Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, dalam budaya Indonesia, mendidik anak diserahkan kepada ibu atau kakek dan neneknya. Tetapi sebagai ayah, dirasa kurang terlibat dalam mendidik anak. Bagaimana pandangan menurut Alkitab mengenai hal ini?
PG : Sebetulnya pandangan itu tidak tepat, Pak Gunawan. Itu adalah budaya dimana kita tinggal, bukan hanya disini tetapi di berbagai belahan dunia pun kebanyakan orang beranggapan bahwa tugas mendidik anak ada di pundak ibu. Tidak, jadi saya akan menggunakan, akan saya bacakan dulu firman Tuhan yang diambil dari Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Itu yang pertama. Yang kedua, di Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Nah, mungkin ini yang seringkali membuat kita bertanya-tanya, mengapa perintah untuk mendidik anak ditugaskan secara khusus kepada bapak bukan kepada ibu. Tetapi jika kita perhatikan baik-baik, Pak Gunawan, Paulus sebenarnya tidak menugaskan kepada ayah secara khusus. Sebenarnya Paulus hanya menitipkan pesan yang berhubungan dengan tugas seorang bapak. Sebab pada Efesus, Paulus memulai dengan pesan, "jangan bangkitkan amarah dalam hati anak-anakmu" baru mengakhiri dengan instruksi mendidik dan mengajar anak. Di Kolose, Paulus juga berkata, "jangan menyakiti hati anakmu". Waktu kita baca di Ulangan 6:6-9 kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa tugas mendidik dan mengajar anak berada pada pundak ayah dan ibu, bukan hanya ada pada pundak ibu, tetapi dua-duanya. Namun rupanya dalam pelaksanaannya, Tuhan perlu menitipkan pesan tambahan kepada para bapak bukan kepada ibu. Dan pesan khusus ini berhubungan dengan kemarahan. Jadi kesimpulannya, tampaknya dalam menjalankan tugasnya, Tuhan melihat ada kecenderungan pada ayah untuk membangkitkan kemarahan pada diri anak. Jadi inilah yang akan kita coba bahas dalam kesempatan ini, Pak Gunawan.
GS : Tetapi memang dikalangan orang Yahudi, tugas mendidik anak memang dipercayakan kepada ayah ? Peran ayah itu besar terutama terhadap anak laki-lakinya, Pak Paul.
PG : Betul. Memang mereka sangat menekankan tanggung jawab ayah dalam membesarkan anak-anaknya.
GS : Kalau ayah memang ditugasi untuk mendidik dan mendisiplin, sedangkan ayah juga menjadi orang yang mencari nafkah bagi keluarganya. Apakah ini tidak terlalu sulit bagi ayah itu untuk melakukan peran tersebut? Karena dengan mencari nafkah, dia harus sering meninggalkan rumah.
PG : Betul. Tentu saja yang akan lebih banyak berperan dalam pelaksanaannya adalah ibu. Yang kita coba beritahukan kepada para pendengar, ini tidak berarti pria dibebastugaskan. Kita mau menjelaskan dari firman Tuhan, justru peranan untuk mendidik anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Namun dalam pelaksanaannya sudah tentu ibu akan lebih berperan karena waktu yang dia habiskan bersama anak akan lebih banyak. Tetapi ayah tidak boleh lepas tangan dan berkata, "Ini bukan urusan saya, ini urusan istri saya." Itu juga tidak boleh. Sebab Tuhan memanggil dan menugaskan kita berdua untuk mendidik anak-anak kita.
GS : Kalau Paulus mengingatkan agar ayah tidak membangkitkan amarah dalam hati anak-anaknya, misalnya dalam hal apa, Pak Paul?
PG : Kita laki-laki, misalnya mau mendisiplin anak, cenderung tanpa sadar justru membangkitkan amarah anak-anak. Ini yang saya perhatikan, mengapa tidak terjadi pada ibu? Saya melihat, kalau saya yang bicara, anak-anak saya lebih susah menerima. Kalau istri saya yang bicara, mereka lebih bisa menerima. Ini yang membuat saya bertanya, "Ada apa dengan saya sehingga anak saya lebih mudah bereaksi marah, dan ada apa dengan istri saya sehingga anak-anak tidak cepat marah kepadanya?" Ini akan coba kita soroti.
GS : Memang seperti itu yang terjadi. Pak Paul mengamati hal itu dan apa yang Bapak dapatkan?
PG : Yang pertama, saya temukan bahwa saya orang yang tidak suka basa-basi. Pada umumnya saya berfungsi secara rasional. Dan dalam alam rasional yang tersaji adalah fakta demi fakta yang hampa perasaaan. Sewaktu saya menegur anak, yang keluar dari mulut adalah perkataan yang bersifat rasional. Saya menyampaikan apa yang saya lihat sekaligus teguran kepadanya yaitu apa yang seharusnya dia perbuat. Masalahnya adalah, akhirnya saat saya menyampaikan, karena biasanya saya menyampaikannya secara rasional, langsung ke faktanya. Saya lihat ini, saya katakan langsung. Saya pikir ini, saya katakan langsung. Benar-benar ke faktanya. Seolah-olah tanpa kata pembuka dan tanpa kata penutup, langsung ke isinya. Rupanya ini yang cukup melukai hati anak sehingga mereka bereaksi keras kepada saya.
GS : Inikah yang Paulus katakan sebagai melukai hati anak, Pak Paul?
PG : Betul. Artinya kalau saya tidak berhati-hati, memang cenderung membicarakan fakta dan berpikir secara rasional, akhirnya aspek-aspek yang bisa menyiapkan hati anak untuk mendengar perkataan saya, kurang saya lakukan. Hal-hal yang seharusnya saya lakukan setelah menegur anak juga kurang saya lakukan. Seolah-olah anak ditampar begitu mendengar perkataan saya.
GS : Dalam hal ini, seorang istri lebih diplomatis dalam menegur anak sehingga anak tidak sampai marah kepadanya, begitu Pak Paul?
PG : Betul. Saya perhatikan istri saya lebih bisa bicara dengan anak. Sehingga akhirnya perasaan anak sudah lebih dulu terlibat, merasa disayangi atau apa, sehingga tidak bereaksi marah kepadanya.
GS : Jadi dalam hal ini, yang membedakannya apa cara kita dan istri kita yang berbeda, ataukah istri kita itu memunyai tabungan emosional di dalam diri anaknya sehingga anak tidak sampai marah kepadanya, Pak Paul?
PG : Sudah tentu itu betul, Pak Gunawan. Karena istri banyak memberikan waktu untuk anak, membesarkan anak dan lebih banyak waktu di rumah, itu membuat tabungan emosionalnya pada anak itu penuh. Ditambah lagi dengan waktu menyampaikan teguran, istri kita lebih bisa berbicara sehingga lebih bisa diterima oleh anak.
GS : Hal apa lagi yang membuat anak marah ketika kita tegur dia, Pak Paul?
PG : Yang kedua, saya melihat pada diri saya, saya menunggu terlalu lama untuk menegur mereka. Pada umumnya saya membiasakan diri untuk tidak langsung menegur anak sampai dia mengulang perbuatannya beberapa kali. Saya tidak langsung menegur, sebab pada dasarnya saya tidak suka menegur orang. Saya tidak langsung menegur sebab saya ingin memastikan bahwa perbuatannya itu terulang kembali. Saya maklum bahwa kita bukan orang yang sempurna, kita bisa melakukan kesalahan, jadi saya tidak merasa saya harus menyampaikannya setiap saat. Masalahnya adalah pada waktu saya menyampaikan teguran, ada kalanya emosi marah saya sudah menanjak, mengingat ini adalah kesalahannya yang sudah terjadi berulang kali. Akibatnya nada suara saya cenderung meninggi dan kata-kata yang keluar cenderung lebih tegas. Inilah yang melukai anak saya. kadang mereka berkata, "Kenapa sih Papa kalau bicara suaranya mesti keras?" Nah, harus saya akui, karena saya memang sudah menyimpan rasa jengkel dan sebelumnya saya harap mereka bisa berubah sehingga saya tidak perlu menegur mereka. Jadi pada waktu saya mengeluarkan teguran, nadanya sudah terlalu keras.
GS : Memang menunda teguran seperti itu juga membingungkan anak. Anak akan berkata, "Dulu saya pernah melakukan ini, tapi papa tidak bertindak marah seperti ini. Kenapa sekarang tiba-tiba marah luar biasa?"
PG : Bisa. Ada hal-hal yang dulu terjadi dan kita biarkan, terjadi lagi dan kita diamkan lagi. Pada awalnya kita tidak selalu setuju atau tidak terlalu senang. Sekarang kita keluarkan karena kita rasa sudah keterlaluan. Tapi pada waktu kita keluarkan, volume suara kita akan lebih keras karena memang sudah ada simpanan kemarahan juga.
GS : Tapi setiap kali ditegur tentang kesalahan yang sama terus, apakah di hadapan anak kita tidak menjadi orang tua yang terlalu cerewet, Pak Paul?
PG : Ini memang keunikan kita sebagai pria dan keunikan istri kita sebagai wanita. Kebanyakan istri kita akan sering-sering menegur, lebih langsung menegur. Anak memang bisa mengeluh mamanya cerewet, tapi masalahnya waktu diberikan teguran itu tidak terlalu marah anak-anak itu. Tetapi kita sebagai ayah, jarang menegur dan waktu menegur memang lebih keras. Nah, teguran yang keras itu juga ada positifnya dalam hal ini. Seringkali teguran kita yang keras itu lebih menyadarkan anak untuk tidak boleh lagi seperti itu. Sedangkan teguran ibunya yang berulangkali itu sudah terbiasa dia dengar, sehingga tidak dia hiraukan dan dia mengulangi kesalahan yang sama.
GS : Memang ada gejala seperti itu, anak yang berulangkali diberitahu tentang hal yang sama, akhirnya tidak menghiraukan teguran ibunya, Pak Paul.
PG : Ya. Memang dalam hal ini benar-benar perlu hikmah Tuhan supaya kita masih bisa menegurnya dengan tegas dan keras tanpa harus melukainya. Saya kira, emosi kita mesti kita jaga sehingga waktu kita bicara dengan suara yang keras, kita masih bisa jaga supaya tidak menyakiti hatinya.
GS : Tetapi teguran yang tepat pada waktunya, artinya pada waktu anak kita melakukan kesalahan, kita langsung menegurnya, itu memang perlu, Pak Paul. Karena kalau terlalu lama dan baru kita ungkit lagi, anak akan marah kepada kita.
PG : Saya kira kebanyakan pria mengerti hal ini, tapi dalam pelaksanaannya pria tidak terlalu terbiasa langsung menegur anak setiap kali ada sesuatu yang salah. Kebanyakan para pria akan berkata, "Sudahlah biarkan saja, nanti dia mengerti sendiri." tapi masalahnya pas kita tegur, karena sudah terlalu lama membiarkan, nada atau volumenya menjadi lebih keras.
GS : Ada orang tua atau ayah yang sebenarnya tahu anaknya salah, tetapi dia tidak mau menegur secara langsung melainkan menyuruh istrinya untuk menegur anak tersebut. Ini bisa membuat anak kurang respek terhadap orang tuanya, Pak Paul.
PG : Ya. Betul sekali. Kita tidak boleh memberikan tanggung jawab menegur dan mendisiplin anak kita kepada istri. Ada bagian kita juga. Ini tanggung jawab kita jadi kita juga harus berani maju dan berkata kepada anak kita, "Kamu salah dan harus berubah."
GS : Hal lain yang menimbulkan potensi membangkitkan kemarahan anak itu apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, kalau saya perhatikan diri saya, saya terlalu jauh melihat atau mengantisipasi ke depan. Karena saya memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila mereka terus melakukan kesalahan, bobot teguran saya menjadi lebih berat. Sebagai akibatnya mereka merasa teguran saya terlalu keras dan menyudutkan mereka. Kesalahan yang diperbuat dianggap sebagai kesalahan yang fatal dan seolah-olah telah dipastikan mereka akan berbuat kesalahan yang sama lagi. Singkat kata, teguran saya membuat mereka tidak berkutik. Intinya, kadang karena saya terlalu mikir jauh, jadi saya ingin memastikan jangan sampai dia berjalan sejauh itu. Namun tanpa saya sadari, saya memperbesar masalahnya atau saya memperbesar kesalahannya. Padahal kesalahan yang dilakukannya tidak terlalu besar. Namun karena saya sudah berpikir ke depan, seolah-olah kesalahannya itu sangat besar. Sebagai contoh kita para ayah waktu memberikan teguran kepada anak, "Ayo, belajar, jangan sampai tidak belajar. Jangan sampai ulangan dapat jelek. Jangan sampai tidak naik kelas!" Kadang-kadang kita sebagai ayah juga menegur anak seperti itu. Ada kecenderungan kita sebagai ayah karena memikirkan masa depan si anak, sehingga waktu menegur dia agar jangan sampai lalai belajar, akhirnya kita kebanyakan bicara. "Kamu kalau begini terus pasti tidak naik kelas ! Kalau kamu tidak naik kelas, kamu pasti malu dan dihina oleh teman-temanmu. Nanti kalau kamu tidak lulus sekolah mau jadi apa? Apa kamu mau jadi pengemis?" Seolah-olah anak berkata, "Aduh, belum juga tidak naik kelas, kok papa sudah bicara begitu? Seolah-olah saya memang orang yang tidak bisa berhasil dalam hidup ini." Jadi kita mesti berhati-hati juga saat menegur anak jangan sampai terlalu jauh.
GS : Tapi biasanya memang diwarnai oleh pengalaman masa lalu dari si ayah itu sendiri, Pak Paul. Wajar saja dia sebagai orang tua tentu mengkhawatirkan kondisi anaknya yang rasa-rasanya hampir sama pengalamannya dengan dirinya sendiri, Pak Paul.
PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan. Kita para pria memang takut anak kita akan gagal dalam hidup ini. Apalagi kalau kita punya pengalaman hidup susah di masa lampau, kita akan lebih takut lagi. Kita mesti hati-hati jangan sampai ketakutan kita itu memvonis dia waktu kita memarahi dia kita memvonis dia akan gagal seperti itu.
GS : Tapi kita ‘kan selalu katakana bahwa itu untuk kepentingan dia atau si anak itu, Pak Paul?
PG : Betul. Sudah tentu buat kepentingan si anak. Namun kita juga mesti jaga jangan sampai berlebihan. Kita boleh bicara begitu, "Saya bicara seperti ini demi kepentingan kamu, sebab saya tidak mau nanti kamu susah." Tapi jangan sampai akhirnya terlalu berlebihan dalam menegurnya.
GS : Di dalam hal menegur, kenapa seorang ibu lebih diterima oleh anak daripada ayahnya, Pak Paul?
PG : Akhirnya saya simpulkan begini, ini juga saya dapat dari anak saya, yaitu seolah-olah saya punya dua kepribadian. Ayah yang hangat dan penyayang, tapi juga bisa jadi ayah yang dingin sewaktu menegur. Seolah-olah waktu saya menegur, saya menjadi diri yang berbeda. Nah, saya perhatikan, istri saya tidak. Atau kalau saya samakan semua perempuan sama. Waktu menegur, anak melihat ibunya sebagai ibu yang menyayanginya. Anak tidak sampai merasa ibunya ini bukan sebagai ibu yang sama. Kalau pria ada kecenderungan waktu mendisiplin anak, anak akan merasa kita sebagai orang lain. Yang tadinya hangat dan baik, sekarang dingin dan tegas. Tetapi kalau perempuan atau ibu, tidak. Anak-anak melihat ini ibu yang sama. Mama yang memarahi saya adalah juga ibu yang menyayangi saya. Jadi saya kira yang perlu kita lihat pada diri istri kita adalah, "Mengapa tidak kehilangan sisi kehangatannya, mengapa tetap bisa utuh sewaktu dia memarahi anak?" Itu yang pria perlu pelajari, Pak Gunawan. Jangan sampai waktu marah kita melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi sebab itu yang akan membuat anak merasa, "Papa ini seperti dua pribadi yang berbeda, yang sedang marah dan yang sedang tidak marah."
GS : Dan itu yang membingungkan anak, ya Pak?
PG : Betul.
GS : Hal yang lain yang membuat seorang anak selalu sayang kepada ibunya walaupun berkali-kali dimarahi itu apa, Pak Paul?
PG : Yang lain, ibu itu menjalin relasi yang bukan saja kuat, tetapi juga ringan dengan anak. Yang saya maksud dengan ringan adalah seribu satu hal yang ringan yang tidak serius yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Misalnya istri saya sering bercanda dengan anak-anak dan sering membicarakan hal yang sepele, namun menambah keakraban. Sebaliknya saya cenderung berbicara dengan anak menyangkut hal yang serius, sehingga bisa dikatakan pembicaraan kami lebih bersifat diskusi. Anak itu perlu diskusi, tapi juga lebih perlu pembicaraan ringan. Ini yang lebih susah saya lakukan. Dan saya menduga cukup banyak pria juga susah membicarakan hal yang ringan, yang biasa-biasa saja. Kalau bicara dengan anak biasanya serius, lebih bersifat diskusi. Kita mesti belajar untuk lebih banyak membicarakan hal-hal yang ringan.
GS : Tapi itu juga tergantung tingkat usia anak dan jenis kelamin anak, Pak Paul? Itu kan sangat memengaruhi bagaimana kita membentuk pembicaraan kita itu?
PG : Betul, makanya ada kecenderungan anak-anak lebih dekat dengan ayah setelah mereka remaja dan dewasa. Sebab di situlah peran diskusi jauh lebih besar. Mereka perlu masukan, pertimbangan dan ayahlah yang lebih berperan disini untuk membukakan wawasan dan memberikan arahan kepada anak. Waktu anak lebih kecil, biasanya memang ibulah yang lebih bisa berbicara, bergurau dengan ringan dan sebagainya. Nah, namun saya juga mau mengakui suatu fakta ini, karena ibu berperan sewaktu anak masih kecil dan itu berlangsung lama sehingga tabungan emosinya penuh, Pak Gunawan. Sehingga waktu ibu menegur anak, anak lebih bisa menerimanya. Sedangkan kita pria baru lebih berperan setelah anak-anak menginjak dewasa, dalam hal-hal yang bersifat diskusi dan pertimbangan. Nah, masalahnya waktu anak masih lebih kecil itu kita terlanjur memarahi dan menyakiti hati mereka.
GS : Disamping itu kalau seorang ayah terlalu banyak bergurau dengan anaknya, seringkali ada suara sumbang yang menyatakan, "Nanti kamu tidak dihormati anakmu, nanti anakmu kurang ajar sama kamu." Itu yang membuat ayah enggan atau membatasi diri dalam bergurau dengan anak-anaknya, Pak Paul.
PG : Bisa. Kadang ini yang menjadi penghalang ayah bergurau dengan anak-anak karena takut tidak dihormati. Sedapatnya waktu anak masih kecil, kita sebagai ayah bergurau dengan anak. Salah satu hal yang diamati anak adalah, "Mengapa papa bisa bergurau dengan teman-temannya, ya? Tapi dengan kami tidak bisa." Ini yang kadang dimunculkan oleh anak dan itu hal yang mereka rindukan dari kita seorang ayah untuk lebih bisa bicara hal-hal yang ringan dengan mereka.
GS : Jadi seorang ayah harus pandai-pandai mencampurkan kapan dia harus bersenda gurau, kapan dia harus serius dan sebagainya itu, Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Apakah ada hal lain yang membuat anak sukar marah kepada istri kita atau ibunya, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah ibu-ibu biasanya dapat membuka diri selebar-lebarnya kepada anak untuk melihatnya sebagai manusia apa adanya. Saya kira pada umumnya wanita lebih nyaman untuk mengekspresikan perasaannya dibandingkan pria. Saya perhatikan waktu istri menegur atau berbicara kepada anak, dengan alamiah dia dapat memperlihatkan ungkapan perasaannya baik itu kesal, sedih, atau takut. Saya kira keterbukaan ini yang membuat anak lebih dekat dengan ibunya, lebih dapat menerima didikan darinya. Ibarat tanaman di dalam pot, seperti inilah anak menerima disiplin dari ibunya dan ternyata mereka menerimanya dengan lapang dada. Mungkin hari ini mereka marah karena ditegur, namun esoknya sudah baik kembali. Sedangkan dengan saya, ayahnya, mereka bisa menyimpan kemarahan sampai bertahun-tahun.
GS : Pengalaman seperti ini ternyata terbawa sampai anak itu dewasa, Pak Paul. Sampai dewasa pun, seorang anak lebih gampang berdamai kembali dengan ibunya ketika terjadi konflik daripada dengan ayahnya, Pak Paul.
PG : Ya. Saya sendiri teringat pengalaman saya misalnya saya marah kepada anak atau bagaimana tanpa saya tahu itu telah melukai hatinya. Setelah bertahun-tahun kemudian akhirnya dia munculkan, betapa sebetulnya hatinya terluka oleh apa yang telah saya lakukan. Saya akhirnya harus berdamai dengan dia, meminta maaf kepadanya. Ini adalah hal-hal yang saya sendiri alami. Jadi jangan ragu untuk minta maaf kepada anak, untuk merendahkan diri mendengarkan keluhannya yang telah dia simpan selama bertahun-tahun, itu juga yang harus saya lakukan.
GS : Kalau anak itu mengatakan dia terluka oleh sikap atau kata-kata kita, lebih mudah bagi kita sebagai seorang ayah, untuk menjelaskan masalah itu, Pak Paul. Tetapi kalau dia diam-diam tetapi memendam luka batin, ini yang sulit.
PG : Betul sekali. Memang ini tergantung sikap kita. Waktu anak itu berbicara dengan kita, bisakah kita terima dan mendengarkan dia? Ada orang yang tidak bisa mendengarkan, malah marah. "Kamu kok anak kurang ajar? Kurang berterima kasih?" Akhirnya anak berkata, "Buat apa saya bicara dengan papa ?" jadi kita mesti merendahkan diri, bersedialah mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh anak kita itu.
GS : Pada waktu Pak Paul dan keluarga mengalami hal seperti itu, apa yang Pak Paul lakukan?
PG : Akhirnya saya pernah menjalani konseling keluarga, Pak Gunawan. Disitu kami bicara dari hati ke hati, dia mengeluarkan isi hatinya dan sebagainya. Lalu saya berdamai dengan dia, Tuhan memulihkan relasi kami. Saya jadi belajar lebih berhati-hati juga. Namun satu hal yang ingin saya tekankan, kita ‘kan mewakili Tuhan, jadi kita mengajarkan tentang Tuhan kepada anak-anak kita, Pak Gunawan. Jangan sampai kita sebagai penyampai materi tentang Tuhan akhirnya membuat anak tidak bisa menerima materi yang kita ajarkan, sebab sebetulnya dia menolak kita sebagai penyampai materi tapi akhirnya menolak semuanya, materi tentang Tuhan juga ditolak. Ini yang perlu kita waspadai karena sekali lagi, kita ini mewakili Tuhan. Jangan sampai sewaktu anak marah dan menolak kita, anak jadi marah dan menolak Tuhan dan Alkitab yang kita ajarkan kepadanya.
GS : Memang disitulah peran ayah dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak yang dipercayakan Tuhan di tengah-tengah mereka, Pak Paul.
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ayah yang Mendidik dan Mendisiplin". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.