bisa menyadari "saya ini sudah terlalu banyak berbicara", ada tidak Pak Paul?
PG : Biasanya sih kalau kita peka melihat reaksi orang, kita bisa tahu. Nah biasanya kalau kita memiliki pasangan hidup dan pasangan hidup kita itu orangnya terbuka, seharusnya itu kita sudah dengar dari pasangan kita kalau kita berbicara terlalu banyak. Masalahnya adalah kita tidak begitu mau mendengarkan pasangan hidup kita. Tapi kalau kita bisa mendengarkan pasangan hidup kita, itu pertanda, itu adalah tanda ‘awas’ buat kita. Berarti kita kebanyakan berbicara, maka kita harus hati-hati.
GS : Kalau di masyarakat Pak Paul?
PG : Biasanya kalau kita dalam konteks dengan orang lain di masyarakat kita bisa tahu apabila kita berbicara banyak, ketika orang tidak begitu mudah percaya lagi dengan kita. Kita itu jadinya lebih gampang tidak digubris. Makin orang makin menggubri perkataan kita, mendengarkan baik sewaktu kita berbicara makin itu pertanda bahwa kita adalah orang yang berhikmat. Kita bicara itu setelah kita pikirkan matang-matang. Tapi sekali lagi kalau orang misalnya itu gampang sekali mengabaikan, tidak menggubris yang kita bicarakan besar kemungkinan karena memang mereka menilai kita itu berbicara tanpa berpikir.
GS : Karena seringkali kita bicara dengan cukup banyak diharapkan orang akan mengatakan kita itu ramah. Kita itu mudah bergaul. Tapi sebenarnya ini terlalu banyak kita itu berbicara.
PG : Dan contoh yang lain atau tanda yang lain, ialah kalau orang memang menghindar. Jadi kalau ketemu kita dia itu tidak lama lalu mau pergi dan dia itu kelihatan sekali tidak menikmati bicara dengan kita. Itu pertanda bahwa kita memang bicara terlalu banyak.
GS : Karena begitu kita terlibat pembicaraan dengan orang seperti itu, mau memutuskan itu ‘setengah mati’, sulit sekali mencari celah supaya kita itu bisa memotong pembicaraan dan kita lari dari dia. Jadi lebih baik dari awal sudah menghindar saja, begitu Pak Paul?
PG : Betul, betul. Jadi kalau kita melihat orang menghindar dari kita, besar kemungkinan karena tidak mau mendengarkan kita berbicara.
GS : Tapi mungkin yang paling sulit itu mendeteksi apakah ini karena watak kita, atau pikiran kita, atau karena kebutuhan kita, atau mungkin kita ini sedang stres begitu Pak Paul. Untuk mendeteksinya ini mana, atau gabungan dari semua itu? Iya sudah memang watak kita, memang itu kebutuhan kita dan memang kita juga stres. Lalu kita bicaranya terlalu banyak itu.
Pak Paul banyak terima kasih untuk perbincangan ini. Mungkin perbincangan ini perlu kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berpikir Sebelum Berkata". Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut melalui acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengeunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.