Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Anakku Autistik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, autistik tentu berkaitan dengan autis. Mungkin Pak Paul bisa menguraikan sedikit tentang ini supaya pemahaman kita sama. Apa sebenarnya yang disebut anak autis itu ?
PG : Gangguan autisme adalah gangguan yang membuat anak sukar berelasi dengan dunia luar, Pak Gunawan. Penderita autisme itu senang menyendiri dan cenderung mengerjakan suatu tugas berulang-ulang tanpa bosan. Misalnya dia bermain kereta api. Dia bisa duduk main kereta api berjam-jam dan rasanya tidak bisa diganggu. Pada kasus yang berat, penderita autisme itu mengalami hambatan bicara. Kadang sampai usia belasan tahun anak hanya dapat mengucapkan satu atau dua patah kata. Pada umumnya penderita autisme itu tidak memberi respons pada petunjuk yang diberikan. Misalkan kita berkata "Jangan" atau "Kamu seharusnya begini", dia tidak ditanggapi sama sekali. Jadi, jika diajak bicara, bukan saja dia tidak menyahut, melihat kita pun tidak. Sewaktu diajak bermain, dia menolak dan lebih senang bermain sendiri. kita sebagai orang tua pasti kuatir. Kita mesti ajak dia bertemu teman atau bawa teman ke rumah, tapi mereka jadi main sendiri-sendiri. Bila keinginannya tidak dipenuhi biasanya dia marah. Kalau dia marah emosinya bisa keluar dengan sangat kuat. Oleh karena dia memang tidak dapat mengungkapkan isi hatinya lewat perkataan, maka dia akan luapkan dengan perbuatan. Misalnya ada yang melukai dirinya, ada yang melukai orang lain, misalkan memukul, membentur-benturkan kepala dan sebagainya. Memang anak-anak ini mudah sekali mencederai dirinya maupun orang lain. Biasanya anak-anak ini harus kita tempatkan di sekolah untuk anak dengan kebutuhan khusus.
GS : Iya. Orang tua selalu berharap anaknya lahir normal seperti yang lainnya, Pak Paul. Kebanyakan mereka tidak bisa mempersiapkan diri lebih dahulu, tidak tahu bahwa anaknya akan lahir autis. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau semua ibu hamil ditanya apa yang diharapkan, saya yakin semua akan berkata anaknya akan lahir sehat walafiat. Jadi, bisa dibayangkan betapa hancur hati ibu dan juga ayah bila mendapati anak lahir tidak sehat. Masalah dengan anak autis ini, ada anak yang sejak dari bayi kelihatan sekali dia berbeda. Diajak bicara, dicoba ditarik perhatiannya, tidak menanggapi. Tapi ada anak-anak yang baru mengembangkan perilaku autisme ini di usia di atas dua tahun. Ini yang seringkali mengagetkan orang tua. "Kenapa anak saya baru umur sekian mengalami ini ? Waktu kecil tidak. Umur setahun dia masih bisa tertawa, bisa diajak bicara, sudah mulai menyahut, tiba-tiba usia dua tahunan dia tidak bisa melakukannya lagi." Yang tadinya bisa ketawa, sekarang diam. Yang tadinya bisa diajak bermain, sekarang tidak bisa. Nah, memang ini membingungkan dan kadang orang tua menyalahkan vaksinasi dan sebagainya. Tapi sebetulnya bukan seperti itu. Memang ada dua jenis autisme, yaitu ada yang dari awal sudah menunjukkan gejalanya dan ada yang baru menunjukkan gejalanya di atas umur dua tahun. Sudah tentu bila kita orang tua yang mendapati anak kita seperti ini, hati kita pasti hancur. Apalagi kalau kita membawanya ke dokter atau psikolog dan mereka mendiagnosis bahwa anak kita autistik, itu sangat memukul kita. tidak bisa tidak kita membayangkan hidupnya tidak akan sama dengan anak-anak lain.
GS : Ya. Artinya orang tua tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk menyambut atau menerima anak yang autis ini, Pak Paul ?
PG : Betul. Mereka benar-benar tidak menduga. Apalagi yang baru menunjukkan gejalanya di atas umur dua tahun. Jadi, sebelum dua tahun itu orang tua melihat anaknya normal. Itu lebih mengejutkan. Kalau sejak lahir juga mengejutkan, namun orang tua jadi bisa lebih siap.
GS : Autis menyangkut fisik atau psikisnya, Pak Paul ?
PG : Awalnya memang ada kaitannya dengan otak, Pak Gunawan. Tapi sebetulnya kita tidak tahu penyebabnya. Memang ada beberapa teori penyebabnya, tapi sesungguhnya secara ilmiah belum diketahui penyebab sesungguhnya. Yang kita tahu memang ada gangguan pada jaringan syaraf otak anak. Tapi apa yang sesungguhnya terjadi kita tidak tahu. Biasanya mulai dari otak akhirnya memengaruhi perkembangan psikologis dan mental.
GS : Tapi autisme bukan keturunan ya ? Bukan karena kakek atau ibunya pernah autis, bukan ya ?
PG : Bukan. Anak autis bisa dilahirkan oleh orang tua yang sama sekali tidak punya masalah seperti ini. Dulu memang ada yang mengatakan anak autistik adalah anak yang sejak lahir kurang diberi kehangatan atau perhatian oleh orang tuanya sehingga anak itu tidak mengembangkan keterampilan untuk berelasi dengan anak lain. Tapi teori itu sekarang sudah gugur sebab ternyata tidak demikian. Orang tua yang mengasihi dan merawat anaknya dengan baik juga bisa mendapatkan kasus seperti ini.
GS : Jadi, anak yang menderita autis itu kesulitan utamanya adalah berelasi dengan orang lain ?
PG : Betul. Boleh dikatakan mereka tidak memunyai relasi dengan orang lain atau dunia di luar dirinya, Pak Gunawan. Kata autistik atau autisme berasal dari kata auto yang artinya sendiri, misalnya automobile artinya jalan sendiri. Autisme berarti anak itu sendirian terjun dan tenggelam di dalam dunianya sendiri.
GS : Tapi setiap anak punya kebutuhan. Bagaimana dia mengungkapkan kebutuhannya ?
PG : Anak-anak autistik susah sekali mengutarakan kebutuhannya, Pak Gunawan. Orang tua akan berusaha keras mengajarinya. "Coba bilang: makan, lapar, minum." Orang tua akan terus harus mengulang-ulang hal yang sama itu. Luar biasa meletihkan sebab tidak bisa menangkap. Tapi ada anak yang lama kelamaan bisa menangkap karena terus menerus diulang dan berkata saya lapar, makan atau minum. Bayangkan, Pak Gunawan, kita ini punya isi hati yang seluas apa, punya perasaan sebanyak dan seluas apa, tapi yang bisa keluar dari mulut kita hanya dua-tiga kata. Bayangkan betapa mendesaknya dorongan untuk keluar itu, Pak Gunawan. Itu sebabnya kalau anak autistik mengalami sesuatu, intensitas frustrasinya itu besar sekali. Tidak heran, anak autistik nanti bisa marah luar biasa, memukul, menendang. Saya sudah bicara dengan orang tua yang anaknya autistik. Ada yang ditendang perutnya, ada yang dipukul. Ayah dan ibunya juga kena pukul. Apalagi si ibu yang biasanya di rumah mengawasi dia bisa kena pukul. Atau di sekolah dia bisa pukul anak-anak lain. Kadang-kadang kita bisa lihat anak-anak ini memang daya tahan sakitnya besar. Misalnya kita terjatuh dan sakit, mungkin dia tidak merasa sakit, jadi diam-diam saja. Karena memang ada gangguan syaraf inderanya sehingga mereka tidak begitu peka terhadap rasa apapun, termasuk rasa sakit. Jadi dia bisa biasa saja kalau jatuh, bangkit lagi, melakukan hal yang sama lagi. Itu yang bisa membuat mereka mudah sekali mencederai diri atau mencederai orang lain, karena mereka tidak bisa mengira-ngira kalau dia berbuat begini kepada anak lain itu akan bisa membahayakan anak lain. Dia tidak mengerti.
GS : Iya. Pak Paul tadi mengatakan ada yang baru nampak pada usia dua tahun. Apakah penderita autistik ini akan bisa sembuh, Pak Paul ?
PG : Memang kita tidak bisa memastikan, Pak Gunawan. Ada kasus-kasus dimana anak-anak ini terus autistik, misalkan sampai pada usia 16-17 tahun tiba-tiba mulai menunjukkan perubahan. Mulai bisa bicara dua atau tiga kata, lalu bisa merangkai satu atau dua kalimat. Ada. Tidak tertutup kemungkinan ada yang seperti itu. Tapi juga banyak yang tidak. Terus saja begitu sampai tua tidak bisa berubah.
GS : Kalau sampai dewasa, bukankah dia sangat kesulitan berkomunikasi dengan orang lain ?
PG : Betul. Makanya penderita sering berteriak. Saya ingat pernah mengunjungi sebuah keluarga yang anaknya autistik. Anaknya sangat sulit bicara dengan biasa. Walaupun sulit bicara tapi dia ‘kan mencoba bicara, jadi suaranya keras seperti berteriak. Karena untuk mendapatkan perhatian orang tuanya dia memang tidak bisa bicara baik-baik, tidak bisa bicara secara halus, susah sekali. Ada banyak yang ingin dia keluarkan tapi tidak bisa, jadi suaranya keras. Seperti sedang marah dan membentak.
GS : Sejauh ini yang saya jumpai kasusnya pada anak-anak. Tapi dalam pelayanan Pak Paul apa pernah menjumpai orang dewasa yang masih autistik ?
PG : Yang pernah saya temui memang anak-anak remaja, saya belum pernah bertemu orang dewasa autistik. Kadar autisme itu memang berat. Di dalam kategori ini sebetulnya ada yang lebih ringan. Dulu di dalam buku panduan gangguan jiwa di Amerika Serikat ada yang namanya Asperger's Syndrome. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Tapi sebetulnya itu adalah autisme dalam kadar yang lebih rendah. Anak-anak ini masih bisa berelasi, masih bisa berteman, masih bisa menerima instruksi, masih punya perasaan. Tapi dalam kadar yang lebih kecil dan dalam hal, misalkan perasaan, dia masih susah untuk membaca perasaan orang, sulit membaca situasi, atau sulit berelasi dengan orang secara tepat. Tapi masih jauh lebih baik daripada anak-anak yang kadar autismenya berat sekali. Saya sering bertemu dengan orang-orang dewasa penderita autisme ringan atau Asperger's Syndrome itu.
GS : Iya. Pak Paul, karena autism ini menyangkut relasi dan interaksi dengan orang lain, bagaimana dampaknya pada keluarga ?
PG : Yang pertama kita mesti menyadari kebutuhan khusus menuntut pengeluaran khusus, Pak Gunawan. Anak yang autistik memerlukan sekolah khusus dan penjagaan yang khusus. Sekolah khusus dan penjagaan khusus berarti bertambahnya biaya pengeluaran. Tidak jarang orang tua mesti menempatkan anak di luar kota karena tidak tersedianya sekolah khusus di kota dimana mereka tinggal. Jika anak tinggal di rumah, pada umumnya anak memerlukan kehadiran seseorang untuk mengawasinya secara penuh. Semua ini menambah pengeluaran yang tidak sedikit, Pak Gunawan. Jadi, biasanya tekanan ekonomi dirasakan oleh orang tua yang anaknya autistik.
GS : Justru seperti itu yang saya katakan tadi, orang tua tidak bisa mempersiapkan dulu. Kecuali kalau anak ini cacat fisik, sewaktu di USG kelihatan anaknya cacat sehingga dia bisa menyiapkan dana untuk itu. Tapi kalau autistik ini butuh dana tambahan yang banyak secara tiba-tiba.
PG : Betul. Ya karena memang tidak diketahui semasa dalam kandungan ya, setelah lahir baru bisa diketahui. Yang pertama memang uang, Pak Gunawan. Pengeluarannya memang lebih besar. Ada anak autistik yang tidak perlu penjagaan khusus karena ada anak autistik yang hanya diam, yang tidak hiperaktif. Dia hanya diam saja dan fokus pada satu hal saja. Itu lebih mudah diawasi. Tapi ada anak autistik yang hiperaktif, tidak bisa diam, lari ke sana ke mari, meskipun tidak bisa mendengar instruksi dari orang tuanya. Perlu orang untuk menjaganya. Lelah luar biasa.
GS : Selain tambahan tenaga untuk menjaga, apakah butuh tambahan biaya untuk obat-obatannya ?
PG : Kalau dia terlalu aktif biasanya perlu obat untuk meredakan hiperaktifnya itu dan berarti itu tambahan biaya lagi, Pak Gunawan. Karena kita harus ke psikiater, meminta obat dan sebagainya.
GS : Atau ada makanan khusus yang perlu diberikan kepada anak-anak ini ?
PG : Biasanya tidak. Kecuali untuk anak hiperaktif, otomatis makanan-makanan yang menambah energi dan bisa membuat dia tambah aktif, itu harus dikurangi.
GS : Selain tambahan biaya, adakah hal lain yang berpengaruh pada keluarga, Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah kita mesti menyadari pula bahwa kebutuhan khusus menuntut penanganan khusus. Ada anak autistik yang cenderung diam dan tidak memerlukan perhatian. Namun ada pula yang aktif sehingga rawan jatuh dan melukai dirinya. Karena dia mudah mencederai dirinya, anak autistik memerlukan pengawasan yang terus menerus. Belum lagi misalnya ada sekolah khusus, kita mesti antar jemput, dan kadang-kadang yang mengantar jemputnya mesti yang khusus, karena kalau tidak nanti dia di kendaraan dia mau lari-lari, mau keluar dari mobil dan sebagainya. Jadi, anak ini benar-benar perlu penanganan khusus. Kalau kita mau pergi kemana-mana, kita mesti ingat dia. Misalnya kita mau ke mall, kita pikirkan dia, apakah dia bisa di tempat yang banyak orang ? Akan seperti apa dia nanti, apakah dia akan bisa diatur atau tidak ? Ketika kita mendapat undangan ulang tahun atau ada keluarga yang menikah, kita perhatikan dia. Ada banyak hal yang harus kita kerjakan dalam hidup akan terganggu. Selalu kita pikir anak ini akan bagaimana. Kalau mau ditinggal di rumah, siapa yang jaga ? Misalnya ada satu suster, ternyata dia tidak sanggup menjaga. Jadi, betul-betul perlu penanganan yang khusus.
GS : Perhatiannya itu yang diperlukan ya. Sebenarnya anak ini memang membutuhkan perhatian atau dia sengaja melakukan tindakan yang menarik perhatian ?
PG : Sebetulnya tidak, Pak Gunawan. Anak-anak ini memang tidak punya kemampuan berpikir dia harus begini begitu supaya dapat perhatian dari orang. Dia tidak punya itu. Semuanya benar-benar dilakukan secara spontan tanpa sebuah kesadaran.
GS : Ada orang tua penderita autis yang mengatakan bahwa anaknya tidak tahan jika melihat sinar yang terlalu tajam, Pak Paul. Misalnya sinar matahari. Sehingga kamarnya ditutup dengan gorden yang tebal.
PG : Betul. Kita memang menyadari gangguan ini membuat inderanya terganggu. Rasa sakitnya tidak sama dengan anak lain. Anak lain terjatuh sudah menangis, tapi dia tetap bisa bermain karena tidak merasa sakit. Tapi misalkan dengan suara keras dia sangat sensitif. Dia bisa teriak-teriak kalau banyak orang bicara di sekelilingnya. Termasuk dengan sinar. Jadi, kita bilang kacau. Apa yang seharusnya dia rasakan, tidak dia rasakan. Apa yang seharusnya tidak dia rasakan malah dia rasakan.
GS : Iya. Kasihan anak itu jadi lebih banyak di dalam rumah karena kalau diajak keluar dia protes. Dia melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.
PG : Betul. Tadi kita sudah bicarakan bahwa ini menuntut orang tua memberikan penanganan khusus dan akan menginterupsi kehidupan mereka.
GS : Selanjutnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga, kebutuhan khusus seperti ini menambah tekanan khusus. Tidak bisa tidak, semua ini menambah tekanan yang besar pada keluarga. Jika ibu tidak bekerja di luar rumah, sewaktu ayah pulang, ibu sudah letih dan ingin digantikan, setidaknya diganti oleh ayah. Sebaliknya sewaktu ayah pulang kerja, dia letih dan ingin beristirahat. Muncullah konflik. Tekanan juga dapat timbul dari perbedaan pendapat antara ayah dan ibu dalam hal penanganan. Mungkin, ibu berusaha membuat anak mandiri sedangkan ayah tidak ingin ibu menekan anak. Atau jika ada anak lain dalam rumah yang juga memerlukan perhatian maka tekanan juga akan bertambah. Jadi, seringkali kalau kita tidak hati-hati, anak berkebutuhan khusus seperti autisme, mudah sekali meretakkan relasi orang tuanya.
GS: Belum lagi tekanan-tekanan dari luar terhadap keluarga itu, Pak Paul. Banyak orang yang ingin tahu, ingin campur tangan lalu memberikan saran dan sebagainya. Ini menjadi suatu tekanan tertentu bagi orang tua.
PG : Betul. Juga bisa jadi omongan orang. Misalkan dia pergi membawa anak itu tapi di luar anak itu tidak bisa diam, matanya kesana kemari. Orang tua jadi pusing dan malu. Itu benar-benar menambah tekanan pada keluarga. Saya masih ingat saya pernah menghadiri sebuah kebaktian ada orang tua yang membawa anaknya yang autistik hiperaktif. Di gereja dia lari ke mana-mana, meskipun ada Sekolah Minggu, dia tidak bisa ditaruh di Sekolah Minggu. Dia keluar dan tidak mau disuruh masuk. Selama kebaktian dia lari-lari dan tidak bisa diatur. Sangat susah sekali.
GS : Memang perlu perhatian khusus ya.
PG : Betul sekali. Artinya, selain dari yang kita sebut tadi, akhirnya perhatian dilimpahkan pada anak yang autistik sehingga anak-anak yang lain merasa diabaikan. Mereka merasa bahwa orang tua hanya mengasihi anak yang autistik. Kalaupun mereka mengerti bahwa orang tua mengasihi mereka, mereka cenderung enggan untuk berbagi beban dengan orang tua karena tidak ingin menambah kesusahan orang tua. Mau cerita, tidak jadi. Mau bilang sesuatu, tidak jadi. Takut orang tua marah karena sudah capek. Apalagi seringkali hal ini menimbulkan keretakan dalam hubungan suami istri. Istri merasa suaminya tidak mendukung, suami juga sudah tidak tahan lagi, akhirnya sering ribut. Anak-anak yang lain akhirnya tidak mau bicara dengan orang tuanya.
GS : Apakah pernah terjadi di dalam satu keluarga ada lebih dari satu anak yang autis ?
PG : Saya belum lihat. Tapi saya sudah lihat ada keluarga dimana seorang anaknya terkena autistik dan seorang anak lagi ada masalah perkembangan yang lain. Yang dua-duanya autistik belum pernah saya lihat.
GS : Pak Paul, orang tua pasti akan melakukan sesuatu untuk menangani atau merawat anak yang autis ini karena tetap anaknya. Hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh orang tua ?
PG : Ada tiga yang bisa saya sarankan. Yang pertama, orang tua mesti menerima keterbatasan. Kadang orang tua merasa harus melakukan segalanya untuk menyelamatkan anak yang autistik. Pada akhirnya orang tua harus menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan segalanya. Orang tua terbatas, anak pun terbatas. Sampai titik tertentu orangtua mesti menerima fakta ini dan hidup dalam keterbatasan ini. Memaksakan diri dan terlalu memacu anak dapat menjadi boomerang. Salah satu keputusan yang kadang mesti diambil oleh orang tua adalah apakah terus akan memelihara anak ataukah menyerahkannya kepada lembaga perawatan. Saya mengerti ini adalah keputusan yang sulit dan sering menimbulkan rasa bersalah. Namun pada akhirnya orang tua mesti melihat secara jelas apakah mereka masih sanggup atau tidak dan apakah dampak kehadiran anak yang mengganggu keluarga masih dapat ditoleransi.
GS : Katakan diserahkan ke lembaga perawatan, itu bukan berarti orang tua bebas dari tanggungjawabnya sebagai orang tua dari anak autis, Pak Paul.
PG : Mereka tetap harus datang mengunjungi dan sebagainya. Namun yang sering saya katakan kepada orang tua adalah jika ini adalah yang harus mereka lakukan, mereka mesti mengetahui satu fakta, yaitu anak ini sebetulnya tidak mengerti relasi orangtua-anak seperti kita. Jadi, ditempatkan di lembaga perawatan memang pada awalnya dia resah atau marah. Tapi itu sebetulnya lebih karena perubahan kehidupan. lingkungannya, cara-cara hidupnya. Sebab pada umumnya anak-anak ini sulit untuk mengembangkan sebuah keintiman, ketergantungan, kelekatan dengan orang termasuk orang tuanya juga. Tapi dia bisa mengenali orang-orang yang sama itu sekarang tidak ada lagi. Itu bisa membuat dia sementara bereaksi. Tapi sebetulnya kalau kita beranggapan dia akan kehilangan kita, tidak seperti itu. Mereka sebetulnya tidak mengerti. Kita yang akan kehilangan mereka, mereka sendiri sebetulnya tidak terlalu kehilangan kita.
GS : Apalagi yang bisa dilakukan orang tua, Pak Paul ?
PG : Orangtua mesti memperlakukan anak yang autistik pada dua level secara sekaligus. Disatu pihak orang tua mesti memperlakukan anak seperti anak lainnya tapi di pihak lain orang tua mesti memperlakukannya sebagai anak yang berkebutuhan khusus. Ada hal yang memang anak tidak dapat lakukan bukan tidak mau lakukan. Orang tua mesti memahami dan mengecualikannya. Namun di pihak lain orang tua mesti memperlakukan anak seperti anak lainnya. Pada anak autistik yang tidak terlalu parah, misalnya, kemampuannya untuk membaca perlakuan orang itu masih ada. Sebagai akibatnya anak tahu bila dia diperlakukan berbeda dan dapat menyimpulkan bahwa orang tua tidak mengasihinya. Ini yang saya maksud dengan dua level itu. Di satu pihak, menyadari dia terbatas. Di pihak lain, kita mau perlakukan dia sama.
GS : Iya. Kalau kita tinjau dari segi kerohanian, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua ?
PG : Saya kira ada tiga pertanyaan yang kerap diajukan oleh orang tua kepada Tuhan jika anak mereka autistik. Pertama, mengapa Tuhan memberi mereka anak yang autistik ? Kedua, mengapa Tuhan tidak mendengar seru doa minta tolong yang berulang kali mereka panjatkan ? Dan yang ketiga, berapa lama lagi mereka harus menanggung penderitaan ini ? Kendati secara teoritis kita dapat memberi jawaban, pada kenyataannya tidak ada jawaban yang dapat memuaskan hati orang tua yang hari lepas hari harus merawat anak yang autistik. Pada akhirnya dengan iman, orang tua mesti percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana atas anak ini dan atas diri mereka melalui kehadiran anak ini. Hari lepas hari orang tua mesti datang meminta kekuatan Tuhan untuk satu hari lagi. Firman Tuhan di Mazmur 105:4 mengingatkan, "Carilah Tuhan dan kekuatanNya. Carilah wajahNya selalu." Ini yang harus dilakukan oleh orangtua setiap hari.
GS : Jadi tidak dapat tidak orang tua harus bersama-sama mendekat kepada Tuhan, mencari kekuatan dan pimpinan Tuhan ya. Anak yang autis ini juga sulit berelasi dengan Tuhan, Pak Paul.
PG : Betul. Mungkin sekali mereka tidak mempunyai pengertian dan konsep ini.
GS : Iya. Jadi, kita tetap mendukung orang tua maupun anak-anak penderita autis karena ini membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa.
PG : Iya.
GS : Terima kasih, Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anakku Autistik". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.