Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Belajar dari Pengkhotbah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, ada banyak hal yang menarik dari buku Pengkhotbah tapi seseorang juga pernah berkata bahwa buku itu penuh dengan kata sia-sia, seolah-olah hidup itu sesuatu yang pesimis. Dan ini sebetulnya apa, Pak Paul?
PG : Saya bisa mengerti kalau orang mempunyai perasaan seperti itu terhadap kitab Pengkhotbah, apalagi jika disandingkan dengan kitab Amsal. Yang sebelumnya kitab Amsal seolah-olah penuh denganharapan, semangat, optimisme tapi penulis ini yang adalah Salomo berubahnya 180 derajat dari orang yang penuh pengharapan, optimis menjadi pesimis seolah-olah putus asa dalam kitab Pengkhotbah.
Maka ada sebagian orang yang berkata bahwa kitab Pengkhotbah bukan ditulis oleh Raja Salomo, itu salah. Sebetulnya kita tahu bahwa ini adalah buah karangannya makanya dia berkata di awal kitab itu ia adalah putra Daud. Apa yang terjadi? Kita bisa simpulkan kitab Amsal ditulis oleh Salomo muda sedangkan kitab Pengkhotbah ditulis oleh Salomo yang tua, diusia tuanya Salomo akhirnya menemukan bahwa hidup tidaklah seindah dan sebermakna yang dia bayangkan. Dia dulu berpikir dengan menemukan hikmat demi hikmat maka dia akan menjumpai dan mengalami sebuah hidup yang sangat bermakna, sudah tentu dengan adanya hikmat kita akan lebih dapat menjalani hidup dengan baik, dengan takut akan Tuhan sebagai permulaan hikmat kita pun juga akan menjalani hidup yang menyenangkan hati Tuhan. Tapi akhirnya Salomo di hari tuanya berpapasan dengan realitas kehidupan, bahwa ternyata hidup itu tidaklah sebermakna dan seindah yang dia dulu pikirkan. Bahwa pada akhirnya dia melihat begitu terbatasnya, dan yang terpenting ialah begitu tidak sempurnanya hidup. Dan inilah yang memang terjadi dalam hidup, Pak Gunawan, sejak manusia membawa masuk dosa ke dalam kehidupan ini maka hidup menjadi jauh dari sempurna. Segala sesuatu yang kita agungkan tentang hidup ini yang membawa kebahagiaan dalam hidup kita, pada akhirnya kita baru sadari, kenapa tidak seindah yang saya dulu pikirkan.
GS : Mungkin itu yang rasul Paulus katakan, "Yang dulu menjadi kebanggaannya" tapi pada saat dia menyelang usia lebih lanjut dia katakan "Itu ternyata sampah."
PG : Betul sekali. Jadi Paulus membandingkan semua yang telah diperolehnya dengan sekarang yang diperolehnya dari Tuhan yaitu keselamatan, kesempatan boleh mengenal Tuhan Yesus menjadi anakNya,menikmati persekutuan dengan Tuhan.
Ternyata bagi Paulus hal itu jauh lebih bermakna dari pada apa pun yang pernah dicicipnya dari dunia ini atau dari hidup ini.
GS : Tapi sebaliknya pada usia yang lanjut kita juga melihat ada beberapa yang hilang dari kehidupan kita itu, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi seolah-olah ini yang kita mesti terima sebagai fakta kehidupan yaitu pada waktu kita lahir, kita datang tidak membawa apa-apa kemudian kita mulai memiliki msalkan kita memiliki baju, mainan kemudian kita memiliki ilmu lewat sekolah, kita memiliki teman kemudian kita memiliki sahabat dan dari sahabat kita memiliki istri atau suami dan kita juga memiliki kesehatan, kita makin sehat dan makin sehat.
Sewaktu kecil lebih sering sakit tapi setelah remaja makin sehat dan makin sehat dan kalau kita menjadi anak Tuhan, kita nanti akan diberikan kepercayaan untuk melayani Tuhan terlibat dalam pelayanan, memiliki kesempatan melayani Tuhan. Semua itu adalah hal-hal yang makin hari makin kita miliki, tapi fakta berikut yang kita mesti sadari adalah sampai titik tertentu sebetulnya kita akan mulai berhenti memiliki, kita tidak akan menambah yang kita miliki itu. Justru sebaliknya kita mulai akan kehilangan yang kita miliki itu dengan misalkan bertambahnya usia mencapai paro-baya. Misalkan kita akan melepaskan anak, tidak lagi bersama kita. Kadang mereka membentuk keluarga sendiri dan terus perlahan-lahan karena kita juga makin terbatas, kita tidak lagi memiliki kesempatan sebanyak dulu untuk pergi kesana-kesini, melakukan ini dan itu, kita juga tidak lagi mempunyai kesempatan pelayanan yang sebebas dulu pula. Kita akhirnya makin sakit-sakitan, kita akhirnya juga kehilangan kebebasan karena sakit-sakitan itu. Dan sampai usia tertentu, kalau bukan kita maka pasangan kita dulu dipanggil Tuhan. Berarti kita akan kehilangan belahan hidup kita, kita akan sendirian dalam melewati fase itu dan dalam tubuh itu, kita sangat-sangat tidak terima lagi. Jadi di puncak kita sendiri; tidak ada pasangan, di saat itu jugalah kita berada di titik terbawah dalam kondisi kesehatan kita. Jadi kesendirian dan kesakitan itu akhirnya menjadi porsi hidup kita diakhir hidup ini.
GS : Dan seringkali orang berusaha untuk mempertahankan apa yang dia miliki, mungkin seperti harta masih bisa dipertahankan, tapi kesehatan atau pasangan hidup atau anak-anak adalah sesuatu yang tidak bisa dipertahankan.
PG : Betul sekali. Saya belum lama ini berbicara dengan seseorang yang memang diberkati Tuhan secara materi, dia berkata "Dulu waktu saya kecil (Memang dulu hidupnya susah) saya susah makan karna memang tidak punya uang, sekarang saya tetap susah makan karena sudah sakit-sakitan."
Uang ada, bisa beli tapi tetap susah makan. Itulah ironinya hidup dan itulah ketidak sempurnaan hidup, Pak Gunawan. Jadi pada usia-usia lanjut, kesehatan kita menurun. Uang mungkin masih ada tapi dengan uang itu kita tidak lagi bisa menikmati hidup, kita tidak bisa lagi memiliki yang sebetulnya kita miliki.
GS : Di dalam kehidupan Salomo, sebenarnya kita bisa berkata "Apa yang kurang di dalam dirinya" tetapi pada masa tuanya dia berkata "Memang semua itu betul-betul sia-sia".
PG : Betul sekali, pada akhirnya kita juga menerima fakta bahwa kesukacitaan atau kebahagiaan kita yang terkait yang disumbangsihkan oleh kepunyaan-kepunyaan kita itu baik ilmu, baik teman, bai istri atau suami, baik kedudukan dan sebagainya.
Waktu mulai diambil pergi dari diri kita, tidak bisa tidak kebahagiaan pun akan mulai merosot. Waktu anak-anak meninggalkan rumah dan kita tinggal berdua, sudah tentu kita tidak seperti sewaktu ada anak-anak. Waktu nanti kita sering sakit-sakitan; kita juga tidak akan sebahagia waktu kita masih sehat; waktu nanti kita kehilangan pasangan, kita tidak akan sebahagia waktu kita masih bisa berduaan dengan pasangan. jadi kita harus menerima fakta bahwa sampai titik tertentu kita tidak akan bisa lagi mencicipi kebahagiaan seperti sediakala dan kita harus mulai melepaskan, kita harus menerima fakta bahwa yang membuat kita bahagia makin hari makin sedikit dan makin kurang.
GS : Yang masih bisa dipertahankan mungkin kenangan Pak Paul, kenangan akan masa-masa itu. Dan dalam hal ini Pak Paul, kenangan ini menjadi sesuatu yang bisa memotivasi dia untuk tetap bertahan hidup atau malah menyakitkan karena mengenang itu, padahal sekarang sudah tidak ada lagi. Dan itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Kenangan memang bisa menguatkan kita, menghargai apa yang telah kita terima dari Tuhan, masa-masa yang memang penuh dengan moment yang manis itu tapi disaat yang sama kita juga akan merasasedih.
Jadi kenangan itu seperti pedang bermata dua, ada dua efeknya. Efek senang, efek bersyukur tapi efek sedih kenapa tidak lagi mempunyainya, kenapa tidak bisa lagi mencicipinya, kenapa tidak bisa lagi melakukannya bersama-sama dengan orang-orang yang kita kasihi ini. Jadi itulah efek kenangan yang bermata dua.
GS : Pak Paul kalau sudah begitu apa yang kita harus lakukan atau bagaimana kita mesti menyikapi kenyataan hidup seperti itu ?
PG : Kita memang seharusnya seperti Salomo, menerima fakta itu, menerima fakta bahwa misalnya kita tidak bisa lagi sebahagia dulu karena hal-hal yang membawa sukacita dalam hidup kita semakin hri semakin lepas dari genggaman kita.
Itu sebabnya kebahagiaan kita akan makin berkurang, jadi jangan lagi berharap atau menuntut hidup harus seperti dulu, harus sebahagia dulu dan mau menciptakan hal-hal dalam hidup supaya tetap seramai dulu, tidak! Memang ada, mungkin hal-hal yang harus kita lakukan misalkan tentang kesehatan, kita bisa menjaga kesehatan tubuh dengan berolah raga sehingga kita bisa memperpanjang usia hidup yang berkwalitas itu. Tapi ada hal lain yang tidak bisa, misalnya anak harus pergi karena menikah, maka kita tidak bisa memaksa anak untuk tetap tinggal dengan kita sampai tua. Atau ada sesuatu yang seharusnya kita bagikan dan kita berikan kepada anak kita yang lain yang lebih membutuhkan, jangan kita malah menggenggamnya erat-erat karena kita berkata, "Ini yang membuat kita bahagia, kita tidak mau lepaskan sama sekali," atau bahkan dalam pelayanan juga, ada orang yang tidak bisa melepaskan genggaman pelayanannya dan harus tetap melakukan karena inilah yang membuat dia sukacita, tidak mau digantikan orang malah menggantikan orang lain, itu salah! Kita harus terima, kita harus lepaskan dan kita harus menerima kebahagiaan kita yang akan berkurang dan menerima itu sebagai fakta yang kita harus lewati.
GS : Menerima fakta seperti itu Pak Paul, merupakan fakta yang tidak mengenakkan buat kita dan mengkhawatirkan buat kita untuk masa yang akan datang.
PG : Betul sekali, karena akhirnya kita akan memaksa untuk kita berubah, kehidupan kita harus berubah, diri kita harus berubah dan kita memang tidak selalu siap menerima diri kita untuk selalu erubah.
GS : Dan kalau pun kita harus melepaskan itu semua yang tadinya menjadi milik kita maka kita membutuhkan sesuatu yang bisa menggantikan hal itu, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan. Sudah tentu yang nanti kita akan ambil untuk menggantikan yang terhilang itu, bukanlah hal-hal yang seperti itu lagi karena kita sudah harus melepaskan. Jadi apa ang kita harus lakukan? Kita mesti melihat hal yang lebih sederhana, yang nantinya lebih membuat kita bersyukur bahwa kita masih bisa melakukan ini dan kita masih bisa itu.
Jadi kita lebih menyederhanakan hidup setahap demi setahap, misalkan kita sekarang sering sakit misalnya rematik. Waktu kita bisa berjalan di pagi hari, itu yang kita fokuskan dan kita syukuri, kita berkata "Tuhan terima kasih pagi ini saya masih bisa berjalan, kaki saya enak." Meskipun setelah siang apalagi pada malam hari rasanya sakit, linu-linu dan lain-lain. Misalkan kita dulu memiliki pelayanan yang luas tapi sekarang hanya yang sederhana dan sedikit yang kita masih bisa kerjakan, itulah yang kita syukuri. Kita masih bisa melakukan hal ini meskipun sederhana atau kita masih bisa menulis artikel kecil-kecil yang kita bisa kirimkan dan bisa dibaca orang, itu yang kita syukuri. Meskipun sekarang kita tidak bisa lagi berdiri di depan orang dan didengarkan oleh orang, tidak apa-apa. Jadi kita mesti pintar-pintar menemukan hal kecil yang dapat kita syukuri. Orang yang terus-menerus membuka mata mencari-cari hal besar yang dapat dia gunakan untuk membuat dia kembali bahagia dan sukacita akhirnya menciptakan masalah bagi dirinya maupun bagi orang lain, dirinya tidak pernah menemukannya dan akhirnya frustrasi dan sering marah sehingga menyusahkan orang, karena dia cenderung menciptakan problem dengan orang-orang di sekitarnya. Orang yang nanti dia akan labrak, dia tidak akan beri, dia akan batasi, dia tidak mau berikan akhirnya malahan menimbulkan konflik dan bukankah nanti yang jadi korban adalah dia sendiri.
GS : Memang kalau anak sudah besar atau sudah berkeluarga, kita memang tidak bisa berkumpul terus dengan mereka tetapi bisa berhubungan baik lewat telepon atau kadang-kadang mereka datang, dan itu menjadi kebahagiaan tersendiri buat orang tua, Pak Paul.
PG : Bagus sekali, jadi hal kecil seperti itu, bahwa kita masih bisa kontak lewat telepon atau pesan-pesan singkat (sms) atau kita masih bisa bertemu misalkan beberapa bulan sekali, hal itulah ang kita syukuri.
Kadang-kadang kalau kita tidak bisa menerima hal ini, kita menuntut pasangan, menuntut anak, "Kamu harus lebih sering berkunjung, kenapa kamu tidak begini dan begitu." Akhirnya membuat orang tertekan, jadi bukannya bersenang-senang sewaktu bertemu dengan kita tapi malah tertekan saat ketemu kita. Jadi kita bisa memfokuskan pada hal-hal yang lebih sederhana dan bersyukur atasnya, kita juga bisa hidup lebih bahagia dan orang di sekitar kita pun hubungannya akan lebih harmonis.
GS : Bagaimana supaya seseorang bisa mempunyai pola pikir seperti itu, Pak Paul?
PG : Saya kira ujung-ujungnya adalah kita harus melihat untuk apakah sebenarnya kita hidup, Pak Gunawan. Inilah esensinya yang saya pikir, di akhir segalanya kata Salomo, "Takutlah akan Allah dn peganglah perintah-perintahNya."
Itulah wejangan dari seorang yang telah mencari hikmat seumur hidupnya, di hari tuanya dengan sederhana dia hanya berkata seperti itu. Dua hal ini Pak Gunawan, takutlah akan Tuhan dan peganglah perintahNya, sebetulnya merupakan sebuah kesatuan dan saling melengkapi, yang satu menjelaskan yang lainnya, dan dapat kita artikan dari dua sudut positif maupun negatif. Dari segi positifnya adalah kita mengutamakan Tuhan dan melakukan hal-hal yang berkenan kepadaNya, apa yang berkenan kepadaNya, perintahNya. Jadi apa pun yang Tuhan perintahkan itu yang kita taati, kita mesti memaafkan, kita mesti melupakan kesalahan, kita tidak mau mengingat-ingat lagi atau menghitung-hitung kesalahan orang dan kita lakukan itu, Tuhan meminta kita mengasihi maka kita mengasihi, kita diminta Tuhan untuk memberikan persembahan maka kita berikan persembahan. Semua yang Dia inginkan itulah yang kita lakukan yakni perintah demi perintahNya, dengan cara itulah kita mengutamakanNya dan dengan cara itu pulalah kita menunjukkan bahwasanya kita takut akan Tuhan maka kita mengutamakan perintah-perintahNya. Ini bagian positif yang pertama tentang takut akan Tuhan dan melakukan perintahNya.
GS : Tentang takut akan Tuhan, rupanya sejak muda Salomo sudah mempunyai prinsip seperti itu, kalau kita baca di awal-awal kitab Amsal mengatakan bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat bagi dia.
PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi di awal Amsal dia sudah mengatakan takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan yang menarik adalah kalau kita jadikan satu kitab Amsal dan kitab Pengkhotbah 31 pasal dengan 12 pasal adalah 43 pasal.
Seolah-olah di awal Salomo berkata takutlah akan Tuhan, di akhir 43 pasal kemudian Salomo tetap berkata takutlah akan Tuhan. Jadi akhirnya Salomo menemukan bahwa dalam hidup ini ternyata yang terpenting itu, didalam ketiadaan lagi sukacita, kebahagiaan yang tadinya kita bisa didapatkan dari hidup ini, di dalam ketiadaan semua itu ternyata yang penting adalah kita dan Tuhan, tidak ada lagi yang menghalangi kita dan Tuhan. Hanya tinggal apakah kita takut dan kita juga memegang perintah-perintahNya.
GS : Di dalam perwujudan kehidupan sehari-hari, memegang perintahNya itu sulit. Kadang-kadang kita lebih condong melakukan apa yang kita mau sehingga kebahagiaan itu tidak muncul di dalam hidup ini.
PG : Betul sekali, terutama didalam ketiadaan hal-hal yang memberikan kita sukacita, memegang perintah-perintahNya itulah yang memberi kita sukacita dan tatkala kita melakukannya, kita bahagia.Sisi negatif atau kalau kita mau definisikan secara negatif dari yang Salomo katakan artinya adalah takut akan Tuhan dan memegang perintah Tuhan artinya tidak melakukan hal yang bukan perintah Tuhan, tidak melakukan hal yang tidak diperkenankan Tuhan alias jangan berdosa.
Sebagai wujud takut akan Tuhan maka kita tidak berdosa, kita tidak mau melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki. Di dalam hidup seperti itulah kita justru menemukan sukacita. Jadi dengan kata lain, di hari tuanya Salomo seolah-olah menebas pohon yang begitu rindang dengan begitu banyak bunga-bunga, Salomo pangkas semua itu dan akhirnya membawa kita masuk ke dalam taman yaitu melihat akar yang masuk ke dalam menyentuh air dan mendapatkan air dari dalam tanah itu. Salomo seolah-olah berkata, "Itu akarnya, yakni takutlah akan Tuhan, peganglah perintahNya. Nanti bunga akan layu, buah tidak akan lagi bertumbuh, nanti carang-carang pun akan kering nanti bahkan dahan-dahan akan patah, bahkan nanti kita bisa lihat batang pohon itu pun makin kusam dan tua tapi lihat akar, selama akar ada di bawah tanah dan mendapatkan air maka pohon itu akan selalu ada. Akarnya adalah takutlah akan Tuhan, peganglah perintahNya".
GS : Tadi kalau kita melihat kehidupan Salomo dengan membaca Amsal dan Pengkhotbah, takut akan Tuhan harus dimulai sejak muda dan bukan pada usia yang sudah lanjut baru takut akan Tuhan. Itu menjadi sesuatu yang sulit, Pak Paul.
GS : Dengan kata lain memang kita harus membiasakan hal yang baik ini sejak kecil dan di tengah-tengah gemuruh kesuksesan kita, keberhasilan kita dalam hal-hal yang kita ingin lakukan ingatlah bahwa yang terpenting adalah akar itu. Jangan gantungkan sukacita, kebahagiaan kita pada daun dan bunga-bunga tapi gantungkan pada akar, sebab kita tidak tahu juga kapan kita harus lepaskan bunga-bunga dan daun-daun. Orang yang menggantungkan dirinya pada bunga dan daun-daun, waktu daunnya rontok, bunganya layu, hidupnya pun rontok dan layu. Tapi orang yang menggantungkan hidupnya pada akar, takut akan Tuhan dan juga memegang perintah Tuhan akan terus berjalan.
GS : Jadi ada orang yang merasa kecewa ketika dia memasuki usia tua Pak Paul, sebenarnya masalah apa yang terjadi di dalam kehidupannya?
PG : Bisa jadi dia memang tidak puas dengan kehidupannya selama ini, mungkin dia menengok ke belakang dan dia melihat begitu banyak kegagalan, lebih banyak penyimpangan, tidak seperti yang dihaapkan.
Jadi dia menyesali masa lampaunya, dia mungkin juga melihat; masa tua saya sudah tiba, saya tidak bisa lagi mengubah yang telah terjadi, misalnya anak saya tidak lagi hormat kepada saya, tidak mau lagi menjalin hubungan dengan saya, teman-teman saya sudah meninggalkan saya. Waktu dia melihat semua itu dia berkata "Bagaimana saya bisa mengoreksi yang telah terjadi," makanya dia putus asa sekali waktu dia melihat ke depan kira-kira inilah hidup yang harus saya lalui tapi kalau sampai ini terjadi pada diri kita, saya tetap berkata, "Masih ada harapan." Kembali kepada firman Tuhan yang sederhana ini, "Akhir dari segalanya adalah takutlah akan Allah dan peganglah perintahNya." Itulah yang kita lakukan dan waktu kita menaati Tuhan, melakukan perintahNya bukankah sukacita akan muncul dan temukanlah hal-hal kecil yang kita bisa syukuri, jangan terus membandingkan dengan orang, jangan mengharapkan masa lalu untuk kembali kepada masa sekarang, itu salah. Hal-hal yang kecil-kecil itulah yang harus kita syukuri dan itulah yang akan membuat hidup kita kembali bermakna.
GS : Jadi sebetulnya kalau kita melihat orang yang sudah mulai lanjut usia lalu rajin beribadah kepada Tuhan, sebenarnya itu suatu hal yang perlu kita syukuri dan tidak perlu kita jadikan bahan olok-olokan, "Dulu mudanya seperti itu tapi sekarang tua menjadi seperti ini," itu sebenarnya sesuatu yang baik Pak Paul.
PG : Betul. Waktu ada kesempatan, kita gunakan kesempatan itu untuk mengenal Tuhan, hidup dengan Tuhan dan hidup untuk Tuhan di usia berapa pun. Dari pada terlambat dan tidak ada kesempatan, maa gunakan kesempatan itu meskipun usia sudah lanjut.
GS : Dan biasanya orang yang bersangkutan pun menyesal, kenapa tidak dari dulu dari sejak dia muda melakukan hal-hal seperti ini?
PG : Tepat sekali. Hampir dapat dipastikan semua orang yang baru kenal Tuhan di usia lanjut dan hidup dengan Tuhan menyesal, "Ternyata hidup dengan Tuhan indah," mendapatkan kekuatan dan hal-ha yang sederhana, "Kenapa dari dulu tidak seperti ini."
Tadi Pak Gunawan sudah katakan kalau dari awal, dari muda kita terus menekankan takut Tuhan, pegang perintah Tuhan berbahagialah orang seperti ini karena akarnya akan kuat.
GS : Mungkin Pak Paul mau bacakan ayat dari Pengkhotbah tadi yang Pak Paul singgung-singgung isi lengkapnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Firman Tuhan di Pengkhotbah 12:13 berkata "Akhir kata dari segala yang didengar ialah, Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban setiap orng."
GS : Jadi itu menjadi bekal bagi kita semua Pak Paul yang akan memasuki usia lanjut, yaitu sesuatu kenyataan hidup karena diucapkan oleh orang yang mengalami sendiri bagaimana kehidupan itu.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar dari Pengkotbah". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.