Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ayah dan Arah", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebenarnya berapa besar pengaruh seorang ayah terhadap anak laki-lakinya khususnya di dalam mengarahkan anak ini untuk mencapai masa depannya?
PG : Sangat-sangat besar sekali pengaruhnya Pak Gunawan, akhir-akhir ini saya sampai pada suatu kesimpulan yang muncul dari pengamatan yaitu anak laki-laki yang bertumbuh besar di rumah di mna keterlibatan ayah itu sangat minim ternyata setelah besar mereka menjadi orang-orang yang tidak pasti.
Penuh keraguan, kebimbangan dan tidak mempunyai arah dalam hidup itu.
GS : Bukankah biasanya anak itu banyak dipengaruhi oleh ibunya Pak?
PG : Pada masa kecil memang anak laki maupun perempuan sangat dipengaruhi oleh ibu karena ibulah yang melahirkan dan merawat terutama pada masa-masa kecil itu. Nah saya ingin memperkenalkan uatu istilah yang memang awalnya diperkenalkan oleh Sigmund Freud yaitu istilah identifikasi.
Identifikasi dalam pengertian o.... saya bisa memahami engkau, saya bisa mengidentifikasi diri saya dengan situasi yang engkau sedang hadapi seperti itu. Namun sebetulnya istilah ini sendiri mengandung arti yang berbeda bagi Freud, identifikasi berarti menginternalisasi atau memasukkan sifat atau kwalitas dari orang lain ke dalam diri kita. Dengan kata lain misalkan kita dibesarkan dengan seseorang yang senang bercanda, mungkin sekali atau besar kemungkinannya kita memasukkan sifat tersebut menjadi bagian diri kita, akhirnya kita pun turut menjadi orang yang senang bercanda. Nah pada masa kecil anak-anak baik laki maupun perempuan terlibat dalam proses identifikasi dengan ibu mereka, jadi sifat-sifat mama itulah yang diserap. Anak laki-laki terpaksa pada usia yang sudah makin dewasa harus mengubah atau mengalihkan objek identifikasinya, dulunya kepada ibu sekarang harus dipindahkan kepada ayah sebab dia menyadari bahwa dia bukanlah wanita. Otomatis anak wanita tidak perlu mengubah objek identifikasinya ini. Nah anak laki-laki memerlukan objek itu, di sinilah keterlibatan ayah menjadi sangat-sangat penting sebab kefakuman figur ayah akan mempunyai dampak-dampak negatif Pak Gunawan.
(2) GS : Mungkin yang kurang kami sadari sebagai ayah adalah sejak kapan anak ini membutuhkan kita sebagai orang tua itu Pak?
PG : Sebetulnya sejak si anak mulai menyadari bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Nah kita mungkin berpikir bahwa anak tiga tahun pun sudah menyadari dia laki-laki, tapi sebetulnya kesaaran ini muncul secara bertahap pada usia-usia misalnya sekitar 3, 4 tahun, anak-laki-laki baru menyadari perbedaan fisik bahwa dia laki-laki dan ada yang namanya perempuan.
Karena mungkin pada masa kecil itu mereka anak-anak kita laki dan perempuan mandi sama-sama dan sebagainya, barulah mereka menyadari perbedaan fisik ini. Namun dampak emosional atau bobot emosional sebagai seorang pria dan perbedaannya dari wanita itu sebetulnya belum ada pada anak-anak usia sekitar 3, 4 tahun. Nah kesadaran saya ini pria secara mental atau emosional itu baru muncul biasanya pada usia menjelang remaja misalnya usia 9, 10 tahun, nah mendekati usia pra-remaja itulah kesadaran saya pria dan saya harus bersikap sebagai seorang pria muncul. Nah ini akan muncul lebih kuat lagi sewaktu anak itu memasuki usia remaja 11, 12 tahun, 13 tahun, makin bergaul dengan teman-teman pria dan mulailah meledek-ledek teman wanita, menyukai teman wanita, membicarakan wanita nah barulah peran seksual dan sosial itu dikembangkan sebagai seorang pria yang berbeda dari wanita.
GS : Nah Pak Paul, dalam pertumbuhan seperti itu yang tadi Pak Paul katakan dia punya teman-teman pria dan sebagainya, apakah teman-teman itu tidak bisa menjadi contoh buat dia, apakah itu tidak cukup?
(3) PG : Sudah tentu teman-teman akan berpengaruh, tapi teman-teman berpengaruh sebagai tambahan Pak Gunawan, akarnya itu sebetulnya di rumah. Sebab apa? Sebab anak menyerap dalam relasiyang dekat atau akrab, jadi semakin dekat, semakin banyaklah yang diserap, kalau tidak dekat sedikit yang diserap.
Nah teman-teman mulai berpengaruh dalam diri anak-anak remaja yaitu waktu anak berusia sekitar 13 tahunan sampai usia 20 tahun. Berarti dari usia sekitar 3, 4 tahun tatkala di awal atau dimulailah proses pembedaan jenis kelamin saya ini pria dan wanita, sampai usia sekitar 12, 13 tahun itu terjadilah gap, kekosongan kalau tidak ada figur ayah di rumah. Mungkin boleh saya jelaskan Pak Gunawan sebetulnya apa itu peranan ayah di sini, sehingga kok begitu berpengaruh pada pertumbuhan anak. Ayah itu pertama-tama menyediakan rasa aman karena sikap atau pembawaan ayah sebagai figur otoritas, bertumbuh besar, bersuara lebih berat dan yang memang biasanya ayah itu yang menunjukkan kekuatan, itu seyogyanya memberikan rasa aman kepada anak-anak. Jadi anak-anak laki itu perlu menyerap sifat-sifat ayah yang mengayomi, sifat ayah yang bisa melindungi. Nah kalau si anak tidak memperoleh objek identifikasinya dari ayah ini, saya lihat waktu mereka besar mereka mencari-cari Pak Gunawan, mencari-cari orang yang bisa melindungi atau mengayomi mereka. Seakan-akan mereka menjadi orang dewasa yang terus-menerus membutuhkan orang yang lebih dewasa lagi darinya untuk bisa menunjukkan arah hidup, menunjukkan jalan atau menyediakan bantuan, jadi kebergantungannya menjadi sangat besar. Nah inilah salah satu peranan ayah di dalam kehidupan si anak itu.
GS : Ya jadi kalau begitu sekalipun ayah itu hadir di tengah-tengah keluarga, namun kalau ayah itu tidak memberikan suatu teladan yang baik yang bisa dicontoh, anak itu juga akan mencontoh yang tidak baik dari ayahnya Pak?
PG : Tepat sekali, jadi kalau si ayah itu menjadi figur yang negatif tidak bisa tidak karena memang hidup serumah dan dekat dengan si anak akan berpotensi menularkan sifat atau karakternya kpada si anak, meskipun nantinya si anak akan berusaha keras untuk melawannya kalau dia memang tidak menyukai sifat-sifat ayah itu.
Saya jelaskan Pak Gunawan yang saya maksud, bukankah adakalanya kita menyukai sifat tertentu dari orang tua kita, kemudian kita serap menjadikan itu bagian dari diri kita nah itu yang kita lakukan. Tapi adakalanya kita pun menemukan bahwa ada sifat tertentu dari orang tua kita yang tidak kita sukai dulu itu, e.....tahu-tahu ada pada diri kita, kita terkejut kok bisa ada pada diri saya misalnya. Si ayah mudah marah, setiap kali kalau kita berbuat kesalahan sekecil apapun langsung marah, kita tidak suka dengan sifat itu. Entah mengapa setelah kita dewasa, kita punya anak tiba-tiba kita menemukan hal yang sama pada diri kita, anak kita berbuat kesalahan kita langsung bereaksi dengan keras, memarahinya dan kita sadari tanpa kita mau kita sudah menyerapnya.
GS : Ya dan anak pun tidak menyadari betul proses seperti itu Pak, bahwa itu terjadi dalam dirinya?
PG : Sering kali tidak Pak Gunawan, jadi biasanya si anak baru menyadari dia memiliki sifat itu tatkala dia berada di tempat yang sama dengan ayahnya dulu. Misalnya dia belum menyadari dia iu akan mudah sekali marah terhadap anaknya, sampai dia punya anak.
Nah mungkin sekali sebelumnya dia adalah anak atau seseorang yang lumayan sabar tapi waktu dia punya anak barulah karakter atau sifat tersebut dihidupkan kembali. Jadi sekali lagi pengaruh ayah di sini sangat penting, tadi kita bicara pengaruh yang negatifnya nah kita bicara lagi sekarang tentang pengaruh yang positif. Yang pertama tadi saya sudah singgung adalah tentang pentingnya ayah hadir di rumah untuk memberikan contoh atau sifat mengayomi, melindungi nah itulah yang harus dimiliki oleh si anak. Kalau dia tidak memiliki atau tidak sempat menyerap sifat melindungi atau mengayomi, setelah dewasa dialah yang berusaha mencari orang untuk mengayomi, untuk melindunginya. Nah yang kedua yang saya bisa juga amati yang penting adalah ayah itu lambang pemimpin, karena Tuhan memberikannya tugas sebagai kepala keluarga. Nah otomatis kepala atau pemimpin harus mempunyai keyakinan diri, kepastian dalam pengambilan keputusan, tidak meragukan pertimbangannya. Nah kalau si anak berkesempatan menyerap sifat-sifat ini dari si ayah, dia akan bertumbuh menjadi anak yang relatif percaya diri, nyaman dengan pertimbangannya dan percaya pada pertimbangannya. Sebaliknya kalau si ayah tidak hadir atau tidak ada di rumah, si anak itu akan bertumbuh besar memiliki seribu satu macam keraguan. Si anak tidak pernah menyerap kepastian itu, keyakinan untuk memimpin. Akhirnya apa yang dia lakukan? Dia akan sekali lagi mencari-cari orang lain yang bisa memimpin, yang bisa menunjukkan arah sebab dia memang tidak memiliki kepastian itu. Jadi saya simpulkan kefakuman ayah menimbulkan kebingungan kepada anak, ketersesatan kepada anak laki-laki, nah ini yang sering kali saya saksikan Pak Gunawan.
GS : Nah itu juga termasuk kalau misalnya dalam keluarga itu ibunya, peran ibunya yang lebih dominan dari pada ayahnya begitu Pak?
PG : Ya, jadi memang ayahnya absen sering kali untuk menambal kekurangan itu si ibu yang berperan lebih besar, berperan ganda. Nah ini akhirnya sedikit banyak bisa menimbulkan juga konflik dlam diri si anak pada masa pertumbuhannya.
Memang Tuhan mendisain seharusnyalah si ayah yang menjadi seorang pemimpin dan menstransfer sifat atau karakter itu kepada anak laki-lakinya. Sewaktu itu tidak terjadi memang akan sedikit banyak terjadi gangguan.
GS : Ya itu memang kadang-kadang ayahnya hadir di situ, tetapi katakan kalah pengaruh dengan istrinya, bagaimana Pak Paul?
PG : Bisa jadi karena memang ayahnya terlalu pasif, sehingga tidak terlalu berperan. Jadi di sini bisa kita simpulkan Pak Gunawan bahwa yang penting adalah keterlibatannya bukan kehadirannyasemata tapi keterlibatan.
Kalau boleh saya gunakan pengibaratan begini, ada kasus di mana ayah-ayah itu sebenarnya figur yang positif dan panutan model yang baik, terhormat, terpuji tapi masalahnya adalah ayah-ayah ini tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Waktu si ayah tidak terlibat walaupun dia adalah figur yang positif dia itu hanyalah menjadi, kalau saya boleh ibaratkan seperti ikan, ikan hias di dalam akuarium yang sudah tentu sedap dipandang, indah sekali tapi ikan di akuarium itu tidak bersinggungan dengan kita, tidak bersentuhan dengan kita, terpisah oleh gelas, oleh kaca dan oleh air. Demikian pulalah ayah yang indah dan terpuji, kalau tidak terlibat di dalam kehidupan anak dia hanyalah menjadi tontonan di rumah. Nah keterlibatan ayah ini yang menjadi kuncinya, ayah yang mau tahu tentang kehidupan anaknya, mengajak anaknya bicara, yang melakukan ha-hal tertentu bersama-sama anaknya pergi misalnya, ngobrol atau melakukan suatu pekerjaan bersama, tukar-menukar pikiran, bermain bersama pokoknya terlibat di dalam kehidupan si anak, di rumahnya maupun di luar rumah. Nah ini sekali lagi Pak Gunawan biasanya hanya terjadi sampai usia sekitar 12 tahun sebab setelah anak-anak berusia 12 tahun memasuki remaja dia mulai menutup pintu dari kita, kita mau masuk pun dia tidak izinkan.
GS : Tetapi ada ayah yang ini Pak Paul, katakan bisa menjadi pemimpin di luar, di tempat kerja atau pun di masyarakat begitu tetapi di rumah dia tidak mampu memimpin.
PG : Ya, ada ayah yang seperti tadi Pak Gunawan sudah siratkan mungkin karena istrinya yang terlalu dominan. Atau juga mungkin dia menganggap tugas rumah tangga tugas kurang penting jadi ya ugas dia di luar rumah mencari uang dan stop, dia sungguh-sungguh tidak mau tahu dengan urusan anaknya.
GS : Nah Pak Paul, katakan sampai usia 12 anak itu biasanya menutup diri memang dari orang tua, tetapi sejak awal orang tua itu dalam hal ini si ayah itu memang sudah terlibat di dalam kehidupan anak itu, 'kan anak itu tidak akan mudah untuk menutup dirinya itu.
PG : Tepat sekali, akan ada perbedaan itu tidak bisa kita hindari sebab anak mulai mengembangkan kemandiriannya sebagai seorang remaja, namun kalau relasinya baik dengan si ayah si anak lakiini tetap akan membukakan pintu komunikasi dengan ayahnya.
Dan akan terjadilah dialog, nah dialognya sudah tentu berubah bukan lagi sebagai seorang pengayom, sebagai seorang yang memberikan petunjuk kepada si anak, memerintahkan, menyuruh, namun lebih merupakan seperti seorang pembimbing tugas ayah di sini kepada anak remajanya. Dia mungkin memberikan masukan, memberikan jalan keluar dalam kesulitan yang dihadapi si anak remaja tapi sekali lagi si anak remaja tetap akan membuka pintu itu kepada si ayah. Nah kalau sebelumnya tidak ada jalur itu sudah tentu setelah masuk remaja, si ayah semakin tidak bisa masuk ke dalam diri si anak.
GS : Nah itu menjadi kesulitan berikutnya buat kami sebagai ayah itu Pak, mengubah peran yang tadinya sebagai ayah yang otoriter, yang tinggal memerintah anak kecil, sekarang dengan beranjak dewasa tadi Pak Paul katakan menjadi teman, menjadi sahabat untuk berbicara itu 'kan sebagai orang tua merubah peran itu Pak?
PG : Betul, jadi mengubah peran ini memang adakalanya harus diawali dengan perlawanan dari anak kita, dia tidak suka lagi kita beritahukan seperti dulu nah itu sebagai tanda-tanda atau sinya-sinyal, OK....saya
mungkin harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Nah sekali lagi ini penting Pak Gunawan, sebab kalau sampai ayah itu tidak terlibat dan si anak melihat sebetulnya si ayah itu bisa terlibat, efek sampingan yang sering kali muncul pada masa remaja ialah pemberontakan, si anak marah. Marah kenapa? Sebab dia tahu si ayah sebetulnya terlibat, bisa membantu anak-anaknya tapi tidak mau, tidak peduli nah nanti si anak itu mulailah mengembangkan kemarahan. Berbeda dengan anak yang misalnya tidak ada ayah karena ayahnya sudah meninggal dunia dia akan rindu tapi dia tahu memang ayahnya meninggal. Tapi kalau ayahnya itu tidak meninggal namun tidak terlibat dia akan rindu, merindukan si ayah sekaligus marah, nah muncul dalam bentuk pemberontakan atau kebalikannya apatis memasabodohkan semua hal, sangat pasif dalam hidup, tidak mau tahu dan harus terus-menerus dipimpin tapi dipimpin pun susah, nanti ngambek, nanti tidak mau, nanti tukar pikiran lagi seperti itu.
GS : Ya mungkin juga ada salah pengertian itu Pak Paul, memberikan kecukupan terhadap anak laki-lakinya itu hanya sebatas cukup material, hanya materinya saja Pak dicukupi.
PG : Ini kesalahan kebanyakan kita Pak Gunawan, kita beranggapan bahwa kalau saya cukupi anak-anak secara materi, memberikan kecukupan pendidikan maka tugas saya sudah selesai, tidak. Ayah prlu terlibat di dalam kehidupan anak-anaknya barulah nanti si anak bisa menjadi seorang pria dewasa yang matang dan mantap.
Kadang-kadang ayah hanya berharap ayahnya tiba-tiba bisa lompat dan menjadi pria dewasa, tidak! Dia harus menolong si anak menjadi seorang pria dewasa.
(4) GS : Buknakah tidak sekadar pria dewasa yang tadi kita bicarakan tentang pengarahan anak ini, nah sebenarnya anak laki-laki ini harus diarahkan ke mana Pak Paul secara spesifik?
PG : Anak laki-laki diajarkan untuk pertama-tama bertanggung jawab ini penting sekali, sehingga dia tidak mengelak dari tanggung jawab atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Selan bisa bertanggung jawab si anak diajarkan untuk berani juga mengambil resiko, ini adalah salah satu kwalitas kepriaan yang penting yang harus mulai ditumbuhkan pada diri si anak sejak usia yang lebih awal, jadi kita mendorongnya, menggiringnya tapi tidak mencemeti dia, memaksa dia, kita berikan dia dorongan.
Dan yang ketiga adalah kemampuan mengambil keputusan, anak harus diajarkan memilih alternatif-alternatif yang tersedia, baiknya apa, kurangnya apa. Sebab anak laki-laki nanti harus mengambil keputusan, jadi kalau boleh saya simpulkan sekurang-kurangnya tiga kwalitas inilah yang perlu ayah ajarkan kepada anak laki-lakinya.
GS : Nah di dalam pengambilan resiko itu Pak Paul, yang saya sendiri alami itu agak sulit kita justru sebagai orang tua kurang berani untuk memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil resiko, Pak Paul?
PG : Betul, ini menjadi masalah saya juga, memang kita harus mengingatkan diri kita bahwa terlalu melindungi anak akan berdampak kurang baik kepadanya. Dia perlu menjadi anak yang bisa mengabil resiko, sebab hidup memang menuntut pengambilan resiko itu.
GS : Ya masalahnya nanti kalau ada apa-apa yang repot kita juga, Pak Paul.
PG : Betul, jadi sudah tentu dalam pengambilan resiko kita memintanya untuk cerdas, tidak sampai gelap mata, sembarangan dan kita memintanya untuk berpikir dengan lebih luas.
GS : Nah Pak Paul dalam hal pengarahan terhadap anak laki-laki ini, apakah ada firman Tuhan yang mengarahkan ayah seperti kita ini.
PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi kalau saya boleh balik firman Tuhan ini sehingga lebih ersifat positif untuk ayah-ayah, saya boleh katakan.
"Hai Bapa-bapa, besarkanlah hati anak-anakmu sehingga manislah hatinya." Artinya tugas ayahlah membesarkan si anak, membesarkan hatinya, sehingga hati atau jiwa si anak menjadi jiwa yang penuh rasa tidak menjadi jiwa yang tawar sekali penuh dengan ketidaksukaan, kepasifan, keapatisan. Nah tugas ayah itu hanya bisa terjadi kalau si ayah terlibat dalam kehidupan si anak laki-lakinya.
GS : Dan itu menuntut pengorbanan dari si ayah juga Pak. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan tentu ini akan sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Ayah dan Arah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.